Anda di halaman 1dari 11

Infeksi Virus Dengue

Epidemiologi

Istilah haemorrhagic fever di Asia Tenggara pertama kali digunakan di


Filipina pada tahun 1953. Di Indonesia DBD pertama kali dicurigai di Surabaya pada
tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta
kasus pertama dilaporkan pada tahun 1969. Kemudian DBD berturut-turut dilaporkan
di Bandung (1972), Yogyakarta (1972). Epidemi pertama di luar Jawa dilaporkan
pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan Lampung, disusul oleh Riau, Sulawesi Utara
dan Bali (1973). Pada tahun 1993 DBD telah menyebar ke seluruh propinsi di
Indonesia. Pada saat ini DBD sudah endemis di banyak kota-kota besar, bahkan sejak
1975 penyakit ini telah berjangkit di daerah pedesaan. Berdasarkan jumlah kasus
DBD, Indonesia menempati urutan kedua setelah Thailand. Sejak tahun 1968 angka
kesakitan rata-rata DBD di Indonesia terus meningkat dari 0,05 (1968) menjadi 8,14
(1973), 8,65 (1983) dan mencapai angka tertinggi pada tahun 1998 yaitu 35,19 per
100.000 penduduk dengan jumlah penderita sebanyak 72.133 orang.

Gambar 1. Epidemiologi Kasus DBD di Indonesia tahun 1969-2000


Sumber Ditjen PPM & PLP Depkes, 2001.

Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara bervariasi


disebabkan beberapa faktor, antara lain status umur penduduk, kedapatan vector,
tingkat penyebaran virus dengue, prevelensi serotipe virus dengue dan kondisi
meteorologis. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin, tetapi
kematian ditemukan lebih banyak terjadi pada anak perempuan daripada anak laki-
laki. Pada awal terjadinya wabah di sebuah negara, pola distribusi umur
memperlihatkan proporsi kasus terbanyak berasal dari golongan anak berumur < 15
tahun (86-95%). Namun pada wabah selanjutnya, jumlah kasus golongan usia dewasa
muda meningkat. Di Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu jelas,
namun secara garis besar jumlah kasus meningkat antara September sampai Februari
dengan mencapai punyaknya pada bulan Januari.
Etiologi

Virus dengue termasuk group B arthropod bone virus (arboviruses) dan


sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, family Flaviviridae, yang mempunyai 4
jenis serotipe yaitu den-1, den-2, den-3 dan den-4. Infeksi dengan salah satu serotipe
akan menimbulkan antibody seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi
tidak ada perlindungan terhadap serotipe lain. Seseorang yang tinggal di daerah
endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya.
Keempat jenis serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia.
Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa
rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan bersirkulasi
sepanjang tahun. Serotipe den-3 merupakan serotipe yang dominan dan banyak
berhubungan dengan kasus berat.

Patofisiologi

Volume plasma
Patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan
antara Demam Dengue dengan DBD ialah peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah, penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia,
serta diatesis hemoragik. Meningginya nilai hematocrit pada kasus syok menimbulkan
dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra vascular
(ruang interstisial dan rongga serosa) melalui kapiler yang rusak. Bukti yang
mendukung dugaan ini ialah meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang
tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan pericardium
yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus, dan
terdapatnya edema.

Trobositopenia
Trombositipenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada
sebagian besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan
mencapai nilai terendah pada kasus syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat
pada masa konvelesens dan nilai normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan
sakit. Penyebab peningkata destruksi trombosit tidak dikeyahui, namun beberapa
faktor dapat menjadi penyebab yaitu virus dengue, komponen aktif sistem
komplemen, kerusakan sel endotel dan aktivasi sistem pembekuan darah secara
bersamaan atau terpisah. Fungsi Trombosit pada DBD terbukti menurun mungkin
disebabkan proses imunologis terbukti ditemui kompleks imun dalam peredaran
darah. Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab
terjadinya perdarahan pada DBD.

Sistem Koagulasi dan Fibrinolisis


Pada kasus DBD berat terjadi peningkatan fibrinogen degradation product
(FDP). Faktor koagulasi membuktikan adanya penurunan aktifitas antithrombin III,
disamping itu dibuktikan bahwa menurunnya aktifitas faktor VII, faktor II dan
antithrombin III tidak sebanyak seperti fibrinogen dan faktor VIII karena
penurunannya tidak hanya diakibatkan oleh konsumsi sistem koagulasi melainkan
oleh konsumsi sistem fibrinolysis. Kelaianan fibrinolysis pada DBD dibuktikan
dengan penurunan aktifitas -2 plasmin inhibitor dan penurunan aktifitas
plasminogen.
Pada penelitian diatas membuktikan bahwa:
1. pada dbd stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan fibrilosis
2. disseminated intravascular coagulation (DIC) secara potensial dapat terjadi
juga pada DBD tanpa syok
3. perdarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh faktor kapiler, gangguan
fungsi trombosit dan trombositopenia, sedangkan perdarahan massif ialah
akibat kelainan mekanisme yang lebih kompleks seperti trombositopenia,
gangguan faktor pembekuan, dan kemungkinan besar oleh faktor DIC,
terutama dengan syok lama yang tidak dapat diatasi dsertai komplikasi
asidosis metabolic.
4. antithrombin III yang merupakan kofaktor heparin. pada kasus dengan
kekurangan antithrombin III, respon pemberian heparin akan berkurang

Sistem Komplemen
Terjadi penurunan kadar C3, C3 proaktivator, C4 dan C5 baik pada kasus yang
disertai syok maupun tidak. Penurunan kadar serum komplemen disebabkan olehh
aktivasi sistem komplemen dan bukan oleh karena produkasi yang menurun atau
ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini menghasilkan anafilaktoksin C3a dan C5a yang
mempunyai kemampuan menstimulasi sel mast untuk melepaskan histamin dan
merupakan mediator kuat untuk menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler,
pengurangan volume plasma, dan syok hipovolemik.
Peran sistem komplemen pada penderita BDB ialah,
1. kadar histamin meningkat dalam urin 24 jam
2. adanya kompleks imun yang bersikulasi (circulating immune complex) baik
pada DBD derajat ringan maupun berat
3. adanya korelasi antara kadar kuantitatif kompleks imun dengan derajat berat
penyakit

Respon Leukosit
Pameriksaan Limfosit plasma biru (LPB) secara seri dari preparat hapus darah
tepi memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai puncak pada hari
keenam. Selanjutnya dibuktikan bahwa pada hari ke 4-8 demam terdapat perbedaan
bermakna proporsi LBP pada DBD dengan demam dengue. Namun, antara hari ke 2
sampai hari ke 9 demam, tidak terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD
syok dan tanpa syok. Sehingga berdasarkan uji diagnositik maka dipilih titik potong
LPB 4% untuk membantu diagnosis dini infeksi dengue dan sejak hari ke 3 demam
dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi dengue dan non-dengue.

Patokan diagnosis DBD berdasarkan gejala Klinis dan laboratrium

ditandai oleh 4 gejala klinis, yaitu


- demam tinggi mendadak dan teru-menerus selama 2-7 hari
- perdarahan, terutama perdarahan kulit, uji tourniquet +, dan salah satu
bentuk perdarahan lain (petekia, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan
gusi), hematemesis dan atau melena.
- hepatomegaly pda anak berumur 4 tahun dan/atau lebih dengan gizi baik
baisanya tidak dapat diraba. Kewaspadaan ditingkatkan jika semula hati
tidak teraba dan kemudian menjadi lebih besar dan kenyal ini merupakan
tanda terjadinya syok.
- Syok yang ditandai oleh nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi
menurun (< 20 mmHg), tekanan darah menurun (tekanan sistolik < 80
mmHg) disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada ujung
hidung, jari dan kaki, pasien menjadi gelisah dan timbul sianosis di sekitar
mulut, oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang
meliputi arteri renalis.

Laboratorium

trombositopenia < 100.000/ul dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari


peningkatan nilai hematocrit > 20% dibandingkan dengan nilai hematocrit pada masa
sebelum sakit atau masa konvalesen.

Pemeriksan Serologis

setelah 1 minggu tubuh terinfeksi virus dengue, terjadi viremia yang diikuti oleh
pembentukan IgM-antidengue. IgM hanya berada dalam waktu yang relative singkat
dan akan disusul segera oleh pembentukan IgG. pada kira-kira hari ke 5 infeksi
terbentuklah antibody yang bersifat menetralisasi virus (neutralizing antibody (NT).
Titer antibody NT akan naik dengan cepat, kemudian menurun secara lambat untuk
waktu yang lama, biasanya seumur hidup.

Diagnosis Banding
Pada hari pertama diagnosis DBD sulit dibedakan dari morbili dan idiopathic
thrombocytopenic purpura (ITP) yang diserai demam. pada hari ke 3-4, kemungkinan
diagnosis DBD akan lebih besar, apalagi gejala klinis lain seperti manifestasi
perdarahan dan pembesaran hati menjadi nyata. Kesulitan dialamai dalam
membedakan syok pda DBD dengan sepsis, dalam hal ini trombositopenia dan
hematokonsentrasi di samping penilaian gejala klinis lain sperti tipe dan lama demam
dapat membantu.
Tatalaksana
BAGAN TATALAKSANA KASUS TERSANGKA DBD

Terapi Cairan
cairan intravena diperlukan apabila
1. anak terus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak mungkin
diberikan minum per oral, ditakutkan dehidrasi sehingga mempercepat
terjadinya syok
2. nilai hematocrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala
jumlah cairan yang bdiberikan tergantung derajat dehidrasi dan kehilangan eletrolit,
dianjurkan cairan glukoas 5% di dalam 1/3 larutan Nacl 0.9%. Bila terdapat asidosis,
¼ dari jumlah cairan total dikeluarkan dan diganti dengan larutan yang berisi 0,167
mol/liter natrium bikarbonat (3/4 bagian berisi hemokonsentrasi 20% atau lebih, maka
komposisi jenis cairan yang diberikan harus sama dengan plasma. Volume dan
kompisisi cairan yang diperlukan sesuai seperti cairan untuk dehidrasi pada diare
ringan sampai sedang, yatu cairan rumatan ditambah deficit 6% (5-8%) seperti pada
tabel.
kebutuhn cairan pada dehidrasi sedang (deficit cairan 5-8%)

Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung pda umur dan berat
badan pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat hemokonsentrasi
yang terjadi. Pada anak gemuk kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal
untuk anak umur yang sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat dihitung dari tabel
berikut.

Misalnya anak berat badan 40 kg, maka cairan rumatan adalah 1500 + (50 x 20) =
2500 ml. jumlah cairan rumatan diperhitungkan untuk 24 jam

Jenis cairan

Larutan kristaloid  ringer laktat atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat
(D5/RL), ringer asetat atau dektrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA), NaCl
0,9% atau dekstrosa 5% dalam larutan garam faali. Sedangkan larutan koloid adalah
dekstran 40 dan plasma darah.

Penggantian volume plasma segera


Pengobatan awal cairan intravena degn larutan kristaloid 20 ml/kgbb dengan tetesan
secepatnya (diberikan secara bolus selama 30 menit). Apabila syok belum dapat
teratasi dan/atau keadaan klinis memburuk setelah 30 menit pemberian cairan awal,
cairan diganti dengan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10-20 ml/kgbb/jam, dengan
jumlah maksimal 30 ml/kgbb. Setelah terjadi perbaikan segera cairan ditukar kembali
dengan kristaloid dengan tetesan 20 ml/kgbb. Apabila cairan resusitasi kristaloid dan
koloid syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun, diduga telah terjadi
perdarahan, maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar
hematokrit tetap > 40 vol%, maka berikan darah dalam volume kecil (10
ml/kgbb/jam), tetapi apabila terjadi perdarahan masif diberikan 20 ml/kgbb. Setelah
keadaan klinis membaik, tetesan cairan dikurangi bertahap sesuai dengan keadaan
klinis dan kadar hematokrit.

Kadar hematokrit untuk memantau penggantian volume plasma

Pemberian cairan tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik dan kadar
hematokrit turun. Tetesan diturunkan menjadi 10 ml/ kgbb/jam kemudian disesuaikan
dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam. Cairan intravena dapat
dihentikan apabila hematokrit telah turun, sekitar 40%. Jumlah urin 12 ml/kgbb/jam
atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaan sirkulasi membaik.

BAGAN TATALAKSANA KASUS DBD DERAJAT 1 DAN II

Sedatif
Pasien yang gelisah dapat diberikan sedatif untuk menenangkan pasien. Kloral hidrat
diberikan per oral atau per rektal dengan dosis 12,5 – 50 mg/kgbb (tidak melebihi 1
gram).

Pemberian oksigen

Terapi dengan 2 liter per menit harus selalu dilakukan pada semua pasien syok.
Diajurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus diingat
pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen.

TATALAKSANA KASUS DBD DERAJAT II DENGAN PENINGKATAN


HEMOKONSETRASI >20%
TATALAKSANA KASUS DBD DERAJAT III DAN IV

Anda mungkin juga menyukai