pengetahuan teoretis, tetapi praktis. Lebih mengarah pada: ketrampilan dlm bidang tertentu, dan terutama: Kemampuan & Ketrampilan BERELASI: * Dengan sesama * Dengan lingkungan * Dengan Allah Hikmat “seni hidup”. Keluarga, Lingkungan, Masyarakat, Bernegara. 2019: Tahun yg Menentukan! Perlu AKSI yg dengan sadar digiatkan bersama. Masa Puasa: saat yg tepat utk bangunkan sikap & aksi nyata itu. Strategis. Menjelang Pilpres & Pileg. APP menghantar kita kpd kebangkitan Tuhan, sekaligus kebangkitan Bangsa! Lingkup: Keluarga . Indonesia strong from home!
Tujuan: membangun sikap dan peri-laku
konkret yg mendukung relasi yg baik dan benar antar anggota keluarga.
Inspirasi: Efesus 5:1-15
Dalam Alkitab: rumah adalah sekolah iman dan hikmat. Dalam rumah/keluarga, pokok dan keyakinan iman diturun-alihkan (ditradisikan), juga hikmat dan keutamaan disampaikan. Dlm dunia modern: rumah sering hny jadi ‘hotel keluarga’: tempat kumpul, makan- minum dan tidur. Makin sulit menjadikan rumah sbg tempat dimana iman dan keutamaan Katolik diajarkan dan diteladankan. Pola-belajar hikmat: anak meniru bapa. Krn kita anak-kekasih Allah maka “Jadilah penurut/peniru Allah”. Imitatio Dei (satu- satunya dlm PB). Ini adalah panggilan utk aksi yg konkret utk hidup meniru Allah yg Mahakasih. Caranya? Ikuti model/pola: Yesus wafat di Salib krn kasih kpd manusia dan taat kpd Allah. Jadi, imitatio Christi. Yesus sbg ‘anak sulung’ jadi teladan utk kita semua. Pertama: tidak melakukan atau berhenti melakukan: percabulan, kecemaran dan keserakahan. Budaya-agama Yunani-romawi umumnya ‘permisif’, beda dgn aliran-aliran filsafat. “Orang-orang Kudus” memakai nama “Kristus” (Kristen, Kristiani) Harus beda dr yg ‘umum’, lawan-arus, Alasan pewartaan: teladan hidup yg ‘bebeda’ dapat jadi teladan. Daya tarik. Sarana pewataan Injil yg efektif! Kedua, berhenti mengucapkan kata-kata yang kotor, kosong (ceroboh, konyol, tidak hati-hati, dll) dan sembrono (lelucon yg kasar & tidak pantas). Konteks kita: gempuran budaya hoax, caci-maki antar pendukung,dll, arus umum. Keluarga kita harus gantikan hoax dengan “ucapan syukur”. Mengapa? Karena setiap anggota keluarga adalah orang yang sudah dikasihi Allah. Orang tua guru iman & hikmat bagi anak-anak, agar arif dan bijaksana dalam bertindak dan berbicara, sehingga mampu membawa perubahan. PERBUATAN yg tidak berhikmat: percabulan, kecemaran, keserakahan. Relasi yg tidak ‘pas’ dengan tubuh, dengan sesama, dengan materi/makanan,dll. Bisa dikembangkan. TUTUR-KATA: yg kotor, sembrono dan kosong. Tidak arif berkomunikasi kosong, tidak sopan, tidak benar/palsu, dll. Di Dunia tetapi berbeda dengan dunia keluarga yg tampil beda dari yg lain. Kesaksian hidup-nyata! Lingkup: Lingkungan gerejani.
Tujuan: keluarga yang sudah berubah,
hendaknya mengubah juga keluarga- keluarga katolik di lingkungannya “gerakan bermartabat” bersama: keterlibatan sosial, politik, mengupayakan kesejahteraan ber- sama, persaudaraan yang inklusif, menggembirakan dan tidak membebani.
Inspirasi: Galatia 6:1-10
Tekanan: menjaga kesatuan jemaat.! Ujian terhadap kesatuan: anggota yg jatuh dalam dosa (publik). Sikap kita: membantu atau menyingkirkannya? Lingkungan Ideal: tempat mendapat peneguhan dan bimbingan, tempat beban kehidupan dibagi dan diringankan, tempat kita saling mendukung untuk berkembang dalam kasih dan kebaikan, juga tempat para pelayannya dihargai Kenyataannya? Bergosip atau menjelekkan namanya? Menjauhkan dia karena sudah “mempermalukan” lingkungan kita? Prinsip: tuntunlah dia kembali ke jalan yang benar (ay.1)! Tugas semua anggota jemaat, khususnya mereka “yang rohani” yaitu: anggota jemaat yang hidup rohaninya sudah matang, yang hidupnya dipimpin oleh Roh Allah. Mereka menjadi wakil semua anggota jemaat. Cara yg bijak (berhikmat): lemah lembut dan tanpa kekerasan, sambil terus waspada dan bijak, agar sendiri tidak jatuh dalam dosa yang sama. Jatuh ke dalam dosa itu “beban”: terlalu berat dipikul sendirian oleh si pelaku. Ia butuh kekuatan, peneguhan, sekaligus bimbingan dari sesama dalam lingkungannya. “Beban” juga semua tekanan hidup dan penderitaan. Paulus mengajak jemaatnya untuk juga saling membantu meringankan beban hidup sesamanya. Hindari “keangkuhan”: menganggap diri terlalu penting sehingga tidak butuh sesama (ay.3). Ini akan membuat seseorang tidak terbuka untuk menolong atau ditolong oleh sesamanya. - “Menipu diri”. Mengapa? Sebab, kita menerima semuanya, bahkan hidup kita sendiri, dari Kristus. Tidak ada yang dapat kita klaim sebagai ‘milik sendiri’. Periksa tingkah-laku sendiri, boleh berbangga akan kebaikan sendiri, tetapi tidak perlu melihat dan menilai orang lain (ay.4). Sebab, setiap orang bertanggungjawab kepada Allah atas perbuatan dan tingkah-lakunya (ay.5). Membantu dan menghargai para pengajar firman (ay.6) Menabur kebaikan sesuai dengan keinginan Roh Tuhan, tidak menabur perbuatan dan tingkah-laku yang mengikuti keinginan daging (ay.8). Tidak jemu berbuat baik dalam setiap kesempatan, khususnya terhadap sesama kaum beriman (ay.9-10). Lingkup: Masyarakat Tujuan: Sikap dan tindakan positip dalam kehidupan bermasyarakat. Berbuat baik kepada sesama khusus-nya mereka yang miskin, Tahu menempatkan diri sesuai dengan kedudukan dan fungsi dalam masyarakat, Mengutamakan kepentingan bersama Teks yg amat konkret. Tidak perlu banyak tafsir! Bagian dr Deuterokanonika, dan jenis sastra Hikmat. Ciri khas: pesan dan ajakan moral. Bagaimana menjadi manusia yang baik. Tekanan: membantu sesama yang miskin! Amat relevan untuk konteks Jakarta: jurang antara miskin – kaya. Membantu org miskin tentu demi alasan kemanusiaan, tetapi juga ada dasar teologis: Allah mendengarkan doa/kutukan mereka (ay.6). Sikap membantu sesama membuat kita disayangi umat (ay.7) Kita juga diajak untuk bersikap taat/tunduk kepada pembesar (ay.7). Selain membantu, juga mendengarkan (ay.8): keluhan, kebutuhan, dll. Advokasi. Mereka bukan ‘obyek’ aksi karitatif saja, tetapi harus jadi ‘subyek’. Juga bebaskan org tertindas dari penindasnya (ay.9). Lawan human-trafficking, pekerja anak, sistem yg tidak adil, dll. Ayat 10: bapak bagai anak yatim..(suami bagi ibu mereka). Lingkup: hidup berbangsa & Bernegara Konteks: Pemilu 2019 Tujuan: menjadi warga Gereja dan warga NKRI yang berhikmat menentukan pilihan yang bijak: pemimpin bangsa dan wakil- wakil rakyat yang memajukan martabat bangsa Indonesia, bukan yang menggerogoti dan merusak martabat tersebut. Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang. Memilih pemimpin yang beragama Kristen hampir mustahil, tetapi pasti ada pemimpin yang berjiwa melayani dan berkorban. Itu sesuai dengan hidup dan ajaran Yesus, tanpa perlu surat babtis! Yesus jelas membuat perbedaan antara gaya pemimpin “tangan besi” (kekerasan) dan yang “melayani”. Spiritualitas hamba/pelayan itu “brand”nya pengikut Yesus. Paus: Servus servorum Dei. Itu juga pemimpin pilihan kita: jangan yang memakai jalan kekerasan, tetapi yang melayani, cinta damai, toleran, dstnya. Sering dipakai oleh penguasa utk mempertahankan status-quo atau oleh rakyat utk revolusi (pemerintahan tdk lagi mencerminkan penetapan Allah). Ajakan dr Paulus kpd jemaat Kristen-yahudi untuk menjadi warga-negara (Roma) yang baik, tidak ikut2 terlibat dlm revolusi Yahudi di Palestina. Argumen Paulus. Pertama, pemerintahan yg sah dan baik harus didukung, karena pemerintahan yg ada, pasti ditetapkan oleh Allah (ay.1b). Kedua. Pemerintah tidak menakutkan utk orang yg berbuat baik, tetapi jadi teror utk mereka yg jahat (ay.3). Ketiga, pemerintah adalah hamba Allah, karena: ada utk kebaikan jemaat Roma, ada utk menghukum para penjahat. Maka: dukunglah program2 demi kebaikan bersama: bayar pajak-cukai, berbuat baik,dll pasti akan hidup tanpa ketakutan. Pemerintah hamba Allah utk kebaikan kita! Implikasinya: taat kepada pemerintah yg sungguh2 seperti ‘hamba Allah’ (melayani, berkorban, dll). Ketaatan kepada pemerintah: bukan saja krn takut hukuman Allah, tetapi juga karena mengikuti suara hati (ay.5).