Sejarah Masuknya Pendidkan Islam Di Indonesia
Sejarah Masuknya Pendidkan Islam Di Indonesia
Oleh :
2019
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr. Wb.
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan segala bentuk kenikmatannya kepada kita semua sehingga penulisan ini dapat
terselesaikan sesuai dengan waktu yang diharapkan. Dan tak lupa pula penulis mengirimkan
salam dan shalawat atas junjungan kita Nabiullah Muhammad saw. Sebagai rahmatan lil’alamin.
Penulisan makalah ini merupakan bentuk kewajiban dan penyempurnaan nilai terhadap kami
selaku mahasiswa di Universitas Muhammadiyah dan pengembangan nilai-nilai keagamaan
melalui mata kuliah materi PAI.
Tugas “MATERI PAI ” ini kami tulis dan kami susun dengan segenap keikhlasan yang
kami kumpulkan disela-sela waktu yang sangat sempit.
Dan ucapan terima kasih kepada dosen MATERI PAI kami yang telah memberikan banyak
arahan dan bimbingan kepada kami menjadi mahasiswa yang berahlak berlandaskan aturan Islam
Penyusunan makalah ini belum sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca yang sifatnya membangun.
Wassalam...
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………2
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………..3
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………...…4
BAB II PEMBAHASAN………………………………………...……………….………………6
A. Kesimpulan …………………………………………………………………..…………16
B. Saran-saran …………………………………………………………….………………16
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak awal perkembangan Islam, pendidikan mendapat prioritas utama masyarakat muslim
Indonesia. Di samping karena besarnya arti pendidikan, kepentingan Islamisasi mendorong umat
Islam melaksanakan pengajaran Islam kendatipun dalam sistem yang masih sangat sederhana, di
mana pengajaran diberikan dengan sistem halaqah yang dilakukan di tempat-tempat ibadah
semacam masjid, mushala, bahkan juga di rumah-rumah ulama.
Dari sekian perkiraan, kebanyakan menetapkan bahwa kontak Indonesia dengan Islam
sudah terjadi sejak abad 7 M. Ada yang mengatakan bahwa Islam pertama kali masuk ke
Indonesia di Jawa, ada yang mengatakan di Barus. Ada yang berpendapat bahwa Islam masuk
Indonesia melalui pesisir Sumatra. Para saudagar muslim asal Arab, Persia, dan India ada yang
sampai di kepulauan Indonesia untuk berdagang sejak abad ke 7 M yang berlayar ke Asia Timur
melalui selat Malaka singgah di pantai Sumatra Utara untuk mempersiapkan air minum, dan
perbekalan lainnya.
B. RUMUSAN MASALAH
BAB II
PEMBAHASAN
Awal mula bangsa Belanda datang ke Nusantara hanya untuk tujuan berdagang, tetapi
karena kekayaan alam Nusantara yang sangat banyak maka tujuan utama tadi berubah untuk
menguasai wilayah Nusantara dan menanamkan pengaruh di Nusantara sekaligus dengan
mengembangkan pahamnya yang terkenal dengan semboyan 3G, yaitu Glory (kemenangan dan
kekuasaan), Gold (emas atau kekayaan bangsa Indonesia), dan Gospel (upaya salibisasi terhadap
umat Islam di Indonesia).
Perkembangan sekolah yang demikian jauh dan merakyat menyebabkan tumbuhnya ide-ide
di kalangan intelektual Islam untuk memberikan respons dan jawaban terhadap tantangan
tersebut dengan tujuan untuk memajukan pendidikan Islam. Mereka mendiirikan lembaga
pendidikan baik secara perorangan maupun kelompok/organisasi yang dinamakan madrasah atau
sekolah.
Sungguhpun pendidikan Islam di Indonesia telah berjalan lama dan mempunyai sejarah
panjang, namun dirasakan, pendidikan Islam masih tersisih dari sistem Pendidikan Nasional.
Keadaan ini berlangsung sampai dengan dikeluarkannya SKB 3 Menteri tanggal 24 Maret 1975
yang berusaha mengembalikan ketertinggalan pendidikan Islam untuk memasuki mainstream
pendidikan nasional. Kebijakan ini membawa pengaruh yang sangat besar bagi madrasah, karena
pertama, ijazah dapat mempunyai nilai yang sama dengan sekolah umum yang sederajat, kedua,
lulusan sekolah madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih tinggi, dan
ketiga, siswa madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat.
Dengan SKB tersebut, madrasah memperoleh definisi yang semakin jelas sebagai
lembaga pendidikan yang setara dengan sekolah sekalipun pengelolaannya berada di bawah
Departemen Agama. Namun pada perkembangan selanjutnya akhir dekade 1980-an dunia
pendidikan Islam memasuki era integrasi dengan lahirnya UU No. 2/1989 tentang sistem
Pendidikan Nasional, eksistensi madrasah sebagai lembaga pendidikan yang bercirikan Islam
semakin mendapatkan tempatnya.
Sejarah dan perkembangan madrasah akan dibagi dalam dua periode, yaitu:
Pendidikan dan pengajaran agama Islam dalam bentuk pengajian al-Qur’an dan pengajian
kitab yang diselenggarakan di rumah-rumah, surau, masjid, pesantren, dan lain-lain. Pada
perkembangan selanjutnya mengalami perubahan bentuk baik dari segi kelembagaan, materi
pengajaran (kurikulum), metode maupun struktur organisasinya sehingga melahirkan suatu
bentuk baru yang disebut madrasah.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam berfungsi menghubungkan sistem lama
dengan sistem baru dengan jalan mempertahankan nilai-nilai lama yang masih baik yang masih
dapat dipertahankan dan mengambil sesuatu yang baru dalam ilmu, tekhnologi, dan ekonomi
yang bermanfaat bagi kehidupan umat Islam. Oleh karena itu, isi kurikulum madrasah pada
umumnya dalah apa yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam (surau dan pesantren)
ditambah dengan beberapa materi pelajaran yang disebut dengan ilmu-ilmu umum.
Latar belakang pertumbuhan madrasah di Indonesia dapat dikembalikan pada dua situasi yaitu:
Gerakan Pembaruan Islam di Indonesia muncul pada awal abad ke-20 yang dilatarbelakangi oleh
kesadaran dan semangat yang kompleks sebagaimana diuraikan oleh Karel A Steenbrink dengan
mengidentifikasi empat faktor yang mendorong gerakan pembaruan Islam di Indonesia, antara
lain:
Dapat dikatakan bahwa Islam pada mulanya diperkenalkan oleh para pedagang Muslim
yang melakukan kontak dengan penduduk setempat yang pada akhirnya dapat menarik hati
penduduk setempat untuk memeluk Islam. Pada masa awal, saudagar-saudagar muslim dikenal
cukup mendominasi perdagangan dengan Indonesia. Saudagar muslim itu mampu
memperkenalkan nilai-nilai Islam terutama ketentuan-ketentuan hukum Islam mengenai
perdagangan yang memberikan keuntungan ekonomi secara maksimal, sekaligus mereka
membatasi adanya pilihan terhadap agama-agama lain. Ada yang mengatakan bahwa para ulama
memiliki peranan yang besar bagi penyebaran Islam di Indonesia. Para pedagang muslim datang
ke Indonesia untuk berdagang dan mengumpulkan kekayaan, setelah mereka menetap maka
datanglah guru-guru (ulama) yang bertujuan menyebarkan dan mengajar penduduk setempat.
Surau dalam sistem adat Minangkabau adalah kepunyaan suku atau kaum sebagai
pelengkap rumah gadang yang berfungsi sebagai tempat bertamu, berkumpul, rapat, dan tempat
tidur bagi anak laki-laki yang telah akil baligh dan orang tua yang uzur. Fungsi surau ini semakin
kuat posisinya karena struktur masyarakat Miangkabau yang menganut sistem Matrilineal
menurut ketentuan adat bahwa laki-laki tidak punya kamar di rumah orang tuanya sendiri,
sehingga mereka diharuskan tidur di surau. Kenyataan ini menyebabkan surau menjadi tempat
amat penting bagi pendewasaan generasi Minangkabau, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun
ketrampilan praktis lainnya.
Sebagai lembaga pendidikan tradisional, surau menggunakan sistem pendidikan halaqah.
Materi pendidikan yang diajarkan pada mulanya masih seputar belajar huruf hijaiyah dan
membaca al-Qur’an, di samping ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti keimanan, akhlakdan
ibadah. Pada umumnya pendidikan ini dilaksanakan pada malam hari.
Secara bertahap, eksistensi surau sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami kemajuan. Ada
dua jenjang pendidikan surau pada masa ini, yaitu:
1) Pengajaran al-Qur’an yang mencakup pendidikan untuk memahami ejaan huruf al-Qur’an dan
membaca al-Qur’an sampai pendidikan membaca al-Qur’an dengan lagu, kasidah, berzanji,
tajwid, dan pengajian kitab.
2) Pengajian Kitab yang meliputi materi tentang ilmu nahwu dan saraf, ilmu fikih, ilmu tafsir,
dan lain sebagainya. Cara mengajarkannya adalah dengan membaca sebuah kitab Arab dan
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Setelah itu baru diterangkan maksudna.
Penekanan pada jenjang ini adalah pada aspek hafalan.Metode pendidikan yang diterapkan di
surau bila dibandingkan dengan metode pendidikan modern, metode pendidikan surau memiliki
kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya terletak pada kemampuan menghafal muatan teoritis
keilmuannya. Sedangkan kelemahannya terdapat pada lemahnya kemampuan memahami dan
menganalisis teks. Di sisi lain, metode pendidikan ini diterapkan secara keliru. Siswa banyak
yang bisa membaca dan menghafal isi suatu kitab, akan tetapi tidak bisa menulis apa yang dibaca
dan dihafal[12]
Surau sebagai lembaga pendidikan Islam mulai surut peranannya karena disebabkan oleh
beberapa hal. Pertama, selama perang Padri banyak surau yang musnah terbakar dan syekh
banyak yang meninggal, kedua, Belanda mulai memperkenalkan sekolah negeri, ketiga, kaum
intelektual muda muslim mulai mendirikan madrasah sebagai bentuk ktidaksetujuan mereka
terhadap praktik-praktik surau yang penuh dengan khurafat bid’ah dan takhayul.[13]
Dalam posisinya sebagai lembaga pendidikan Islam, poisis surau sangat strategis bai dalam
proses pengembangan Islam maupun pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam. Bahkan surau
telah mampu mencetak para ulama besar Minangkabau dan menumbuhkan semangat
nasionalisme, terutama dalam mengusir kolonialisme Belanda.
Meunasah merupakan tingkat pendidikan Islam terendah. Meunasah berasal dari bahasa
Arab madrasah. Meunasah merupakan satu bangunan yang terdapat di setiap kampung/desa.
Bangunan ini seperti rumah tetapi tidak mempunyai jendela dan bagian-bagian lain. Bangunan
ini digunakan sebagai tempat belajar dan berdiskusi serta membicarakan masalah-masalah yang
berhubungan dengan kemasyarakatan. Di samping itu, meunasah juga menjadi tempat bermalam
para anak-anak muda serta orang laki-laki yang tidak mempunyai istri. Setelah Islam mapan di
Aceh, meunasah juga menjadi tempat shalat bagi masyarakat dalam satu gampong/desa.
Dalam perkembangan lebih lanjut, meunasah bukan hanya berfungsi sebagai tempat
beribadah saja, melainkan juga sebagai tempat pendidikan, tempat pertemuan, bahkan juga
sebagai tempat transaksi jual-beli, terutama barang-barang yang tidak bergerak. Yang belajar di
meunasah umumnya anak laki-laki yang umumnya di bawah umur. Sedangkan untuk anak
perempuan pendidikan diberikan di rumah guru.
Pendidikan meunasah ini dipimpin oleh Teungku Meunasah. Pendidikan untuk anak
perempuan diberikan oleh Teungku perempuan yang disebut Tengku Inong. Dalam memberika
pendidikan kepada anak-anak, Tengku Meunasah dibantu oleh beberapa orang muridnya yang
lebih cerdas yang disebut sida.
Keberadaan meunasah di Aceh sebagai lembaga pendidikan tingkat dasar sangat mempunyai arti
di Aceh. Semua orang tua memasukkan anaknya ke meunasah. Dengan kata lain, meunasah
merupakan madrasah wajib belajar bagi masyarakat Aceh masa lalu. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan apabila orang Aceh mempunyai fanatisme agama yang tinggi.
Pesantren atau pondok pesantren, atau sering disingkat pondok atau ponpes, adalah
sebuah asrama pendidikan tradisional, di mana para siswanya semua tinggal bersama dan belajar
di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai dan mempunyai asrama untuk
tempat menginap santri. Santri tersebut berada dalam kompleks yang juga menyediakan masjid
untuk beribadah, ruang untuk belajar, dan kegiatan keagamaan lainnya. Kompleks ini biasanya
dikelilingi oleh tembok untuk dapat mengawasi keluar masuknya para santri sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
Pondok Pesantren merupakan dua istilah yang menunjukkan satu pengertian. Pesantren menurut
pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri, sedangkan pondok berarti rumah atau
tempat tinggal sederhana terbuat dari bambu. Di Jawa termasuk Sunda dan Madura umumnya
digunakan istilah pondok dan pesantren, sedang di Aceh dikenal dengan istilah dayah atau
rangkang atau menuasa, sedangkan di Minangkabau disebut surau.
Pesantren juga dapat dipahami sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama,
umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada
santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh Ulama Abad
pertengahan, dan para santrinya biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut.
Di sisi lain, ciri-ciri pesantren berikut unsur-unsur kelembagaannya tidak bisa dipisahkan
dari sistem kultural dan tidak dapat pula dilekatkan pada semua pesantren secara uniformitas
karena setia pesantren memiliki keunikan masing-masing, tetapi pesantren secara umum
memiliki karakteristik yang hampir sama, di antara karakteristik pesantren itu dari segi:
Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren pada dasarnya hanya mengajarkan agama,
sedangkan kajian atau mata pelajarannya adalah kitab-kitab dalam bahasa Arab (kitab kuning).
Pelajaran agama yang dikaji di pesantren ialah al-Qur’an dengan tajwid dan tafsirnya, aqa’id dan
ilmu kalam, fikih dan ushul fikih, hadis dengan mustalah hadis, bahasa Arab dengan ilmunya,
tarikh, mantiq dan tasawuf.
1). Wetonan atau di sebut juga metode bandongan adalah metode pengajaran dengan
cara ustadz/kiai membaca, menerjemahkan, menerangkan dan mengulas kitab/buku-buku
keislaman dalam bahasa arab, sedangkan santri mendengarkannya. Mereka memperhatikan
kitab/bukunya sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-
kata yang diutarakan oleh ustadz/kiai.
2). Sorogan merupakan metode yang ditempuh dengan cara ustadz menyampaikan
pelajaran kepada santri secara individual. Sasaran metode ini biasanya kelompok santri pada
tingkat rendah yaitu mereka yang baru menguasai pembacaan al-Qur’an. Melalui sorogan,
pengembangan intelektual santri dapat ditangkap oleh kiai secara utuh.
3). Hafalan, yaitu suatu motode di mana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari
kitab yang dipelajarinya.[23]
b. Jenjang Pendidikan Pesantren Indonesia
c. Fungsi Pesantren
Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga berfungsi
sebagai lembaga sosial dan penyiaran keagamaan. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren
menyelenggarakan pendidikan formal (madrasah, sekolah umum, perguruan tinggi) dan non-
formal. Sebagai lembaga sosial, pesantren menampung anak-anak dari segala lapisan masyarakat
muslim tanpa membeda-bedakan status sosial. Sebagai lembaga penyiaran keagamaan, masjid
pesantren juga berfungsi sebagai masjid umum, yakni sebagai tempat belajar agama dan ibadah
bagi para jama’ah.
Berdirinya pondok pesantren bermula dari seorang kyai yang menetap/bermukim di suatu
tempat. Kemudian datanglah santri yang ingin belajar kepadanya dan turut pula bermukim di
tempat itu. Sedangkan biaya kehidupan dan pendidikan disediakan bersama-sama oleh para
santri dengan dukungan masyarakat sekitar. Hal ini memungkinkan kehidupan pesantren bisa
berjalan stabil tanpa dipengaruhi oleh gejolak ekonomi di luar.
Biasanya mereka memberikan PAI pada hari Minggu atau Jum’at setelah berakhirnya
jam-jam pelajaran umum atau pada waktu sore. PAI tersebut kadang-kadang mendapatkan
respon negatif dari guru-guru yang tidak suka pada Islam, namun perhatian para siswa terhadap
PAI sangat besar karena mereka sangat membutuhkan PAI sebagai pedoman hidup dan santapan
rohani.
Sejak kemerdekaan Indonesia yaitu pada tahun 1945 PAI mulai diberikan di sekolah-
sekolah Negeri. Menteri PP&K(Pendidikan, Pengajaran & Kebudayaan) yang pertama yaitu Ki
Hajar Dewantoro telah mengirim surat edaran ke daerah-daerah yang menyatakan bahwa
pelajaran Budi Pekerti yang ada pada zaman Jepang diperkenankan diganti dengan PAI. Namun,
surat edaran tersebut belum mempunyai dasar yang kuat sehingga pelaksanaannya hanya bersifat
suka rela.
Untuk merealisasikan hal tersebut maka dikeluarkan Penetapan Bersama antara Menteri
Agama dan PP&K no. 1285/K7 tanggal 12 Desember 1946(Agama) dan no. 1142/BHG. A
tanggal 12 Desember 1946(PP&K). Karena isi dari penetapan-penetapan tersebut masih banyak
kekurangannya maka dikeluarkan peraturan yang memuat 10 pasal tentang pelaksanaan PA di
sekolah-sekolah Negeri. 10 pasal yang dimaksud adalah sebagai berikut:
( Pasal 1 )
Di tiap-tiap sekolah dan sekolah lanjutan (umum dan vak) diberikan Pendidikan Agama.
( Pasal 2 )
1.Di sekolah-sekolah rendah, Pendidikan Agama dimulai di kelas IV, banyaknya 2 jam pelajaran
dalam satu minggu.
2. di lingkungan yang istimewa, Pendidikan Agama dapat dimulai di kelas I dan jamnya dapat
ditambah menurut kebutuhan, tetapi tidak melebihi 4jam sekolah seminggu dengan ketentuan
bahwa mata pengetahuan membagi sekolah-sekolah rendah rendah itu tidak boleh dikurangi
dibandingkan dengan sekolah-sekolah rendah di lain-lain lingkungan.
( Pasal 3 )
Di sekolah-sekolah lanjutan tingkat pertama dan tingkat atas, baik sekolah-sekolah umum
maupun sekolah-sekolah vak, diberikan Pendidikan Agama, 2jam pelajaran tiap-tiap minggu.
( Pasal 4 )
1. Pendidikan diberikan menurut Agama murid masing-masing,
2. Pendidikan Agama baru diberikan kepada sesuatu kelas yang mempunyai murid sekurang-
kurangnya 10 orang yang menganut suatu macam Agama.
3. Murid dalam suatu kelas yang memeluk agama lain daripada agama yang sedang diajarkan
pada suatu waktu dan murid yang meskipun memeluk agama yang sedang diajarkan tetapi tidak
mendapat ijin dari orang tuanya untuk mengikuti pelajaran itu boleh meninggalkan kelasnya
selama pelajaran agama itu.
( Pasal 5 )
1. Guru-guru agama diangkat, diberhentikan dan sebagainya oleh menteri Agama atas usul
instansi agama yang berkepentingan.
2. Begittu pula segala biaya unttuk pendidikan agama itu menjadi tanggungan Kementrian
Agama.
( Pasal 6 )
1. Guru-guru agama tunduk pada aturan-aturan umum yang ditetapkan oleh suatu sekolah.
2. Dalam hal itu ia wajib memahami bahwa kuasa tertinggi sekolah ada pada kepala sekolah.
( Pasal 7 )
Dalam menjalankan kewajiban sebagai guru, maka guru agama dilarang mengajarkan segala
sesuatu yang mungkin dapat menyinggung perasaan orang yang memeluk agama atau memegang
kepercayaan lain.
( Pasal 8 )
Guru agama yang diwajibkan mengajar di beberapa sekolah rendah sebelum memulai mengajar
harus merundingkan dahulu tentang menetapkan waktunya mengajar dengan penilik sekolah
yang akan membicarakan hal ini dengan kepala sekolah dimana pengajaran agama diberikan.
Hasil perundingan itu oleh penilik sekolah dilaporkan kepada inspektur PP&K yang
bersangkutan untuk disahkan dan diberitahukan kepada jawatan pendidikan agama.
Mengenai sekolah lanjutan peerundingan tersebut dilakukan oleh guru agama dengan kepala
sekolah dan hasilnya oleh kepala sekolah itu dilaporkan kepada inspektur masing-masing untuk
disahkan dan dibeeritahukan kepada jawatan Pendidikan Agama.
( Pasal 9 )
Rencana pelajaran agama ditetapkan oleh kementrian agama sesudah disetujui oleh Kementrian
PP&K atas usul instansi agama yang berkepentingan.
( Pasal 10 )
Petunjuk-petunjuk bagi guru agama tentang cara mengajarkan agama ditetapkan oleh
Kementrian agama sesudah disetujui oleh Kementrian PP&K sesudah memperhatikan
pertimbangan-pertimbangan instansi agama yang berkepentingan.
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bersama tersebut, secara resmi Pendidikan Agama telah
dimasukkan di sekolah-sekolah Negeri maupun Swasta mulai dari SR sampai SMA dan juga
Sekolah-sekolah Kejuruan. Pada tahun 1960 Pendidikan Agama di sekolah-sekolah mulai
mendapatkan status yang agak kuat. Hal ini tercantum dalam Ketetapan MPRS no.
II/MPRS/1960 Bab II pasal 2 ayat 3, yang berbunyi:
Status PA di sekolah-sekolah berubah menjadi kuat setelah meletusnya G30S/PKI pada tahun
1965 dan diadakan sidang umum MPRS pada tahun 1966 dengan adanya Ketetapan MPRS no.
XXVII/MPRS/1966 Bab I pasal 1, yaitu:
(Dirangkum dari “Metodhik Khusus Pendidikan Agama” yang disusun oleh Dra. H. Zuhairini,
Drs. Abdul Ghofir dan Drs. Slamet As. Yusuf halaman 16).
BAB I
PENUTUP
Dalam tinjauan historis, sejarah pendidikan Islam dimulai bersamaan dengan awal
berkembangnya sejarah Islam, yaitu sejak masa Rasulullah Saw. Dalam perjalanan panjang
sejarah Islam, pendidikan Islam juga mengalami berbagai dinamika fluktuatif seiring dengan
fluktuasi sejarah Islam sendiri. Begitupun dengan sejarah pendidikan di Indonesia, sangat erat
kaitannya dengan kedatangan Islam itu sendiri ke Indonesia.
Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia antara lain ditandai oleh munculnya berbagai
lembaga pendidikan secara bertahap, mulai dari yang sangat sederhana, sampai dengan tahap-
tahap yang sudah terhitung modern dan lengkap.
Madrasah di Indonesia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Hal ini ada dua faktor yang
berpengaruh, yaitu adanya gerakan pembaharuan di Indonesia dan sebagai respons terhadap
kebijakan pendidikan Belanda. Setelah Indonesia merdeka, kebijakan pemerintah terhadap
madrsah belum terlihat jelas dan madrasah menemukan momentumnya ketika dikeluarkan SKB
3 Menteri tahun 1975 dan UUSPN tahun 1989, yaitu mendapatkan tempatnya di dalam Sistem
Pendidikan Nasional.
Daftar Pustaka
Asrahah, Hanun. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1999.
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru. Ciputat:
Logos. 1999.
Daud Ali, Muhammad. Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
1995.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3S.
1983.
Ibrahim Alfian, Teuku. Kontribusi Samudra Pasai terhadap Studi Islam Awal di Asia Tenggara.
Yogyakarta: Ceninnets. 2005.
Madjid, Nurcholis. Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina. 1997.
Maksum. Madrasah, Sejarah, dam Perkembangannya. Jakarta: Logos. 1999.
Mansur dan Mahfud Junaedi. Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:
Departemen Agama RI. 2005.
Mansur, Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Global Pustaka Utama. 2004.
Nizar, Samsul. Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam. Ciputat: Quantum
Teaching. 2005.