Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH FIKIH KONTEMPORER

“Ijtihad, Taqlid dan Talfiq dalam Fikih”

Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Asmuni, M.Ag

Disusun oleh : Kelompok 2

1. Rizky Parlaungan Siregar (0102183168)


2. Kamelia Deliana (0102183148)
3. Khairun Nisa (0102183138)

JURUSAN BIMBINGAN PENYULUHAN ISLAM – D/V

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA MEDAN

T.A 2020/2021
KATA PENGANTAR

Alhamulillah Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmatnya


sehinga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Kami selaku dari kelompok 2
yang mendapat tugas makalah dengan judul “Ijtihad, Taqlid dalam Fikih : Studi
Kritis dan historis” dengan dosen pengampu mata kuliah “Fikih Kontemporer”
dengan dosen pengampu Prof.. Dr.H. Asmuni, M.Ag

Sholawat serta salam kita senantiasa sampaikan kepada junjungan alam


nabi besar Muhammad SAW, semoga dengan banyaknya kita bersholawat kepada
beliau kelak kita akan mendapat syafaatnya dan akan berkumpul bersama beliau
di syurgaNya.

Terimakasih kepada seluruh pihak yang membantu dalam proses


pengerjaan makalah ini, mulai dari anggota kelompok hingga dosen pembimbing
mata kuliah yang telah memantu dalam pembuatan makalah ini dan semoga
makalah ini bermanfaat. Sekiranya dalam penulisan makalah ini tidaklah
sempurna, banyak kekurangan di sana sini kami memohon maaf. Kami berharap
pada seluruh pihakuntuk mengoreksi makalah ini, agar kedepan lebih baik.

Medan, 21 November 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii
BAB I .............................................................................................................................1
PENDAHULUAN ..........................................................................................................1
A. Latar Belakang ........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................................1
C. Tujuan Masalah .......................................................................................................1
BAB II ............................................................................................................................2
PEMBAHASAN .............................................................................................................2
1. Pengertian Ijtihad, Taqlid dan Talfiq dalam Fikih:Studi kritis dan historis ................2
2. Pengertian Ijtihad Bayaniy, Burhani dan Irfani ........................................................6
3. Pendapat Penulis dan Argumentasinya .....................................................................8
BAB III ......................................................................................................................... 10
PENUTUP .................................................................................................................... 10
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 10
B. Saran ..................................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 10

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu fiqih kontemporer merupakan metode dalam menggali dan
menetapkan hukum. Ilmu ini sangat berguna untuk membimbing para mujtahid
dalam mengistibatkan hukum syara’ secara benar dan dapat di pertanggung
jawabkan hasilnya. Melalui fiqih kontemporer atau ushul fiqh dapat di temukan
jalan keluar dalam menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dengan dalil
lainnya.

Dalam fiqih kontemporer juga dibahas masalah ijtihad, taqlid, dan talfiq.
Ke tiga - tiganya memiliki arti yang berbeda beda dan maksudnya juga berbeda.
Tetapi ke tiga-tiganya sangat jelas diatur dalam islam. Jangan sampai perbedaan
pendapat di antara kita menjadikan jalan untuk saling bercerai di dalam
memperkokoh kuatnya agama islam, maka dari itu sudah seharusnya kita
memahami dan mengetahui tentang ijtihad, taqlid, dan talfiq. Maka pada
kesempatan ini makalah ini akan membahas tentang ijtihad, taqlid, dan talfiq.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Ijtihad, Taqlid dan Talfiq dalam fikih : Studi kritis dan
historis?
2. Apa pengertian Ijtihad Bayaniy, Burhani dan Irfani?
3. Apa saja pendapat penulis dan argumentasinya?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian Ijtihad, Taqlid dan Talfiq dalam fikih : Studi
kritis dan historis
2. Untuk mengetahui pengertian Ijtihad Bayaniy, Burhani dan Irfani
3. Untuk mengetahui pendapat penulis dan argumentasinya

1
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Ijtihad, Taqlid dan Talfiq dalam Fikih:Studi kritis dan
historis

Pengertian Ijitihad1 (‫( ادٓاجت‬adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh


atau mencurahkan segala kemampuan (jahada). Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah
berusaha untuk berupaya atau berusaha yang bersungguh-sungguh., yang
sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu
untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun
hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Namun
pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya
dilakukan para ahli agama Islam.

Menurut Dr. Wahbah az Zuhaili, ijtihad adalah perbuatan istimbath hukum


syari`at dari segi dalil-dalilnya yang terperinci di dalam syari`at. Imam al Ghazali,
mendefinisikan ijtihad dengan ”usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid
dalam rangka mengetahui hukum-hukum syari`at” Sedangkan menurut Imam
Syafi`i, arti sempit ijtihad adalah qiyas.

a) Dasar Hukum dan Hukum Ijtihad

Ijtihad dapat dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber
hukum Islam, yang menjadi landasan dilakukannya ijtihad, firman Allah surat
An-Nisa ayat 105:

Artinya, “Sesungguhnya Kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar


dapat menghukumi di anatra manusia dengan apa yang Allah mengetahui
kepadamu”. Hadits yang diriwayatkan oleh Umar menyatakan bahwa: Artinya,
“Rasulullah saw. bertanya, “Dengan apa kamu menghukumi?” Ia menjawab:
“Dengan apa yang ada dalam kitab Allah”. Bertanya Rasulullah, “Jika kamu tidak
mendapatkan dalam kitab Allah?” Dia menjawab: “Aku memutuskan dengan apa
yang diputuskan Rasulullah”. Rasul bertanya lagi, “Jika tidak mendapatkan dalam
ketetapan rasulullah?” Berkata Mu’adz, “Aku berijtihad dengan pendapatku”.
Rasulullah bersabda, “Aku bersyukur kepada Allah yang telah menyepakati
utusan dari rasul-Nya”.2

1
Gibtiah, fiqih kontemporer, (Jakarta: kencana, 2016), hal. 12.
2
http://massukron.blogspot.com/2014/04/ijtihad-taklid-talfiq-dan-ittiba.html?m=1

2
b) Tujuan Ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia
akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu
tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
c) Jenis – Jenis Ijtihad :
 Ijma' Ijma' artinya sepakat yakni sepakat para ulama dalam
menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-
Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Adalah
sepakat bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara
ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari
ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli
agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
 Qiyâs, Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan artinya
menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum ada
pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalam sebab,
manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu
sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya
darurat, bila memang terdapat hal hal yang ternyata belum
ditetapkan pada masa-masa sebelumnya

Beberapa definisi qiyâs (analogi) :

1. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya,


berdasarkan titik persamaan di antara keduanya.
2. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui
suatu persamaan diantaranya.
3. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di
dalam [Al-Qur'an] atau [Hadis] dengan kasus baru yang memiliki
persamaan sebab (iladh).

Pengertian Taqlid

Taqlid adalah mengikuti pendapat seseorang dengan tanpa bisa


membuktikan benar-salahnya pendapat itu, meskipun mengetahui sepenuhnya
bahwa bertaklid padanya boleh. 3

Hukum Taqlid adalah haram bagi mujtahid dan wajib bagi selain
mujtahid. As Suyuthi mengatakan, "Manusia itu ada yang mujtahid dan ada yang
tidak. Yang tidak mujtahid wajib baginya bertaqlid, baik dia orang awam maupun
orang alim/pandai. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT "Maka bertanyalah
kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui"

Jadi kewajiban bertaqlid tidak hanya berlaku bagi orang awam saja, tetapi
juga bagi orang alim yang mengetahui dalil, selama dia belum mencapai tingkat
3
Al Lamadzhabiyah Akhthar Bid'ah Tuhaddid Asy Syari'ah Al Islamiyah, hal. 69

3
mujtahid, karena kemampuannya masih sebatas mengetahui dalil dan tidak sampai
mengaplikasikan metodologi dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
penggalian hukum. Jadi orang alimpun selama belum mencapai tingkat berijtihad
sama saja dengan orang awam dalam kewajiban bertaqlid.

Tidak semua taqlid itu tercela, Jadi. Dan itu lebih baik daripada terus
berijtihad padahal dirinya sendiri tidak mampu. Taqlid adalah hal pasti dan tak
terhindarkan dilakukan oleh setiap umat Islam, setidaknya ketika mulai
mengamalkan ajaran-ajaran Islam, misalnya meletakkan kedua tangan di dada
pada waktu shalat dan mengangkat kedua tangan ketika Takbiratul Ihram. Dia
tetap melakukan hal itu meskipun belum mengetahui benar-salah dalil yang
mendasarinya. Lalu ketika dia mengetahui argumentasi dan dalil pada waktu
kemudian maka saat itu berarti dia telah keluar dari lingkaran taqlid buta.
Meskipun demikian tetap saja dia seorang yang bertaqlid karena masih belum
mengetahui dalil secara rinci, paling tidak bagaimana cara menggali hukum.
Masih saja dia mengikuti metode dari seorang imam mujtahid.

Pada kenyataannya bertaqlid banyak terjadi dalam berbagai bidang


kehidupan. Misalnya ketika seorang dokter menuliskan resep bagi pasien, maka
selanjutnya pasien itu merujuk ke apotek, bukannya meracik sendiri obat-obatan
itu. Cukup baginya membeli produk dari suatu pabrik obat yang ia anggap
terjamin. Demikian juga guru mata pelajaran Geografi ketika menjelaskan kepada
murid-muridnya bahwa bumi itu bulat. Dia hanya mengikuti pandangan Galileo
Galilei dan Thomas Copernicus, bukannya mengkaji dan menelitinya sendiri
secara langsung.4

Taqlid menurut istilah terdapat beberapa rumusan, antara lain


sebagai berikut:

1) Taklid ialah beramal berdasarkan pendapat orang lain yang pendapatnya


itu tidak merupakan salah satu dalil yang dibenarkan, dan ini dilakukan
tanpa berdasarkan dalil. Demikian menurut alKamal Ibn al-Hammam
dalam al-Tahrîr.
2) Menerima pendapat orang lain dalam kondisi anda tidak mengetahui dari
mana orang itu berpendapat. Demikian menurut alQaffal.
3) Beramal berdasarkan pendapat orang lain tanpa berdasarkan dalil.
Demikian menurut al-Syaukany dalam Irsyâd al-Fukhûl.
4) Menerima pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya, baik dalam
bentuk perbuatan atau meninggalkan suatu perbuatan5

4
https://www. /kamilmohammed/ijtihad-taqlid-dan-talfiq
5
Hosen, Taqlid dan Ijtihad, hlm. 11.

4
Pengertian Talfiq, Menurut bahasa Talfiq artinya melipat atau
merangkap. Sedangkan menurut syari'at, Talfiq adalah melakukan suatu ibadah
atau muamalah secara rangkap yaitu dengan menyomot pendapat-pendapat dari
madzhab yang berlainan sehingga muncul suatu praktik yang keluar dari
madzhab-madzhab itu.

Contoh: Seseorang melakukan wudlu dengan mengikuti madzhabSyafi'i,


yaitu dengan mengusap sebagian kepala (kurang dari ), kemudian menyentuh
wanita lain (ajnabiyah). Kemudian dia melaksanakan shalat dengan mengikuti
madzhab Abu Hanifah yang berpendapat bahwa bersentuhan dengan wanita
ajnabiyah tidak membatalkan wudlu. Maka praktek demikian disebut Talfiq,
sebab dia menggabungkan pendapat Syafi'i dan pendapat Abu Hanifah dalam
masalah wudlu, dimana akhirnya yang dilakukannya itu keluar dari kedua
madzhab itu. Di satu sisi bersentuhan kulit dengan ajnabiyah menurut Syafi'i
membatalkan wudhu dan di sisi lain menurut Abu Hanifah berwudlu tidak sah
hanya dengan mengusap sebagian kepala.

Seseorang berwudhu dengan mengusap sebagian kepala atau dengan tanpa


menggosok-gosok anggota wudlu karena mengikuti madzhab Syafi'i. kemudian
dia menyentuh anjing dengan mengikuti madzhab Maliki yang berpendapat
bahwa anjing adalah binatang suci. Maka shalat yang dilakukannya tidak sah
dalam pandangan kedua madzhab tersebut, sebab di satu sisi menurut Maliki
berwudlu tidak sah tanpa mengusap seluruh kepala serta menggosok-gosok
anggota wudlu, dan di sisi lain menurut Syafi'i anjing adalah termasuk najis
Mughalladhah (berat). Jadi apabila dia melaksanakan shalat maka shalatnya tidak
sah dalam pandangan madzhab-madzhab tersebut.

Talfiq sebagaimana kami sebutkan haram dilakukan. Dan tujuan


pelarangan ini adalah agar seseorang tidak mencari yang serba mudah dan
mempermainkan hukum. Demi menghindarkan talfiq yang terlarang itu dalam
mencari solusi hukum perlu dilakukan pemilihan hukum-hukum dari madzhab
tertentu dari keempat madzhab, dimana madzhab tersebut sesuai dengan situasi
dan kondisi keindonesiaan. Misalnya dengan memilih madzhab Syafi'i dalam
bidang shalat --mulai dari syarat, rukun hingga yang membatalkan- dan memilih
madzhab Abu Hanifah dalam masalah-masalah sosial kemayarakatan. Dengan
demikian --disamping Talfiq dapat dihindarkan- hukum-hukum yang telah
dirumuskan para ulama madzhab itu dapat diterapkan dan tidak hanya tertulis
dalam lembar-lembar kitab saja.

Pendapat-Pendapat tentang Talfiq

1) Pendapat pertama, orang awam harus mengikuti madzhab tertentu,


tidak boleh memilih suatu pendapat yang ringan karena tidak

5
mempunyai kemampuan untuk memilih. Karena itu mereka belum
boleh melakukan talfiq.
2) Pendapat kedua, membolehkan talfiq dengan syarat tidak akan
menimbulkan pendapat yang bertentangan dengan salah satu
madzhab yang ditalfiqan itu.
3) Pendapat ketiga, membolehkan talfiq tanpa syarat dengan maksud
mencari yang ringanringan sesuai dengan kehendak dirinya. Ruang
Lingkup Talfiq Talfiq sama seperti taqlid dalam hal ruang
lingkupnya, yaitu hanya pada perkaraperkara ijtihad yang bersifat
zhanniyah (perkara yang belum diketahui secara pasti dalam
agama).

Adapun hal-hal yang diketahui dari agama secara pasti (ma‟luumun


minaddiini bidhdharuurah), dan perkara-perkara yang telah menjadi ijma‟, yang
mana mengingkarinya adalah kufr, maka di situ tidak boleh ada taqlid, apalagi
talfiq.

Hukum Talfîq Ulama terbagi kepada dua kelompok tentang hukum talfîq.
Satu kelompok mengharamkan, dan satu kelompok lagi membolehkan. 6

2. Pengertian Ijtihad Bayaniy, Burhani dan Irfani

1) Pendekatan Bayani7

merupakan studi filosofis terhadap sistem bangunan pengetahuan yang


menempatkan teks (wahyu) sebagai suatu kebenaran mutlak. Akal menempati
kedudukan sekunder yang bertugas menjelaskan dan membela teks yang ada.
Dengan kata lain bahwa pendekatan ini bekerja pada tataran teks. Oleh karenanya
kekuatan pendekatan ini terletak pada bahasa, baik nahwu –sharaf maupun
balaghah. Sebagai implikasinya lafaz-makna mendapatkan posisi yang cukup
terhormat, terutama dalam diskursus ushul fiqhi.

2) Pendekatan Burhani.

Kata bayani berasal dari bahasa arab yaitu al- bayani yang secara harfiah
bermakna sesuatu yang jauh atau sesuatu yang terbuka. Namun secara
terminologi, ulama berbeda pendapat dalam mendefenisikan al-bayani. Ulama
ilmu Al-Bhalagoh misalnya mendefinisikan al-bayani sebagai sebuah ilmu yang
dapat mengetahui satu arti dengan melalui beberap cara atau metode seperti tasbih
(penyerupaan), majaz dan kinayah. Ulama kalam mengatakan bahwa bayani

6
http://ahmadfuadhasan.blogspot.com/2011/06/ijtihad-taqlid-talfiq-dan-ittiba_23.html
7
http://el-zhanzha.blogspot.com/2011/04/manhaj-ijtihad-bayani-burhani-irfani.html

6
adalah dalil yang dapat menjelaskan hukum. Sebagian yang lain mengatakan
bahwa al-bayani dalah ilmu baru yang dapat menjelaskan sesuatu atau ilmu yang
dapat mengeluarkan sesuatu dari kondisi samar kepada kondisi jelas.

Namun dalam epistimologi silam bayani adalah metode pemikiran khas


Arab yang menekankan pada otoritas teks (nash) secara langsung atau tidak
langsung dan dijustifikasi oleh akal kebahsaan yang digalih lewat inferensi
(istidlal). 8 Oleh karena itu pemahaman terhadap realitas kehidupan social-
keagamaan dan social-keislaman menjadi lebih memadai apabila dipergunakan
pendekatan sosiologi (ijtima’yyah), anthropologi (antrufulujiyyah) kebudayaan
(tsaqafiyyah), dan sejarah (tarikhiyyah).

8
A. Bachrun Rifai dkk, Filsafat Thasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 90

7
3) Pendekatan ‘Irfani

‘irfanI mengandung beberapa pengertian antara lain ; ‘ilm atau ma’rifah;


metode ilham dan kasyf yang telah dikenal jauh sebelum Islam; atau gnosis.
Ketika ‘irfan diadopsi ke dalam Islam, para ahl al-‘irfan mempermudahnya
menjadi: pembicaraan mengenai

 al-naql dan al-tawzif; dan


 upaya menyingkap wacana qur’ani dan memperluas ‘ibrah-nya untuk
memperbanyak makna. Jadi pendekatan ‘irfani adalah suatu pendekatan
yang dipergunakan dalam kajian pemikiran Islam oleh para mutasawwifun
dan ‘arifun untuk mengeluarkan makna batin dan batin lafz dan ‘ibarah; ia
juga merupakan istinbat al-ma’arif al-qalbiyah dari al-Qur’an.

Irfani merupakan bahasa arab yang memiliki makna asli, yaitu sesuatu
yang berurutan yang sambung satu sama lain dan bermakna diam dan tenang.
Namun secara harfiyah al-irfan adalah mengetahui sesuatu dengan berfikir dan
mengkaji secara dalam. Secara terminologi, irfani adalah pengungkapan atas
pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada
hambanya (al-kasy) setelah melalui riyadhoh.

 Contoh dari pendekatan irfani lainnya Falsafah isyraqi yang


memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah al-batiniyyah) harus
dipadu dengan pengetahuan intuitif (al-hikmah al-zawqiyah).
Contoh dari pendekatan irfani lainnya adalah Bahkan akan
mencapai al-hikmah al-haqiqiyyah, Dengan pemaduan tersebut
pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang
mencerahkan. Rasulullah SAW dalam menerima wahyu al-Quran
merupakan contoh dari pengetahuan irfani, pengalaman batin..9

3. Pendapat Penulis dan Argumentasinya


Argumentasi bahwa dalam prakteknya, baik ijtihad maupun taklid sudah
diamalkan oleh ummat Islam sejak masa-masa awal (zaman Nabi dan Sahabat).
Ijtihad mulai dilembagakan sebagai metode istinbath hukum sejak abad kedua
Hijriyah,

sedangkan praktek taklid terlembagakan sejak munculnya isu “tertutupnya


pintu ijtihad” pada pertengahan abad ke IV H. Definisi ijtihad pada periode awal
Islam berupa pertibangan akal, seorang yang ahli dalam hukum Islam dalam
menetapkan hukum masalah-masalah yang tidak diatur secara rinci baik dalam al-
Qur’an maupun Sunnah Nabi. Sejak abad ke IV H. hingga kini definisi ijtihad

9
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan Pengantar Epistimologi Islam (Bandung:
Mizan Pustaka, 2003), h. 56

8
umum diartikan dengan pengerahan segala kemampuan dalam menetapkan hukum
syar’i yang digali dari dalil-dalinya yang terperinci (dalam pengetian tidak
mungkin dilakukan oleh sembarang orang). Definisi yang terakhir ini pada
gilirannya memberikan kesan bahwa kegiatan ijtihad tidaklah sederhana, ia harus
dilakukan oleh orang-orang yang betul-betul memiliki kemampuan untuk
berijtihad

Praktek ijtihad di tengah masyarakat menjadi inklusif seolah-olah hanya


dilakukan oleh tertentu kalangan. Agar ijtihad tetap eksis dan hukum Islam dapat
important dan keadaan pada setiap tempat, maka ijtihad harus dibuat mudah.
Salah satu upayanya adalah mendefinisi ulang ijtihad yang selama ini dikesani' itu'
angker. Ijtihad adalah process penetapan hukum yang dilakukan dengan dengan
pendekatan akal (ra'yu) dengan syarat tidak keluar dari semangat dan doktrin
syariat Islam dalam al-Qur'an dan al-Sunnah.

Pada periode awal diartikan dengan mengikuti pendapat mujtahid dalam


masalah-masalah hukum, Sedangkan taklid. Definisi tersebut tentu saja perlu
dikaji kembali mengingat sunnatullah bahwa ummat Islamada yang concern
dengan masalah hukum Islam dan ada pula yang tidak mendalaminya. Bagi yang
kurang pemahamannya tentang hukum Islam, mereka tentu saja harus bertaklid.
Hal yang harus diupayakan ialah mengusahakan bagaimana agar lahirnya ulama-
ulama yang mampu berijtihad dapat diperbanyak.

Demikian juga harus kita usahakan, jangan sampai terjadi adanya


"manlaysa lahu ahlun li al-ijtihâd", orang yang tidak memiliki kemampuan untuk
berijtihad memberanikan diri untuk berijtihad. Usaha mengkaji ulang seputar
istilah ijtihad dan taklid pada hakekatnya merupakan upaya memposisikan hukum
Islam agar tetap eksis dan sesuai dengan perkembangan zaman.

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Baik ijtihad mapun taklid sudah diamalkan oleh ummat Islam sejak
masamasa awal (zaman Nabi dan Sahabat). Dapat disimpulkan bahwa dalam
prakteknya. Irfani adalah model atas pendekatan dan pengalaman langsung (direct
experience) atas realitas spiritual keagamaan metodologi berpikir yang
didasarkan. Metoodologi berpikir yang tidak didasarkan atas teks maupun
pengalaman, melainkan atas dasar keruntutan logika, Bayani adalah sebuah model
metodologi berpikir berdasarkan teks. Metode ini menurut Al-Jabiri lahir sejak
sebelum Islam datang. Burhani adalah model metodologi berpikir yang tidak
didasarkan atas teks maupun pengalaman, melainkan atas dasar keruntutan logika.

B. Saran
Kami membuat makalah Fiqh Kontemporer yang berjudul “Ijtihad, Taqlid,
dan Talfiq” ini untuk pembelajaran bersama dan kami berharap juga makalah ini
menjadi masukan dan tambahan dalam memahami Ijtihad, Taqlid, Talfiq. Apabila
dosen pengampuh dan teman-teman menemukan kesalahan dan kurangnya
sempurna makalah kami, kami memohon maaf yang sebesar-besarnya, karena
kesempurnaan hanya milik Allah SWT dan kami mengucapkan banyak terimah
kasih kepada seluruh teman-teman dan dosen pengampuh yang telah membaca
makalah kami.

DAFTAR PUSTAKA

Rifai A. Bachrun dkk, 2010. Filsafat Thasawuf,. Bandung: Pustaka Setia.

Kartanegara, Mulyadhi. 2003. Menyibak Tirai Kejahilan Pengantar Epistimologi


Islam. Bandung: Mizan Pustaka.

Hosen, Ibrahim. 2004. Taklid dan Ijtihad. t.th: Artikel Yayasan Paramadina.

http://ahmadfuadhasan.blogspot.com/2011/06/ijtihad-taqlid-talfiq-dan-ittiba_

http://massukron.blogspot.com/2014/04/ijtihad-taklid-talfiq-dan-ittiba.html?m=1

https://www.kompasiana.com/kamilmohammed/5cbf4c85cc528367bb0810f4/ijtih
ad-madzhab-taqlid-dan-talfiq

10

Anda mungkin juga menyukai