Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Stroke bertanggung jawab terhadap 1 dari 20 kematian yang ada di Amerika. Dan
yang paling sering menyumbang peningkatan tingkat mortalitas adalah infeksi pasca
stroke. Meskipun aspirasi dan tindakan invasive dari rumah sakit berkontribusi terhadap
infeksi pasca stroke, post-stroke immune suppression (PSI) juga memiliki peranan yang
sangat penting3.
Pasien – pasien pasca stroke yang membutuhkan perawatan intensive care unit
(ICU) memiliki prognosis yang buruk dan rentan terhadap berbagai macam komplikasi.
Komplikasi yang paling serius adalah infeksi pasca stroke yang merupakan efek imuno-
supresif dari kerusakan otak1. Tingkat infeksi yang terjadi bervariasi sekitar 33% pada
pasien iskemia cerebri dan 58% pada pasien perdarahan intraserebri dengan traktus
respiratori dan urinarius kemungkinan menjadi sumber infeksi paling utama.
Komplikasi infeksi, pneumonia, infeksi traktus urinarius dan infeksi pada sistem
organ lain sering terjadi pada stroke dengan insidensi sekitar 30%. Sementara itu infeksi
pasca stroke memiliki insidensi tingkat kematian 20%2.
Sepsis merupakan reaksi inflamasi sistemik komplek dari host terhadap infeksi.
Biasanya sepsis didiagnosa berdasarkan konsensus kriteria dari American College of
Chest Physicians (ACCP) dan Society of Critical Care Medicine (SCCM) apabila infeksi
secara klinis dapat ditegakkan dan 2 dari 4 tanda SIRS dijumpai. Istilah sepsis, severe
sepsis, dan syok septik merupakan spektrum dari infeksi dan ditandai oleh ciri – ciri di
atas (sepsis) atau dengan kombinasi kegagalan organ (severe sepsis) dan hipotensi arterial
berat (syok septik). Tingkat insidensi sepsis di ICU secara umum bervariasi antara 17,3 –
37,0 %. Karena terbatasnya pilihan terapi, prognosis sepsis masih buruk dengan tingkat
mortalitas ICU bervariasi antara 36 – 55,2%1.
Permeabilitas usus meningkat setelah terjadinya serangan stroke dan berpengaruh
terhadap tingkat keparahan stroke. Selain itu stroke juga dapat menginduksi translokasi
dan kolonisasi bakteri usus 3. Oleh karena itu keseimbangan mikrobiota juga memiliki
peran terhadap proses perkembangan infeksi pada pasien – pasien stroke.

B. Tujuan
Karena efek imunosupresif dari kerusakan otak, pasien – pasien stroke rentan
terhadap infeksi. Dimana infeksi ini dapat saja berkembang menjadi sepsis pada pasien –
pasien di ICU yang pada akhirnya akan meningkatkan tingkat mortalitas pasien post
stroke di ICU. Mikrobiota yang memiliki peran pada brain-gut axis juga memiliki peran
terhadap infeksi pada pasien pasca stroke. Karya ilmiah ini menjelaskan hubungan antara
infeksi yang berkembang menjadi sepsis pada pasien – pasien pasca stroke serta
hubungannya dengan mikrobiota.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Sepsis
Sepsis adalah kondisi emergensi yang merupakan suatu respon imunologis
sistemik tubuh terhadap proses infeksi yang dapat menyebabkan disfungsi organ dan
berakhir kematian. Meskipun sudah terjadi kemajuan pemahaman terhadap patofisiologis
dari sindrom klinis, pengukuran dan monitoring hemodinamik, dan resusitasi, sepsis
masih menjadi salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien – pasien
kritis 4. Sepsis dan syok septik adalah salah satu penyebab utama mortalitas pada pasien
dengan kondisi kritis13.
Selama beberapa tahun terakhir, pengertian kita terhadap patofisiologi yang
kompleks dari sepsis perlahan telah mengalami peningkatan, demikian juga kemampuan
kita untuk mendefinisikan sepsis. Istilah sepsis berasal dari Bahasa Yunani yang berarti
“dekomposisi” atau “kerusakan”, dan istilah tersebut diketahui telah digunakan sekitar
2700 tahun yang lalu dalam puisi Homer 7.
Pada tahun 1800, berkembang teori kuman, yang menganggap bahwa sepsis
berasal dari mikroorganisme yang berbahaya. Definisi yang lebih modern digunakan
pada tahun 1914 oleh Hugo Schottmuller yang menulis “sepsis muncul apabila terdapat
fokus infeksi yang berkembang dari bakteri patogenik yang secara konstan dan periodik
menginvasi darah sehingga muncul gejala – gejala baik baik subjektif maupun objektif 8.
Selama abad ke 20, berbagai macam penelitian dan percobaan klinis telah
dilakukan untuk mengetahui pentingnya respon imun host terhadap manifestasi dari
sepsis. Namun demikian, karena heterogenitas proses penyakit, sangat sulit untuk
mengenali, merawat, dan mempelajari sepsis. Dan pada akhirnya, pada konferensi
SCCM-ACCP tahun 1991, Roger Bone dan koleganya mendirikan fondasi untuk
konsensus definisi sepsis 9.
Pada tahun 1991, Bone dkk mengenalkan definisi luas mengenai sepsis dan
konsep systemic inflammatory response syndrome (SIRS) yang ditandai dengan
kumpulan gejala yang dipicu oleh respon inflamasi baik yang disebabkan oleh proses
infeksi maupun yang tidak disebabkan oleh proses infeksi. SIRS dapat ditandai oleh
(meskipun tidak terbatas pada) lebih dari satu gejala – gejala klinis berikut ini : suhu
tubuh abnormal yang tinggi atau rendah, hitung jenis leukosit abnormal yang tinggi atau
rendah, peningkatan denyut jantung, peningkatan respiratory rate. Dengan adanya infeksi
dan setidaknya dua gejala SIRS, maka respon sistemik tersebut dapat diindentifikasi
sebagai sepsis 10.
The sepsis -3 task force, yang diselenggarakan pada tahun 2014 oleh Society of
Critical Care Medicine (SCCM) dan European Society of Intensive Care Medicine
(EISCM), mengenalkan definisi baru untuk sepsis dan syok septik. Perubahan utama
pada definisi baru adalah bahwa sepsis harus dipicu oleh infeksi. Pemahaman patobiologi
ini menghilangkan SIRS dari definisi sepsis, karena berbagai kondisi selain infeksi dapat
menyebabkan terjadinya SIRS. Sedangkan syok septik didefinisikan sebagai subset dari
sepsis dimana dijumpai hipoperfusi pada pasien 10.
Gambar 1. Sepsis merupakan kondisi emergensi yang merupakan respon imunologis sistemik terhadap
proses infeksi10

Terminologi Definisi SSC Definisi Sepsis -3


SIRS Setidaknya ditemukan dua dari Tidak masuk dalam kriteria definisi
kriteria klinis berikut ini :
Suhu < 36oC atau > 38,3oC
Heart Rate > 90 x/menit
Respiratory Rate > 20 x/menit
atau pCO2 < 32 mmHg
Leukosit < 4000 atau > 12000
Sepsis Setidaknya ditemukan dua dari Sepsis adalah disfungsi organ yang
kriteria SIRS ditambah mengancam nyawa yang disebabkan
kecurigaan adanya infeksi karena disregulasi respon pasien terhadap
infeksi.
Dalam istilah lain, sepsis adalah kondisi
yang mengancam nyawa yang disebabkan
ketika respon tubuh terhadap infeksi
justru malah merusak tubuh dan organ –
organ.
Severe Sepsis Hipotensi yang diakibatkan Tidak masuk dalam kriteria definisi
sepsis
TDS < 90 mmHg
MAP < 70 mmHg atau
penurunan TDS 40 mmHg dari
baseline
Serum laktat > 2 mmol /L
Gejala disfungsi organ (seperti
oliguria akut)

Syok Septik Hipotensi yang diakibatkan Syok septik terjadi pada pasien dengan
sepsis dan menetap meskipun sepsis yang disertai dengan gangguan
telah dilakukan resusitasi sirkulasi dan metabolik sehingga terjadi
cairan yang adekuat dan hipotensi yang membutuhkan vasopressor
membutuhkan vasopressor untuk menjaga MAP ≥ 65 mmHg dan
untuk mensuport hemodinamik kadar serum laktat ≥ 2 mmol /L meskipun
pasien sudah dilakukan resusitasi cairan yang
adekuat.
Tabel 1. Perbandingan definisi sepsis menurut SSC dan dan Sepsis - 310

Istilah Kriteria
SIRS 2 dari 4 kriteria
Suhu > 38oC atau < 36oC
Laju Nadi > 90x/menit
Hiperventilasi dengan RR > 20x/menit atau
CO2 arteri < 32 mmHg
Leukosit > 12000 sel/uL atau < 4000 sel/L
Sepsis SIRS dengan adanya infeksi (diduga atau
sudah terbukti)
Sepsis Berat Sepsis dengan disfungsi organ
Syok Septik Sepsis dengan hipotensi walaupun sudah
diberikan resusitasi yang adekuat

Tabel 2. Kriteria untuk SIRS, Sepsis, Sepsis Berat, Syok septik berdasarkan Konsensus Konfrensi
ACCP/SCCM 199114

B. Epidemiologi Sepsis
Insidensi tahunan dari sepsis berat dan syok septik di Amerika Serikat terjadi
hingga 300 kasus per 100000 penduduk. Sepsis juga merupakan masalah kesehatan
dengan biaya pengobatan paling mahal di Amerika Serikat, yaitu sekitar 20 juta dollar
pada tahun 2011 5.
Epidemiologi secara global masih sulit diterka secara pasti. Namun diperkirakan
lebih dari 30 juta penduduk di dunia terkena sepsis setiap tahun, yang berakhir pada
kematian 6 juta penduduk setiap tahunnya. Tingkat mortalitas dari sepsis, yang diambil
dari Surviving Sepsis Campaign 2012, diperkirakan sekitar 41% di Eropa dibanding
dengan sekitar 28,3% di Amerika Serikat 6. Penelitian multisenter di Australia dan
Selandia Baru yang melibatkan 101064 pasien – pasien kritis menunjukkan bahwa
tingkat mortalitas sepsis telah menurun dalam beberapa tahun terakhir yaitu dari 35%
pada tahun 2000 menjadi sekitar 20% pada tahun 2012 4.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Berger dkk (2014) mengidentifikasi
12,6% pasien dari total populasi pasien dengan stroke iskemik atau hemoragik yang
membutuhkan perawatan di Intensive Care Unit mengalami sepsis dalam 7 hari pertama
dari onset sepsis. Paru menjadi sumber infeksi paling sering 93,3%, dan organisme gram
positif paling mendominasi dari spectrum mikrobiologi 52,4% yang telah diperiksa.
Sepsis berhubungan dengan prognosis buruk yang cukup signifikan, menyebabkan
peningkatan tingkat mortalitas 2 kali lipat selama perawatan di rumah sakit. Selain itu
dalam jurnal lain disebutkan bahaw komplikasi infeksi, pneumonia, infeksi saluran kemih
dan infeksi pada organ – organ lain pada pasien dengan stroke sering terjadi dengan
insidensi 30%. Sementara itu infeksi post stroke berkaitan dengan 20% kematian pada
stroke dan peningkatan morbiditas pasien – pasien stroke yang bertahan hidup 2.

C. Patofisiologi Sepsis
Perkembangan pemahaman kita mengenai patobiologi molekular dan imunologi
sepsis telah meningkat secara bermakna. Sebelumnya dianggap bahwa manifestasi
hemodinamik dari sepsis terutama berhubungan dengan respon host yang hiperimun
terhadap pathogen tertentu. Namun, penelitian yang lebih besar mengenai konsep
molekuler pada sepsis telah membukakan konsep yang lebih dalam dan mendetail antara
agen infeksius dan host yang secara bersamaan menghasilkan manifestasi heterogen dari
sepsis 11.
Imunitas bawaan dan mediator inflamasi4
Langkah pertama terjadinya inisiasi respon host terhadap patogen adalah aktivasi
dari sel imun bawaan, yang terdiri dari makrofag, monosit, neutrophil, dan natural killer
cells. Hal ini terjadi melalui ikatan pathogen – associated molecular patterns (PAMPs),
seperti endotoxin bakteri dan β-glucans jamur terhadap reseptor – reseptor spesifik.
Sumber interaksi lain adalah damage-associated molecular pattern (DAMPs) yang
berupa material – material intraselular atau molekul yang dilepaskan oleh sel – sel host
yang mati atau rusak, seperti ATP dan DNA mitokondria. Ikatan tersebut terjadi pada
reseptor – reseptor spesifik pada monosit dan makrofag seperti toll-like receptors (TLR),
C-type leptin receptors, NOD-like receptors dan RIG-1 like receptors. Ikatan – ikatan ini
menyebabkan aktivasi jalur sinyal transduksi intraselular yang pada akhirnya akan
melepaskan sitokin – sitokin proinflamasi seperti TNFα, IL-1, dan IL-6. Selain itu,
beberapa reseptor pengenal pola seperti grup NOD-like receptor, dapat membentuk
protein kompleks yang lebih besar yang disebut sebagai inflammasom yang terbukti
memiliki peran dalam produksi sitokin – sitokin penting seperti IL-1β, dan IL-18, serta
caspase yang terlibat dalam pemrograman kematian sel. Sitokin proinflamasi
menyebabkan aktivasi dan proliferasi dari leukosit, aktivasi dari sistem komplemen,
upregulasi dari molekul adesi endotel dan ekspresi kemokin, produksi tissue factor. Pada
sepsis, terdapat kelebihan dari respon imun di atas yang menyebabkan kerusakan
kolateral dan kematian jaringan serta sel – sel host.
Disregulasi homeostasis4
Pada sepsis, terdapat titik temu antara jalur inflamasi dan homeostatik, dengan
aktivasi secara simultan terhadap kaskade inflamasi dan koagulasi. Spektrum dari
interaksi ini sangat bervariasi dari trombositopenia ringan hingga disseminated
intravascular coagulation (DIC). Penyebab disregulasi koagulasi pada sepsis bersifat
multifaktorial. Hiperkoagulabilitas pada sepsis dianggap disebabkan oleh pelepasan
tissue factor dari sel endotel yang mengalami kerusakan (termasuk monosit dan sel – sel
PMN). Hal ini didukung dengan penelitian secara in vitro model endotoksemia dan
bakterimia menunjukkan adanya inhibisi lengkap produksi thrombin yang diinduksi
inflamasi dengan blokade tissue factor. Tissue factor menyebabkan aktivasi sistemik dari
kaskade koagulasi yang menghasilkan produksi trombin, aktivasi platelet,dan
pembentukan gumpalan platelet – fibrin. Mikrotrombus ini pada akhirnya akan
menyebabkan gangguan perfusi lokal sehingga terjadi hipoksia dan kematian jaringan.
Selain efek prokoagulan seperti yang dijelaskan di atas, terdapat juga efek
antikoagulan yang berasal dari protein C dan antitrombin yang akan menormalkan
kaskade koagulasi. Protein C akan dirubah menjadi bentuk aktifnya (protein C
teraktivasi) oleh trombomodulin yang juga diaktivasi oleh trombin. Protein C teraktivasi
memiliki efek antikoagulan dengan mendegradasi faktor Va dan VIIIa, bekerja bersama
dengan protein S teraktivasi. Diketahui juga bahwa protein C dan protein S memiliki efek
anti inflamasi yang potent melalui inhibisi TNFα, IL-1β, dan IL-6 dan membatasi adesi
neutrofil serta monosit ke endotelium. Pada pasien – pasien dengan inflamasi sistemik
berat, seperti sepsis, terjadi penurunan kadar protein C dan protein S pada plasma,
downregulasi dari trombomodulin, yang menyebabkan propagasi tidak teratur dari
kaskade koagulasi.
Imunosupresi4
Menariknya, keadaan proinflamasi awal dari sepsis seringkali digantikan oleh
keadaan imunosupresi berkepanjangan. Terdapat penurunan jumlah sel T (helper dan
sitotoksik) sebagai akibat dari apoptosis dan menurunnya respon terhadap sitokin
inflamasi. Penelitian post-mortem terhadap pasien – pasien ICU yang meninggal karena
sepsis menunjukkan adanya penurunan jumlah CD4+ dan CD8+, yang paling jelas
terlihat adalah pada organ limfoid seperti spleen. Penelitian juga menunjukkan penurunan
produksi dari sitokin yang memiliki peran penting seperti IL-6 dan TNF sebagai respon
terhadap endotoxin.
Penemuan di atas menunjukkan bahwa sistem imun pada individu yang sepsis
tidak akan mampu memberikan respon imun yang efektif terhadap infeksi sekunder
bakteri, virus, ataupun jamur. Limfopenia dapat digunakan sebagai biomarker
imunosupresi pada sepsis.
Disfungsi sel, jaringan, dan organ4
Mekanisme yang mendasari disfungsi jaringan dan organ pada sepsis adalah
berkurangnya delivery dan penggunaan oksigen oleh sel – sel sebagai hasil dari
hipoperfusi. Hipoperfusi terjadi karena disfungsi kardiovaskular seperti yang terlihat pada
sepsis. Beberapa penelitian menunjukkan adanya disfungsi sistolik dan diastolik dengan
penurunan stroke volume dan peningkatan volume end – diastolic serta end - sistolik
pada sepsis.
Pada sepsis karena terjadi dilatasi pada arteri dan vena yang diinduksi oleh
mediator – mediator inflamasi serta berkurangnya venous return maka terjadi syok
hipotensif dan distributif. Terjadi dilatasi pada tiga komponen mikrovaskular – arteriol,
venula, dan kapiler. Hal in diperberat dengan kebocoran cairan intravascular ke celah
interstitial yang disebabkan karena kerusakan fungsi barrier endotel yang diakibatkan
karena perubahan kaderin endotel dan tight junctions. Semua perubahan di atas pada
hemodinamik tubuh yang disertai dengan thrombosis mikrovaskular dapat menyebabkan
hipoperfusi jaringan dan organ. Sebagai akibatnya terjadi peningkatan glikolisis anaerob
pada sel sehingga produksi asam laktat juga meningkat.
Selain itu, ROS (reactive oxygen spesies) yang dihasilkan oleh respon inflamasi
menyebabkan terjadinya disfungsi mitokondria dan penurunan kadar ATP. Mekanisme
tersebut menyebabkan kerusakan di tingkat seluler.
Terjadi perubahan yang signifikan pada endotel yang diakibatkan gangguan
fungsi barier, vasodilatasi, peningkatan adesi leukosit, dan pembentukan kondisi
prokoagulan. Semua hal ini akan menyebabkan akumulasi cairan pada celah interstitial,
rongga tubuh, dan jaringan subkutaneus. Di paru – paru terjadi gangguan barier alveolar -
endotel dengan akumulasi cairan kaya protein pada celah interstitial paru dan alveoli. Hal
ini dapat menyebabkan mismatch ventilasi – perfusi, hipoksia, dan penurunan komplians
paru menyebabkan acute respiratory distress syndrome (ARDS) pada kondisi yang
ekstrim. Di ginjal, kombinasi perfusi ginjal yang menurun, nekrosis tubular akut, dan
kerusakan – kerusakan mikrovaskulatur lain menyebabkan acute kidney injury (AKI)
dengan derajat keparahan yang bervariasi. Pada traktus gastrointestinal, peningkatan
permeabilitas pada tepi mukosa akan meningkatkan proses translokasi bakteri melewati
dinding usus serta autodigest oleh enzim – enzim luminal. Di hepar, terdapat supresi
pembersihan bilirubin yang mengakibatkan terjadinya kolestasis. Perubahan status mental
sering terjadi pada sepsis dan menandakan disfungsi CNS. Perubahan – perubahan
endotel seperti yang telah dijelaskan di atas merusak sawar darah otak, menyebabkan
masuknya toxin, sel – sel inflamasi, dan sitokin.
Sepsis diketahui akan menyebabkan kondisi katabolik. Terjadi kerusakan otot
yang cepat dan signifikan untuk menghasilkan asam amino untuk gluconeogenesis yang
akan memberikan bahan bakar terhadap sel – sel imun. Selain itu, peningkatan resistensi
insulin dapat menyebabkan hiperglikemia.
Gambar 2. Gambar Rantai Koagulasi dengan dimulainya respon inflamasi, trombosis, dan fibrinolisis
terhadap infeksi 12
Untuk memperingkas kompleksitas pathogenesis dari sepsis, terdapat 4 hal utama
yang dapat digaris bawahi 16:
1. Disfungsi Endotel
Aktivasi endotel secara general meningkatkan ekspresi sejumlah adhesin leukosit,
dengan peningkatan transmigrasi leukosit ke dalam jaringan. Permeabilitas
endothelium juga meningkat, pada paru hal ini akan menyebabkan edema paru
interstitial dan pada usus akan meningkatkan translokasi bakteri, yang secara
potensial akan memperparah kaskade inflamasi yang sudah diinisiasi oleh produk –
produk mikrobial.
2. Koagulopati
Perubahan koagulasi sangat lumrah terjadi pada sepsis. Kerusakan endotel akan
menghilangkan fungsi proteksi dan antikoagulasi alami protein C dan merubah
endotel menjadi lapisan protrombotik. Selain itu, produk – produk bakteri dan sitokin
inflamasi akan mengaktivasi tissue factor, inisiator utama dari jalur ekstrinsik
koagulasi darah. Keadaan protrombotik ini akan menyebabkan blokade
mikrovaskular, yang memberikan kesempatan terjadinya koagulasi konsumsi
(disseminated intravaskular coagulation). Produk – produk gram positif juga dapat
secara langsung mengaktivasi sistem pembekuan.
3. Disfungsi selular
Salah satu enigma di lapangan adalah bahwa pada kasus – kasus yang paling berat
sekalipun seperti sepsis letal, penelitian post mortem menunjukkan sedikit bukti
adanya kematian sel, meskipun terjadi disfungsi organ dimana – mana. Secara
molekular, hal ini masih belum jelas, meskipun terjadinya penurunan pelepasan
energi secara general menunjukkan adanya proses seperti hibernasi pada sel. Hal –
hal yang terjadi secara bersamaan dalam fungsi selular antara lain perubahan
metabolik, peningkatan katabolisme, resistensi insulin dan hiperglikemia.
4. Disfungsi kardiovaskular
Beberapa penelitian telah menunjukkan pasien – pasien dengan sepsis terjadi
penurunan resistensi vaskular sistemik (SVR) dengan cardiak output yang normal
maupun yang meningkat, yang disebut sebagai kondisi hiperdinamik sepsis. Cardiak
output dipertahankan dengan dilatasi dari ventrikel kiri, dengan fraksi ejeksi yang
menurun dan penurunan stroke output ventrikel kiri sebagai respon terhadap
peningkatan volume diastolik. Perubahan ini dapat menyebabkan hipotensi yang
menjadi karakteristik syok septic. Perubahan pada SVR kemungkinan besar
disebabkan karena produksi yang berlebihan dari nitrit oksida pada pembuluh darah,
yang akan sulit dikoreksi dengan vasopressor. Perfusi jaringan yang buruk juga
menjadi sebab meningkatnya laktat yang terlihat pada syok septic, meskipun
mekanisme patofisiologi lain juga masih mungkin dapat terjadi.
Diagram 1. Rantai Koagulasi dengan dimulainya respon inflamasi, trombosis, dan fibrinolisis terhadap
infeksi 12
Diagram 2. Kunci patofisiologi yang terjadi pada sepsis, dan kombinasinya yang menyebabkan
terjadinya multiorgan failure 16

D. Diagnosis Sepsis
Pada bulan Oktober tahun 1994 European Society of Intensive Care Medicine
mengeluarkan suatu konsensus yang dinamakan sepsis-related organ failure assessment
(SOFA) score untuk menggambarkan secara kuantitatif dan seobjektif mungkin tingkat
dari disfungsi organ. 2 hal penting dari aplikasi dari skor SOFA ini adalah : 1.
Meningkatkan pengertian mengenai perjalanan alamiah disfungsi organ dan hubungan
antara kegagalan berbagai organ, 2. Mengevaluasi efek terapi baru pada perkembangan
disfungsi organ.
Pada tahun 2001, SCCM, ACCP dan European Society of Critical Care Medicine
(ESICM) merevisi definisi sepsis dan menambahkan tingkat dari sepsis dengan akronim
PIRO (Predisposition, Infection, Response to the infectious challenge, and Organ
dysfunction). Kemudian pada tahun 2016, SCCM dan ESCIM mengeluarkan konsensus
internasional yang ketiga yang bertujuan untuk mengidentifikasi pasien dengan waktu
perawatan di ICU dan risiko kematian yang meningkat. Konsensus ini menggunakan skor
SOFA (Sequential Organ Failure Assesment) dengan peningkatan angka sebesar 2, dan
menambahkan kriteria baru seperti adanya peningkatan kadar laktat walaupun telah
diberikan cairan resusitasi dan penggunaan vasopressor pada keadaan hipotensi 13.
Istilah Sepsis menurut konsensus terbaru adalah keadaan disfungsi organ yang
mengancam jiwa yang disebabkan karena disregulasi respon tubuh terhadap infeksi.
Penggunaan kriteria SIRS untuk mengidentifikasi sepsis dianggap sudah tidak membantu
lagi. Kriteria SIRS seperti perubahan dari kadar sel darah putih, temperatur, dan laju nadi
menggambarkan adanya inflamasi (respon tubuh terhadap infeksi atau hal lainnya).
Kriteria SIRS tidak menggambarkan adanya respon disregulasi yang mengancam jiwa.
Keadaan SIRS sendiri dapat ditemukan pada pasien yang dirawat inap tanpa ditemukan
adanya infeksi 15.
Disfungsi organ didiagnosis apabila peningkatan skor SOFA ≥ 2. Dan istilah
sepsis berat sudah tidak digunakan kembali. Implikasi dari definisi baru ini adalah
pengenalan dari respon tubuh yang berlebihan dalam patogenesis dari sepsis dan syok
septik, peningkatan skor SOFA ≥ 2 untuk identifikasi keadaan sepsis dan penggunaan
quick SOFA (qSOFA) untuk mengidentifikasi pasien sepsis di luar ICU13.
Walaupun penggunaan qSOFA kurang lengkap dibandingkan penggunaan skor
SOFA di ICU, qSOFA tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium dan dapat
dilakukan secara cepat dan berulang. Penggunaan qSOFA diharapkan dapat membantu
klinisi dalam mengenali kondisi disfungsi organ dan dapat segera memulai atau
15
mengeskalasi terapi . Dan septik syok didefinisikan sebagai keadaan sepsis dimana
abnormalitas sirkulasi dan selular/ metabolik yang terjadi dapat menyebabkan kematian
secara signifikan. Kriteria klinis untuk mengidentifikasi septik syok adalah adanya sepsis
dengan hipotensi persisten yang membutuhkan vasopressor untuk menjaga mean arterial
pressure (MAP) ≥ 65 mmHg, dengan kadar laktat ≥ 2 mmol/L walaupun telah diberikan
resusitasi cairan yang adekuat 13.
Tabel 3. Skor SOFA (sequential organ failure assessment)15

Tabel 4. Skor qSOFA (quick sequential organ failure assessment)15


E. Tatalaksana Sepsis
Komponen dasar dari penanganan sepsis dan syok septik adalah resusitasi awal,
vasopressor/ inotropik, dukungan hemodinamik, pemberian antibiotik awal, kontrol
sumber infeksi, diagnosis (kultur dan pemeriksaan radiologi), tata laksana suportif
(ventilasi, dialisis, transfusi) dan pencegahan infeksi 5.
Transisi dari sepsis hingga multiple organ failure dapat dicegah dengan resusitasi
syok yang cepat dan tepat. Gagasan bahwa severe inflammatory response syndrome
(SIRS), sepsis, dan sepsis berat adalah bagian dari proses yang berkelanjutan dan bahwa
SIRS dapat dibatasi jika ditindaklanjuti sejak awal membentuk dasar terapi early goal
directed therapy (EGDT). Prinsip dasar EGDT adalah identifikasi pasien berisiko tinggi,
kultur yang tepat, kontrol sumber, dan pemberian antibiotik awal yang tepat, yang
kemudian diikuti oleh optimalisasi hemodinamik awal pemberian oksigen dan penurunan
konsumsi oksigen. Tujuan resusitasi awal pada hipoperfusi yang diinduksi sepsis antara
lain tekanan vena sentral (CVP) 8-12 mmHg, tekanan arteri rata - rata (MAP) 65 mmHg,
urin output 0,5 mL kg − 1 jam − 1, dan saturasi oksigen vena kava superior (ScvO2) atau
saturasi vena campuran masing-masing 70% atau 65%. Rivers et al. menyimpulkan
EGDT yang dilakukan selama enam jam pertama, dapat menurunkan secara absolut
15,9% tingkat kematian dalam 28 hari ketika resusitasi menargetkan hal – hal yang
disebutkan di atas tadi pada pasien dengan sepsis berat atau syok septik yang datang ke
unit gawat darurat 9.
Early Goal-Directed Therapy (EGDT) yang dikembangkan oleh Rivers et al pada
tahun 2001 merupakan komponen penting dalam protokol sebelumnya. Rivers et al
mengevaluasi efikasi dari EGDT pada 263 pasien dengan infeksi dan hipotensi atau kadar
serum laktat ≥ 4 mmol/L yang dilakukan randomisasi dan diberikan resusitasi standar
atau EGDT (133 kontrol dengan 130 EGDT) di ruang IGD sebelum dipindahkan ke
ruang ICU. Selama 6 jam di ruang IGD, pasien dengan terapi EGDT mendapatkan terapi
cairan, transfusi darah, dan inotropik lebih banyak dibandingkan grup kontrol. Kemudian,
selama 6 – 72 jam di ruang ICU setelah mendapatkan terapi EGDT kelompok pasien ini
memiliki tingkat ScvO2 dan pH yang lebih tinggi dengan kadar laktat dan defisit basa
yang lebih rendah. Skor disfungsi organ lebih baik secara signifikan pada kelompok
pasien EGDT. Hal ini juga berhubungan dengan masa inap rumah sakit yang lebih
singkat dan penurunan komplikasi kardiovaskular seperti henti jantung, hipotensi, dan
gagal nafas akut 9.
Pedoman Surviving Sepsis Campaign tahun 2004, memasukkan EGDT ke dalam
bundel resusitasi sepsis 6 jam pertama. Beberapa penelitian yang dilakukan setelahnya
melaporkan penurunan serupa terhadap tingkat mortalitas dalam 28 hari dengan EGDT
atau bundel resusitasi sepsis. Hampir dua dekade setelah penelitian Rivers,
penatalaksanaan sepsis telah berkembang, dan telah terjadi penurunan mortalitas akibat
sepsis berat secara keseluruhan 9.
Bundle care adalah kelompok perawatan yang ditentukan atas dasar bukti terbaik,
dan telah diketahui menghasilkan manfaat lebih besar ketika diimplementasikan bersama
daripada sebagai terapi tersendiri. Pedoman Surviving Sepsis Campaign tahun 2008
menggabungkan bundle resusitasi sepsis yang akan dicapai dalam 6 jam dan bundel
manajemen sepsis yang akan dicapai dalam 24 jam. Pada 2012, bundle resusitasi 6 jam
dimodifikasi menjadi dua bundel: “bundle resusitasi sepsis berat 3 jam” dan “bundle syok
septik 6 jam”, yang berisi semua tujuan terapi yang harus diselesaikan, masing-masing,
dalam 3 dan 6 jam presentasi dengan syok septik. Pada 2018, 3 dan 6-jam bundle telah
digabungkan dalam satu bundle 1-jam.
Bundel resusitasi 3-jam Bundel syok septik 6-jam
i. Ukur serum laktat awal i. Gunakan vasopresor (untuk
ii. Dapatkan kultur darah sebelum hipotensi tidak responsif
pemberian antibiotik terhadap resusitasi cairan awal)
iii. Berikan antibiotik spektrum luas untuk mempertahankan MAP
iv. Berikan 30 mL kg − 1 kristaloid untuk lebih dari atau sama dengan 65
hipotensi atau laktat lebih dari atau mmHg
sama dengan 4 mmol L − 1 ii. Jika terjadi hipotensi persisten
meskipun resusitasi cairan (syok
septik) atau laktat ⩾ 4 mmol L −
1, ukur CVP dan ScvO2

Terlepas dari penerapan rekomendasi Surviving Sepsis Campaign, implementasi


bundle care terhadap manajemen sepsis dilakukan secara terbatas karena pertimbangan
validitas eksternal terhadap hasil kompleksitas manajemen, dan resiko potensial
pemasangan central line yang dibutuhkan untuk pengukuran CVP dan monitoring ScvO2.
Pada 2014–2015, tiga uji coba terkontrol secara acak dan multisenter, dilakukan di
Amerika Serikat (Protocolozed Care for Early Septic Shock (ProCESS)), Inggris
(Protocolised Management in Sepsis) (ProMISe)), dan Australia (Australian
Resuscitation in Sepsis Evaluation) (ARISE)). Studi-studi ini menunjukkan bahwa
protokol EGDT seperti yang dijelaskan oleh Rivers et al. tidak meningkatkan
kelangsungan hidup. Beberapa tinjauan sistematis dan meta-analisis yang dilakukan
setelahnya juga menunjukkan bahwa EGDT tidak mengurangi angka kematian secara
keseluruhan 9.
Pada tahun 2014, protokol EGDT ini dibandingkan dengan 3 protokol lain seperti
ARISE (Australasian Resuscitation in Sepsis Evaluation), ProMISe (Protocolized
Management in Sepsis), dan ProCESS (Protocolized Care for Early Septic Shock) dan hal
ini mengubah rangkaian 6 jam dalam Surviving Sepsis Guideline dimana pengukuran
tekanan vena sentral dan saturasi oksigen vena sentral tidak dilakukan lagi 5. Dalam
protokol yang dikeluarkan pada tahun 2016, target resusitasi EGDT telah dihilangkan,
dan merekomendasikan keadaan sepsis diberikan terapi cairan kristaloid minimal sebesar
30 ml/kgBB dalam 3 jam atau kurang. Dengan dihilangkannya target EGDT yang statik
(tekanan vena sentral), protokol ini menekankan pemeriksaan ulang klinis sesering
mungkin dan pemeriksaan kecukupan cairan secara dinamis (variasi tekanan nadi arterial)
17
.
Hal ini merupakan perubahan yang signifikan, karena pada protokol sebelumnya
merekomendasikan bahwa klinisi harus menentukan angka tekanan vena sentral secara
spesifik dan ternyata tekanan vena sentral memiliki manfaat terbatas untuk menentukan
respon tubuh terhadap pemberian cairan. Protokol ini menekankan bahwa klinisi harus
melakukan teknik “fluid challenge” untuk mengevaluasi efektivitas dan keamanan dari
pemberian cairan. Ketika status hemodinamik membaik dengan pemberian cairan,
pemberian cairan lebih lanjut dapat dipertimbangkan. Namun pemberian carian harus
dihentikan apabila respon terhadap pemberian cairan tidak memberikan efek lebih lanjut.
Maka dari itu, protokol ini telah berubah dari strategi resusitasi kuantitatif ke arah terapi
resusitasi yang fokus terhadap kondisi pasien tersebut dengan dipandu pemeriksaan
dinamis untuk mengevaluasi respon dari terapi tersebut 18. Pemeriksaan lain yang dapat
digunakan seperti carotid doppler peak velocity, passive leg raising, ekokardiografi 5.
Karena infeksi menyebabkan sepsis, penanganan infeksi merupakan komponen
penting dalam penanganan sepsis. Tingkat kematian akan meningkat dengan adanya
penundaan penggunaan antimikroba. Untuk meningkatkan keefektifitas penggunaan
antibiotik, penggunaan antibiotik berspektrum luas sebaiknya disertai dengan kultur dan
17
identifikasi sumber penularan kuman . Dan hal ini dilakukan sesegera mungkin.
Protokol terbaru merekomendasikan bahwa penggunaan antibiotik harus diberikan
maksimal dalam waktu 1 jam. Rekomendasi ini berdasarkan berbagai penelitian yang
menunjukkan bahwa penundaan dalam penggunaan antibiotik berhubungan dengan
peningkatan resiko kematian 18. Penggunaan vasopressor yang direkomendasikan adalah
norepinefrin untuk mencapai target MAP ≥ 65 mmHg. Penggunaan cairan yang
direkomendasikan adalah cairan kristaloid dengan dosis 30 ml/kgBB dan diberikan
dengan melakukan fluid challenge selama didapatkan peningkatan status hemodinamik
berdasarkan variabel dinamis (perubahan tekanan nadi, variasi volum sekuncup) atau
statik (tekanan nadi, laju nadi). Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Bernard et al ,
penggunaan drotrecogin α (Human Activated Protein C) menurunkan tingkat kematian
pada pasien dengan sepsis. Protein C yang teraktivasi akan menghambat pembentukan
thrombin dengan menginaktifasi factor Va, VIIIa dan akan menurunkan respon inflamasi
11
.

F. Prognosis
Sebagai bagian dari penelitian Protein C Worldwide Evaluation in Severe Sepsis
(PROWESS) pada tahun 2004, analisis dilakukan terhadap 19 biomarker yang terkait
dengan respon host sistemik dalam sepsis dan hubungannya dengan keparahan penyakit
dan outcome-nya. Itu menunjukkan korelasi yang signifikan antara marker umum
koagulopati dan inflamasi seperti plasminogen activator inhibitor - 1 (PAI-1), D-dimer,
prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (APTT), thrombin
activatable fibrinolysis inhibitor (TAFI), dan protein C dan lainnya (IL-6, IL-8, IL-10)
dengan tingkat keparahan sepsis yang diukur dengan skor Acute Physiology and Chronic
Health Evaluation (APACHE) II. Kadar baseline dan perubahan pada kadar marker –
marker tersebut dalam 28 hari survival pada sepsis berat berhubungan dengan penurunan
inflamasi, cedera endotel, dan pembentukan trombin, serta penambahan faktor
antikoagulan. Penelitian lain yang melihat secara khusus pada tes fungsi tiroid sebagai
prediktor potensial dari outcome yang buruk pada sepsis gagal menunjukkan efek
prognostik dari panel fungsi tiroid. Mester et al. memeriksa kadar PAI dalam sepsis yang
terjadi pada pasien leukositopenik dan menemukan bahwa pengukuran aktivitas PAI
adalah marker yang sensitif untuk memprediksi prognosis yang buruk pada pasien sepsis.
Konsentrasi BNP plasma telah ditemukan berfungsi sebagai biomarker yang dapat
diandalkan untuk identifikasi pasien yang mengalami depresi miokard yang diinduksi
sepsis. Lebih khusus lagi, kadar BNP pada hari ke-5 dapat menjadi penanda prognostik
yang efektif untuk mengidentifikasi pasien dengan risiko tinggi untuk outcome yang
buruk. Saat ini, tidak ada tes tunggal yang dapat digunakan untuk memprediksi kematian
dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Marker - marker yang dijelaskan
di atas masih belum siap untuk digunakan secara luas untuk berbagai kondisi klinis 9.

G. Otak, Sepsis, dan Mikrobiota


Stroke bertanggung jawab terhadap 1 dari setiap 20 kematian di Amerika Serikat.
Kontributor utama terhadap kematian adalah infeksi post – stroke. Meskipun aspirasi dan
prosedur invasif rumah sakit berkontribusi terhadap infeksi pasca stroke, post stroke
immune suppression (PSI) juga memainkan peran penting. PSI juga ditandai dengan
limfopenia dan fungsi monosit terganggu, sehingga terganggunya kedua lengan sistem
imun ini akan menyebabkan sistem imun host rentan terhadap serangan berbagai macam
patogen. Stroke dapat menyebabkan infeksi bakteri spontan karena adanya PSI. Selain
itu terdapat juga translokasi bakteri atau komponen dari bakteri yang melewati sawar
usus menuju lokasi – lokasi ekstraintestinal. Permeabilitas usus meningkat setelah
serangan stroke dan hal ini berkaitan dengan tingkat keparahan stroke. Translokasi
bakteri terutama terjadi melalui limfatik, dengan bakteri dari usus menuju limfo nodus
mesenterikus 3.
Stroke seringkali disertai dengan komplikasi infeksi yang berkontribusi terhadap
peningkatan morbiditas dan mortalitas. Faktor resiko penting yang berpengaruh terhadap
infeksi post stroke adalah usia tua. Usia meningkatkan prevalensi translokasi bakteri
meskipun tidak dalam kondisi stroke 3.
Beberapa penelitian melaporkan terjadinya perubahan yang signifikan terhadap
populasi flora usus pada usia lanjut dan microbiota pada orang usia lanjut kaya dengan
bakteri gram negatif yang dapat memproduksi endotoksin seperti Bacteroides dan
Gammaproteobacteria, yang termasuk bakteri dari genera Escherichia dan Enterobacter.
Kedua genera yang disebut terakhir tersebut berkaitan dengan sepsis dan menyebabkan
mortalitas dengan tingkat mortalitas yang hampir sama selama bakteremia.
Bukti peningkatan permeabilitas usus juga terlihat pada penyakit – penyakit
neurologis lain seperti multiple sclerosis. Transfer adoptif dari sel T ensefalitogenik
autoreaktif merusak barier usus, sel T memiliki peran yang penting dalam proses ini.
Inflamasi pada usus, yang dimediasi oleh pelepasan IL-17, TNFα, dan IFNγ oleh T helper
dan antigen – precenting cell akan merusak tight junction dan permeabilitas membrannya.
Sebagai akibatnya, bakteri intestinal dan produk – produknya dapat melewati barier usus
dan mengaktivasi limfosit yang bersirkulasi, meningkatkan potensi mereka untuk
terjadinya cedera ketika diambil oleh otak yang iskemik. Sel T memiliki peran pada
pertahanan sel imun terhadap translokasi bakteri, dimana apabila jumlah sel T berkurang
akan meningkatkan ekstravasasi bakteri dari usus. Aktivitas fagositik dari sel – sel
mononuclear juga diregulasi melalui sekresi dari IFNγ oleh sel T helper tipe 1. Karena
pada stroke terjadi penurunan jumlah limfosit, maka dimungkinkan bila imunosupresi
yang diinduksi oleh stroke, dalam kombinasinya dengan meningkatnya permeabilitas
intestinal, akan menyebabkan translokasi bakteri dari usus ke mesenterich lymph nodes
(MLN) 3.
Probiotik memodulasi sistem imun bawaan dan adaptif pada dosis dan strain
tertentu. Secara umum, strain Lactobacilli dan Bifidobacteria telah menunjukkan dapat
memicu produksi dari IgA dan IgG sekretori. Konsentrasi aktivitas IgA yang tinggi di
dalam usus sangat penting untuk menjaga barier usus melawan translokasi bakteri
patogenik, terutama organisme gram negatif.
CRP yang seringkali digunakan sebagai marker dari inflamasi sistemik adalah
protein fase akut yang diproduksi oleh liver dan sel – sel endotel. CRP menghambat
produksi dari sitokin dan kemokin proinflamasi, yang terdiri dari TNFα dan interferon-γ
dan juga menunjukkan aktivitas antimikroba yang cukup penting. CRP memiliki efek
protektif dalam mencegah onset penyakit pada tikus transgenik – rentan lupus, yang
memberi kesan peran CRP pada sepsis tidak sekadar marker inflamasi saja. Lebih jauh
dari itu, pemeliharaan konsentrasi CRP dengan probiotik menjadi sesuatu yang
menjanjikan untuk mengobati infeksi sistemik melalui aktivitas antimikrobanya 19.

BAB III
KESIMPULAN

Sepsis tetap menjadi beban signifikan pada sistem kesehatan di seluruh dunia.
Namun, kemajuan yang dibuat dalam memahami patogenesisnya dan upaya ekstensif
dalam menyusun pedoman untuk manajemennya yang efektif dalam 20 tahun terakhir
melebihi apa pun yang telah dilakukan sebelumnya. Belum ada peluru ajaib untuk
pengelolaan sepsis. Namun, langkah-langkah seperti penggunaan segera antibiotik dan
resusitasi hemodinamik, penggunaan ventilator yang tepat, dan transfusi yang bijaksana
dari produk darah telah memainkan peran penting dalam mengurangi morbiditas dan
mortalitas. Penggunaan modalitas presisi yang lebih baru seperti imunomodulator, yang
saat ini masih dalam tahap pengembangan, menawarkan bidang penyelidikan yang
menjanjikan. Pengembangan skor seperti APACHE-II dan penilaian kegagalan organ
sekuensial (SOFA) telah memberikan alat klinis yang sederhana namun bermanfaat
dalam penilaian dan prognostikasi sepsis. Definisi sepsis terus menjadi subjek yang
diperdebatkan dengan pedoman terbaru yang mengabaikan kriteria SIRS yang
sebelumnya digunakan dan mengusulkan definisi yang lebih kompleks berdasarkan
disfungsi multiorgan dan skor SOFA. Diharapkan bahwa ini akan meningkatkan akurasi
diagnosis sepsis untuk keperluan pengkodean klinis, epidemiologis, dan rumah sakit.
Masih harus dilihat apakah akan ada adopsi dan implementasi yang lebih luas dari
rekomendasi ini oleh fasilitas dan penyedia layanan kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Berger B, Gumbinger C, Steiner T, Sykora M. Epidemiologic features, risk factors, and


outcome of sepsis in stroke patients treated on a neurologic intensive care unit. Journal of
Critical Care 29, 2014; 241 – 248.
2. Shi K, Wood K, Shi FD, Wang X, Liu Q. Stroke – induced immunosuppression and
poststroke infection. Stroke and vascular neurology, 2018; 3:e000123.
3. Crapser J, Ritzel R, Verma R, Venna VR, Liu F, Chauhan A, et al. Ischemic stroke
induces gut permeability and enhances bacterial translocation leading to sepsis in aged
mice. Aging; 2016 (8) 5 : 15p.
4. Kaukonen K, Bailey M, Suzuki S, et al. Mortality related to severe sepsis and septic
shock among critically Ill patients in Australia and New Zealand, 2000–2012. JAMA
2014; 311(13): 1308–1316.
5. Torio CM and Andrews RM. National inpatient hospital costs: the most expensive
conditions by payer, 2011. Statistical Brief #160. August, 2013. Rockville, MD: Agency
for Healthcare Research and Quality.
6. Levy MM, Artigas A, Phillips GS, et al. Outcomes of the surviving sepsis campaign in
intensive care units in the USA and Europe: a prospective cohort study. Lancet Infect Dis
2012; 12(12): 919–924.
7. Funk DJ, Parrillo JE and Kumar A. Sepsis and septic shock: a history. Crit Care Clin
2009; 125(1): 83–101.
8. Gül F, Arslantaş MK, Cinel I, et al. Changing definitions of sepsis. Turk J Anaesthesiol
Reanim 2017; 45(3): 129–138.
9. Gyawali B, Ramakrishna K, Dhamoon AS. Sepsis : the evolution in definition,
pathophysiology, and management. Sage open medicine, 2019 (7) : 1-13.
10. Makic MBF, Bridges E. Managing Sepsis and septic shock : current guidelines and
definitions. American Journal of Nursing, 2018 (118); 2 : 33-39.
11. Singer M, Deutschman CS, Seymour CW, et al. The third international consensus
definitions for sepsis and septic shock (sepsis-3). JAMA 2016; 315(8) : 801-810.
12. Irvan, Febyan, Suparto. Sepsis dan tata laksana berdasar Guideline terbaru. Jurna
Anestesiologi Indonesia; 2018, vol X (1) : 62-73.
13. Mehta Y, Kochar G. Sepsis and septic shock. Journal of Cardiac Critical Care TSS. 2017;
1(1): 3-5.
14. Mayr FB, Yende S, Angus DC. Epidemiology of severe sepsis. Virulence. 2013; 5(1): 4-
11.
15. Singer M, Deutschman CS, Seymour CW, Hari MS, Annane D, Bauer M, et al. The third
international concensus definitions for sepsis and septic shock (sepsis-3). JAMA. 2016:
315 (8): 801-10.
16. Evans T. Diagnosis dan management of sepsis. Clinical Medicine, 2018; Vol 18 (2) : 146
– 9.
17. Howell MD, Davis AM. Management of sepsis and septic shock. JAMA. 2017; 317(8):
847-8.
18. Backer D, Dorman T. Surviving sepsis guidelines: a continuous move toward better care
of patients with sepsis. JAMA. 2017; 317(8): 807-8.
19. Alberda C, Gramlich L, Meddings J, Field C, McCargar L, Kutsogiannis D, et al. Effects
of probiotic therapy in critically ill patients : a randomized, double-blind, placebo-
controlled trial. Am J Clin Nutr, 2007; 85: 816 – 23.

Anda mungkin juga menyukai