Anda di halaman 1dari 30

BAB I

SKENARIO

SILAU BILA MELIHAT SINAR

Seorang pasien Ny. SS 26 th diantar suaminya datang ke anda ketika


sedang bertugas di poliklinik dengan keluhan mata merah, nrocoh, silau bila
melihat sinar, melihat dobel, terutama bila mata melirik dan atau nyeri bila mata
digerakkan, berdebar sejak 4 bulan lalu. Keluhan lainnya adalah tidak tahan cuaca
panas dan lebih suka cuaca dingin. Dalam 3 bulan terakhir pasien mengeluh berat
badan turun sebanyak 5 kg padahal nafsu makannya baik. Keluhan lain adalah
mudah letih saat aktivitas ringan dan timbul benjolan tidak nyeri di leher depan
sejak 1 tahun. Pada pemeriksaan didapatkan mata menonjol, pembengkakakn
kelopak mata, pembatasan gerakan mata. Penderita mempunyai kebiasaan
merokok sehari 10 batang.
BAB II
KATA KUNCI
Kata kunci :
1. Mata merah, nrocoh, silau bila melihat sinar, melihat dobel, nyeri bila
mata digerakkan.
2. Berdebar sejak 4 bulan lalu.
3. Mudah letih
4. Timbul benjolan tidak nyeri di leher depan sejak 1 thn lalu.
5. Mata menonjol
BAB III
PROBLEM
Problem :
1. Dapatkan anda mengidentifikasi problem apa saja yang sedang dialami
Ny SS ?
2. Buatlah hipotesa dari masing-masing problem
3. Adakah keterkaitan problem satu dengan lainnya ?
4. Patogenesa apakah yang mendasari timbulnya keluhan/problem ?
5. Informasi apa lagi yang anda perlukan untuk menegakkan diagnose ?
6. Dapatkah anda membuat rencana pemeriksaan penunjang (laboratorium
dan radiologis) untuk menegakkan diagnose kasus di atas ?
7. Apa saja komplikasi yang mungkin timbul akibat gangguan hipertiroid?
8. Keadaan darurat apa yang dapat timbul pada keadaan hipertiroid ?
9. Bagaimana penatalaksanaan dasar penyakit hipertiroid ?
10. Bagaimana melakukan edukasi penyakit Graves pada penderita dan
keluarganya.
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Batasan
Anatomi Bola Mata
Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm.
Bagian anterior bola mata mempunyai kelengkungan yang lebih cembung
sehingga terdapat bentuk dengan dua kelengkungan berbeda. Bola mata
dibungkus oleh tiga lapisan jaringan, yaitu lapisan sklera yang bagian
terdepannya disebut kornea, lapisan uvea, dan lapisan retina. Di dalam
bola mata terdapat cairan aqueous humor, lensa dan vitreous humor.
(Ilyas, 2009).

1. Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis
yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva
palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris).
Konjungtiva berbatasan dengan kulit pada tepi palpebral dan dengan epitel
kornea di limbus (Riordan, 2007).

2. Sklera
Sklera merupakan jaringan ikat yang lentur dan memberikan
bentuk pada mata. Jaringan ini merupakan bagian terluar yang melindungi
bola mata. Bagian terdepan sklera disebut kornea yang bersifat transparan
yang memudahkan sinar masuk ke dalam bola mata (Ilyas, 2009).
3. Kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang
tembus cahaya dam merupakan lapisan jaringan yang menutup bola mata
sebelah depan.15 Kornea ini disisipkan ke dalam sklera pada limbus,
lekukan melingkar pada sambungan ini disebut sulcus scleralis.19 Kornea
dewasa rata-rata mempunyai tebal 550 μm di pusatnya (terdapat variasi
menurut ras); diameter horizontalnya sekitar 11,75 mm dan vertikalnya
10,6 mm (Riordan, 2007). Dari anterior ke posterior kornea mempunyai
lima lapisan, yaitu: (Ilyas, 2009).
1) Epitel Tebal dari epitel ini adalah 50 μm. Epitel kornea mempunyai
lima lapis sel epitel tak bertanduk yang terdiri dari sel basal, sel
poligonal, dan sel gepeng.
2) Membran Bowman Membran Bowman terletak di bawah membran
basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersususn tidak
teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
3) Stroma Stroma kornea menyusun sekitar 90% ketebalan kornea.
Stroma terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang
sejajar satu dengan lainnya. Pada permukaan terlihat anyaman yang
teratur sedang di bagian perifer serta kolagen ini bercabang.
4) Membran Descemet Membran Descemet merupakan membran aselular
dan merupakan batas belakang stroma kornea.
5) Endotel Endotel berasal dari mesotelium, berlapis satu, berbentuk
heksagonal, dan tebalnya 20-40 μm. Lapisan ini berperan dalam
mempertahankan deturgesensi stroma kornea.

4. Uvea
Uvea adalah lapisan vaskular di dalam bola mata dan dilindungi
oleh kornea dan sklera yang terdiri dari tiga bagian, yaitu:
1) Iris
Iris merupakan perpanjangan badan siliar ke anterior mempunyai
permukaan yang relatif datar dengan celah yang berbentuk bulat di
tengahnya, yang disebut pupil. Iris mempunyai kemampuan untuk
mengatur banyaknya cahaya yang masuk ke dalam bola mata secara
otomatis dengan mengecilkan (miosis) atau melebarkan (midriasis)
pupil (Riordan, 2007).
2) Badan siliar
Badan siliar merupakan susunan otot melingkar yang berfungsi
mengubah tegangan kapsul lensa sehingga lensa dapat fokus untuk
objek dekat maupun jauh dalam lapang pandang (Ilyas, 2009). Badan
siliar terdiri atas zona anterior yang berombak-ombak, pars plicata (2
mm) yang merupakan pembentuk aqueous humor, dan zona posterior
yang datar, pars plana (4 mm) (Riordan, 2007). 3) Koroid Koroid
merupakan segmen posterior uvea terletak di antara retina dan
sklerayang berisi pembuluh-pembuluh darah dalam jumlah besar,
berfungsi untuk memberi nutrisi pada retina bagian terluar yang
terletak di bawahnya (Riordan, 2007).
5. Lensa
Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna,
dan hampir transparan sempurna. Tebalnya sekitar 4 mm dan diameternya
9 mm. Di sebelah anterior lensa terdapat aqueous humor, di posteriornya
terdapat vitreous humor (Riordan, 2007). Kapsul lensa adalah suatu
membran semipermeabel yang akan memperbolehkan air dan elektrolit
masuk. Di sebelah depan terdapat selapis epitel subkapsular. Nukleus lensa
lebih keras daripada korteksnya. Nukleus dan korteks terbentuk dari
lamela konsentris yang panjang.19 Lensa ditahan di tempatnya oleh
ligamentum suspensorium yang dikenal sebagai zonula Zinii, yang
tersusun dari banyak fibril yang berasal dari permukaan badan siliar dan
menyisip ke dalam ekuator lensa (Riordan, 2007).
6. Aqueous Humor
Aqueous humor diproduksi oleh badan siliar. Setelah memasuki bilik
mata belakang, aqueous humor melalui pupil dan masuk ke bilik mata
depan, kemudian ke perifer menuju sudut bilik mata depan (Riordan,
2007).
7. Vitreous Humor
Vitreous humor adalah suatu badan gelatin yang jernih dan
avaskular yang membentuk dua pertiga volume dan berat mata.
Permukaan luar vitreous humor normalnya berkontak dengan struktur-
struktur berikut: kapsul lensa posterior, serat-serat zonula, pars plana
lapisan epitel, retina, dan caput nervi optici. Basis vitreous
mempertahankan penempelan yang kuat seumur hidup ke lapisan epitel
pars plana dan retina tepat di belakang ora serrata.19 Vitreous humor
mengandung air sekitar 99%. Sisa 1% meliputi dua komponen, kolagen
dan asam hialuronat, yang memberi bentuk dan konsistensi mirip gel
karena kemampuannya mengikat banyak air (Riordan, 2007).
8. Retina
Retina atau selaput jala, merupakan bagian mata yang mengandung
reseptor yang menerima rangsangan cahaya. Lapisan-lapisan retina mulai
dari sisi luar yang berbatas dengan koroid adalah sebagai berikut: (Ilyas,
2009).
1) Epitel pigmen retina (Membran Bruch)
2) Fotoreseptor Lapisan fotoreseptor terdiri dari sel batang dan sel
kerucut.
3) Membran limitan eksterna
4) Lapisan nukleus luar Lapisan nukleus luar merupakan susunan nukleus
sel kerucut dan sel batang. Keempat lapisan di atas avaskuler dan
mendapat nutrisi dari kapiler koroid.
5) Lapisan pleksiform luar Lapisan ini merupakan lapisan aselular tempat
sinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal.
6) Lapisan nukleus dalam Lapisan ini terdiri dari tubuh sel bipolar, sel
horizontal, dan sel Muller serta didarahi oleh arteri retina sentral.
7) Lapisan pleksiform dalam Lapisan ini merupakan lapisan aselular
tempat sinaps sel bipolar dan sel amakrin dengan sel ganglion.
8) Lapisan sel ganglion Lapisan ini merupakan lapisan badan sel dari
neuron kedua.
9) Serabut saraf Lapisan serabut saraf berupa akson sel ganglion yang
menuju ke arah saraf optik. Di dalam lapisan-lapisan ini terletak
sebagian besar pembuluh darah retina.
10) Membran limitan interna, membran ini berupa membran hialin antara
retina danvitreous humor.
B. Kelenjar Thyroid
1. Anatomi Kelenjar Thyroid
Kelenjar tiroid terletak di leher, yaitu antara fasia koli media dan
fasia prevertebralis. Di dalam ruang yang sama terdapat trakea, esofagus,
pembuluh darah besar dan saraf. Kelenjar tiroid melekat pada trakea dan
fascia pretrakealis dan melingkari trakea dua pertiga bahkan sampai tiga
perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratiroid umumnya terletak pada
permukaan belakang kelenjar tiroid, tetapi letak dan jumlah kelenjar ini
dapat bervariasi. Arteri karotis komunis, vena jugularis interna dan nervus
vagus terletak bersama dalam suatu sarung tertutup di latero dorsal tiroid.
Nervus rekurens terletak di dorsal tiroid sebelum masuk laring. Nervus
frenikus dan trunkus simpatikus tidak masuk ke dalam ruang antara fasia
media dan prevertebralis (De Jong & Sjamsuhidajat, 2005).
Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari empat sumber antara lain
arteri karotis superior kanan dan kiri, cabang arteri karotis eksterna kanan
dan kiri dan kedua arteri tiroidea inferior kanan dan kiri, cabang arteri
brakhialis. Kadang kala dijumpai arteri tiroidea ima, cabang dari trunkus
brakiosefalika. Sistem vena terdiri atas vena tiroidea superior yang
berjalan bersama arteri, vena tiroidea media di sebelah lateral dan vena
tiroidea inferior. Terdapat dua macam saraf yang mensarafi laring dengan
pita suara (plica vocalis) yaitu nervus rekurens dan cabang dari nervus
laringeus superior (De Jong & Sjamsuhidajat, 2005).

2. Fisiologi Kelenjar Thyroid


Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama yaitu tiroksin
(T4) yang kemudian berubah menjadi bentuk aktifnya yaitu triyodotironin
(T3). Iodium nonorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan
baku hormon tiroid. Zat ini dipekatkan kadarnya menjadi 30-40 kali
sehingga mempunyai afinitas yang sangat tinggi di dalam jaringan tiroid.
T3 dan T4 yang dihasilkan ini kemudian akan disimpan dalam bentuk
koloid di dalam tiroid. Sebagian besar T4 kemudian akan dilepaskan ke
sirkulasi sedangkan sisanya tetap di dalam kelenjar yang kemudian
mengalami daur ulang. Di sirkulasi, hormon tiroid akan terikat oleh
protein yaitu globulin pengikat tiroid Thyroid Binding Globulin (TBG)
atau prealbumin pengikat albumin Thyroxine Binding Prealbumine
(TBPA). Hormon stimulator tiroid Thyroid Stimulating Hormone (TSH)
memegang peranan terpenting untuk mengatur sekresi dari kelenjar tiroid.
TSH dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis. Proses yang dikenal
sebagai umpan balik negatif sangat penting dalam proses pengeluaran
hormon tiroid ke sirkulasi. Pada pemeriksaan akan terlihat adanya sel
parafolikular yang menghasilkan kalsitonin yang berfungsi untuk
mengatur metabolisme kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium serum
terhadap tulang (De Jong & Sjamsuhidajat, 2005).
Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh kadar hormon perangsang
tiroid yaitu Thyroid Stimulating Hormone (TSH) yang dihasilkan oleh
lobus anterior hipofisis. Kelenjar ini secara langsung dipengaruhi dan
diatur aktifitasnya oleh kadar hormon tiroid dalam sirkulasi yang bertindak
sebagai umpan balik negatif terhadap lobus anterior hipofisis dan terhadap
sekresi hormon pelepas tirotropin yaitu Thyrotropin Releasing
Hormone(TRH) dari hipotalamus (Guyton & Hall, 2006). Sebenarnya
hampir semua sel di tubuh dipengaruhi secara langsung atau tidak
langsung oleh hormon tiroid. Efek T3 dan T4 dapat dikelompokkan
menjadi beberapa kategori yaitu : (Sherwood, 2011)
a) Efek pada laju metabolism
Hormon tiroid meningkatkan laju metabolisme basal tubuh secara
keseluruhan. Hormon ini adalah regulator terpenting bagi tingkat
konsumsi O2 dan pengeluaran energi tubuh pada keadaan istirahat.
b) Efek kalorigenik
Peningkatan laju metabolisme menyebabkan peningkatan produksi
panas.
c) Efek pada metabolisme perantara
Hormon tiroid memodulasi kecepatan banyak reaksi spesifik yang
terlibat dalam metabolisme bahan bakar. Efek hormon tiroid pada
bahan bakar metabolik bersifat multifaset, hormon ini tidak saja
mempengaruhi sintesis dan penguraian karbohidrat, lemak dan protein,
tetapi banyak sedikitnya jumlah hormon juga dapat menginduksi efek
yang bertentangan.
d) Efek simpatomimetik
Hormon tiroid meningkatkan ketanggapan sel sasaran terhadap
katekolamin (epinefrin dan norepinefrin), zat perantara kimiawi yang
digunakan oleh sistem saraf simpatis dan hormon dari medula adrenal.
e) Efek pada sistem kardiovaskuler
Hormon tiroid meningkatkan kecepatan denyut dan kekuatan
kontraksi jantung sehingga curah jantung meningkat.
f) Efek pada pertumbuhan
Hormon tiroid tidak saja merangsang sekresi hormone
pertumbuhan, tetapi juga mendorong efek hormon pertumbuhan
(somatomedin) pada sintesis protein struktural baru dan pertumbuhan
rangka.

g) Efek pada sistem saraf


Hormon tiroid berperan penting dalam perkembangan normal
sistem saraf terutama Sistem Saraf Pusat (SSP). Hormon tiroid juga
sangat penting untuk aktivitas normal SSP pada orang dewasa.
B. Histologi Kelenjar Thyroid
Kelenjar tiroid terdiri atas dua lobus yang dihubungkan oleh isthmus.
Jaringan tiroid terdiri atas folikel yang berisi koloid. Kelenjar dibungkus
oleh simpai jaringan ikat longgar yang menjulurkan septa ke dalam
parenkim (Jonqueira, 2007).
Gambaran histologi dari kelenjar tiroid (Jonqueira, 2007)
Koloid terdiri atas tiroglobulin yaitu suatu glikoprotein yang
mengandung suatu asam amino teriodinisasi. Hormon kelenjar tiroid
disimpan dalam folikel sebagai koloid. Selain sel folikel, sel-sel
parafolikel yang lebih besar juga terdapat di kelenjar tiroid. Sel-sel ini
terdapat di dalam epitel folikel atau diantara folikel. Adanya banyak
pembuluh darah di sekitar folikel, memudahkan mencurahkan hormon
ke dalam aliran darah (Jonqueira, 2007).

C. Patofisiologi Grave’s Ophthalmopathy


Proptosis bola mata terjadi akibatadanya edema jaringan lunak di
rongga orbita,sehingga tekanan di dalam rongga orbitameningkat, dan
sebagai mekanismedekompresi bola mata menonjol ke depan.Edema
jaringan lunak terjadi di jaringan lemakdan otot ekstraokuler, terutama
rektus lateraldan medial, dan karena jumlah jaringan lemaklebih banyak
daripada otot sehingga dominasiedema berada di jaringan lemak. Usia
dibawah 40 tahun memiliki kecenderunganedema lebih banyak di jaringan
lemakdibandingkan otot-otot ekstraokuler, dansebaliknya terjadi pada
mereka yang berusia60 tahun ke atas. Tipe pembesaran pada ototrektus
lateral dan medial ini adalah “tendonsparing” yang berarti tidak
terdapatpembengkakan pada tendon bila dilihat denganCT scan (dengan
ataupun tanpa kontras) danmemberikan gambaran khas tracking(gambaran
seperti rel kereta api).
Diplopia disebabkan oleh restriksi ototakibat pembengkakan dan
bukan akibatneurologis. Otot ekstraokuler yang lebihberperan terhadap
terjadinya diplopia adalahotot rektus inferior. Retraksi kelopak
matasuperior dapat disebabkan oleh beberapa hal,antara lain adanya
rangsangan simpatis padaotot Muller, adanya “overaction” dari ototlevator
palpebra. Otot ini berkontraksi akibatotot rektus inferior yang memendek,
atauterbentuknya jaringan ikat yang mengelilingiotot levator palpebra dan
jaringan sekitarnya.
Mata kering dan kornea kering akibateksposur ke udara yang
berlebihan disebabkanoleh keadaan kelopak mata yang tidak dapatterutup
AS dengan sempurna, sehinggameningkatkan proses evaporasi air mata
danberkurangnya jumlah kedipan kelopak mata.Pembengkakan periorbita
bersifat kongestifdikarenakan terhambatnya alirain venousorbita akibat
pembengkakan jaringan lunakintraorbita. Hal serupa juga terjadi
padadermopati tiroid dimana kulit pretibialmengalami edema akibat
terhambatnya aliranvenous dan limfatik di kaki saat sedang berdirilama.

D. Patogenesis Grave’s Ophthalmopathy


Terjadinya pembesaran jaringan lunakdan otot orbita adalah
patogenesis mendasardari GO, tetapi apa yang menyebabkanperubahan
jaringan orbita ini belum diketahuidengan pasti. Beberapa peneliti
memilikihipotesis bahwa antigen-antigen yangmemengaruhi terjadinya
hipertiroid jugamemengaruhi jaringan orbita, dikarenakanjaringan orbita
ini memiliki receptor antigenyang sama dengan tiroid. Reaksi
autoimunyang terjadi di jaringan lunak orbitamenyebabkan terjadinya
pelepasan fibroblas.Faktor lain yang dapat meningkatkan jumlahfibroblas
di jaringan lunak orbita adalahmerokok, hal ini dapat meningkatkan
risikoterjadinya GO pada penderita Grave’ssebanyak 5 kali. Ada
penelitian yangmembuktikan bahwa dengan berhenti ataumengurangi
merokok dapat menurunkanproduksi fibroblas di jaringan
secarasignifikan, dan penderita memiliki responslebih baik terhadap
pengobatan dibandingkanmereka yang masih melanjutkan
merokok.Patogenesis lainnya yang diduga memilikikaitan dengan GO
adalah predisposisi genetik.Dari keseluruhan penderita, 20 - 60%
memilikiriwayat Grave’s di dalam keluarga.
E. Gejala Klinis Grave’s Ophthalmopathy
Gejala graves ophthalmophaty terjadi akibat peradangan atau
gangguan pada sistem imun, yang memengaruhi otot dan jaringan di
sekitar mata. Gejalanya antara lain:
a. Mata menonjol (exophthalmos)
b. Mata terasa kering
c. Tekanan atau rasa sakit pada mata
d. Kelopak mata membengkak
e. Mata memerah yang bisa diakibatkan oleh peradangan
f. Sensitif terhadap cahaya
g. Penglihatan ganda dari satu objek (diplopia)
h. Kehilangan penglihatan
F. Jenis Jenis Penyakit yang Berhubungan
Jenis-jenis penyakit yang berhubungan dengan grave’s
ophthalmopathy,
yaitu :
1. Tumor Orbita
Tumor orbita merupakan penonjolan yang terjadi pada bola
mata. Penonjolan ini dapat terjadi pada kelopak mata, permukaan bola
mata, di dalam maupun di belakang bola mata.
Ciri-ciri tumor orbita :
a. Menimbulkan mata menonjol
b. Arah bola mata tidak lurus ke depan
c. Tajam penglihatan dapat terganggu
d. Rasa sakit terutama pada tumor ganas
Tanda-tanda tumor ganas :
a. Penonjolan mata atau pembesaran tumor terjadi secara cepat
b. Rasa sakit akibat tumor semakin bertambah
c. Kelopak mata menjadi sukar ditutup
d. Kemungkinan tumbuh kembali lebih besar dari tumor jinak
e. Pada tumor stadium lanjut dapat mengakibatkan kematian
Tanda-tanda tumor jinak :
a. Terdapat penonjolan pada bola mata yang terjadi lambat
b. Umumnya tidak terasa nyeri
c. Dapat sembuh total atau kambuh kembali

2. Selulitis Orbita
Selulitis orbita merupakan salah satu gangguan mata yang
disebabkan oleh terjadinya infeksi yang mengenai jaringan di dalam
orbita dan jaringan di sekitar serta di belakang mata.Selulitis orbita
biasanya disebabkan oleh penyebaran infeksi ke dalam rongga orbita
yang berasal dari infeksi sinus di sekitar hidung, tetapi bisa juga di
karenakan infeksi pada gigi atau dari aliran darah.
Gejala dan tanda-tanda selulitis orbitalis yang umumnya timbul
adalah:
a. Berkurangnya pergerakan mata dan terasa nyeri saat menggerakkan
mata
b. Proptosis (penonjolan abnormal mata)
c. Chemosis (pembengkakan pada bagian konjungtiva mata)
d. Peningkatan tekanan bola mata
e. Demam
f. Rasa lemah atau Lelah
g. Nyeri kepala
h. Keluarnya cairan dari hidung, bisa berupa cairan purulent (lendir
infeksi)
Pengobatan selulitis orbitalis sering kali membutuhkan rawat
inap. Pada kasus yang disebabkan oleh bakteri, biasanya diperlukan
pemberian antibiotik melalui pembuluh darah. Penderita juga dapat
diberikan obat dekongestan untuk hidung. Setelah selesai rawat inap,
umumnya pengobatan antibiotik perlu dilanjutkan selama 1–3 minggu
di rumah.
Dokter akan mempertimbangkan tindakan pembedahan untuk
drainase sinus, terutama apabila ditemukan hal seperti:
a. Respons terhadap terapi antibiotik selama 24–48 jam tidak baik
b. Adanya abses intraorbital atau abses subperiosteal (abses dari area
rahang yang menyebar ke area kantong mata) yang berukuran besar
c. CT-scan menunjukkan kondisi sinus yang tampak opak
sepenuhnya
Jika disebabkan oleh infeksi jamur, umumnya akan disarankan
agar menjalani pembedahan untuk debridement atau menghilangkan
jaringan yang rusak. Selain itu, terapi menggunakan obat-obatan jenis
kortikosteroid, baik secara topikal atau digunakan setempat maupun
secara sistemik, juga dapat dianjurkan.
Tanpa penanganan yang sesuai, bisa muncul berbagai macam
komplikasi. Antara lain orbital apex syndrome dan kebutaan pada
mata. Selain efek pada mata, dapat pula muncul komplikasi cavernous
sinus thrombosis (penyumbatan pembuluh darah, cukup langka
ditemui), abses intracranial (abses pada otak), meningitis, bahkan
kematian.

BAB V
HIPOTESIS AWAL (DIFFERENTIAL DIAGNOSIS)
1. Tumor Orbita
2. Selulitis orbita
3. ODS. Grave’s Ophthalmopathy
BAB VI
ANALISIS DARI DIFFERENTIAL DIAGNOSIS

Identitas
Nama : Ny. SS
Usia : 26 thn
Alamat : Jl. Soka 23 Gedangan Sidoarjo
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Anamnesa
Keluhan Utama : Berdebar-debar
RPS :
- Dada sering berdebar 4 bulan terakhir
- Keluhan mata merah
- Nrocoh
- Silau bila melihat sinar
- Melihat dobel terutama bila mata melirik dan atau nyeri bila mata
digerakkan
- Keluhan berdebar dirasakan saat aktivitas maupun istirahat, tapi tidak
disertai nyeri dada atau sesak
- Tidak tahan cuaca panas dan lebih suka cuaca dingin
- Dalam 3 bulan terakhir berat badan turun dari 55 kg menjadi 50 kg,
padahal nafsu makan baik dan cenderung meningkat
- Mudah letih walaupun melakukan aktivitas ringan terasa sejak 1 bulan
terakhir
- Tangan selalu basah dan sering gemetar bersamaan dengan penurunan BB

RPD :
- Sejak 1 tahun lalu muncul benjolan di leher depan dan secara perlahan
bertambah besar
- Karena tidak nyeri benjolan dianggap hal biasa dan tidak pernah diperiksa
ke dokter

RPK :
- Tidak ada yang menderita sakit seperti ini

Riwayat Pengobatan :
- Sesekali ke klinik umum dekat rumah karena mudah letih, hanya diberi
vitamin

Riwayat Sosial :
- Merokok, sehari 10 batang
- Menikah 1 tahun belum memiliki keturunan

Pemeriksaan Fisik
KU : Baik
Kesadaran : Kompos mentis
Vital sign :
1. Tensi : 140/60 mmHg
2. Nadi : 108x/menit
3. RR : 26x/menit
4. Suhu : 37,2oC
5. TB : 160 cm
6. BB : 50 kg

Kepala : Kedua mata exoftalmus


a. Occular motility : ada hambatan
b. Palpebra : lid lag retraksi +/+
c. Konjungtiva : hiperemi +/+
d. Kornea : erosi kornea +/+
e. Lain-lain : dalam batas normal +/+

Leher : Benjolan difus di leher depan, bergerak naik turun saat menelan,
didapatkan bunyi ‘bruit’
Thorax :
a. Paru : dbn
b. Jantung : tak membesar, takikardia, suara jantung normal tanpa ada bising

Abdomen : Tidak ada kelainan


Extremitas : Hiperrefleksia (+), telapak tangan hangat dan lembab, jari-jari tremor
halus (+)
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium :
Darah : Hb: 12.3 g/dl; lekosit: 7800/mm3
Kimia darah :
a. Gula darah puasa 130 mg/dl ; Total Cholesterol: 125 mg/dl ; Triglyceride:
120 mg/dl
b. Tes fungsi hati dan ginjal dalam batas normal
c. Total T4: 27 µg/dl (Normal: 4.5-12.5 µg/dl
d. Total T3: 4.5 µg/dl (Normal: 1.3 – 2.9 µg/dl
e. TSH: < 0.003 IU/L (Normal: 0.3 – 5.0 IU/L)

Radiologis :
a. USG kelenjar tiroid: struma solid dengan hipervaskularisasi
b. Thyroid scanning: pembesaran kelenjar tiroid dengan hiperaktivitas
homogen
BAB VII
HIPOTESIS AKHIR

Dari Hasil Diskusi dari kelompok kami, kami menyimpulkan dari analisis
Defferential Diagnosis dan pemeriksaan penunjangnya, kami menyimpulkan
ODS. Grave’s Ophthalmopathy.
BAB VIII
MEKANISME DIAGNOSIS

Identitas Anamnesa
Nama : Ny. SS Keluhan Utama :Berdebar-
Usia : 26 thn debar
Alamat : Jl. Soka 23 Gedangan Riwayat Penyakit sekarang
Sidoarjo Riwayat Penyakit Terdahulu
Pekerjaan : Karyawan Swasta Riwayat
Pengobatan :Pemberian
Vitamin
1. Tumor Orbita Riwayat Penyakit Keluarga : -
Riwayat Sosial : menikah 1
2. Selulitis orbita tahun lalu, belum punya
3. ODS. Grave’s Ophthalmopathy keturunan

KU : Baik
Kesadaran : Kompos mentis
Laboratorium : Vital sign :
Darah : Hb: 12.3 g/dl; lekosit: 7800/mm3 1. Tensi : 140/60 mmHg
Kimia darah : 2. Nadi : 108x/menit
a. Gula darah puasa 130 mg/dl ; Total Cholesterol: 3. RR : 26x/menit
125 mg/dl ; Triglyceride: 120 mg/dl 4. Suhu : 37,2oC
b. Tes fungsi hati dan ginjal dalam batas normal 5. TB : 160 cm
c. Total T4: 27 µg/dl (Normal: 4.5-12.5 µg/dl 6. BB : 50 kg
d. Total T3: 4.5 µg/dl (Normal: 1.3 – 2.9 µg/dl
e. TSH: < 0.003 IU/L (Normal: 0.3 – 5.0 IU/L) Kepala : Kedua mata exoftalmus
a. Occular motility : ada hambatan
b. Palpebra : lid lag retraksi +/+
Radiologis : c. Konjungtiva : hiperemi +/+
a. USG kelenjar tiroid: struma solid dengan d. Kornea : erosi kornea +/+
e. Lain-lain : dalam batas
hipervaskularisasi normal +/+
b. Thyroid scanning: pembesaran kelenjar tiroid Leher : Benjolan difus di leher depan,
dengan hiperaktivitas homogen bergerak naik turun saat menelan,
didapatkan bunyi ‘bruit’
Thorax :
a. Paru : dbn
b. Jantung : tak membesar,
Diagnosis : ODS. takikardia, suara jantung normal
tanpa ada bising
Grave’s Ophthalmopathy
Abdomen : Tidak ada kelainan
Extremitas : Hiperrefleksia (+), telapak
tangan hangat dan lembab,
jari-jari tremor halus (+)
BAB IX
STRATEGI MENYELESAIKAN MASALAH

A. Prinsip Tindakan Medis

Berdasarkan konsensus yang disepakati oleh European Group on


GravesOrbitopathy, penatalaksanaan dari oftalmopati Graves memiliki
prinsipantara lain:

1. Merujuk pasien dengan oftalmopati Graves ke rumah sakit dengan


spesialis mata.

Pasien harus dirujuk dengan segera bila terdapat gejala yang


bersifat sightthreatening seperti penurunan visus, perubahan
intensitas dan kualitas warna,corneal opacity, atau edema makula.

2. Manajemen masalah oleh kalangan nonspesialis

Faktor risiko yang dapat mengakibatkan oftalmopati Graves adalah


merokok dandisfungsi tiroid. Merokok diketahui dapat
menurunkan efektivitas dari terapi, danmeningkatkan progresi
oftalmopati Graves setelah pemberian terapi radioiodineuntuk
hipertiroid. Sebagai prevensi, faktor risiko dapat diminimalisasi
melaluiedukasi.

3. Manajemen masalah oleh spesialis mata

Hal yang dapat dilakukan antara lain penilaian derajat keparahan


dan progresivitasdari oftalmopati Graves, manajemen oftalmopati
yang mengancam penglihatan, danmanajemen oftalmopati derajat
sedang-berat.

4. Manajemen oftalmopati ringan

Didalamnya termasuk tatalaksana awal untuk mencegah terjadinya


perburukanpenyakit.
5. Keadaan khusus

Keadaan seperti diabetes dan hipertensi harus dipertimbangkan bila


tindakanpembedahan dilakukan.

Prinsip management dari penatalaksanaan oftalmopati yang timbul


dapatdisingkat menjadi TEAR:

a. T : Tobacco abstinence

b. E : Euthyroidism must be achieved

c. A : Artificial tears

d. R : Referral to a specialist centre with experience

B. Penatalaksanaan

1. Farmakologi

a. Pada keadaan ringan biasanya ditangani dengan kortikosteroid oral.


Dosis awal biasanya 1-1,5 mg/kg prednisone . Dosis ini dipertahankan
selama 2 hingga 4 minggu sampai respon klinis dirasakan .

b. Pada kasus yang berat kortikosteroid masih merupakan pilihan pertama


baik oral, suntikan intravena (metylprednisolon), suntikan periorbital
triamcinolon. Beberapa obat imunosupresif juga telah dicoba pada
kasus berat seperti cyclosporine , azatioprin , siklofosfamid.

c. Cyclosporin digunakan bersamaan dengan kortikosteroid diberikan


sebagai pencegahan memburuknya oftalmopati.

2. Non Farmakologi

a. Radiasi
Terapi radiasi paling efektif dalam tahun pertama ketika perubahan
fibrotic yang signifikan belum terjadi..Secara keseluruhan 60% hingga
70 % pasien memiliki respon yang baik dengan radiasi, walaupun
rekuren terjadi lebih dari 25% pasien. Perbaikan diharapkan selama 2
minggu hingga 3 bulan setelah terapi radiasi tetapi dapat berlanjut
hingga 1 tahun.

b. Operasi
Sekitar 20% pasien mengalami penanganan bedah. 7% pasien
menjalani dekompresi orbital , 9% pembedahan strabismus dan 13%
pembedahan kelopak mata. Hanya 2,5 % yang membutuhkan semua
dari 3 tipe pembedahan. Laki-laki dan pasien usia lanjut tampaknya
lebih sering mengalami orbitopati berat yang membutuhkan intervensi
bedah. Pembedahan harus ditunda hingga penyakit telah stabil, kecuali
jika intervensi darurat dibutuhkan untuk membalikkan hilangnya
penglihatan disebabkan oleh neuropati optik kompresif atau
pemaparan kornea tidak responsive pada pengukuran medis maksimal.
Pembedahan strabismus dan perbaikan retraksi kelopak mata biasanya
tidak dipertimbangkan hingga keadaan eutiroid telah dipertahankan
dan tanda-tanda optalmik telah dikonfirmasi stabil selama 6-9 bulan.
Berbagai jenis operasi yang dilakukan pada penderita dengan graves
oftalmopati. Dekompresi orbital khusus untuk proptosis berat, operasi
otot mata untuk memperbaiki adanya diplopia, dan operasi kelopak
mata untuk kepentingan kosmetik
BAB X
PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI
A. Cara Penyampaian Prognosis kepada Pasien atau Keluarga Pasien
Prognosa dari grave’s ophthalmophaty tergantung dari derajat
penyakitnya dan beberapa keadaan yang menyertainya, yaitu:
1. Usia diatas 50 tahun
2. Onset kurang dari 3 bulan
3. Merokok
4. Diabetes
5. Severe or pretibial myxedema
6. Hiperlipidemia
7. Peripheral vascular disease

B. Tanda untuk Merujuk Pasien


Pasien harus dirujuk dengan segera bila terdapat gejala yang
bersifat sight threatening seperti penurunan visus, perubahan intensitas
dan kualitas warna, corneal opacity, atau edema makula.

C. Peran Pasien atau Keluarga untuk Penyembuhan


Peran keluarga sesuai dengan tugas-tugas keluarga dalam bidang
kesehatan salah satunya adalah memberikan perawatan kepada anggota
keluarga yang sakit dan tidak dapat membantu dirinya sendiri karena cacat
atau usianya yang terlalu muda. Misalnya keluarga mengingatkan atau
memonitor waktu minum obat, mengontrol persediaan obat, mengantarkan
penderita kontrol, memisahkan alat-alat penderita dengan anggota
keluarga yang lain, meningkatkan kesehatan lingkungan penderita, dan
pemenuhan kebutuhan psikologis agar penderita tidak merasa terisolir
dalam lingkungannya (Friedman, 1998).

D. Pencegahan Penyakit
1. Minum obat teratur seperti yang disarankan dokter.
2. Lakukan olahraga secara tertur jika diperbolehkan.
3. Periksakan mata Anda setidaknya setahun sekali atau lebih.
4. Jika anda merokok, berusahalah untuk berhenti merokok. Jika Anda
tidak merokok, maka berusahalah untuk menghindari paparan asap
rokok.
DAFTAR PUSTAKA

Stan, Marius N. 2012. The Evaluation and Treatment of Graves Ophthalmopathy.


Amerika Utara: NCBI.
Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2009
Riordan-Eva P, Whitcher Jp. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007
Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II. Jakarta: EGC.
Sherwood, Laura Iee. 2011. Fisiologi Manusia. Jakarta : EGC.
Jonqueira LC, Carneiro J. 2007. Histologi dasar teks dan atlas. Jakarta: EGC.
Wastitiamurti, Ritsia Anindita. 2018. “Patofisiologi, Klasifikasi, dan
Tatalaksana pada Grave’s Ophthalmopathy”. Diakses dari
(http://ejournal.ukrida.ac.id/ojs/index.php/Ked/article/view/1659) pada tanggal 11
Mei 2019 pukul 22.58 WIB.

Anda mungkin juga menyukai