Anda di halaman 1dari 40

TUGAS MANDIRI

Agama Islam

Kehidupan Beragama di Lingkungan Keluarga

Nama : Izzatul Yazidah Tanjung


NPM : 180810209

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS PUTERA BATAM
2019
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah SWT Yang Maha Kuasa, sehingga atas izin dan
karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Penulis juga
mengucapkan terimakasih pada Dosen pembimbing mata kuliah Agama
Islam yang telah memberikan materi yang membantu dalam menyelesaikan
makalah ini sebagai tugas mandiri mata kuliah Agama Islam.

Pendidikan agama di lingkungan keluarga sangat besar peranannya dalam


pembentukan kepribadian bagi anak-anak, karena di lingkungan keluargalah
anak-anak pertama kali menerima pendidikan yang mempengaruhi
perkembangannya selanjutnya. Agar anak-anak memiliki kepribadian yang
baik dan terhindar dari pelanggaran-pelanggaran moral, maka perlu adanya
pembinaan agama sejak dini kepada anak-anak dalam keluarga, hingga
dewasa. Penulisan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat dalam
menjelaskannya.

Tak ada jalan yang tak retak, maka begitu pula lah penulisan makalah ini
yang jauh dari kesempurnaan dan banyak kekeliruan disana-sini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Untuk itu, penulis
menerima saran, kritik, dan pertanyaan demi perbaikan di masa yang akan
datang.

Batam, 31 Juli 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI
Halaman Judul.................................................................................................1
Kata Pengantar................................................................................................2
Daftar Isi...........................................................................................................3
BAB I: PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang......................................................................................4
1.2. Rumusan Masalah.................................................................................6
1.3. Tujuan Penulisan..................................................................................6
1.4. Manfaat Penulisan................................................................................6
BAB II: LANDASAN TEORI
2.1. Pendidikan Agama Islam.......................................................................7
2.2. Dasar dan Tujuan Pendidikan Agama Islam.........................................9
2.3. Metode Pendidikan Agama Islam.........................................................11
2.4. Materi Pokok Pendidikan Agama Islam................................................14
BAB III: PEMBAHASAN
3.1. Peran Keluarga Bagi Anak-Anak.........................................................18
3.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepribadian..................................24
3.3. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Anak Berkepribadian Buruk...........26
3.4. Peran Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga terhadap
Pembentukan Kepribadian Anak.................................................................30
BAB IV:
KESIMPULAN................................................................................................37
Daftar Pustaka................................................................................................39

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Islam adalah agama yang suci, agama yang sangat memperhatikan agar
pertumbuhan dan perkembangan anak berada di bawah naungan
keluarga harmonis. Di dalamnya semua orang dapat menunaikan
kesempatannya dan mengetahui hak serta kewajibannya. Selain itu,
mereka bisa memasuki lingkungan masyarakat di sela-sela suasana
keluarga yang telah membekali mereka dengan dasar-dasar yang sangat
penting berupa pendidikan maupun akhlak yang benar.

Keluarga merupakan masyarakat kecil dan menjadi pilar bagi tegaknya


masyarakat makro yaitu umat. Sebuah keluarga dapat terbentuk karena
adanya ikatan laki-laki dan perempuan melalui sebuah pernikahan yang
sah baik menurut hukum negara maupun syariat Islam. Kemudian Allah
SWT memberikan nikmat kepada mereka yang menjadi perhiasan dan
perekat dalam berumah tangga yakni anak. Rumah keluarga muslim
adalah benteng utama tempat anak dibesarkan melalui pendidikan Islam.
Yang dimaksud dengan keluarga muslim adalah keluarga yang
mendasarkan aktifitasnya pada pembentukan keluarga yang sesuai
dengan syari'at Islam.

Para ahli pendidikan pada umumnya mengatakan pendidikan di dalam


keluarga ini merupakan pendidikan pertama dan utama. Dikatakan
demikian karena di dalam keluarga inilah anak mendapatkan pendidikan
pertama kalinya. Di samping itu, pendidikan di dalam keluarga
mempunyai pengaruh yang dalam bagi kehidupan anak terutama bagi
pertumbuhan dan perkembangan psikis serta nilai-nilai sosial dan religius
pada diri anak. Pendidikan yang diberikan di lingkungan keluarga

4
berbeda dengan pendidikan yang dilaksanakan di sekolah, karena
pendidikan dalam keluarga bersifat informal yang tidak terikat oleh waktu
dan program khusus.

Peran pendidikan sendiri adalah menjaga generasi sejak masa kecil dari
berbagai penyelewengan ala jahiliyah, mengembangkan pola hidup,
perasaan dan pemikiran mereka sesuai dengan fitrah agar menjadi
pondasi yang kuat, pendidikan yang diberikan akan mempengaruhi anak
dan akan menjadi bagian dari kepribadiannya. Untuk membangun
pondasi yang kuat, dalam diri anak dibutuhkan pendidikan agama
semenjak usia dini. Seorang anak memiliki dua potensi yaitu bisa
menjadi lebih baik dan bisa menjadi lebih buruk. Baik buruknya anak
sangat berkaitan erat dengan pembinaan dalam pembinaan agama Islam
dalam keluarga, masyarakat, dan lembaga pendidikan.

Sejalan dengan semakin pesatnya arus globalisasi yang dicirikan dengan


derasnya arus informasi dan teknologi ternyata dari satu sisi
memunculkan persoalan-persoalan baru yang kerap kita temukan pada
diri individu dalam suatu masyarakat. Masalah kepribadian adalah suatu
masalah yang menjadi perhatian orang dimana saja. Munculnya
kenakalan remaja, tawuran antar pelajar, narkoba, penyimpangan
seksual, kekerasan serta berbagai bentuk penyimpangan penyakit
kejiwaan, seperti stress, depresi, dan kecemasan adalah bukti yang tak
ternafikan dari adanya dampak negatif dari kemajuan peradaban kita. Hal
ini kemudian secara tidak langsung berpengaruh tidak baik pula pada
kemapanan dan tatanan masyarakat damai seperti kita semua harapkan.
Buruknya kepribadian yang disebutkan di atas adalah di antara macam-
macam kelakuan anak-anak yang menggelisahkan orang tuanya sendiri
dan juga ada yang menggelisahkan dirinya sendiri. Tidak sedikit orang
tua yang mengeluh kebingungan menghadapi anak-anak yang tidak bisa
lagi dikendalikan baik oleh orang tua itu sendiri maupun guru-gurunya.

5
Contoh-contoh dalam hal ini sangat banyak, dapat kita rasakan,
saksikan, dan perhatikan sendiri.

Berdasarkan uraian di atas, perlu kiranya kita memikirkan tentang model


pendidikan agama bagi anak-anak di lingkungan keluarga, sehingga
anak-anak remaja kita saat memiliki kepribadian yang baik akan
berdampak pula terhadap kehidupan bangsa ini.

1.2. Rumusan Masalah


a. Apa itu pendidikan agama islam dalam keluarga?
b. Apakah dasar, tujuan, dan metode pendidikan agama islam dalam
keluarga?
c. Apasajakah yang diajarkan dalam keluarga?
d. Bagaimana peran keluarga dalam mendidik anak?
1.3. Tujuan Penulisan
a. Menjelaskan bagaimana pendidikan agama islam dalam keluarga.
b. Menjabarkan dasar, tujuan, dan metode pendidikan Islam dalam
keluarga.
c. Menjabarkan materi pendidikan agama islam yang harus diajarkan
dalam keluarga.
d. Menjelaskan peran keluarga dalam mendidik anak.
1.4. Manfaat Penulisan
a. Bagi masyarakat, dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam
melakukan pendidikan agama dalam keluarga dalam hal pembentukan
kepribadian anak.
b. Bagi saya dan mahasiswa, dapat menambah wawasan ilmu
pengetahuan khususnya dalam hal peranan pendidikan agama islam
dalam pembentukan kepribadian diri kita sendiri.

6
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Pendidikan Agama Islam

Pendidikan itu menyangkut seluruh pengalaman. Orang tua mendidik


anaknya, anak mendidik orang tuanya, guru mendidik muridnya, murid
mendidik gurunya, bahkan anjing mendidik tuannya. Semua yang kita
sebut atau kita lakukan dapat disebut mendidik kita. Begitu juga yang
disebut dan dilakukan orang lain terhadap kita, dapat disebut juga
mendidik kita. Dalam pengertian ini kehidupan adalah pendidikan, dan
pendidikan adalah kehidupan. (Lodge, 1974: 23).

Menurut Marimba (1989: 19) bahwa yang dinamakan pendidikan ialah


bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya
kepribadian yang utama.

Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003


tentang sistem pendidikan nasional pasal 1 pendidikan adalah aktivitas
dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan
membina potensi-potensi pribadinya, yaitu rohani (piker, karsa, rasa, cipta
dan budi nurani) dan jasmani (panca indra serta keterampilan-
kerampilan).

Pendidikan adalah suatu proses yang mempunyai tujuan yang biasanya di


usahakan untuk menciptakan pola-pola tingkah laku tertentu pada kanak-
kanak atau orang yang sedang di didik. Dari beberapa pendapat yang
telah di uraikan di atas, maka dapat di simpulkan bahwa pendidikan
adalah usaha sadar melalui bimbingan, pengarahan dan latihan untuk

7
membantu mengarahkan anak didik agar berkepribadian tinggi menuju
yang sempurna serta mampu melaksanakan kewajibannya terhadap
agama dan Negara.

Istilah agama memiliki berbagai macam pengertian. Agama itu bersumber


dari dua kata, yaitu “A” yang berarti tidak dan “Gama” yang berarti kacau
balau, tidak teratur. Jadi, agama artinya tidak kacau atau tidak teratur.
Ada pula yang berpendapat bahwa agama berasal dari kata bahasa
sangsekerta yang artinya haluan, peraturan, jalan atau kebaikan kepada
Tuhan.

Agama adalah peraturan-peraturan yang harus di taati yang


mempersatukan seluruh umat manusia itu sejahtera, damai dan
mendapat kedudukan yang terpuji atau sikap terhadap dunia yang
mencakup acuan yang menunjukkan lingkungan lebih luas dari pada
lingkungan dunia ffisik yang terikat ruang dan waktu.

Pendidikan agama ialah pendidikan yang menyangkut dengan


penanaman nilai-nilai keagamaan dengan ajaran agama dan kepercayaan
masing-masing. Namun, dalam hal ini ialah pendidikan agama Islam.

Menurut Ahmad Tafsir, Pendidikan Agama Islam adalah suatu usaha


bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya ia dapat
memahami apa yang terkandung di dalam Islam secara keseluruhan serta
berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Pendidikan
agama islam merupakan upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan
peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga
mengimani, bertaqwa dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran
agama islam dari sumber utamanya yaitu kitab suci Al-Qur’an dan Hadits
melalui kegiatan bimbingan pengajaran, latihan, serta penggunaan
pengalaman, agar kelak dapat berguna menjadi pedoman hidupnya untuk
mencapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.

8
Di dalam dunia pendidikan Islam, istilah pendidikan berkisar pada konsep-
konsep yang dirumuskan dalam istilah-istilah sebagai berikut:

a. Taklim; pendidikan yang menitikberatkan masalah pada pengajaran,


penyampaian informasi, dan pengembangan ilmu.
b. Tarbiyah; pendidikan yang menitikberatkan masalah pada pendidikan,
pembentukan, dan pengembangan pribadi dan kode etik (norma-
norma etika/akhlak).
c. Ta'dib; pendidikan yang memandang bahwa proses pendidikan
merupakan usaha yang mencoba membentuk keteraturan susunan
ilmu yang berguna bagi dirinya sebagai muslim yang harus
melaksanakan kewajiban serta fungsionalisasi atas niat atau sistem
sikap yang direalisasikan dalam kemampuan berbuat yang teratur,
sistematik, terarah, dan efektif.

Hal itu senada dengan rumusan fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional
Indonesia yang tertuang dalam Undang-undang no 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 sebagai bertikut:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.

2.2. Dasar dan Tujuan Pendidikan Agama Islam

Dasar adalah landasan tempat terpijak atau tempat tegaknya sesuatu.


Dalam hubungannya dengan pendidikan agama islam, dasar-dasar itu
merupakan pegangan untuk memperkokoh nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya.

9
Adapun yang menjadi dasarnya adalah:

a. Al-Qur’an; sebagai kitab suci telah di pelihara dan di jaga kemurnianya


oleh Allah SWT dari segala sesuatu yang dapat merusak sepanjang
masa dari sejak diturunkannya sampai hari kiamat kelak.
b. Hadits; merupakan perkataan ataupun perbuatan Nabi Muhammad
SAW yang memberikan gambaran tentang segala sesuatu hal, yang
juga di jadikan dasar dan pedoman dalam Islam dan sebagai umat
Islam kita harus mentaati apa yang telah di sunnahka an Rasulullah
dalam Haditsnya.
c. Undang-undang Dasar 1945, pasal 29 ayat 1 dan 2, yang berbunyi:
i. Negara berdasarkan azas Ketuhanan Yang Maha Esa
ii. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing

Menurut Prof. Ahmad tafsir dalam bukunya ilmu pendidikan dalam


persfektif islam (2007: 157), ada dua arah mengenai kegunaan
pendidikan agama dalam keluarga. Pertama, penanaman nilai dalam arti
pandangan hidup  yang kelak mewarnai perkwembangan jasmani
akalnya. Kedua, penanaman sikap yang kelak menjadi basis dalam
menghargai guru dan pengetahuan di sekolah.

Setiap usaha yang dilakukan secara sadar oleh setiap manusia, pasti
tidak lepas dari tujuan. Tujuan utama Pendidikan Agama Islam adalah
mencari ridha Allah SWT. Dengan pendidikan, di harapkan akan lahir
individu-individu yang baik, bermoral, berkualitas sehingga bermanfaat
kepada dirinya, keluarga, masyarakat, negaranya dan umat manusia
secara keseluruhan. Jadi tujuan pendidikan adalah perkara yang amat
penting, sebab tujuan itulah yang menentukan sifat-sifat metode dan
kandungan pendidikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa,
tujuan pendidikan dalam keluarga adalah terciptanya kesempurnaan dari
masing-masing anggota keluarga. Selain itu dapat saling berakhlak baik

10
kepada Allah SWT dengan cara menjalankan perintah dan menjauhi
larangannya, berbuat baik kepada sesama manusia, diri sendiri, maupun
makhluknya.

2.3. Metode Pendidikan Agama Islam

Pola atau dapat disebut juga sebagai metode merupakan suatu cara yang
dilakukan oleh pendidik dalam menyampaikan nilai-nilai atau materi
pendidikan pada peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan itu
sendiri sebagai salah satu komponen penting dalam proses pendidikan,
pola atau metode dituntut untuk selalu dinamis sesuai dengan dinamika
dan perkembangan peradaban manusia.

Pola atau metode pendidikan agama dalam  Islam pada dasarnya


mencontoh pada perilaku Nabi Muhammad Saw dalam membina keluarga
dan sahabatnya. Karena segala apa yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad merupakan manifestasi dari kandungan al-Qur’an. Adapun
dalam pelaksanaannya, Nabi memberikan kesempatan pada para
pengikutnya untuk mengembangkan cara sendiri selama cara tersebut
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pelaksanaan pendidikan yang
dilakukan oleh Nabi.

Abdulrahman Al-Nahlawi dalam bukunya Ushulu al-Tarbiyah al-Islamiyah


wa Ashalibiha (1983) mencoba mengembangkan metode pendidikan
Qurani.(Syahidin, 2005: 59) yang disebut metode pendidikan Qurani ialah
salah satu metode pendidikan yang berdasarkan kandungan al-Qur’an
dan as-Sunnah. Dalam hal ini, segala bentuk upaya pendidikan
didasarkan kepada nilai-nilai yang terdapat dalam al-Quran dan as-
Sunnah.

Metode pendidikan agama yang dapat di gunakan dalam keluarga :

a. Metode keteladanan

11
Pendidikan dengan teladan berarti pendidikan dengan memberi
contoh, baik berupa tingkah laku, sifat, cara berpikir dan sebagainya.
Keteladanan merupakan metode yang paling baik dalam rangka
proses kehidupannya, mereka memerlukan keteladanan yang baik
dan sholeh. Teladan dari orang tua akan jauh lebih membekas dari
pada semua kata yang mereka ajarkan. Dengan demikian
keteladanan yang diberikan orang tua pada anaknya akan sangat
menentukan keberhasilan orang tua dalam membimbing anak-
anaknya. Metode ini yang paling efektif untuk membimbing anaknya.
Orang tua tidak hanya memberikan bimbingan secara lisan melainkan
juga langsung memberikan contoh kepada anak-anaknya.
b. Metode Kisah
Dalam islam banyak kisah para Nabi yang dapat di petik pelajaran
moral yang di paparkan melalui metode cerita. Sebagai contoh : kisah
Nabi Muhammad, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Yunus, Nabi Musa
dan lain-lain. Dari kisah tersebut, orang tua menceritakan kepada
anak-anaknya dengan metode yang sangat berkesan dan dengan
ungkapan dalam kehidupannya.
c. Metode Nasehat
Di antara metode pendidikan yang popular sejak dulu adalah dengan
cara nasehat, sebab manusia itu senang dan selalu memperhatikan
jika mendengar nasehat dari orang yang disintainya. Oleh sebab itu,
dalam kondisi yang demikian ini, nasehat sangat mampu berpengaruh
pada diri orang yang mendengarkan nasehat maka oleh sebab itu
sebagai orang tua hendaknya memahami  dalam memberikan
nasehat dalam mendidik anak-anaknya sehingga akhirnya dapat
menjadi anak yang baik berfikir jerrnih serta berwawasan luas.
d. Metode Pengawasan
Metode pengawasan ini adalah peran orang tua disini adalah
melakukan pengawasan, maksudnya yaitu mendampingi anak dalam

12
upaya pembentukan kepribadian yang baik serta mengawasi dan
mempersiapkan keadaannya baik dalam jasmani maupun rohani.
Pengawasan merupakan metode yang tidak bisa di abaikan oleh
orang tua, karena anak tidak selamanya berada di tengah-tengah
keluarganya dia akan semakin besar  dan makin luas dunianya. Oleh
sebab itu, orang tua harus melakukan pengawasan yang baik
terhadap anaknya mulai sejak dini.
e. Metode Hukuman
Bila teladan dan nasehat tidak mampu, maka harus di adakan tindak
tegas yang dapat meletakkan persoalan di tempat yang benar,
tindakan tegas itu adalah hukuman. Hukuman merupakan metode
terburuk, tetapi dalam kondisi tertentu harus di gunakan karena
hukuman adalah cara yang paling terakhir. Oleh sebab itu, ada
beberapa hal yang hendak di perhatikan pendidik dalam
menggunakan hukuman antara lain adalah :
 Menghukum bertujuan untuk memperbaiki kesalahan untuk tidak
melakukan lagi di manapun dan kapanpun.
 Metode hukuman digunakan apabila metode ini tidak berhasil
digunakan lagi dalam memperbaiki peserta didik.
 Sebelum dijatuhkan hukuman, terlebih dahulu hendaknya
memberi kesempatan untuk bertobat dan memperbaiki diri.
 Hukuman yang diberikan hendaknya dapat dimengerti
olehnya,sehingga dia sadar dengan kesalahan dan tidak
mengulaginya lagi.
 Hukuman hendaknya melihat kondisi atau latar belakang peserta
didik.
 Menjatuhkan hukuman hendaknya yang logis, yakitu
hukumandisesuaikan dengan jenis kesalahan.
 Hukuman piskis lebih baik dari pada pisik.Dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa anak benar-benar membutuhkan perhatian

13
dari keluarga, khususnya orang tua. Oleh karena ituorang tua
memang harus menjadi teladan yang utama bagi anak-anaknya
setadapat memberikan nasehat-nasehat bila anaknya ada
masalah yang mungkin tidak dapat diselesaikan denagn sendiri
oleh anak.

2.4. Materi Pokok Pendidikan Agama Islam

a) Pendidikan Akidah
Sesungguhnya tujuan utama kehidupan manusia sebagaimana
digambarkan dalam al-Qur’an adalah mengesakan dan menyembah
Allah SWT, mengenal-Nya dengan sebenar-benarnya, dan
memakmurkan alam semesta ini sesuai dengan syariat yang
ditetapkan. Allah berfirman yang artinya:

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya


mereka mengabdi kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56).
Para mufassir menyebutkan makna al-’ibadah dalam ayat ini dalam
beberapa pendapat: pertama, tauhid; kedua, melaksanakan ibadah
dan menjaga ketaatannya; ketiga, mengenal Allah (ma’rifatullah).
Sebagaimana tujuan utama pernikahan dalam Islam adalah membina
generasi imani yang mempunyai keimanan kuat dalam hatinya dan
terlihat pengaruhnya pada akhlak dan perbuatannya, Nabi
Muhammmad saw juga telah menegaskan betapa besar pengaruh
orang tua dalam memberikan bimbingan akidah yang benar bagi anak-
anaknya. Nabi Muhammmad saw bersabda:

14
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, orang tuanyalah yang
menjadikannya yahudi, nasrani, atau majusi.”
Dasar-dasar akidah paling penting yang wajib diajarkan kepadaanak-
anak adalah: mengesakan Allah (tauhidullah), Allah menaklukkan
semua makhluk untuk berkhidmat kepada manusia, beriman kepada
qadha dan qadar serta bertawakal kepada Allah, menanamkan
kecintaan kepada Nabi Muhammad Saw.
b) Pendidikan Ibadah
Materi dalam pendidikan ibadah yang dimaksud di sini adalah meliputi:
Shalat, karena shalat adalah mediator antara hamba dan Tuhannya.
Selain itu, shalat merupakan tiang agama Islam, siapa yang
menegakkannya maka berarti telah menegakkan Islam dan
barangsiapa yang merobohkannya maka roboh pula Islam. Bersama
dengan lainnya; syahadatain, haji, puasa, dan zakat, shalat menjadi
tiang (fondasi) bangunan Islam. Shalat adalah satu-satunya ibadah
yang pelaksanaannya harus diperintahkan kepada seorang anak,
bahkan dapat diberi ganjaran dengan pukulan apabila si anak
menunjukkan keengganan untuk melaksanakannya.
Aspek pendidikan ibadah ini khususnya pendidikan shalat disebutkan
dalam firman Allah yang artinya:

“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan


yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan
bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS.
Luqman:17).

Ayat tersebut menjelaskan pendidikan shalat tidak terbatas tentang


kaifiyah di mana menjalankan shalat lebih bersifat fiqhiyah melainkan
termasuk menanamkan nilai-nilai di balik shalat. Dengan demikian
mereka harus mampu tampil sebagai pelopor amar makruf nahi

15
munkar serta jiwanya teruji sebagai orang yang sabar

c) Pendidikan Pokok-Pokok Ajaran Islam


1. Mengenal Allah
Mengenal Allah adalah merupakan bagian esensial dari ajaran islam
yang pertama kali harus dilakukan sebelum seseorang mempelajari
bagian ajaran Islam lainnya. Manusia dapat mengenal Allah dengan
menggunakan potensi yang ada dalam dirinya, yaitu fitrah ke-
Tuhanan atau unsur lahut yang ada dalam diri manusia. Melalui
fitrah keberagamaan tersebut manusia dapat mengenal Tuhannya.
2. Memahami Al-Qur’an dan Hadits
Al-Qur’an dan Hadits merupakan dasar utama ajaran Islam,karena
dari kedua dasar tersebut dapat dikembangkan berbagai disiplin
studi Islam , seperti tafsir, hadits, fiqih, ilmu kalam, akhlak dan lain
sebagainya. Selain itu al-Qur’an dan Hadits merupakan pedoman
hidup umat Islam yang dapat menjamin keselamatan baik di dunia
maupun di akhirat
d) Pendidikan Akhlakul Karimah
Islam bukanlah himpunan keyakinan dan ibadah semata. Islam adalah
agama kehidupan dan sosial. Oleh karena itu, Islam menganjurkan
untuk melatih anak-anak sejak kecil dengan dasar-dasar pokok adab
pergaulan dan akhlak yang benar. Rasulullah menganjurkanuntuk
memanfaatkan kesempatan dan menegur anak-anak bila ada
kesalahan dalam sikap yang mereka lakukan. Tidak diragukan lagi jika
seorang tidak belajar adab pergaulan yang benar sejak kecil, maka ia
akan menuai banyak kecaman dari orang-orang di sekitarnya dan
bahkan akan jatuh dalam posisi yang sulit dan memalukan. Oleh
karena itu, salah satu kewajiban orang tua adalah memperhatikan hal
santun umum ketika hadir di suatu majlis semisal adab berbicara,
mendengarkan, minta izin, memperkenalkan namanya, berbicara di

16
telepon, membalas salam, berjalan, makan minum, bercanda, dan
menghormati orang lain.

17
BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Peran Keluarga Bagi Anak-Anak

Keluarga secara etimologis berasal dari rangkaian kata “kawula” dan


“warga”. Kawula artinya abdi yakni hamba sedangkan warga berarti
anggota . Sebagai abdi di dalam keluarga, seseorang wajib menyerahkan
segala kepentingan kepada keluarganya dan sebagai warga atau
anggota, ia berhak untuk ikut mengurus segala kepentingan di dalam
keluarganya.

Sedangkan menurut M.I Sulaiman (1994 : 12) ciri hakiki suatu keluarga
ialah bahwa keluarga itu merupakan : “Satu persekutuan hidup yang
dijalin kasih sayang antara pasangan dua jenis manusia yang dikukuhkan
dengan pernikahan, yang bermaksud untuk saling menyempurnakan diri”.

Dalam Ensyclopedi Umum yang dimaksud dengan keluarga yaitu


kelompok orang yang ada hubungan darah atau perkawinan yang terdiri
dari ibu, ayah, anak– anaknya (yang belum memisahkan diri sebagai
keluarga.

Dalam bahasa Inggris kata keluarga diartikan dengan Family. Everet


Wilson mengartikan family (keluarga ) adalah ” the face to face group
(kelompok tatap muka). Dia mengartikan lebih ke arah fungsi keluarga.

Keluarga merupakan unit terkecil dalam suatu masyarakat yang terdiri


atas ayah, ibu, anak-anak dan kerabat lainnya. Lingkungan keluarga
merupakan tempat di mana anak-anak dibesarkan dan merupakan
lingkungan yang pertama kali dijalanai oleh seorang anak di dalam
mengarungi hidupnya, sehingga apa yang dilihat dan dirasakan oleh
anak-anak dalam keluarga akan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan

18
perkembangan jiwa seorang anak.

Keluarga merupakan unit pertama dan institusi pertama dalam


masyarakat di mana hubungan-hubungan yang terdapat di dalamnya,
sebahagian besarnya bersifat hubungan langsung dan di situlah
berkembang individu dan di situ pulalah terbentuknya tahap-tahap awal
proses sosialisasi bagi anak-anak. Dari interaksi dalam keluarga inilah
anak-anak memperoleh pengetahuan, keterampilan, minat, nilai-nilai,
emosi dan sikapnya dalam hidup dan dengan itu pulalah mereka
memperoleh ketenteraman dan ketenangan.

Pembentukan keluarga dalam Islam bermula dengan terciptanya


hubungan suci yang menjalin seorang laki-laki dan seorang perempuan
melalui perkawinan yang halal, memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat
sahnya perkawinan tersebut. Oleh karena itu, kedua suami dan isteri itu
merupakan dua unsur utama dalam keluarga. Jadi, keluarga dalam
pengertiannya yang sempit merupakan suatu unit sosial yang terdiri dari
seorang suami dan seorang isteri, atau dengan kata lain, keluarga adalah
perkumpulan yang halal antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
yang bersifat terus menerus di mana yang satu merasa tenteram dengan
yang lain sesuai dengan yang ditentukan oleh agama dan masyarakat.
Dan ketika kedua suami isteri itu dikaruniai seorang anak atau lebih, maka
anak-anak itu menjadi unsur utama ketiga pada keluarga tersebut di
samping dua unsur sebelumnya.

Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi setiap individu di mana ia


berinteraksi. Dari interaksi dengan lingkungan pertama inilah individu
memperoleh unsur-unsur dan ciri-ciri dasar daripada kepribadiannya.
Juga dari situlah ia memperoleh akhlak, nilai-nilai, kebiasaan dan
emosinya dan dengan itu ia merobah banyak kemungkinan-kemungkinan,
kesanggupan-kesanggupan dan kesedian-nya menjadi kenyataan dalam
hidup dan tingkah laku yang tampak. Jadi keluarga itu bagi seorang

19
individu merupakan simbol atas nilai-nilai yang mulia, seperti keimanan
yang teguh kepada Allah, pengorbanan, kesediaan berkorban untuk
kepentingan kelompok, cinta kepada kebaikan, kesetiaan dan lain-lain lagi
nilai mulia yang dengannya keluarga dapat menolong individu untuk
menanamkannya pada dirinya.

Individu itu perlu pada keluarga bukan hanya pada tingkat awal hidupnya
dan pada masa kanak-kanak, tetapi ia memerlukannya sepanjang
hidupnya, sebab di dalam keluargalah, baik anak-anak, remaja, orang
dewasa, orang tua maupun manula mendapatkan rasa kasih sayang, rasa
tenteram dan ketenangan.

Keberadaan keluarga bukan hanya penting bagi seorang individu, tetapi


juga bagi masyarakat, sehingga masyarakat menganggap keluarga
sebagai institusi sosial yang terpenting dan merupakan unit sosial yang
utama melalui individu-individu yang telah dipersiapkan di dalamnya, baik
berupa nilai-nilai, kebudayaan, kebiasaan maupun tradisi yang ada di
dalamnya. Dari segi inilah, maka keluarga dapat menjadi ukuran dalam
sebuah masyarakat, dalam arti apabila masing-masing keluarga itu
berada dalam keluarga yang sehat, maka akan sehatlah suatu
masyarakat. Dan sebaliknya, jika masing-masing keluarga itu tidak sehat,
dampaknya terhadap masyarakat pun akan menjadi tidak sehat.

Keluarga sebagai tempat di mana anak-anak dibesarkan memiliki peranan


yang sangat penting dalam pendidikan anak, karena pertama-pertama
yang akan dilihat dan dirasakan oleh anak sebelum orang lain adalah
keluarga. Peranan pendidikan keluarga tidak akan tergeser oleh
banyaknya institusi-institusi dan lembaga-lembaga pendidikan yang ada,
seperti Taman Kanak-kanak, Sekolah-sekolah, Akademi- akademi dan
lain-lainnya. Begitu juga dengan bertambahnya lembaga-lembaga
kebudayaan, kesehatan, politik, agama tidak akan menggeser fungsi
pendidikan keluarga.

20
Walaupun begitu tingginya tingkat perkembangan dan perubahan yang
berlaku disebahagian besar masyarakat modern, termasuk masyarakat
muslim sendiri, tetapi keluarga tetap memelihara fungsi pendidikannya
dan menganggap bahwa hal itu merupakan sebagian tugasnya,
khususnya dalam rangka menyiapkan sifat cinta mencintai dan keserasian
di antara anggota-anggotanya. Begitu juga ia harus memberi
pemeliharaan kesehatan, psikologikal, spiritual, akhlak, jasmani,
intelektual, emosional, sosial di samping menolong mereka
menumbuhkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan kebiasaan yang
diingini yang berguna dalam segala lapangan hidup mereka serta
sanggup mengambil manfaat dari pelajaran lembaga-lembaga lain.

Peranan pendidikan yang sepatutnya dipegang oleh keluarga bagi


anggota- anggotanya secara umum adalah peranan yang paling pokok
dibanding dengan peranan-peranan lain. Lembaga-lembaga lain dalam
masyarakat, misalnya lembaga politik, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain
tidak dapat memegang peranan itu.Walaupun lembaga-lembaga lain
dapat menolong keluarga dalam tindakan pendidikan, akan tetapi ia tidak
sanggup menggantikan, kecuali dalam keadaan- keadaan luar biasa,
seperti ketika ibu bapak meninggal atau karena ibu bapak rusak akhlak
dan menyeleweng dari kebenaran, atau mereka acuh tak acuh dan tidak
tahu cara-cara yang betul dalam mendidik anak. Orang tua semacam ini
tidak akan sanggup mendidik anak-anaknya menjadi orang yang baik dan
terhormat, karenanya akan menjadi mashlahat apabila anak-anak itu
dididik di luar keluarga mereka, misalnya dalam institusi-institusi yang
yang baik, teratur dan bertanggungjawab atas baik dan buruknya
kepribadian.

Menurut Syamsu Yusuf (2007), keluarga dipandang sebagai penentu


utama pembentukan kepribadian anak. Alasannya adalah: (1) keluarga
merupakan kelompok sosial pertama yang menjadi pusat identifikasi

21
anak, (2) anak banyak menghabiskan waktunya di lingkungan keluarga,
dan (3) para anggota keluarga merupakan “significant people” bagi
pembentukan kepribadian anak.

Di samping itu, keluarga juga dipandangn sebagai lembaga yang dapat


memenuhi kebutuhan insani, terutama bagi pengemnbagan
kepribadiannya dan pengembangan ras manusia. Melalui perlakuan dan
perawatan yang baik dari orang tua, anak dapat memenuhi
kebutuhannya, baik kebutuhan fisik-biologis, maupun kebutuhan sosio
psikologisnya. Apabila anak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dasarnya, maka dia cenderung berkembang menjadi seorang pribadi
yang sehat.

Perlakuan orang tua yang penuh kasih sayang dan pendidikan nilai-nilai
kehidupan, baik nilai agama maupun nilai sosial budaya yang diberikan
kepada anak merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapkan anak
menjadi pribadi dan warga masyarakat yang sehat dan produktif.

Suasana keluarga sangat penting bagi perkembangan kepribadian anak.


Seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang harmonis
dan agamis, yaitu suasana yang memberikan curahan kasih sayang,
perhatian, dan bimbingan dalam bidang agama, maka perkembangan
kepribadian anak tersebut cenderung positif, sehat. Sedangkan anak yang
dikembangkan dalam lingkungan keluarga yang berantakan, tidak
harmonis, keras terhadap anak dan tidak memperhatikan nilai-nilai
agama, maka perkembangan kepribadiannya cenderung mengalami
distorsi atau mengalami kelainan dalam penyesuaian dirinya.

Apabila fungsi keluarga dalam kajian psikologikal modern menekankan


pendidikannya kepada pembinaan jiwa mereka dengan rasa cinta, kasih
sayang dan ketenteraman, justeru para ahli ilmu jiwa Muslim jauh
sebelum itu telah menekankan perkara ini dalam berbagai tulisannya.
Ulama-ulama Muslim dahulu kala menekankan pentingnya peranan

22
pendidikan keluarga itu pada tahun-tahun pertama usia anak-anak yang
berdasar kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Di samping
itu, nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah banyak yang menekankan
pentingnya pendidikan dalam keluarga, di antaranya: Allah berfirman:
“Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (Q.S.(66):6). Juga
Rasulullah bersabda: “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka
ibu bapaknyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nashrani atau Majusi
(H.R.Tabrani dan Baihaqi). Dalam sabdanya yang lain, Rasulullah
menjelaskan: “Awasilah anak-anakmu dan perbaikilah adabnya” (H.R.Ibnu
Majah).

Dari bukti-bukti yang dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa mendidik


anak dalam keluarga kewajiban paling utama. Kewajiban ini tidak dapat
ditinggalkan kecuali karena udzur, dan juga tidak akan membebaskan ia
dari tanggungjawab ini dengan adanya institusi-institusi pendidikan yang
didirikan khusus untuk anak-anak dan generasi muda. Sebab, institusi itu
tidak akan sanggup menggantikan keluarga dalam menanamkan rasa
cinta dan kasih sayang kepada anak-anak.

Keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama, pertama karena


keluarga merupakan lingkungan awal sebelum anak itu mengenal luar
dan utama karena keluarga menjadi lingkungan sosial dan emosional
dimana hal itu sangat memberikan kualitas pengalaman sehingga menjadi
faktor determinan untuk pembentukan kepribadian seorang anak.

Menurut M.I. Sulaeman (1994: 84), fungsi keluarga itu ada delapan jenis,
yaitu: (1) fungsi edukasi, (2) fungsi sosialisasi, (3) fungsi proteksi, (4)
fungsi afeksi, (5) fungsi religius, (6) fungsi ekonomi, (7) fungsi rekreasi, (8)
fungsi biologis.

Berdasarkan kepada beberapa fungsi keluarga di atas terlihat bahwa


salah satu fungsi keluarga ialah fungsi pendidikan. Hal ini berarti bahwa
orangtua sebagai pendidik pertama dan utama mempunyai kewajiban

23
dalam memberikan pendidikan kepada anak-anaknya termasuk
pendidikan nilai moral.

3.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepribadian

Kepribadian menurut Woodwort dalam Elizabeth B. Hurlock (1976) yaitu


kualitas keseluruhan perilaku individu. Sedangkan menurut Allport masih
dalam Elizabeth B. Hurlock (1976), kepribadian adalah organisasi atau
tata aturan dinamis dalam diri seseorang dengan sstem psiko-fisiknya
yang menentukan karakter tingkah laku dan pemikirannya.

Kepribadian yang dimiliki seseorang tidak lepas dari pengaruh yang


datang dari luar dirinya. Paling tidak, ada tiga faktor utama yang bekerja di
dalam menentukan perkembangan kepribadian seseorang. Pertama,
pengaruh keturunan individu; kedua, pengalaman awal dalam keluarga;
dan ketiga, peristiwa-peristiwa penting di kemudian hari di luar lingkungan
rumah. Dengan demikian, pola kepribadian bukanlah hasil belajar secara
eksklusif atau keturunan eksklusif. Sebaliknya, itu berasal dari interaksi
dari keduanya.

Kepribadian yang dimiliki seseorang tidak bisa lepas dari faktor keturunan,
terutama yag berkaitan dengan pematangan karakteristik fisik dan mental.
Meskipun faktor lingkungan sosial dan lainnya besar pengaruhnya
terhadap kepribadian, namun tidak lepas dari potensi yang ada dalam
individu. Bahan baku utama kepribadian, seperti fisik, kecerdasan, dan
temperamen adalah hasil dari keturunan. Anak memiliki warisan-warisan
sifat bawaan yang berasal dari kedua orang tuanya, merupakan potensi
tertentu yang sudah terbentuk dan sukar dirubah. Menurut H.C.
Witherington dalam Uyoh Sa’dullah (2007) heriditas adalah proses
penurunan sifat- sifat atau ciri-ciri tertentu dari suatu generasi ke generasi
lain dengan perantaraan sel benih. Pada dasarnya yang diturunkan itu
adalah struktur tubuh. Jadi, apa yang diturunkan orang tua kepada anak-

24
anaknya berdasar kepada perpaduan gen-gen, yang pada umumnya haya
mencakup sifat atau ciri-ciri struktur individu. Yang diturunkan itu sangat
kecil menyangkut ciri atau sifat orang tua yang diperoleh dari lingkungan
atau hasil belajar dari lingkungannya. Beberapa ciri atau sifat orang tua
yang kemungkinan dapat diturunkan , misalnya: warna kulit, kecerdasan,
bentuk fisik, seperti bentuk mata, hidung dan lain sebagainya yang
berkaitan dengan struktur fisik individu.

Selain dipengaruhi oleh faktor keturunan, kepribadian juga terbentuk dari


interaksi figur yang signifikan dari semua anggota keluarga (pertama ibu,
kemudian ayah dan saudara, dan kemudian figur keluarga yang lainnya)
dengan anak. Anak itu membawa kepada interaksi ini, seperti konstitusi
biologis tertentu, kebutuhan tertentu, dan kapasitas intelektual tertentu
yang menentukan reaksinya dengan cara di mana ia menindaklanjuti figur
yang signifikan tersebut.

Dalam interaksi antara faktor dan lingkungan, individu memilih dari


lingkungannya apa yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan dan
menolak apa yang tidak. Oleh karena itu, pola kepribadian berkembang
dimulai dari interaksi dengan lingkungannya sendiri.

Salah satu alasan untuk menekankan peran keturunan dalam


pengembangan pola kepribadian adalah fakta bahwa pola kepribadian
merupakan sesuatu yang tunduk pada keterbatasan. Seseorang yang
mewarisi kecerdasan tingkat rendah, misalnya, tidak bisa, bahkan di
bawah kondisi lingkungan paling menguntungkan, mengembangkan pola
kepribadian yang akan menyebabkan sama bagusnya penyesuaian
pribadi dan sosial sebagai orang yang mewarisi tingkat yang lebih tinggi
dari kemampuan intelektual.

Selanjutnya, pengakuan keterbatasan yang dikenakan oleh keturunan


menggarisbawahi fakta bahwa orang tidak benar-benar bebas untuk
memilih dan mengembangkan jenis pola kepribadian yang mereka

25
inginkan. Menggunakan kecerdasan lagi sebagai ilustrasi: Seseorang
dengan kecerdasan tingkat rendah tidak dapat mengembangkan pola
kepribadian seorang pemimpin meskipun ia ingin melakukannya dan
walaupun keinginannya memberinya motivasi yang kuat untuk mencoba
mengembangkan ciri kepribadian yang penting untuk kepemimpinan.

Pendidikan dalam berbagai bentuk, khususnya, atau belajar di bawah


bimbingan dan arahan yang lain, memainkan peran utama dalam
pengembangan pola kepribadian. Sikap terhadap diri, model karakteristik
menanggapi orang dan situasi, sikap terhadap asumsi peran sosial
disetujui, dan metode penyesuaian pribadi dan sosial, termasuk
penggunaan mekanisme pertahanan, dipelajari melalui pengulangan dan
diperkuat oleh kepuasan yang mereka bawa. Secara bertahap, konsep-
diri dibangun dan tanggapan belajar menjadi kebiasaan, yang merupakan
ciri dalam pola kepribadian individu.

Ada dua alasan, mengapa pendidikan memainkan peran dalam


pengembangan pola kepribadian, yaitu: Pertama, ia memberitahu kita
bahwa pengendalian dapat dilaksanakan untuk memastikan bahwa
individu akan mengembangkan jenis pola kepribadian yang akan dapat
menyesuaikan pribadi dan sosial yang baik. Kedua hal itu mengatakan
kepada kita bahwa konsep diri yang tidak sehat dan pola sosial tidak
dapat diterima penyesuaiannya dapat diubah dan dimodifikasi. Seperti
dalam mempelajari semua, semakin cepat perubahan atau modifikasi
dicoba, akan semakin mudah.

3.2. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Anak Berkepribadian Buruk

Apabila bila kita analisis faktor-faktor yang menyebabkan anak-anak


memiliki kepribadian buruk, sehingga mengakibatkan merosotnya moral
pada masyarakat sangat banyak sekali. Menurut Zakiyah Darajat (1988),
antara lain yang terpenting adalah:

26
a. Kurang tertanamnya jiwa agama pada tiap-tiap orang dalam
masyarakat.
Keyakinan beragama yang didasarkan atas pengertian yang
sungguh- sungguh dan sehat tentang ajaran agama yang dianutnya,
kemudian diiringi dengan pelaksanaan ajaran-ajaran tersebut
merupakan benteng moral yang paling kokoh. Apabila keyakinan
beragama itu betul-betul telah menjadi bagian integral dari
kepribadian seseorang, maka keyakinannya itulah yag akan
mengawasi segala tindakan, perkataan bahkan perasaannya. Jika
terjadi tarikan orang kepada sesuatu yang tampaknya menyenangkan
dan menggembirakan, maka keimanannya cepat bertindak meneliti
apakanhal tersebut boleh atau terlarang oleh agamanya. Andaikan
termasuk hal yang terlarang, betapapun tarikan luar itu tidak akan
diindahkannya, karena ia takut melaksanakan yang terlarang dalam
agama.
Jika setiap orang kuat keyakinannya kepada Tuhan, mau
menjalankan agama dengan sungguh-sungguh, maka tidak perlu
polisi, tidak perlu pengawasan yang ketat, karena setiap orang dapat
menjaga dirinya sendiri, tidak mau melanggar hukum-hukum dan
ketentuan Tuhannya. Semakin jauh masyarakat dari agama, semakin
susah memelihara moral orang dalam masyarakat itu, dan semakin
kacaulah suasana, karena semakin banyaknya pelanggaran-
pelanggaran atas hak dan hukum.
b. Keadaan masyarakat yang kurang stabil, baik dari segi ekonomi,
sosial, dan politik.
Faktor kedua yang ikut mempengaruhi moral masyarakat ialah kurang
stabilnya keadaan, baik ekonomi, sosial, maupun politik.
Kegoncangan atau ketidakstabilan suasana yang melingkungi
seseorang menyebabkan gelisah dan cemas, akibat tidak dapatnya
mencapai rasa aman dan ketenteraman dalam hidup. Demikian juga

27
dengan keadaan sosial dan politik, jika tidak stabil, maka akan
menyebabkan orang merasa takut, cemas dan gelisah, dan keadaan
seperti ini akan mendorong pula kepada kelakuan-kelakuan yang
mencari rasa aman yang kadang-kadang menimbulkan kecurigaan,
tuduhan-tuduhan yang tidak beralasan, kebencian kepada orang lain,
adu domba, fitnah dan lain sebagainya. Hal ini semua mudah terjadi
pada orang yang kurang keyakinannya kepada agama, dan mudah
menjadi gelisah.
c. Pendidikan moral tidak terlaksana menurut mestinya, baik di rumah
tangga, sekolah maupun masyarakat.
Faktor ketiga yang juga penting adalah tidak terlaksananya
pendidikan moral dengan baik dalam rumah tangga, sekolah dan
masyarakat. Pembinaan moral seharusnya dilaksanakan sejak anak
kecil sesuai dengan kemampuan dan umurnya. Karena setiap anak
lahir belum mengerti mana yang benar dan mana yang salah, dan
belum tahu batas-batas dan ketentuan moral yang berlaku dalam
lingkungannya. Tanpa dibiasakan menanamkan sikap-sikap yang
dianggap baik untuk pertumbuhan moral, anak-anak aka dibesarkan
tanpa mengenal moral itu.
Juga perlu diingat bahwa pemahaman tentang moral belum dapat
menjamin tindakan moral. Moral bukanlah suatu pelajaran atau ilmu
pengetahuan yang dapat dicapai dengan mempelajari, tanpa
membiasakan hidup bermoral dari kecil, karena moral itu tumbuh dari
tindakan kepada pengertian. Di sinilah peranan orangtua, guru dan
lingkungan yang sangat penting. Jika anak dilahirkan dan dibesarkan
oleh orang tua yang tidak bermoral atau tidak mengerti cara mendidik,
ditambah pula dengan lingkungan masyarakat yang goncang dan
kurang mengindahkan moral, maka sudah barang tentu hasil yang
akan terjadi tidak menggembirakan dari segi moral.
d. Suasana rumah tangga yang kurang baik.

28
Faktor yang terlihat pula dalam masyarakat sekarang ialah kerukunan
hidup dalam rumah tangga kurang terjamin. Tidak tampak adanya
saling pengertian, saling menerima, saling menghargai, saling
mencintai di antara suami isteri. Tidak rukunnya ibu-bapak
menyebabkan gelisahnya aak-anak, mereka menjadi takut, cemas
dan tidak tahan berada ditengah-tengah orangtua yang tidak rukun.
Maka anak-anak yang gelisah dan cemas itu mudah terdorong
kepada perbuatan-perbuatan yang merupakan ungkapan dari rasa
hatinya, biasanya akan mengganggu ketenteraman orang lain.
Demikian juga halnya dengan anak-anak yang merasa kurang
mendapat perhatian, kasih sayang dan pemeliharaan orang tua akan
mencari kepuasan di luar rumah.
e. Diperkenalkannya secara populer obat-obat dan alat-alat anti hamil.
Suatu hal yang sementara pejabat tidak disadari bahayanya terhadap
moral anak-anak muda adalah diperkenalkanya secara populer obat-
obatan dan alat-alat yang digunakan untuk mencegah kehamilan.
Seperti kita ketahui bahwa usia muda adalah usia yang baru
mengalami dorongan seksual akibat pertumbuhan biologis yang
dilaluinya, mereka belum mempunyai pengalaman, dan jika mereka
juga belum mendapat didikan agama yang mendalam, merka akan
dengan mudah dapat dibujuk oleh orang-orang yag tidak baik, yang
hanya melampiaskan hawa nafsunya. Dengan demikian, akan
terjadilah obat atau alat- alat itu digunakan oleh anak-anak muda
yang tidak terkecuali anak-anak sekolah atau mahasiswa yang dapat
dibujuk oleh orang yang tidak baik itu oleh kemauan mereka sendiri
yang mengikuti arus darah mudanya, tanpa terkendali. Orang tidak
ada yang tahu, karena bekasnya tidak terlihat dari luar.
f. Banyaknya tulisan-tulisan, gambar-gambar, siaran-siaran, kesenian-
kesenian yang tidak mengindahkan dasar-dasar dan tuntunan moral.
Suatu hal yang belakangan ini kurang mendapat perhatian kita ialah

29
tulisan-tulisan, bacaan-bacaan, lukisan-lukisan, siaran-siaran,
kesenian-kesenian,dan permainan-permainan yang seolah-olah
mendorong aak muda untuk mengikuti arus mudanya. Segi-segi
moral dan mental kurang mendapat perhatian, hasil-hasil seni itu
sekedar ungkapan dari keinginan dan kebutuhan yang sesungguhnya
tidak dapat dipenuhi begitu saja. Lalu digambarka dengan sangat
realistis, sehingga semua yang tersimpan di dalam hati anak-anak
muda diungkap dan realisasinya terlihat dalam cerita, lukisan atau
permainan tersebut. Ini pun mendorong anak-anak muda ke jurang
kemerosotan moral.
g. Kurang adanya bimbingan untuk mengisi waktu luang (leisure time)
dengan cara yang baik, dan yang membawa kepada pembinaan
moral.
Suatu faktor yang juga telah ikut memudahkan rusaknya moral anak-
anak muda ialah kurangnya bimbingan dalam mengisi waktu luang
dengan yang baik dan sehat. Umur muda adalah umur suka
berkhayal, melamunkanhal yang jauh. Kalau mereka dibiarkan tanpa
bimbingan dalam mengisi waktunya, maka akan banyak lamunan dan
kelakuan yang kurang sehat timbul dari mereka.
h. Tidak ada atau kurangnya markas-markas bimbingan dan penyuluhan
bagi anak- anak dan pemuda-pemuda.
Terakhir perlu dicatat, bahwa kurangnya markas bimbingan dan
penyuluhan yang akan menampung dan menyalurkan anak-anak
kearah mental yang sehat. Dengan kurangnya atau tidak adanya
tempat kembali bagi anak-anak yang gelisah dan butuh bimbingan itu,
maka pergilah mereka berkelompok dan bergabung dengan aak-anak
yang juga gelisah. Dari sini akan keluarlah model kelakuan yang
kurang menyenangkan.

3.4. Peran Pendidikan Agama dalam Keluarga terhadap Pembentukan


Kepribadian Anak

30
Setelah kita mengetahui penyebab anak-anak memiliki kepribadian buruk
yang mengakibatkan merosotnya moral seperti yang diuraikan di atas,
menunjukkan betapa pentingnya pendidikan agama bagi anak-anak kita,
dan betapa pula besarnya bahaya yang terjadi akibat kurangnya
pendidikan agama itu. Untuk itu, perlu kiranya kita mencari jalan yang
dapat mengantarkan kita kepada terjaminnya kepribadian anak-anak
yang kita harapkan menjadi warga Negara yang cinta akan bangsa dan
tanah airnya, dapat menciptakan dan memelihara ketenteraman dan
kebahagiaan masyarakat dan bangsa di kemudian hari.

Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam pendidikan agama


bag anak-anaknya, terutama dalam pembentukan kepribadian. Menurut
M.I. Soelaeman (1978: 66), salah satu fungsi keluarga ialah fungsi
religius. Artinya keluarga berkewajiban memperkenalkan dan mengajak
anak dan anggota keluarga lainnya kepada kehidupan beragama. Untuk
melaksanakannya, orang tua sebagai tokoh- tokoh inti dalam keluarga itu
terlebih dulu harus menciptakan iklim religius dalam keluarga itu, yang
dapat dihayati seluruh anggotanya, terutama anak-anaknya.

Pendidikan agama harus dimulai sejak dini, terutama dalam keluarga,


sebab anak-anak pada usia tersebut siap untuk menerima ajaran agama
yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah tanpa harus menuntut
dalil yang menguatkannya. Dalam pendidikan usia dini, ia juga tidak
berkeinginan untuk memastikan atau membuktikan kebenaran ajaran
agama yang diterimanya.

Dalam penanaman pendidikan agama di lingkungan keluarga yang harus


diberikan kepada anak-anak tidak terbatas kepada masalah ibadah
seperti sholat, zakat, puasa, mengaji, tetapi harus mencakup
keseluruhan hidup, sehingga menjadi pengendali dalam segala tindakan.
Bagi orang yang menyangkan bahwa agama itu sempit, maka pendidikan
agama terhadap anak-anak dianggap cukup dengan memanggil guru

31
ngaji ke rumah atau menyuruh anaknya belajar mengaji ke madrasah
atau ke tempat lainnya. Padahal yang terpenting dalam penanaman jiwa
agama adalah di dalam keluarga, dan harus terjadi melalui pengalaman
hidup seorang anak dalam keluarga. Apa yang dilihat, didengar, dan
dirasakan oleh anak sejak ia kecil akan mempengaruhi kepribadiannya.

Supaya pembinaan nilai-nilai agama itu betul-betul membuat kuatnya


jiwa anak-anak untuk menghadapi tantangan segala zaman dan suasana
dikemudian hari, hendaknya ia dapat terbina sejak lahir, bahkan sejak
dalam kandungan sampai ia mencapai usia dewasa dalam masyarakat.

Hasan Langgulung (1986) mengemukakan bahwa pendidikan agama


dan spiritual termasuk bidang-bidang pendidikan yang harus mendapat
perhatian penuh oleh keluarga terhadap anak-aaknya. Pendidikan agama
dan spiritual ini berarti membangkitkan kekuatan dan kesediaan spiritual
yang bersifat naluri yang ada pada anak-anak melalui bimbingan agama
yang sehat dan mengamalkan ajaran-ajaran agama dan upacara-
upacaranya. Begitu juga membekali anak-anak dengan pengetahuan-
pengetahuan agama dan kebudayaan Islam yang sesuai dengan
umurnya dalam bidang aqidah, ibadah, mu’amalah dan sejarah. Begitu
juga dengan mengajarkan kepadanya cara-cara yang betul untuk
menunaokan syi’ar-syi’ar dan kewajiban-kewajiban agama, dan
menolongnya mengembangkan sikap agama yang betul, dan yang
pertama-tama harus ditanamkan ialah iman yang kuat kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhirat, dan
selalu mendapat pengawasan dari orang tua dalam segala perbuatan
dan perkataannya.

Di antara cara-cara praktis yang patut digunakan oleh keluarga untuk


menanamkan semangat keagamaan pada diri anak-anak adalah sebagai
berikut:

a. Memberi tauladan yang baik kepada mereka tentang kekuatan iman

32
kepada Allah dan berpegang dengan ajaran-ajaran agama dalam
bentuknya yang sempurna dalam waktu tertentu.
b. Membiasakan mereka menunaikan syiar-syiar agama semenjak kecil
sehingga penunaian itu menjadi kebiasaan yang mendarah daging,
mereka melakukannya dengan kemauan sendiri dan merasa tentram
sebab mereka melakukannya.
c. Menyiapkan suasana agama dan spiritual yang sesuai di rumah di
mana mereka berada.
d. Membimbing mereka membaca bacaan-bacaan agama yang
berguna dan memikirkan ciptaan-ciptaan Allah dan makhluk-
makhluknya untuk menjadi bukti kehalusan sistem ciptaan itu dan
atas wujud dan keagungannya.
e. Menggalakkan mereka turut serta dalam aktivitas-aktivitas agama,
dan lain-lain.

Ketika keluarga menunaikan hal-hal tersebut di atas, sebelumnya


menurut kepada petunjuk dari Al Qur-an, Sunnah Nabi s.a.w. dan
peninggalan. Assalaf-Assaleh yang semuanya mengajak untuk
melaksanakan pendidikan mengharuskan orangtua mendidik anak-anak
nya akan iman dan akidah yang betul dan membiasakannya
mengerjakan syari’at, terutama sembahyang. Seperti firman Allah swt:
“Perintahlah keluargamu bersembahyang dan tekunlah engkau
mengerjakannya. Kami tidak minta darimu rezeki. Kami memberimu
rezeki. Akibat yang baik bagi taqwa”. Sabda Rasulullah saw: “Perintahlah
anak-anak mu bersembahyang sedang mereka berumur tujuh tahun.
Pukullah mereka kalau tidak mau jika mereka berumur sepuluh tahun.
Dan pisahkanlah mereka dalam pembaringan”. (H.R. Abu Daud, Al
Turmuzi, Ahmad dan Al Hakim).

Juga agama memestikan mereka menanamkan nilai-nilai agama dan


kebiasaan-kebiasaan Islam pada jiwa anak-anak dan menyuruh mereka

33
menghafal sebagian Al Qur-an, Sunnah Nabis.a.w. dan sejarah sahabat-
sahabat dan Khulafa’a Al Rasyidin supaya mereka terbimbing kejalan
yang lurus.Rasulullah s.a.w. bersabda : “Hak anak kepada ibu-bapaknya
adalah bahwa ibu-bapak mengajarkannya Kitab Allah s.w.t., memanah,
berenang dan memberinya warisan yang baik”. Juga sabda Rasulullah
s.a.w. mencintai keluarga Nabi s.a.w., dan membaca Al Qur-an.

Selain pendidikan agama seperti yang dijelaskan di atas, pendidikan


akhlak dalam keluarga juga sangat besar pengaruhnya terhadap
kepribadian anak. Tidaklah berlebihan kalau kita katakan bahwa
pendidikan akhlak dalam pengertian Islam adalah bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari pendidikan agama. Sebab yang baik adalah yang
dianggap baik oleh agama dan yang buruk adalah apa yang dianggap
buruk oleh agama. Sehingga nilai-nilai akhlak-akhlak keutamaan-
keutamaan akhlak dalam masyarakat Islam adalah akhlak dan
keutamaan yang diajarkan oleh agama.Sehingga seorang Muslim tidak
sempurna agamanya sehingga akhlaknya menjadi baik. Hampir-hampir
sepakat filosof-filosof pendidikan Islam, bahwa pendidikan akhlak adalah
jiwa pendidikan Islam. Sebab tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah
mendidik jiwa dan akhlak.

Keluarga memegang peranan penting sekali dalam pendidikan akhlak


untuk anak-anak sebagai institusi yang mula-mula sekali berinteraksi
dengannya oleh sebab mereka mendapat pengaruh daripadanya atas
segala tingkah lakunya. Oleh sebab itu haruslah keluarga mengambil
berat tentang pendidikan ini, mengajar mereka akhlak yang muliayang
diajarkan Islam seperti kebenaran, kejujuran,keikhlasan, kesabaran,
kasih sayang, cinta kebaikan, pemurah, berani dan lain-lain sebagainya.
Dia juga mengajarkan nilai dan faedahnya berpegang teguh pada akhlak
di dalam hidup,membiasakan mereka berpegang kepada akhlak
semenjak kecil. Sebab manusia itu sesuai dengan sifat asasinya

34
menerima nasihat jika datangnya melalui rasa cinta dan kasih sayang,
sedang ia menolaknya jika disertai dengan kekerasan dan biadab. Tepat
sekali firman Allah s.w.t. : “Jika engkau (hai Muhammad) kasar dan
bengis tentu mereka akan meninggalkanmu” (Ali Imran: 159).

Di antara kewajiban keluarga dalam penanaman akhlak kepada anak-


anak agar memiliki kepribadian yang baik adalah sebagai berikut:

a. Memberi contoh yang baik bagi anak-anaknya dalam berpegang


teguh kepada akhlak mulia. Sebab orang tua yang tidak berhasil
menguasai dirinya tentulah tidak sanggup meyakinkan anak-anaknya
untuk memegang akhlak yang diajarkannya. Di antara kata-kata
mutiara yang terkenal dari Ali R.A. adalah : “Medan perang pertama
adalah dirimu sendiri, jika kamu telah mengalahkannya, tentu kamu
akan mengalahkan yang lain. Jika kalah disitu, niscaya ditempat lain
kamu akan lebih kalah. Jadi berjuanglah disitu lebih dahulu”. Tepat
sekali firman Allah s.w.t. :“Adakah kamu memerintah orang berbuat
baik sedang kamu melupakan dirimu sendiri”. (Al Baqarah : 44).
b. Menyediakan bagi anak-anaknya peluang-peluang dan suasana
praktis di mana mereka dapat mempraktekkan akhlak yang diterima
dari orang tuanya. Memberi tanggung jawab yang sesuai kepada
anak-anaknya supaya mereka bebas memilih dalam tindak-
tanduknya Menunjukkan bahwa keluarga selalu mengawasi mereka
dengan sadar dan bijaksana.
c. Menjaga mereka dari teman-teman yang menyeleweng dan tempat-
tempat kerusakan, dan lain-lain lagi cara di mana keluarga dapat
mendidik akhlak anak-anaknya.

Di antara dalil-dalil yang digunakan pendidik-pendidik Islam tentang


pentingnya pendidikan akhlak dan pentingnya peranan keluarga di situ,
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam sejarahnya dari
Nabi s.a.w. bersabda: “Tidak memberi seorang bapak lebih baik daripada

35
akhlak yang baik”.

Juga diriwayatkan oleh Al Turmudzi dan Al Tabarani dari Jabir bin Samrah
katanya Rasulullah s.a.w. bersabda : “Jika seseorang mengajar anaknya
lebih baik baginya daripada ia bersedekah setiap hari setengah gantang
kepada orang miskin”. Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dari Ibnu Abbas,
mereka berkata : wahai Rasulullah engkau telah mengajar kami tentang
hak orang tua terhadap anaknya. Maka apa pula hak anak terhadap orang
tuanya, Beliau bersabda : “Bahwa engkau memberi nama yang baik dan
membaiki adabnya”. Juga diriwayatkan bahwa beliau s.a.w. bersabda:
“Muliakanlah anak-anakmu dan baikanlah adab mereka” (H.R.Ibnu
Majah).

36
BAB IV

KESIMPULAN

Dari apa yang telah dipaparkan di atas, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut: Lingkungan keluarga sangat besar peranannya
dalam pembentukan kepribadian bagi anak-anak, karena di lingkungan
keluargalah anak-anak pertama kali menerima pendidikan yang dapat
mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan buruknya kepribadian anak-anak


yang dapat menimbulkan kemerosotan moral pada anak-anak, di antaranya:
(1) Kurang tertanamnya nilai-nilai keimanan pada anak-anak, (2) lingkungan
masyarakat yang kurang baik, (3) Pendidikan moral tidak berjalan menurut
semestinya, baik di keluarga, sekolah dan masyarakat, (4) Suasana rumah
tangga yag kurang baik, (5) Banyak diperkenalkannya obat-obat terlarang
dan alat-alat anti hamil, (6) Banyak tulisan-tulisan, gambar-gambar, saran-
siaran yang tidak sejalan dengan nilai-nilai moral, (7) Kurang adanya
bimbingan dalam mengisi waktu luang dengan cara yang baik yang
membawa kepada pembinaan nilai moral, (8) Kurangnya markas-markas
bimbingan da penyuluhan bagi anak-anak.

Agar anak-anak memiliki kepribadian yang baik dan terhindar dari


pelanggaran-pelanggaran moral, maka perlu adanya pembinaan agama
sejak dini kepada anak-anak dalam keluarga dan adanya kerjasama antara
keluarga, sekolah dan masyarakat. Sebaik apa pun pendidikan moral dalam
keluarga tanpa adanya dukungan dari sekolah dan masyarakat, sulit bagi
anak-anak untuk memiliki kepribadian yang baik. Begitu juga pendidikan
kepribadian di sekolah, tanpa adanya dukungan dari keluarga dan
masyarakat sulit bagi anak untuk memiliki pribadi yang baik. Dengan
demikian, ketiga jenis lembaga ini tidak bisa dipisahkan dan harus saling

37
mendukung.

Proses pembinaan nilai-nilai agama dalam membentuk kepribadian aak-anak


dapat dimulai sejak anak lahir sampai ia dewasa. Ketika lahir diperkenalkan
dengan kaliamah thoyyobah, kemudian setelah mereka tumbuh dan
berkembang menjadi anak-anak, maka yang pertama harus ditanamkan ialah
nilai-nilai agama yang berkaitan dengan keimanan, sehingga anak meyakini
adanya Allah dan dapat mengenal Allah dengan seyakin-yakinnya
(ma’rifatullah).

Bersamaan dengan itu, anak-anak juga dibimbing mengenai nilai-nilai moral,


seperti cara bertutur kata yang baik, berpakaian yang baik, bergaul dengan
baik, dan lain-lainnya. Kepada anak-anak juga ditanamkan sifat-sifat yang
baik, seperti nilai-nilai kejujuran, keadilan, hidup serderhana, sabar dan lain-
lainnya. Selain itu, agar anak-anak memiliki nilai-nilai moral yang baik, juga di
dalam antara keduanya dan harus menjadi suri tauladan bagi anak-anaknya.

38
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Nasih Ulwan (2007), Pendidikan Anak dalam Islam, Jakarta:


Pustaka Imani.

Abdurrahman An Nahlawi, Pendidikan Islam, Rumah, dan Masyarakat, terj.


Shihabuddin, Jakarta: Gema Insani, 1995.

Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, Mengatasi Kelemahan Pendidikan


Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Media Group, 2003

A. Khudori Soleh (ed), Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta: Penerbit


Jendela, 2003.

Alex Shobur, Anak Masa Depan, Bandung: Angkasa, 1991

Chabib Thoha , Kapita Selekta pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka


pelajar, 1996.

Djahiri,(1966). Menelusur Dunia Afektif. Pendidikan Nilai dan Moral.


Bandung: Lab. Pengajaran PMP IKIP.

Ihat Hatimah, dkk. (2007), Pembelajaran Berwawasan Kemasyarakatan,


Jakarta: Universitas terbuka.

Linda, N.Eyre, Richard. 1995. Teaching Your Children Values. New York:
Simon sand Chuster.

M.I. Soelaeman (1978), Pendidikan dalam Keluarga, Diktat Kuliah.

M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, tinjauan Teoritis dan Praktis berdasarkan


pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, 2006.

Muhammad Sa’id Mursi, Seni Mendidik Anak Gazira. Abdi Ummah (penerj),

Euis Jatiningsih (ed). Cet- I (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003)

Muhammad Syarif ash-Shawwaf, ABG Islami: Kiat-kiat Efektif Mendidik Anak

39
dan Remaja, penerj. Ujang Tatang Wahyuddin, Bandung: Pustaka Hidayah,
2003.

Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1997.

Rohmat Mulyana. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung:


Alfabeta.

Safyan Sauri (2010), Meretas Pendidikan Nilai, Bandung: Arfino Raya

...................... (2011), Filsafat dan Teosofat Akhlak, Bandung: Rizqi Press.

Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya


Media Pratama, 2007.

Widodo Supriyono, Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 2001

Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1976

Zakiah Darajat (1971), Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, Jakarta: Bulan


Bintang

Zainuddin dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari al-Ghazali, Jakarta: Bumi


Aksara,1991.

Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

40

Anda mungkin juga menyukai