Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH ILMIAH

PERGESERAN MAKNA MUSIK LITURGI:


dalam Perspektif Teologi Suara Jordi Agusti Piqué i Collado

Disusun oleh:

Zet Paerunan
NIM 206114072

PROGRAM STUDI TEOLOGI


UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan pada Tuhan yang Maha Esa atas segala berkat dan
penyertaan-Nya sehingga makalah yang berjudul “PERGESERAN MAKNA MUSIK
LITURGI: Dalam Perspektif Teologi Suara Jordi Agusti Piqué i Collado” dapat terselesaikan.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai laporan atau tugas akhir semester 1 atas
mata kuliah Bahasa Indonesia kelas IA. Dalam tugas tersebut, mahasiswa di minta untuk
membuat makalah ilmiah dari mata kuliah yang ada di Fakultas Teologi Wedabhakti
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Yang menjadi pembahasan dalam makalah ini
adalah mata kuliah Pengantar Liturgi terlebih khusus materi tentang Musik dalam Liturgi.

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka
dari itu penulis sangat mengharapkan partisipasi pembaca untuk memberikan masukan baik
berupa kritikan maupun saran untuk membuat makalah ini menjadi lebih baik dari segi isi dan
segi yang lainnya. Mohon maaf apabila ada hal yang kurang berkenan dalam penulisan
makalah ini. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih dan selamat membaca.

Yogyakarta, 2 Desember 2020

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………….1

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………2

BAB I: PENDAHULUAN……………………………………………………………………3

1. Latar Belakang……………………………………………………………………….3

2. Rumusan Masalah……………………………………………………………………4

3. Tujuan Penulisan…………………………………………………………………….4

BAB II: ISI…………………………………………………………………………………..5

1. Apa itu Liturgi dan Musik Liturgi…………………………………………………5

2. Perubahan Pemahaman tentang "Suci" dan “Sakral”…………………………...6

3. Tindakan Liturgi dan Teologi Suara melalui Musik……………………………...7

4. Praktek Musik Liturgi di Tengah Umat…………………………………………...8

BAB III: PENUTUP………………………………………………………………………..10

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………11

2
BAB I: PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Liturgi menjadi hal yang sangat fundamental bagi umat Katolik, terlebih khusus bagi
para imam dan rohaniawan-rohaniawati. Hal ini penting supaya mereka yang akan terlibat
langsung dalam liturgi hendaknya mengetahui hal-hal pokok terkait dengan liturgi. Untuk itu,
di setiap seminari-seminari sebagai tempat untuk membina calon imam semestinya
memberikan perhatian khusus terkait dengan pelajaran liturgi. Dalam Sacrosanctum
Concillium artikel 15 dengan tegas mengatakan “Di seminari-seminari dan di rumah-rumah
pendidikan para religius mata kuliah Liturgi harus dipandang sebagai mata kuliah wajib
dan penting, sedangkan di fakultas-fakultas teologi sebagai salah satu mata kuliah utama.”
Oleh karena itu penulis merasa penting untuk membahas mengenai liturgi. Makalah ini secara
khusus akan membahas mengenai Musik Liturgi.

Dewasa ini, musik menjadi hal yang sangat fundamental dalam kehidupan manusia,
begitu pun dalam Gereja. Musik menjadi sarana yang membantu umat Allah
mengekspresikan iman mereka dalam ibadat atau liturgi. Musik tentu saja mengacu pada
tatanan bunyi yang dapat dihasilkan dari alat musik dan suara penyanyi atau umat Allah
sendiri. Musik Liturgi sebenarnya adalah musik yang digunakan dalam berbagai upacara
Liturgi termasuk Perayaan Ekaristi. Gereja Barat mengenal dua Musik Liturgi yang dianggap
sakral yaitu nyanyian Gregorian dan Polifoni. Gereja sendiri memandang nyanyian Gregorian
sebagai nyanyian khas bagi Liturgi Romawi. Untuk itu nyanyian Gregorian hendaknya
diutamakan dalam upacara-upacara Liturgi. Sementara Polifoni sama sekali tidak dilarang
dalam perayaan ibadat suci, asalkan itu selaras dengan jiwa upacara Liturgi (SC 116). Akan
tetapi, musik Liturgi yang asli dan khas lama-kelamaan mulai ditinggalkan seiring
berjalannya waktu. Orang-orang menghendaki sesuatu yang baru dan lebih menarik
dibandingkan dengan musik kuno yang sudah ketinggalan zaman.

3
2. Rumusan Masalah
a. Apa itu liturgi dan musik liturgi?
b. Seperti apa teologi musik dalam liturgi liturgi?
c. Bagaimana praktik musik liturgi ditengah umat?
3. Tujuan Penulisan
a. Untuk menjelaskan liturgi dan musik liturgi.
b. Untuk menjabarkan teologi musik dalam liturgi secara sederhana dalam perspektif
teologi suara dalam dalam artikelnya yang berjudul The Perception of Sound in the
Liturgy: Changes in Times of Change yang ditulis oleh Jordi Agusti Piqué i Collado.
c. Untuk menjelaskan praktik musik liturgi di tengah umat.

4
BAB II: ISI
1. Apa itu Liturgi dan Musik Liturgi

Liturgi (bahasa Latin Litugia) berasal dari bahasa Yunani leitourgia, yang akar
katanya dari ergon (karya) dan laos (bangsa/rakyat). Secara harafiah, Leitourgia berarti
karya atau pelayanan yang dibaktikan bagi kepentingan bangsa (Emanuel Martasudjita,
2011). Kata leitourgia berarti publik, yakni pelayanan dari rakyat dan untuk rakyat (KGK
1069). Sementara istilah musik berasal dari bahasa Yunani, mousike yaitu nama salah satu
dewi kesenian dan ilmu pengetahuan dalam mitos Yunani (Aji Rusmansyah, 2010).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, musik berarti ilmu atau seni menyusun nada atau
suara dalam urutan kombinasi dan hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi
suara yang mempunyai kesatuan dan keseimbangan. Paul Widiawan (1987) mengatakan:

“Musik adalah nada atau suara yang disusun sedemikian rupa sehingga
menyandang irama yang harmonis. Secara umum terbagi menjadi dua yaitu musik
ritual dan musik profan. Musik ritual adalah musik yang diapresiasikan untuk
mendukung upacara-upacara ritual, misalnya upacara adat maupun upacara
keagamaan. Sementara musik profan adalah musik yang yang bernuansa bebas
dalam hal ini tidak sakral dan digemari dalam masyarakat sebagai sarana
hiburan.”

Dari uraian ini, pengertian musik liturgi secara singkat dapat dikatakan sebagai musik
sakral dalam agama Katolik, atau musik yang dibawakan dalam liturgi Gereja katolik.

Liturgi menggunakan musik sebagai elemen yang nyata untuk merayakan Sabda dan
menyanyikan Sabda dalam sakramen, doa harian dan dalam devosi-devosi.  Akan tetapi,
hal ini telah mengalami pergeseran selama abad ke dua puluh ini. Warisan bersejarah
yang terkait dengan liturgi telah dialihkan ke kepuasan individu mengenai budaya. Hal itu
bisa kita lihat sekarang ini, bagaimana musik yang sebenarnya bertemakan liturgis yang
teduh dan sakral, kini berubah menjadi sebuah konser yang meriah. 

5
2. Perubahan Pemahaman tentang "Suci" dan “Sakral”
Penulis merasa bahwa liturgi yang sakral sekarang ini bergeser karena suatu tren yang
dianggap umum dan dapat disisipkan dalam musik liturgi. Sekarang ini orang dengan bebas
mengekspresikan diri dalam liturgi pada pandangan yang keliru. Dengan kata lain, orang-
orang mengambil apa yang sudah ada dalam tradisi kuno dan mengaitkannya dengan tren
yang ada saat ini, misalnya musik pop komersial. Jordi Agusti (2017) memberikan contoh
terkait hal tersebut, ketika ia sedang mengikuti Misa Kudus di sebuah Gereja Katolik Siro-
Malabar, di mana lagu-lagunya diiringi dengan keyboard elektronik dengan irama rock.
Sementara selebran dan paduan suara mencoba menyesuaikan lagu-lagu indah itu dengan
irama musik rock yang menggebu-gebu. Di sini dapat kita lihat bahwa musik yang
mengantar kita untuk masuk pada misteri yang dirayakan, kini berubah menjadi konser
musik yang meriah. Musik dan lagu tidak bisa lagi diartikan sebagai bahasa individu yang
sakral dan suci. Mereka terpengaruh oleh tren musik yang ada dalam masyarakat modern.
Meskipun secara liturgis seseorang menggunakan istilah “sakral” ketika mendefinisikan tren
musik itu yaitu kualitas, akan tetapi hal itu sangat jauh dari kata sakral dan suci. Tren musik
ini lebih mengarah pada ungkapan “profan” yang dipahami secara umum jauh dari “sakral”
dan “suci”.
Penekanan pada persatuan yang intim antara Musik Liturgi dan tindakan liturgi
memungkinkan terjadinya bentuk seni sejati asalkan musik itu mempunyai kualitas yang
diperlukan. Kualitas yang dituntut dari bentuk-bentuk musik diartikan sesuai dengan
transposisi antara realitas budaya dan keinginan taransendensi manusia dalam seni. Gereja
menyetujui segala bentuk kesenian yang sejati, yang memiliki sifat-sifat menurut
persyaratan Liturgi, dan meng-izinkan penggunaannya dalam ibadat kepada Allah (SC 112).
Dengan demikian martabat karya seni menjadi elemen rahmat dan perpaduan dalam
berkarya. Penulis mengatakan bahwa liturgi duniawi melambangkan hal-hal surgawi. Atau
boleh dikatakan liturgi duniawi ini membuat penghuni surga “mendengar”. Oleh karena itu
seyogianya musik liturgi itu harus menunjukkan ungkapan iman akan karya penyelamatan
Allah yang dirayakan dalam perayaan Liturgi sendiri.

6
3. Tindakan Liturgi dan Teologi Suara melalui Musik
Jordi Agusti (2017) menetapkan tiga kategori teologis mengenai ekspresi diri melalui
musik liturgi. Pertama, liturgi gerejawi yang diartikan sebagai pelayanan suara. Kedua,
dinamika representasi. Ketiga, dinamika mendengarkan dan berpartisipasi dalam nyanyian
liturgi. Dinamika ini sangat penting karena hal tersebut dapat ditemukan dalam setiap
budaya, baik melalui bahasanya yang khas maupun dalam istilah gerejawi yang sama, juga
dalam gerak tubuh, seni, dan arsitektur. Ketiga kategori teologis ini diartikan kedalam
elemen musikologi yang dapat dianalisis dari segi budayanya. Seperti yang ditegaskan
dalam dokumen Sacrosanctum Concilium artikel 121 “hendaknya para seniman musik
menyadari, bahwa mereka dipanggil untuk mengembangkan Musik Liturgi dan
memperkaya khazanahnya. Setiap seniman harus memanfaatkan sumber daya budaya di
zamannya untuk memberikan ekspresi liturgi yang sampai pada nilai yang estetik dan
puitis.” Tanpa hal ini, seni liturgi akan menjadi karya museum kuno yang tidak dapat
dipahami.
Bagi penulis, bertindak dalam Musik Liturgi untuk sampai pada partisipasi secara
penuh masih menjadi persoalan. Di satu sisi, kita takut kehilangan warisan musik selama
berabad-abad, tetapi di sisi lain kita kesulitan untuk menemukan bahasa bunyi atau suara
sekarang ini yang cocok untuk musik baru yang sesuai dengan selara pribadi masing-
masing orang. Pertimbangan teologis yang relatif terhadap masalah partisipasi aktif ini
mengacu pada Musik Liturgi yang bergerak melampaui diskusi dan teori antropologis.
Gagasan bahwa umat Allah berkumpul, bernyanyi, pada hari Minggu untuk merayakan
kebangkitan Kristus tetap jelas. Nyanyian rohani umat hendaknya dikembangkan secara
bijak, sehingga kaum beriman dapat bernyanyi dalam kegiatan-kegiatan devosional dan
perayaan-perayaan ibadat, menurut kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan rubrik (SC
118). Dengan demikian sukacita kebangkitan diungkapkan, serta kesatuan umat beriman
diwujudkan melalui musik dan nyanyian. Doa Gereja yang khusyuk, resmi dan umum yang
diiringi dengan musik yang relevan dan menarik secara estetis akan menjadikan pelayanan
liturgi nyanyian sebagai ekspresi hidup dari dialog antara Tuhan dan umat-Nya.

7
4. Praktik Musik Liturgi di Tengah Umat
Tentu saja karena sekarang ini ada banyak malapraktik terkait dengan musik dalam
Perayaan Liturgi. Di satu sisi, kita ingin memberikan nuansa baru dalam Musik Liturgi kita,
akan tetapi, di sisi lain, kita tergoda untuk memasukkan budaya kita tanpa memperhatikan
apakah budaya itu sesuai dengan konteks atau makna Perayaan Liturgi yang sedang kita
rayakan. Bukan hanya budaya, tetapi kita juga tergoda untuk memasukkan tren-tren musik
modern yang sudah dipraktekkan oleh Gereja-Gereja Reformasi.
Penulis ingin mengambil sebuah contoh nyata yang ada di keuskupannya. Waktu itu
penulis sedang mengikuti Misa Kudus di gereja Katedral yang dipimpin oleh Monsinyur dan
beberapa imam menjadi konselebran. Di keuskupan Makassar sendiri, ada tim koor
gabungan dari berbagai paroki. Penulis termasuk orang yang sangat suka dengan misa yang
dibantu oleh tim koor untuk memeriahkan Misa Kudus. Namun, ketika tim koor ini mulai
bernyanyi, penulis mulai merasa terganggu dengan iringan musik mereka. Bagaimana tidak,
mereka menggunakan drum band dan gitar listrik yang suaranya begitu keras. Ditambah lagi
ketika solis dari tim koor ini mulai bernyanyi dengan suara yang nyaring. Lagu-lagu yang
dibawakan oleh tim koor ini memang sangat menarik dan bagus, akan tetapi mereka
menempatkannya pada posisi yang salah dalam Perayaan Liturgi. Umat yang merayakan
liturgi saat itu bukannya terbantu untuk lebih masuk dalam Perayaan Liturgi, justru
terganggu dengan kehadiran tim koor ini. Banyak umat yang berkomentar bahwa tim koor
tersebut seharusnya dibawakan di luar misa. Penulis yang mendengar komentar itu, langsung
berpikir dalam hati bahwa umat saja yang tidak mempelajari liturgi seperti kami mengetahui
hal tersebut. Ini salah satu contoh konkret yang terjadi saat ini terkait dengan bunyi dan
musik dalam liturgi kita. Masih banyak lagi malapraktik yang terjadi di tengah umat
misalnya saja memasukkan musik-musik daerah setempat yang kurang sesuai dengan
konteks liturgi yang kita rayakan. Sacrosanctum Concilium artikel 114 mengatakan bahwa
paduan suara hendaknya dibina dengan sungguh-sungguh, terutama di gereja-gereja katedral.
Jordi Agusti (2017) dalam artikelnya membahas tiga kategori teologis mengenai ekspresi
diri melalui musik dalam liturgi. Yang pertama adalah liturgi gereja diartikan sebagai
pelayanan bunyi atau suara. Maksudnya partisipasi dan tindakan umat beriman misalnya
dengan menjawab nyanyian seruan pembacaan Injil atau yang lain, contohnya dengan
menjawab “amin”. Menurut penulis, ini adalah salah satu partisipasi umat dalam upacara
Liturgi, atau dengan kata lain pelayanan bunyi atau suara. Kedua, dinamika representasi.
Artinya dalam berliturgi, ekspresi atau ungkapan iman umat terwakili dengan adanya musik,

8
baik dari bunyi-bunyian, musik ataupun melalui nyanyian umat. Ketiga, dinamika
mendengarkan dan berpartisipasi dalam nyanyian liturgi. Inilah yang menjadi poin penting
dalam artikel yang ditulis oleh Jordi Agustin. Dengan memperhatikan tiga kategori teologis
mengenai musik atau nyanyian dalam upacara Liturgi, akan menjauhkan kita dari
malapraktik yang sering terjadi. Selain itu, kita juga harus meperhatikan aturan-aturan
menurut tradisi gerejawi. Maka dengan mengindahkan kaidah-kaidah serta peraturan-
peraturan menurut Tradisi dan tertib gerejawi, pun dengan memperhatikan tujuan Musik
Liturgi, yakni kemuliaan Allah dan pengudusan umat beriman (SC. 112).

9
BAB III: PENUTUP
Lagu dan musik menjadi bagian yang utuh dalam liturgi untuk memberikan kesan
serius sebagai doa resmi untuk memuliakan Tuhan dan menyucikan umat beriman yang
berpartisipasi di dalamnya. Oleh karena itu, musik memiliki dimensi estetika intrinsik
yang juga bersifat kultural dan kultus. Meskipun hal itu membawa kita pada suatu
kekaguman, namun hal tersebut bisa saja mengarahkan kita pada diskusi terkait musik
yang tiada habisnya hanya karena mencari keindahan atau estetika musik sendiri tanpa
mempertimbangkan nilai yang ada di dalamnya. Dalam hal ini, pengaruh tren yang
kurang berkaitan dengan Perayaan Liturgi dapat merusak tujuan dan makna Musik
Liturgi, jika hal tersebut hanya memberikan kesan yang mewah, luar biasa, dan indah
saja. Musik liturgi yang berkisar dari partisipasi dalam bentuk-bentuk saat ini, dari
kualitas hingga ketulusan, dari tradisi hingga dialog akulturasi, dari liturgi hingga
teologis, dan yang memungkinkan kita untuk bernyanyi dan mendengar liturgi duniawi.
Maka dari itu, memasukkan tren musik modern dalam liturgi hendaknya mendapat
perhatian khusus dan pertimbangan yang matang supaya makna dari tradisi kuno yang
sudah ada sejak awal tetap terpelihara.

10
DAFTAR PUSTAKA

Martasudjita, Emanuel. 2011. LITURGI. Kanisius: Yogyakarta

Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI. 1990. Konsili Vatikan II:


SACROSANCTUM CONCILIUM. Jakarta
Widyawan, Paul. 1987. Istilah Musik Liturgi. Warta Musik Liturgi. no. 120
Collado, Jordi Agusti Piqué. 2017. The Perception of Sound in the Liturgy: Changes in Times
of Change. RES 9 (2/2017)
Rusmansyah, Aji. 2010. Musik Liturgi Gereja Katolik. Skripsi

11

Anda mungkin juga menyukai