Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Carpal Tunnel Syndrom (CTS) adalah sindrom yang terjadi karena adanya
suatu kompresi atau penekanan pada nervus medianus sebagai akibat dari
1,2
penyempitan pada terowongan karpal . Penyempitan tersebut bisa terjadi
karena edema fasia pada terowongan karpal atau karena adanya kelainan
struktur tulang kecil tangan 2. CTS merupakan sindrom kompresi yang paling
sering terjadi. Penyebab utamanya adalah idiopatik 1. Sindrom ini menjadi
masalah utama yang sering terjadi pada wanita.
Salah satu kasus neuropati nervus medianus post traumatik dilaporkan
20
oleh Gensoul pada tahun 1836 . Kemudian Carpal Tunnel Syndrom
dijelaskan oleh Paget pada pasien dengan cedera kompresi pada pergelangan
tangan serta fraktur radius distal tahun 1854 dalam karyanya yang berjudul
Lectures on Surgical Pathology1,8,20. Pada tahun 1913, Marie dan Foix
menjelaskan mengenai lesi hourglass shaped (lesi berbentuk jam pasir) pada
nervus medianus dengan neuroma pada bagian proximal dari flexor
retinaculum. Pada tahun 1950-an, Phalen menjelaskan prinsip - prinsip CTS 1.
Istilah “Carpal Tunnel Syndrom” sendiri mulai digunakan oleh Kremer dkk.
pada tahun 1953 5. Sindrom ini bersifat kronik, ditandai nyeri tangan pada
malam hari, parestesia jari – jari yang mendapat inervasi dari nervus
medianus, kelemahan, dan atrofi otot thenar 2. Meskipun perbaikan spontan
bisa terjadi pada kasus ini, namun secara umum gejala akan memburuk seiring
berjalannya waktu 1. CTS dapat menimbulkan hendaya pada seseorang,
dikarenakan rasa nyeri akan membatasi fungsi dari pergelangan tangan
sehingga pekerjaan sehari – hari akan terganggu 16. Pada kasus – kasus berat
dimana pemberian obat tidak diberikan maka akan terjadi atrofi pada otot –
otot ibu jari dan gangguan sensorik pada jari bisa menetap 2.

1
Perkiraan prevalensi CTS pada populasi umum adalah sekitar 4 – 5 %,
terutama mengenai individu yang berusia antara 40 hingga 60 tahun. 3,6
permil wanita dan 1,7 permil laki – laki dioperasi di Perancis karena CTS pada
tahun 2008 1. Pada tahun 2007, berdasarkan laporan American Academy of
Orthopaedic Surgeons dilaporkan bahwa kasus CTS di Amerika Serikat
diperkirakan 1-3 kasus per 1000 subjek per tahun 4. Kasus CTS seringkali
terjadi pada pekerja industri. Menurut laporan dari International Labour
Organization (ILO), CTS hampir selalu ditemukan pada penyakit akibat kerja
di beberapa negara. Di Cina dalam kurun waktu 10 tahun (2001-2010) telah
terjadi peningkatan kasus CTS akibat kerja kurang lebih sebesar 30% 3.
Prevalensi carpal tunnel syndrome menjadi peringkat pertama dalam
hubungannya dengan Cummulative Trauma Disorders (CTD). CTD adalah
suatu gangguan pada sistem muskuloskeletal dan sistem saraf yang
diakibatkan oleh beban berlebih saat bekerja. 3 jenis penyakit tersering di
dalam golongan CTD pada ekstremitas atas yaitu CTS 40%, tendosinovitis
yang terdiri dari trigger finger 32%, De Quervain’s syndrome 12%, sedangkan
epicondilitis 20%.
Beberapa faktor resiko CTS antara lain diabetes, hipotiroidisme, artritis
reumatoid, kehamilan, obesitas, riwayat keluarga mengalami CTS, dan
trauma. Berbagai macam pekerjaan yang menggunakan alat getar yang
dioperasikan dengan tangan atau pekerjaan yang membutuhkan gerakan
repetitif atau dipaksakan (seperti pekerjaan assembling dan pengepakan) juga
akan berkontribusi terhadap kejadian CTS 5. Selain itu faktor usia juga
memainkan peranan penting terhadap angka kejadian CTS 6.

1.2. Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ilmiah ini adalah untuk mengetahui prinsip –
prinsip pada Carpal Tunnel Syndrome (CTS) sehingga bisa dibuat strategi atau
mekanisme yang efektif serta efisien sebagai upaya promotif dan preventif,
dengan demikian angka kejadian CTS bisa ditekan serendah mungkin.

2
Perjalanan CTS adalah kronik sehingga dana yang dibutuhkan untuk
memberikan tatalaksana pada kasus ini akan cukup memberatkan. Selain itu,
CTS sering didapatkan pada pekerja dimana para pekerja tersebut menjadi
tulang punggung dari kemajuan perusahaan yang secara tidak langsung
menjadi tulang punggung perekonomian nasional.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi
Carpal tunnel syndrom (CTS) adalah suatu sindrom dimana terjadi
tekanan pada nervus medianus dalam terowongan karpal di bawah fleksor
retinakulum. Penekanan yang terjadi pada terowongan karpal ini akan
menyebabkan gangguan fungsional umum 7. Menurut American Academy
of Orthopaedic Surgeons Clinical Guideline, carpal tunnel syndrome
adalah neuropati kompresi simptomatik pada nervus medianus yang
terletak setingkat pergelangan tangan. Sementara itu menurut American
Society for Surgery of the Hand mendefinisikan CTS terjadi karena
tekanan pada nervus medianus yang menyebabkan nervus medianus
terjepit di pergelangan tangan 2. Carpal tunnel syndrome dapat terjadi oleh
berbagai macam penyakit, kondisi, dan kejadian. Sindrom ini ditandai
dengan mati rasa, kesemutan, nyeri pada tangan dan lengan, serta disfungsi
otot. Sindrom ini tidak dibatasi oleh usia, jenis kelamin, suku bangsa, atau
pekerjaan dan disebabkan oleh penyakit sistemik serta faktor – faktor
mekanik lokal 8,16,18.
Nervus medianus rentan terhadap kompresi dan cedera di telapak
tangan dan pergelangan tangan. CTS merupakan kombinasi dari kelainan
jari, tangan, dan lengan dengan gejala yang mencerminkan kompresi
sensoris atau motoris, paling sering terjadi pada orang dewasa di atas 30
tahun, terutama pada wanita 4.

II.2 Anatomi

Terowongan karpal terdapat di bagian sentral dari pergelangan tangan


di mana tulang dan ligamentum membentuk suatu terowongan sempit
yang dilalui oleh beberapa tendon dan nervus medianus. Tulang- tulang

4
karpal membentuk dasar dan sisi – sisi terowongan yang keras dan kaku,
sedangkan atapnya dibentuk oleh fleksor retinakulum (ligamentum karpi
transversum dan ligamentum karpi palmaris) 4.
Terowongan karpal terletak di pergelangan tangan. Kerangkanya
dibentuk oleh 8 buah tulang karpal yang tersusun atas dua deret. Deretan
proksimal terdiri dari (lateral ke medial) tulang Navikulare, Lunatum,
Triquetrum dan Pisiformis. Deretan distal terdiri dari (lateral ke medial)
tulang Trapesium (Mulatangulum mayus), Trapezoidum (Mulatangulum
minus), Kapitatum dan Hamatum. Di bagian proksimal tulang-tulang
karpal ini bersendi dengan bagian distal tulang radius dan tulang ulna,
sedangkan distal  dari deretan distal bersendi dengan tulang – tulang
metakarpal. Deretan  proksimal dengan distal berhubungan melalui sendi -
sendi midkarpal. Tulang – tulang karpal ini melengkung dengan bagian
konkaf menghadap ke arah volar. Persendian yang banyak ini
menyebabkan bermacam-macam pergerakan pergelangan, terutama sendi
radiokarpal dan sendi midkarpal. Disamping itu, ligamen yang
menghubungkan masing-masing sendi juga banyak mempengaruhi posisi
tulang-tulang tersebut.

Gambar 1. Anatomi tulang tangan22

5
Pada permukaan volar pergelangan tangan terdapat penebalan fasia
yang disebut fleksor retinakulum dan terdiri dari 2 lapisan fasia yaitu
ligamentum karpi palmaris (volaris) dan ligamentum karpi transversum.
Ligamentum  karpi palmaris (volaris) berjalan melintang dari prosesus
stiloideus tulang ulnaris ke prosesus stiloeideus tulang radius.

Ligamentum karpi transversum menutupi lengkungan tulang-tulang


karpal pada permukaan palmar sehingga membentuk terowongan karpal.
Pada sisi ulnar ligamen ini melekat pada tulang pisiformis dan pengait
tulang hamatum, sedangkan di sisi radial melekat pada tuberositas tulang
navikulare dan trapesium.

Gambar 2. Anatomi terowongan karpal21

Pada bagian ulnar dibatasi oleh tulang hamate, tulang piramidal dan
tulang psiform, dan di bagian radial dibatasi oleh tulang scaphoid, tulang
trapezoid, tendon otot flexor karpi radialis. Nervus medianus masuk

6
melalui terowongan karpal bersama dengan 4 tendo muskulus fleksor
digitorum superfisialis, 4 tendo muskulus fleksor digitorum profunda, dan
1
tendo muskulus fleksor policis longus . Setiap perubahan yang
mempersempit terowongan ini akan menyebabkan tekanan pada struktur
yang paling rentan di dalamnya yaitu nervus medianus 2.

Gambar 3. Nervus Medianus23

Pada orang dewasa ukuran terowongan ini dapat dilalui satu jari. Luas
penampang tersempit lebih kurang 2,5 cm dan panjangnya lebih kurang 9–
16 mm. Pada potongan melintang pergelangan tangan melalui terowongan
karpal, terlihat nervus medianus terletak langsung di bawah ligamen karpi
transversum dan di puncak semua tendo-tendo fleksor.
Nervus medianus terbentuk dari fasikulus lateralis asal radiks C5, C6,
C7 dan fasikulus medialis asal radiks C8 dan Th1. Setelah memberi
cabang pada otot-otot lengan bawah untuk berbagai gerakan lengan jari-
jari tangan, di bawah ligamen karpi tranversum nervus medianus
bercabang dua, yang lateral (motorik) mempersarafi abduktor polisis
brevis, fleksor polisis brevis, oponen dan otot lumbrikalis ke satu dan ke
dua, sedangkan cabang sensorik mempersarafi bagian volar jari-jari 1, 2, 3
dan setengah lateral jari ke 4 serta di bagian dorsal hanya bagian distal
ujung-ujung jari tersebut. Kulit telapak tangan bagian tengah agak ke
radial dipersarafi cabang kutaneus palmaris yang berasal dari nervus
medianus juga, tapi dipercabangkan sebelum memasuki terowongan

7
karpal, sehingga pada sindroma terowongan karpal, daerah ini tidak
mengalami gangguan.
Secara histologi nervus medianus terdiri dari juluran protoplasma
neuron yang disebut akson. Akson ini diselubungi oleh sel Schwan, dan
diantara 2 sel Schwan terdapat celah yang disebut nodus Ranvier. Serabut
saraf yang berdiameter kecil merupakan akson tidak bermielin, beberapa
akson diselubungi satu sel Schawn. Serabut saraf ini memiliki kecepatan
hantar saraf rendah; untuk menyampaikan impuls suhu dan nyeri. Serabut
saraf yang berdiameter besar diselubungi serangkaian  sel Schawn. Serabut
saraf ini memiliki kecepatan hantar saraf tinggi yang berguna untuk
menyampaikan impuls motorik dan propioseptif.
Masing - masing serabut saraf ini dibungkus oleh lapisan endoneurium
yang merupakan jaringan  ikat longgar. Beberapa kelompok saraf dalam
endoneurium bergabung lagi dalam fasikulus yang dilapisi jaringan ikat
padat perineurium. Jaringan ikat ini terdiri dari anyaman kolagen dan
serabut elastik yang berfungsi melindungi saraf dari peregangan dan
menghambat difusi, berperan juga sebagai sawar darah saraf (blood nerve
barier) sehingga dapat mempertahankan tekanan intra fasikuler. Pada
lapisan terluar terdapat jaringan ikat longgar epineurium yang berperan
mengatasi tekanan pada saraf.
Nervus medianus di daerah pergelangan tangan mendapat darah dari
cabang arteri nutrien sisi ulnar, proksimal ligamen karpi transversum, dan
cabang arteri arkus palmaris superfisialis distal ligamen karpi transversum.
Persarafan tangan diberikan oleh nervus radialis, nervus ulnaris, dan
nervus medianus. Dari ketiga saraf ini hanya nervus medianus yang
melewati terowongan karpal, sehingga pada CTS menimbulkan gangguan
fungsi nervus medianus dari terowongan karpal ke distal, walaupun rasa
nyeri kadang-kadang dapat dirasakan sampai ke arah proksimal di leher
tempat nervus medianus berasal. Selain fungsi motoris dan sensoris,
nervus medianus juga merupakan saraf simpatis, sehingga ketiga fungsi ini
dapat terganggu pada CTS 10.

8
Gambar 4. Jepitan nervus medianus pada terowongan karpal23

II.3 Epidemiologi

Sindrom terowongan karpal adalah sindrom kompresi yang paling


sering yang disebabkan oleh jepitan nervus medianus pada terowongan
1,2,3,5,6,7
karpal . Jepitan tersebut bisa dikarenakan edema fasia pada
terowongan karpal, kelainan tulang – tulang kecil pada tangan, serta
pembesaran tendo atau ligamen pada pergelangan tangan. 2,11.
National Health Interview Study (NHIS) memperkirakan bahwa
prevalensi CTS yang dilaporkan sendiri diantara populasi dewasa adalah
sebesar 1,55% (2,6 juta). CTS lebih sering mengenai wanita daripada pria
dengan usia berkisar 25 – 64 tahun, prevalensi tertinggi pada wanita usia >
55 tahun, biasanya antara 40 – 60 tahun. Prevalensi CTS dalam populasi
umum telah diperkirakan 5% untuk wanita dan 0,6% untuk laki – laki.
CTS adalah jenis neuropati jebakan yang paling sering ditemui. Sindroma
tersebut unilateral pada 42% kasus (29% kanan, 13% kiri) dan 58%
bilateral 2.

9
Telah dilaporkan bahwa tingkat insidensi meningkat hingga
276:100000 tiap tahunnya, dengan tingkat prevalensi meningkat hingga
9,2% pada wanita dan 6% pada laki – laki. CTS lebih banyak ditemukan
pada wanita, bersifat bilateral, dengan rerata usia puncak antara 40 – 60
tahun. Prevalensi CTS di United Kingdom 7-16%, lebih tinggi bila
dibandingkan prevalensi di Amerika Serikat yang hanya 5%. Prevalensi
CTS pada pasien diabetes tanpa neuropati 14%, sedangkan pada pasien
diabetes dengan neuropati sebesar 30%. Sementara itu prevalensi CTS
pada masa kehamilan dilaporkan sebesar 2% 8.
Laporan International Labour Organization (ILO) menunjukkan bahwa
CTS hampir selalu ditemukan dalam setiap kasus penyakit akibat kerja di
beberapa negara. Bahkan di Cina pada tahun 2010 terjadi peningkatan
jumlah kasus CTS akibat kerja sebesar kurang lebih 30% dibandingkan
tahun 2001. Tingginya angka prevalensi yang diikuti dengan tingginya
biaya yang harus dikeluarkan (pengobatan medis, rehabilitasi, kompensasi
hilangnya jam kerja, biaya pensiun awal, juga pelatihan pekerja baru, dan
lain – lain) membuat permasalahan ini menjadi masalah besar dalam dunia
okupasi 3.
Di Indonesia prevalensi CTS karena faktor pekerjaan masih belum
2,17
diketahui dengan pasti . Dalam sebuah penelitian di Jakarta terhadap
industri garmen diketahui bahwa para pekerja memiliki prevalensi
terjadinya sindrom terowongan karpal sebanyak 20,3%. Sementara itu
dalam sebuah penelitian yang dilakukan Setyawan H di karanganyar
(terhadap industri pemrosesan dan pengepakan makanan) menyebutkan
bahwa perempuan memiliki tingkat prevalensi yang lebih tinggi daripada
laki – laki yaitu 92 % berbanding 69% 6. Pada penelitian lain terhadap
karyawan bank kota Bitung di Sulawesi Utara ditemukan bahwa
berdasarkan jenis kelamin CTS lebih banyak diderita perempuan yaitu
23% dan laki – laki 4 % dari 47 responden. Hal ini sejalan dengan teori
yang telah ada bahwa prevalensi terjadinya CTS pada wanita lebih banyak
dibandingkan laki – laki (3:1). Hal ini dikarenakan wanita memiliki

10
terowongan karpal yang lebih kecil dibandingkan laki – laki 7. Penelitian
tahun 2004 yang dilakukan pada karyawan pabrik garmen di Jakarta
menyebutkan bahwa CTS dialami oleh usia lebih dari 40 tahun sebanyak
57,4% 12.

II.4 Etiologi

Terowongan karpal yang sempit selain dilalui oleh nervus medianus


juga dilalui oleh beberapa tendon fleksor. Setiap kondisi yang
mengakibatkan semakin padatnya terowongan ini dapat menyebabkan
terjadinya penekanan pada nervus medianus sehingga timbullah CTS.
Pada sebagian kasus etiologinya tidak diketahui, terutama pada penderita
lanjut usia. Beberapa penulis menghubungkan gerakan yang berulang –
ulang pada pergelangan tangan dengan bertambahnya resiko menderita
gangguan pada pergelangan tangan termasuk CTS 4.
Etiologi dari CTS antara lain 2:
1. Herediter: neuropati herediter yang cenderung menjadi pressure palsy,
misalnya HMSN ( hereditary motor and sensory neuropathies) tipe
III.
2. Trauma: dislokasi, fraktur atau hematom pada lengan bawah,
pergelangan tangan dan tangan. Sprain pergelangan tangan. Trauma
langsung terhadap pergelangan tangan. Pekerjaan : gerakan mengetuk
atau fleksi dan ekstensi pergelangan tangan yang berulang-ulang.
3. Infeksi: tenosinovitis, tuberkulosis, sarkoidosis.
4. Metabolik: amiloidosis, gout.
5. Endokrin : akromegali, terapi estrogen atau androgen, diabetes
melitus, hipotiroidi, kehamilan.
6. Neoplasma: kista ganglion, lipoma, infiltrasi metastase, mieloma.
7. Penyakit kolagen vaskular : artritis reumatoid, polimialgia reumatika,
skleroderma, lupus eritematosus sistemik.
8. Degeneratif: osteoartritis.

11
9. Iatrogenik : punksi arteri radialis, pemasangan shunt vaskular untuk
dialisis, hematoma, komplikasi dari terapi anti koagulan.
10 Penggunaan tangan atau pergelangan tangan yang berlebihan dan
berulang – ulang.
Sedangkan menurut Aroori (2008), etiologi CTS adalah sebagai berikut 13:

Tabel 1. Etiologi CTS non-okupasi

12
Ada juga penulis yang membagai etiologi CTS menjadi 3 faktor, yaitu :
faktor intrinsik, faktor penggunaan tangan (penggunaan tangan yang
berhubungan dengan hobi dan penggunaan tangan yang berhubungan
dengan pekerjaan), serta faktor trauma 4.
Faktor intrinsik terjadinya CTS adalah sekunder, karena beberapa
penyakit atau kelainan yang sudah ada. Beberapa penyakit atau kelainan
yang merupakan faktor intrinsik yang dapat menimbulkan CTS antara
lain : (a) perubahan hormonal seperti kehamilan, pemakaian hormon
estrogen pada menopause, dapat berakibat retensi cairan dan menyebabkan
pembengkakan pada jaringan di sekeliling terowongan karpal, (b)
penyakit/keadaan tertentu seperti hemodialisis yang berlangsung lama,
penyakit multiple myeloma, Walderstroom’s macroglobulinemia,
limphoma non Hodgkin, acromegali, virus (human parvovirus),
pengobatan yang berefek pada sistem imun (interleukin 2) dan obat anti
pembekuan darah (warfarin), (c) kegemukan (obesitas), (d) keadaan lain
seperti merokok, gizi buruk dan stres, (e) adanya riwayat keluarga dengan
CTS, dan (f) jenis kelamin, hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita
mempunyai risiko mendapat CTS lebih tinggi secara bermakna
dibandingkan laki-laki 4,5,6.
CTS yang terjadi karena penggunaan tangan baik untuk hobi maupun
pekerjaan adalah sebagai akibat inflamasi/pembengkakan tenosinovial di
dalam terowongan karpal. Penggunaan tangan yang berhubungan dengan
hobi, contohnya adalah pekerjaan rumah tangga (menjahit, merajut,
memasak), kesenian dan olah raga. CTS yang berhubungan dengan
pekerjaan meliputi kegiatan yang membutuhkan kekuatan, penggunaan
berulang atau lama pada tangan dan pergelangan tangan 4,5,6.

II.5 Patofisiologi

Ada beberapa hipotesa mengenai patogenesis dari CTS. Sebagian besar


penulis berpendapat bahwa factor mekanik dan vaskular memegang

13
peranan penting dalam terjadinya CTS. Umumnya CTS terjadi secara
kronis dimana terjadi penebalan fleksor retinaculum yang menyebabkan
tekanan terhadap nervus medianus. Tekanan yang berulang – ulang dan
lama akan mengakibatkan peninggian tekanan intravasikuler. Akibatnya
aliran darah vena intravasikular melambat. Kongesti yang terjadi ini akan
mengganggu nutrisi intravasikular lalu diikuti oleh anoksia yang akan
merusak endotel. Kerusakan endotel ini akan mengakibatkan kebocoran
protein sehingga terjadi edema epineural. Hipotesa ini menerangkan
bagaimana keluhan nyeri dan sembab yang timbul terutama pada malam
atau pagi hari akan berkurang setelah tangan yang terlibat digerak –
gerakan atau diurut, dimungkinkan karena terjadi perbaikan sementara
pada aliran darah. Apabila kondisi ini terus berlanjut akan terjadi fibrosis
epineural yang merusak serabut saraf. Lama – kelamaan saraf menjadi
atrofi dan digantikan oleh jaringan ikat yang mengakibatkan fungsi nervus
medianus terganggu secara menyeluruh 2,18.
Selain itu akibat adanya penekanan yang melebihi tekanan perfusi
kapiler akan menyebabkan gangguan mikrosirkulasi dan timbul iskemik
saraf. Keadaan iskemik ini diperberat lagi oleh peninggian tekanan
intravasikuler yang menyebabkan berlanjutnya gangguan aliran darah.
Selanjutnya terjadi vasodilatasi yang menyebabkan edema sehingga sawar
darah terganggu yang pada akhirnya akan mengakibatkan kerusakan pada
saraf tersebut 2.
Pada teori lain disebutkan bahwa pada awalnya patologi dari kompresi
saraf kronis disebabkan karena rusaknya sawar darah saraf, yang
kemudian diikuti dengan edema endoneurial dan subperineurial. Setelah
itu, jaringan ikat yang terdiri perineurium dan epineurium mengalami
penebalan dan terjadi fibrosis. Perubahan patologis ini bergantung
terhadap jumlah dan kekuatan tekanan dari luar. Rydevik memeriksa
pengaruh tekanan luar terhadap aliran darah intraneural. Tekanan 20
mmHg mengakibatkan berkurangnya aliran darah venula, tekanan 30
mmHg akan menyebabkan inhibisi transport axonal, dan tekanan 80

14
mmHg akan menyebabkan aliran darah intraneural berhenti secara
menyeluruh. Saraf dengan jaringan ikat yang banyak akan lebih
terlindungi dari cedera kompresi. Menurut Upton dan McComas kompresi
saraf bagian proximal akan meningkatkan kerentanan saraf bagian distal
untuk mengalami kompresi juga20.
CTS akut biasanya disebabkan oleh trauma, karena adanya peningkatan
tekanan di dalam carpal tunnel syndrome. Peningkatan ini akan
menyebabkan penyesuaian aliran darah epineural yang mengakibatkan
perasaan nyeri dan disestesi pada distribusi nervus medianus20.

II.6 Manifestasi Klinis

Pada tahap awal gejala umumnya berupa gangguan sensorik saja.


Gangguan motorik hanya terjadi pada keadaan yang berat. Gejala awal
biasanya berupa parestesia, kebas/baal, atau seperti rasa kesemutan pada
jari dan setengah sisi radial jari sesuai dengan distribusi sensorik nervus
medianus, meskipun terkadang dapat dirasakan di seluruh jari. Keluhan
parestesia biasanya lebih menonjol di malam hari. Gejala lainnya adalah
nyeri di tangan yang juga dirasakan lebih berat pada malam hari sehingga
sering membangunkan penderita dari tidurnya. Rasa nyeri ini umumnya
agak berkurang bila penderita memijat atau menggerak – gerakkan
tangganya atau dengan meletakkan tangannya pada posisi yang lebih
tinggi. Nyeri juga akan berkurang bila penderita lebih banyak
mengistirahatkan tangannya. Bila penyakit berlanjut, rasa nyeri dapat
bertambah berat dengan frekuensi serangan yang semakin sering bahkan
dapat menetap. Kadang-kadang rasa nyeri dapat terasa sampai ke lengan
atas dan leher, sedangkan parestesia umumnya terbatas di daerah distal
pergelangan tangan 2,13,14.

15
Gambar 5. Distribusi inervasi nervus medianus23

Apabila tidak segera ditangani dengan baik maka jari – jari menjadi
kurang terampil misalnya saat memungut benda – benda kecil. Kelemahan
pada tangan juga sering dinyatakan dengan keluhan adanya kesulitan saat
menggenggam. Pada tahap lanjut dapat dijumpai atropi otot – otot thenar
dan otot – otot lainnya yang diinervasi oleh nervus medianus 2,14,17.
Untuk menegakkan diagnosis CTS kita harus mengetahui tanda dan
gejalanya. Keluhan  timbul berangsur-angsur dan yang spesifik ialah:
o Rasa nyeri di tangan pada malam atau pagi hari. Penderita sering
terbangun karena nyeri ini. Penderita biasanya berusaha sendiri
mengatasi keluhannya misalnya dengan meninggikan letak tangannya,
menggerak-gerakkan tangannya ataupun mengurutnya, ternyata
dengan gerakan-gerakan itu keluhannya dapat mereda bahkan hilang.
Keluhan juga berkurang jika pergelangan tangan banyak beristirahat
dan sebaliknya keluhan menghebat pada pergerakan - pergerakan yang
menyebabkan tekanan intrakanal meningkat. Lama
kelamaan   keluhan   ini   makin   sering   dan   makin berat bahkan
dapat menetap pada siang dan malam hari.

16
o Rasa kebas, kesemutan, baal atau seperti terkena aliran listrik pada
jari-jari. Biasanya  pada  jari  jempol,  telunjuk,  tengah  dan  manis.
Kadang tidak dapat  dirasakan  dengan  pasti jari mana yang terkena
atau dirasakan gangguan  pada  semua  jari.
o Dapat
pula  terasa  gangguan  pada  beberapa jari saja,  misalnya  jari 
ke3  dan  4,  tetapi   tidak   pernah   keluhan   timbul  hanya    
pada   jarikelingking saja,  hal  ini  sesuai  dengan distribusi  dari  nerv
us medianus.
o Rasa nyeri kadang dapat terasa sampai ke lengan atas bahkan leher,
tetapi rasa kebas, kesemutan dan baal hanya terbatas pada daerah
distal pergelangan tangan saja.
o Bengkak, sembab dan kaku pada jari-jari, tangan dan pergelangan
terutama pada pagi hari dan terdapat perbaikan setelah beraktifitas,
walau kadang tidak terlihat jelas tetapi dirasakan penderita.
o Gerakan jari - jemari kurang trampil misalnya waktu menyulam,
menulis atau memungut benda kecil. Kadang pasien sering tidak sadar
menjatuhkan benda yang dipegangnya. Bila terjadi pada anak - anak
maka akan terlihat bahwa anak tersebut bermain hanya dengan
mengunakan jari  4 dan ke 5 saja.
o Otot telapak tangan yang makin lama semakin menciut juga sering
dikeluhkan. 
Sedangkan gejala klinis CTS menurut Grafton (2009) adalah sebagai
berikut 2,15 :
1. Mati rasa, rasa terbakar, atau kesemutan di jari – jari dan telapak
tangan.
2. Nyeri di telapak, pergelangan tangan, atau lengan bawah, khususnya
selama penggunaan.
3. Penurunan cengkeraman kekuatan.
4. Kelemahan dalam ibu jari.
5. Sensasi jari bengkak (ada atau tidak terlihat bengkak).

17
6. Kesulitan membedakan antara panas dan dingin.

Gambar 6. Atropi otot thenar pada CTS24

Klinis CTS menurut David C, Barbara (2005) 15 :


Kecurigaan tinggi Carpal Tunnel Syndrome
• Parestesi nokturnal hingga membangunkan pasien dari tidur
• Shaking atau ringing pada tangan
• Nyeri/parestesi pada aktivitas mengemudi atau memegang telepon,
buku, atau Koran
• Gangguan sensorik pada jari 1, 2, 3, dan 4, splitting jari keempat
• Kelemahan thenar eminence
• Gejala Phalen’s maneuver
Kemungkinan Carpal Tunnel Syndrome
• Nyeri tangan, pergelangan tangan, lengan dan atau bahu
• Persepsi parestesi pada semua jari
• Tidak ada gangguan sensori, atau gangguan sensori jari 1, 2, 3, dan atau
4
• Penurunan keterampilan tangan
• Tinel’s sign pada nervus medianus di pergelangan tangan
Tidak konsisten Carpal Tunnel Syndrome
• Nyeri leher

18
• Parestesi atau tidak nyeri
• Mati rasa yang tidak tegas batasnya hingga thenar eminence
• Kelemahan otot hipothenar, fleksi ibu jari (persendian interfalang),
pronasi lengan, dan/atau fleksi/ekstensi siku
• Menurunnya reflex bisep atau trisep

II.7 Klasifikasi
Carpal Tunnel Syndrome dapat diklasifikasikan menurut tanda dan
gejala menjadi 3 derajat, yaitu 8 :
Derajat 1 : Pasien sering terbangun pada malam hari dengan perasaan
tangan bengkak dan kebas. Mereka melaporkan perasaan nyeri yang
menjalar dari pergelangan tangan hingga ke bahu, dan adanya perasaan
kesemutan di tangan dan jari – jari (brachialgia paraesthetica nocturna).
Bila pasien mengibas – ibaskan tangan maka gejala tersebut akan hilang
(flick sign). Pada pagi hari, sensasi kekakuan tangan biasanya menetap.
Derajat 2 : Gejala muncul juga pada siang hari, terutama pada saat pasien
berada pada posisi yang sama dalam jangka waktu yang lama, atau
melakukan sesuatu secara berulang – ulang menggunakan tangan dan
pergelangan tangannya. Pada saat defisit motorik muncul, pasien
melaporkan bahwa mereka sering menjatuhkan suatu objek yang
dipegangnya karena mereka tidak bisa merasakan jari mereka lagi.
Derajat 3 : Ini adalah derajat paling tinggi dari CTS, dimana telah terjadi
atropi pada penonjolan thenar, dan biasanya tindakan bedah tidak
memberikan hasil yang maksimal. Pada fase ini, gejala sensori mungkin
sudah berkurang. Ditemukan juga perasaan nyeri pada penonjolan thenar,
kelemahan, dan atropi pada musculus abductor pollicis brevis dan
musculus opponens policis.

19
Gambar 7. Musculus abductor pollicis brevis dan opponens policis25

II.8 Diagnosis
Diagnosa CTS ditegakkan selain berdasarkan gejala-klinis seperti di
atas dan perkuat dengan pemeriksaan yaitu 2 :
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh pada penderita
dengan perhatian khusus pada fungsi, motorik, sensorik dan otonom
tangan. Beberapa pemeriksaan dan tes provokasi yang dapat
membantu menegakkan diagnosis CTS adalah :
a. Phalen's test : Penderita diminta melakukan fleksi tangan secara
maksimal. Bila dalam waktu 60 detik timbul gejala seperti CTS, tes
ini menyokong diagnosis.. Beberapa penulis berpendapat bahwa tes
ini sangat sensitif untuk menegakkan diagnosa CTS.

20
21
Gambar 8. Phallen’s test20

b. Tinel's sign : Tes ini mendukung diagnosa bila timbul parestesia


atau nyeri pada daerah distribusi nervus medianus jika dilakukan
perkusi pada terowongan karpal dengan posisi tangan sedikit
dorsofleksi.

Gambar 9 dan 10.


Tinnel’s test20
c. Flick's sign : Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau
menggerak-gerakkan jari-jarinya. Bila keluhan berkurang atau
menghilang akan menyokong diagnosa CTS. Harus diingat bahwa
tanda ini juga dapat dijumpai pada penyakit Raynaud.
d. Torniquet test : Pada pemeriksaan ini dilakukan pemasangan
tomiquet dengan menggunakan tensimeter di atas siku dengan
tekanan sedikit diatas tekanan sistolik. Bila dalam 1 menit timbul
gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnosa.
e. Thenar wasting : Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan
adanya atrofi otot-otot thenar.
f. Menilai kekuatan dan ketrampilan serta kekuatan otot secara
manual maupun dengan alat dynamometer
g. Wrist extension test : Penderita diminta melakukan ekstensi tangan
secara maksimal, sebaiknya dilakukan serentak pada kedua tangan
sehingga dapat dibandingkan. Bila dalam 60 detik timbul gejala-
gejala seperti CTS, maka tes ini menyokong diagnosa CTS.

22
Gambar 11. Wrist extension test24
h. Pressure test : Nervus medianus ditekan di terowongan karpal
dengan menggunakan ibu jari. Bila dalam waktu kurang dari 120
detik timbul gejala seperti CTS.

Gambar 12. Pressure test25


i. Luthy's sign (bottle's sign) : Penderita diminta melingkarkan ibu
jari dan jari telunjuknya pada botol atau gelas. Bila kulit tangan

23
penderita tidak dapat menyentuh dindingnya dengan rapat, tes
dinyatakan positif dan mendukung diagnosis.
j. Pemeriksaan sensibilitas : Bila penderita tidak dapat membedakan
dua titik (two-point discrimination) pada jarak lebih dari 6 mm di
daerah nervus medianus, tes dianggap positif dan menyokong
diagnosis.
k. Pemeriksaan fungsi otonom : Pada penderita diperhatikan apakah
ada perbedaan keringat, kulit yang kering atau licin yang terbatas
pada daerah innervasi nervus medianus. Bila ada akan mendukung
diagnosis CTS.
Dari pemeriksaan provokasi diatas Phalen test dan Tinel test adalah
sangat patognomonis untuk CTS 2.
2. Pemeriksaan neurofisiologi (elektrodiagnostik)
Elektrodiagnostik meliputi nerve conduction studies (NCS) dan
elektromiografi (EMG). Adapun indikasi pemeriksaan
elektrodiagnostik adalah yaitu pasien yang tidak ada perbaikan dengan
penanganan konservatif, pertimbangkan pembedahan untuk
menyingkirkan kelainan radikulopati ataupun saraf terjepit lainnya.
Pada NCS mungkin normal pada sebagian CTS. Jika NCS normal,
diagnosis CTS harus didukung dengan anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang akurat. EMG diindikasikan jika ada dugaan perubahan
neurogenic akut / kronis, untuk membedakan CTS dengan jebakan
saraf proksimal, radikulopati, atau miopati 4,18.
Pemeriksaan EMG dapat menunjukkan adanya fibrilasi, polifasik,
gelombang positif dan berkurangnya jumlah motor unit pada otot-otot
thenar. Pada beberapa kasus tidak dijumpai kelainan pada otot-otot
lumbrikal. EMG bisa normal pada 31 % kasus CTS. Kecepatan Hantar
Saraf (KHS) pada 15-25% kasus bisa normal. Pada yang lainnya KHS
akan menurun dan masa laten distal (distal latency) memanjang,
menunjukkan adanya gangguan pada konduk konduksi saraf di

24
pergelangan tangan. Masa laten sensorik lebih sensitif dari masa laten
motorik 2.
3. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan sinar-X terhadap pergelangan tangan dapat membantu
melihat apakah ada penyebab lain seperti fraktur atau artritis. Foto
polos leher berguna untuk menyingkirkan adanya penyakit lain pada
vertebra. CT-scan dan MRI dilakukan pada kasus yang selektif
terutama yang akan dioperasi 2,4.
4. Pemeriksaan laboratorium
Bila etiologi CTS belum jelas, misalnya pada penderita usia muda
tanpa adanya gerakan tangan yang repetitif, dapat dilakukan beberapa
pemeriksaan seperti kadar gula darah , kadar hormon tiroid ataupun
darah lengkap 2. Pemeriksaan laboratorium umumnya diperlukan
untuk menyingkirkan penyakit yang mendasarinya 4.
Diagnosis pada CTS secara klinis, topis, maupun etiologi adalah
sebagai berikut 15:
Diagnosa klinis : Carpal tunnel syndrome bilateral / unilateral
Diagnosa topis : nervus medianus dalam terowongan karpal
Diagnosa etiologis : Idiopathic entrapment neuropathy

II.9 Diagnosis Banding


Diagnosis dari CTS antara lain 2 :
1. Cervical radiculopathy. Biasanya keluhannya berkurang bila leher
diistirahatkan dan bertambah hila leher bergerak. Distribusi gangguan
sensorik sesuai dermatomnya.
2. Toracic outlet syndrome. Dijumpai atrofi otot-otot tangan lainnya
selain otot-otot thenar. Gangguan sensorik dijumpai pada sisi ulnaris
dari tangan dan lengan bawah.
3. Pronator teres syndrome. Keluhannya lebih menonjol pada rasa nyeri
di telapak tangan daripada CTS karena cabang n. medianus ke kulit
telapak tangan tidak melalui terowongan karpal.

25
4. de Quervain's syndrome. Tenosinovitis dari tendon muskulus abductor
pollicis longus dan ekstensor pollicis brevis, biasanya akibat gerakan
tangan yang repetitif. Gejalanya adalah rasa nyeri dan nyeri tekan
pada pergelangan tangan di dekat ibu jari. KHS normal. Finkelstein's
test : palpasi otot abduktor ibu jari pada saat abduksi pasif ibu jari,
positif bila nyeri bertambah.

II.10 Terapi

Terapi yang dilakukan selain ditujukan langsung terhadap CTS, terapi


juga harus diberikan terhadap keadaan atau penyakit lain yang mendasari
terjadinya CTS. Oleh karena itu sebaiknya terapi CTS dibagi atas 2
kelompok, yaitu 2,4,18 :
1. Terapi langsung terhadap CTS
a. Terapi konservatif
1. Istirahatkan pergelangan tangan.
2. Obat anti inflamasi non steroid.
3. Pemasangan bidai pada posisi netral pergelangan tangan. Bidai /
splint dapat dipasang terus-menerus atau hanya pada malam hari
selama 2-3 minggu.

Gambar 13.

Pemasangan splint pada CTS25


4. Injeksi steroid. Deksametason 1-4 mg atau hidrokortison 10-25 mg
atau metilprednisolon 20 mg atau 40 mg diinjeksikan ke dalam
terowongan karpal dengan menggunakan jarum no.23 atau 25 pada

26
lokasi 1 cm ke arah proksimal lipat pergelangan tangan di sebelah
medial tendon musculus palmaris longus. Bila belum berhasil,
suntikan dapat diulangi setelah 2 minggu atau lebih. Tindakan
operasi dapat dipertimbangkan bila hasil terapi belum memuaskan
setelah diberi 3 kali suntikan.

Gambar 14. Injeksi steroid25

Efek samping penyuntikan steroid:


 obat masuk ke saraf  (nyeri)
 atrofi, hipopigmentasi, perdarahan
 robeknya tendon secara spontan
 radang lokal
5. Vitamin B6 (piridoksin). Beberapa penulis berpendapat bahwa
salah satu penyebab CTS adalah defisiensi piridoksin sehingga
mereka menganjurkan pemberian piridoksin 100-300 mg/hari
selama 3 bulan. Tetapi beberapa penulis lainnya berpendapat
bahwa pemberian piridoksin tidak bermanfaat bahkan dapat
menimbulkan neuropati bila diberikan dalam dosis besar
6. Fisioterapi. Ditujukan pada perbaikan vaskularisasi pergelangan
tangan.

b. Terapi operatif
Tindakan operasi pada CTS disebut neurolisis nervus
medianus pada pergelangan tangan. Operasi hanya dilakukan pada
kasus yang tidak mengalami perbaikan dengan terapi konservatif

27
atau bila terjadi gangguan sensorik yang berat atau adanya atrofi
otot-otot thenar. Pada CTS bilateral biasanya operasi pertama
dilakukan pada tangan yang paling nyeri walaupun dapat sekaligus
dilakukan operasi bilateral. Penulis lain menyatakan bahwa
tindakan operasi mutlak dilakukan bila terapi konservatif gagal atau
bila ada atrofi otot-otot thenar,sedangkan indikasi relatif tindakan
operasi adalah hilangnya sensibilitas yang persisten 2,4.
Biasanya tindakan operasi CTS dilakukan secara terbuka
dengan anestesi lokal, tetapi sekarang telah dikembangkan teknik
operasi secara endoskopik. Operasi endoskopik memungkinkan
mobilisasi penderita secara dini dengan jaringan parut yang
minimal, tetapi karena terbatasnya lapangan operasi tindakan ini
lebih sering menimbulkan komplikasi operasi seperti cedera pada
saraf. Beberapa penyebab CTS seperti adanya massa atau anomali
maupun tenosinovitis pada terowongan karpal lebih baik dioperasi
secara terbuka 2,4.
Operasi dapat dilakukan dengan cara konvensional atau
endoskopi. Dengan konvensional yang dilakukan sebagai berikut:
• Ligamen karpi transversum dipotong lebih kurang 3
cm distal lipat pergelangan tangan di sisi ulnar. Isi
terowongan  dibersihkan dari proses desak ruang. Mungkin
perlu dilakukan tenosinovektomi dan pada keadaan tertentu
disertai suatu internal neurolisis. Pada waktu operasi harus
berhati-hati jangan sampai memotong cabang rekuren nervus
medianus atau struktur lainnya.
• Setelah operasi selesai dipasang bidai dengan
pergelangan sedikit dorsofleksi untuk mencegah prolaps tendo
otot fleksor ataupun n.Medianus sendiri melalui bekas irisan
ligamen karpi transversum. Sendi-sendi kecil sudah harus
mulai digerak-gerakan segera setelah operasi, kemudian baru
dilatih pergerakan pergelangan secara bertahap. Harus dijaga

28
jangan sampai timbul edema atau jaringan parut. Diusahakan
agar posisi tangan lebih tinggi dari jantung dan waktu tidur
jangan diganjal dengan bantal agar tetap di tempat yang lebih
tinggi. Selama dua minggu pertama tidak diperkenankan
mengangkat benda berat.
• Setelah tindakan operasi tetap diberikan terapi
tambahan vitamin kombinasi golongan B (neurotropik) untuk
mempercepat perbaikan metabolisme saraf.

2. Terapi terhadap keadaan atau penyakit yang mendasari CTS


Keadaan atau penyakit yang mendasari terjadinya CTS harus
ditanggulangi,sebab bila tidak dapat menimbulkan kekambuhan
CTS kembali. Pada keadaan di mana CTS terjadi akibat gerakan
tangan yang repetitif harus dilakukan penyesuaian ataupun
pencegahan. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk
mencegah terjadinya CTS atau mencegah kekambuhannya antara
lain 2,4 :
a. Mengurangi posisi kaku pada pergelangan tangan, gerakan
repetitif, getaran peralatan tangan pada saat bekerja.
b. Desain peralatan kerja supaya tangan dalam posisi natural saat
kerja.
c. Modifikasi tata ruang kerja untuk memudahkan variasi
gerakan.
d. Mengubah metode kerja untuk sesekali istirahat pendek serta
mengupayakan rotasi kerja.
e. Meningkatkan pengetahuan pekerja tentang gejala-gejala dini
CTS sehingga pekerja dapat mengenali gejala-gejala CTS lebih
dini.
Di samping itu perlu pula diperhatikan beberapa penyakit yang
sering mendasari terjadinya CTS seperti : trauma akut maupun
kronik pada pergelangan tangan dan daerah sekitarnya, gagal

29
ginjal, penderita yang sering dihemodialisa, myxedema, akibat
hipotiroidi, akromegali akibat tumor hipofise, kehamilan atau
penggunaanpil kontrasepsi, penyakit kolagen vaskular, artritis,
tenosinovitis, infeksipergelangan tangan, obesitas dan penyakit lain
yang dapat menyebabkan retensicairan atau menyebabkan
bertambahnya isi terowongan karpal 2,4.
 Walaupun terapi yang ditujukan langsung pada CTS sendiri
berhasil, tapi bila keadaan/penyakit yang mendasarinya tak
ditanggulangi, suatu saat CTS yang disebabkan aktifitas tangan
tertentu yang berulang seperti pekerjaan rumah tangga (memasak,
memotong, mencuci dan memeras pakaian, menyapu dan
mengepel,  memeras kelapa, mengulek bumbu-bumbu) memutar
baut dengan obeng, menggerakkan kursi roda pada penderita
paralegi, mengetik dan  menggunakan alat yang bergetar atau
bekerja pada suhu dingin (tukang daging dan ikan, pengemas
makanan beku) dan ban berjalan (asembling, pengepakan) harus
diusahakan merubah kebiasaan atau menukar pekerjaan dan
memodifikasi alat yang dipakai.  Bila CTS didasari oleh penyakit
lain, misalnya akromegali atau arthritis, penyebab akromegali atau
arthritis yang perlu ditanggulangi. CTS pada kehamilan biasanya
akan sembuh setelah melahirkan, tapi mungkin akan kambuh lagi
pada kehamilan berikutnya 2,4.

II.11 Pencegahan

Untuk pencegahan, hal yang perlu dilakukan adalah penerapan


prinsip-prinsip ilmu ergonomi pada pekerjaan, peralatan kerja, prosedur
kerja dan lingkungan kerja sehingga dapat diperoleh penampilan pekerja
yang optimal. Rotasi kerja pada jangka waktu tertentu dapat dilakukan,
yaitu dengan merotasi pekerja pada tugas dengan risiko yang berbeda.
Penyesuaian peralatan kerja dapat meminimalkan masalah yang terjadi

30
contohnya penyesuaian peralatan yang ergonomik kepada pekerja.
Beberapa tahun terakhir telah dikembangkan pekerjaan sedemikian rupa,
sehingga pekerja tidak perlu bekerja dengan rangsangan berulang pada
tangan dan pergelangan tangan. Untuk mengurangi efek beban tenaga pada
pergelangan maka alat dan tugas seharusnya dirancang sedemikian rupa
sehingga dapat mengurangi gerakan menggenggam atau menjepit dengan
kuat. Perancangan alat kerja contohnya tinggi meja kerja yang dipakai
sesuai dengan ukuran antropometri pekerja, penggunaan alat pemotong
atau gunting yang tajam sehingga mengurangi beban pada pergelangan
tangan dan tangan 4.
Pekerjaan dengan memegang suatu alat seperti pensil, stir mobil,
atau alat lain untuk waktu yang lama, maka pekerja harus menggenggam
alat tersebut senyaman mungkin. Pegangan alat-alat seperti pemutar
sekrup, peraut atau peruncing dan penahannya dapat dirancang sedemikian
rupa sehingga kekuatan genggaman dapat disalurkan melalui otot di antara
dasar ibu jari dan jari kelingking, tidak hanya pada bagian tengah telapak
tangan. Alat dan mesin seharusnya dirancang untuk meminimalkan
getaran. Pelindung alat seperti pemakaian shock absorbers, dapat
mengurangi getaran yang ditimbulkan 4.
Postur kerja yang baik sangat penting untuk mencegah CTS,
contohnya pada pengetik dan pengguna komputer. Operator keyboard
seharusnya duduk dengan tulang belakang bersandar pada kursi dengan
bahu rileks, siku ada di samping tubuh dan pergelangan lurus 4.
Kaki menginjak lantai pada footrest. Materi yang diketik berada
pada ketinggian mata sehingga leher tidak perlu menunduk saat bekerja.
Usahakan leher lentur dan kepala tegak untuk mempertahankan sirkulasi
dan fungsi saraf pada lengan dan tubuh. Buruknya desain perabot kantor
adalah penyumbang utama terhadap postur buruk. Kursi harus dapat diatur
tingginya dan mempunyai sandaran. Latihan berguna bagi pekerja yang
bekerja dengan gerak berulang. Latihan pada tangan dan pergelangan
tangan yang sederhana selama 4-5 menit setiap jam dapat membantu

31
mengurangi risiko berkembangnya atau mencegah CTS. Peregangan dan
latihan isometrik dapat memperkuat otot pergelangan tangan dan tangan,
leher serta bahu, sehingga memperbaiki aliran darah pada daerah tersebut.
Latihan harus dimulai dengan periode pemanasan yang pendek disertai
periode istirahat dan bila mungkin menghindari peregangan berlebihan
pada otot tangan dan jari-jari. Memberlakukan periode istirahat saat
bekerja dan memodifikasi pekerjaan dapat membantu memecahkan
permasalahan CTS. Pemakaian alat pelindung diri berupa sarung tangan
khusus yang terbuat dari karet elastis, agar dapat menyangga dan
membatasi pergerakan pergelangan tangan 4.

II.12 Prognosis

Pada kasus CTS ringan, dengan terapi konservatif umumnya


prognosis baik. Bila keadaan tidak membaik dengan terapi konservatif
maka operasi harus dilakukan. Secara umum prognosa operasi juga baik,
tetapi karena operasi hanya dilakukan pada penderita yang sudah lama
menderita CTS penyembuhan post operatifnya bertahap 2,4.
Bila setelah dilakukan tindakan operasi, tidak juga diperoleh
perbaikan maka dipertimbangkan kembali kemungkinan berikut ini 2,4 :
1. Kesalahan menegakkan diagnosa, mungkin jebakan/tekanan terhadap
nervus medianus terletak di tempat yang lebih proksimal.
2. Telah terjadi kerusakan total pada nervus medianus.
3. Terjadi CTS yang baru sebagai akibat komplikasi operasi seperti akibat
edema, perlengketan, infeksi, hematoma atau jaringan parut hipertrofik.
Sekalipun prognosa CTS dengan terapi konservatif maupun operatif
cukup baik, tetapi resiko untuk kambuh kembali masih tetap ada. Bila
terjadi kekambuhan, prosedur terapi baik konservatif atau operatif dapat
diulangi kembali 2,4.

32
Untuk menilai keparahan klinis dan hasil pengobatan digunakan

33
Boston Carpal Tunnel Questionaire 15,19.

Penilaian adalah dengan menghitung rata – rata dari masing –


masing Symptom Severity Scale dan Fungtional Status Scale. Kemudian
dari skor tersebut dapat diklasifikasikan tingkat keparahan sebagai
berikut : 1. No symptoms
3. Mild symptoms
4. Moderate symptoms
5. Intense symptoms
6. Severe symptoms
Pada kasus CTS ringan, dengan terapi konservatif pacta umumnya
prognosa baik . Secara umum prognosa operasi juga baik, tetapi karena
operasi hanya melakukan pada penderita yang sudah lama menderita CTS
penyembuhan post operatifnya bertahap. Perbaikan yang paling cepat
dirasakan adalah hilangnya rasa nyeri yang kemudian diikuti perbaikan
sensorik. Biasanya perbaikan motorik dan otot- otot yang mengalami atrofi
baru diperoleh kemudian. Keseluruhan proses perbaikan CTS setelah
operasi ada yang sampai memakan waktu 18 bulan. Sekalipun prognosa
CTS dengan terapi konservatif maupun operatif cukup baik, tetapi resiko

34
untuk kambuh kembali masih tetap ada. Bila terjadi kekambuhan, prosedur
terapi baik konservatif atau operatif dapat diulangi kembali.

35
BAB III

KESIMPULAN

Carpal tunnel syndrome (CTS) merupakan neuropati jebakan yang sering


ditemukan. Sindroma ini terjadi karena penyempitan pada terowongan karpal,
baik akibat edema fasia pada terowongan tersebut maupun akibat kelainan pada
tulang-tulang kecil tangan sehingga terjadi penekanan terhadap nervus medianus
di pergelangan tangan. Mekanisme terjebaknya saraf medianus berbeda antara
pekerja dan bukan pekerja. Kebanyakan penulis berpendapat bahwa CTS
mempunyai hubungan yang erat dengan penggunaan tangan secara repetitif dan
berlebihan.
Gejala awal CTS umumnya hanya berupa gangguan sensorik seperti rasa
nyeri, parestesia, rasa tebal dan tingling di daerah kulit yang dipersarafi oleh
nervus medianus. Gejala-gejala ini umumnya bertambah berat pada malam hari
dan berkurang bila pergelangan tangan digerak-gerakkan atau dipijat. Pada
penderita yang sudah lama terkena dapat ditemukan gejala motorik dan terkadang
terdapat hipotrofi tenar.
Diagnosa CTS dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik
yang meliputi berbagai macam tes dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
penunjang yang perlu dilakukan meliputi pemeriksaan radiologis, laboratorium
dan terutama pemeriksaan neurofisiologi.
Penatalaksanaan CTS dibagi atas dua macam, yaitu terapi langsung
terhadap CTS dan terapi terhadap keadaan atau penyakit yang mendasari CTS.
Terapi terhadap CTS dikelompokkan lagi menjadi terapi konservatif dan terapi
operatif. Kedua pilihan pengobatan konservatif dan operatif tergantung pada
tingkat keparahan penyakit. Pada umumnya, kelainan ini dapat dicegah dan
disembuhkan. Pencegahan yang dapat dilakukan seperti bekerja dengan prinsip-
prinsip ergonomi yang baik, yaitu posisi dan sikap kerja yang benar, perbaikan
peralatan kerja, penyesuaian perabot kerja bagi pekerja dengan tubuh yang tidak
sesuai dengan ukuran standar. Prognosis CTS dengan terapi konservatif maupun

33
36
operatif cukup baik, tetapi risiko untuk kambuh kembali masih tetap ada. Bila
terjadi kekambuhan, prosedur terapi baik konservatif atau operatif dapat diulangi
kembali.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Chammas M, Boretto J, Burmann LM, Ramos RM, Neto FCdS, Silva JB.
Carpal tunnel syndrome – part I (anatomy, physiology, etiology, and
diagnosis). Rev Bras Ortop. 20 Agustus 2014;49(5):429-430.
2. Bahrudin M. Carpal tunnel syndrome (CTS). Saintika Medika. Januari
2011;Vol 7(14):78-87.
3. Bahrudin M, Perdana RLP, Sultana HFA. Hubungan masa kerja dengan
kejadian CTS pada pekerja pemetik daun teh. Saintika Medika. Desember
2015;Vol 11(2):114-118.
4. Salawati L, Syahrul. Carpal tunel syndrome. JKS. 1 April 2014;Vol
14(1):29-37.
5. Sardana V, Ojha P. Carpal tunnel syndrome: Current Review. Int J Med
Res Prof. 21 Januari 2016. 2016;2(1):8-14.
6. Setyawan H. Risk factors of carpal tunnel syndrome among food-packing
workers in Karangayar. Kesmas: National Public Health Journal. 2017; 11
(3):123-126. (doi:10.21109/kesmas.v11i3.1185).
7. Saerang D, Kembuan M, Karema W. Insiden karpal tunnel syndrome
berdasarkan anamnesis pada karyawan bank di kota Bitung Sulawesi
Utara. Jurnal eCI. Januari – April 2015;Vol 3(1):579-584.
8. Ibrahim I, Khan WS, Goddard N, Smitham P. Carpal tunnel syndrome : a
review of the recent literature. The Open Orthopaedics Journal. 2012; 6,
(Suppl 1: M8) 69-76.
9. Clinical practice guideline on the diagnosis of carpal tunnel syndrome.
Rosemont. American Academy of Orthopaedic Surgeons. May 2007.
10. Rosenbaum BR, Ochoa L. Carpal Tunnel Syndrome and other Disorders
of the Median Nerve. British Library. United States. 1993.
11. Reed P, editor. The medical disability advisor (workplace guidelines for
disability duration): carpal tunnel syndrome. 5th ed. Reed Group. 2005; 4p.

38
35
12. Kurniawan B, Jayanti S, Setyaningsih Y. Faktor Resiko Kejadian Carpal
Tunnel Syndrome pada Wanita Pemetik Melati di Desa Karangcengis
Purbalingga. Bagian Kesehatan dan Keselamatan Kerja FKM UNDIP.
Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia. Januari 2008, 3 (1).
13. Aroori S and Spence RAJ. Carpal Tunnel Syndrome. Ulster Med J;
2008:77:6-17.
14. Kanaan N, Sawaya RA. Carpal tunnel syndrome modern diagnostic and
management techniques. Br J Gen Pract. 2001;51:311-314.
15. Panduan praktis klinis SMF Neurologi RSUD dr. Moewardi Surakarta.
http://xa.yimg.com/kq/groups/86434799/407509876/name/PPK+CTS.doc
x diakses 14 Juli 2018 pukul 9.21.
16. Priguna S. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Edisi IV. Jakarta:
PT Dian Rakyat. 1999. p71-73.
17. De Jong, R.N. 1992. The Neurologic Examination 5th ed. Revised by A.F.
Haerer.Philadelphia. J.B. Lippincott.
18. Adams RD, Victor M. Disease of the Peripheral Nerves. Principles of
Neurology 5th ed. McGraw-Hill, NewYork, 1993:1117-69.
19. Greenslade JR, Mehta RL, Belward P, Warwick DJ. Dash and Boston
questionnaire assessment of carpal tunnel syndrome outcome: what is the
responsiveness of an outcome questionnaire ?.
J. Hand Surg. Eur.2004, 29(2):159-164.
20. Duncan SFM, Kakinoki R, editors. Carpal Tunnel Syndrome and Related
Median Neuropathies. Springer International Publishing, Switzerland,
2017:1-39.
21. Luchetti R, Amadia P, editors. Carpal Tunnel Syndrome. Springer
International Publishing, Switzerland. 2002:29.
22. Anatomi terowongan karpal. www. pinterest.co.uk/pin/. Diakses 18 Juli
2018, pukul 20.30.
23. Anatomi nervus medianus. www. eorthopod.com. Diakses 18 Juli 2018,
pukul 21.00.

39
24. Anonim. https://nervesurgery.wustl.edu/NerveImages/. Diakses 19 Juli
2018, pukul 23.00.
25. Anonim. https://step2.medbullets.com/orthopedics/120540/carpal-tunnel-
syndrome. Diakses 20 Juli 2018, pukul 01.00.

40

Anda mungkin juga menyukai