Anda di halaman 1dari 15

AAUPB SEBAGAI DASAR PENGUJIAN DAN ALASAN MENGGUGAT

KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA


Oleh : I GEDE EKA PUTRA, SH.MH. (Hakim PTUN Palembang)

I. Pendahuluan.
Perubahan ke empat Undang – Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan
ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman.
Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan dibawahnya untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan. Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut telah membawa perubahan penting
terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sehingga konsekwensinya
perlu pembentukan atau perubahan seluruh perundang-undangan di bidang
kekuasaan kehakiman. Pembentukan atau perubahan perundang-undangan
tersebut dilakukan dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman
yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan .

Perubahan peraturan perundang-undangan di bidang kekuasaan


kehakiman yang telah dilakukan adalah dengan disahkannya Undang-Undang
Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 1999. Sehubungan dengan hal tersebut telah diubah pula
Undang-Undang No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dengan Undang
- Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan terakhir direvisi lagi
dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009

1
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara merupakan salah satu undang-undang yang mengatur lingkungan
peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung perlu pula dilakukan
perubahan. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara telah meletakkan dasar kebijakan bahwa segala
urusan peradilan, baik menyangkut teknis yudisial maupun non yudisial yaitu
urusan organisasi, administrasi, dan finansial berada dibawah kekuasaan
Mahkamah Agung. Ketentuan hukum tersebut bersumber dari kebijakan yang
ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman sebagaimana dikehendaki oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Seiring dengan perubahan sistem ketatanegaraan dan kebutuhan
hukum dalam masyarakat maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara telah mengalami revisi. Revisi Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 dimuat dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004. Perubahan signifikan menyangkut 2 hal yaitu perubahan di bidang
pembinaan kelembagaan dan perubahan di bidang teknis Yustisial
Revisi UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
banyak membawa perubahan penting terhadap hukum acara peradilan tata
usaha negara. Paling tidak ada tiga perubahan substansial dalam hukum acara
PTUN yang diatur dalam perubahan undang-undang ini. Pertama, pengaturan
mengenai juru sita. Kedua, pasal tentang sanksi bagi pejabat yang tidak
bersedia melaksanakan putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap.
Dan ketiga, salah satu implilaksi dari Undang-Udang Nomor 9 Tahun 2004
terhadap hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara adalah berkaitan dengan
alasan gugatan ( beroepsgrunden) yaitu dimasukannya asas-asas umum
pemerintahan yang baik (AAUPB) sebagai salah satu alasan yang dapat
digunakan untuk menggugat Keputusan Tata Usaha Negara ( vide pasal 53 ayat
2 huruf b Undang-Undang Nomor : 9 Tahun 2004)
Dengan masuknya AAUPB dalam Suatu ketentuan peraturan perundang-
undangan maka AAUPB telah dijadikan sebagai norma hukum positif yang

2
dapat dijadikan sebagai alasan gugatan, dan disisi lain juga akan dijadikan
sebagai alat yuridis untuk menguji KTUN oleh Hakim PTUN.
Sebelum sampai pada pembahasan lebih lanjut, perlu kita pahami apa
yang dimaksud dengan “Asas”. Menurut Prof Dr. Ateng Syafrudin Asas adalah
norma dasar yang paling umum yang tidak dapat diabstraksikan lagi. Dalam
pemahaman hukum secara elementer, perbedaan antara asas dan norma
disederhanakan sebagai berikut :
Asas :
- dasar pemikiran yang umum dan abstrak
- idée atau konsep
- tidak mempunyai sanksi
Norma :
- aturan yang konkrit
- penjabaran dari idée
- mempunyai sanksi
Berkaitan dengan AAUPB, dalam undang-undang Peradilan Tata Usaha
Negara yang baru yaitu UU No. 9 tahun 2004, AAUPB dijabarkan dalam
Penjelasan pasal 53 Ayat (2) yang selengkapnya berbunyi:
Pasal 53:

(1) Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya


dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat
mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang
yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau
tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi
(2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) adalah:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu
bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik.

3
Selanjutnya Penjelasannya berbunyi:

Ayat 1:

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 4, maka hanya orang atau


badan hukum perdata yang berkedudukan sebagai subyek hukum saja
yang dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara
untuk menggugat Keputusan Tata Usaha Negara.

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak dapat mengajukan gugatan
ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menggugat Keputusan Tata
Usaha Negara.

Selanjutnya hanya orang atau badan hukum perdata yang


kepentingannya terkena oleh akibat hukum Keputusan Tata Usaha
Negara yang dikeluarkan dan karenanya yang bersangkutan merasa
dirugikan dibolehkan menggugat Keputusan Tata Usaha Negara.

Gugatan yang diajukan disyaratkan dalam bentuk tertulis karena


gugatan itu akan menjadi pegangan pengadilan dan para pihak selama
pemeriksaan.

Mereka yang tidak pandai baca tulis dapat mengutarakan keinginannya


untuk menggugat kepada Panitera Pengadilan yang akan membantu
merumuskan gugatannya dalam bentuk tertulis.

Berbeda dengan gugatan di muka pengadilan perdata, maka apa yang


dapat dituntut di muka Pengadilan Tata Usaha Negara terbatas pada 1
(satu) macam tuntutan pokok yang berupa tuntutan agar Keputusan
Tata Usaha Negara yang telah merugikan kepentingan penggugat itu
dinyatakan batal atau tidak sah.

Tuntutan tambahan yang dibolehkan hanya berupa tuntutan ganti rugi


dan hanya dalam sengketa kepegawaian saja dibolehkan adanya
tuntutan tambahan lainnya yang berupa tuntutan rehabilitasi.

Ayat 2:

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Yang dimaksud dengan “asas-asas umum pemerintahan yang


baik” adalah meliputi asas:

4
- kepastian hukum;
- tertib penyelenggaraan negara;
- keterbukaan;
- proporsionalitas;
- profesionalitas;
- akuntabilitas,

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28


Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 penggunaan


asas-asas umum pemerintahan yang baik , penerapannya didasarkan atas
ketentuan pasal 14 jo. Pasal 27 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman dan Petunjuk Mahkamah Agung
(Juklak) tanggal 24 Maret 1992 Nomor : 052/Td.TUN/II/1992 ,hal ini
disebabkan pasal 53 ayat 2 undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tidak secara
tegas mencantumkan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai salah
satu alasan untuk menggugat Keputusan Tata Usaha Negara, dengan
dimasukannya asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam ketentuan
undang-undang, dengan demikian asas-asas umum pemerintahan yang baik
telah mempunyai landasan yang kuat secara yuridis formal.

II. Isu/ Persoalan hukum


Persoalan hukum yang timbul terhadap interpretasi dari pembentuk
undang-undang tersebut yang mengidentikkan asas-asas umum pemerintahan
yang baik adalah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 3 Undang-undang
Nomor 28 Tahun 1999 ternyata menimbulkan problem dalam penerapannya ,
yaitu berkenaan dengan :
- penempatannya hanya dalam penjelasan pasal
- Dengan menunjuk AAUPB sebagai dimaksud dalam pasal 3 Undang-
undang Nomor 28 Tahun 1999 apakah tidak berarti akan sama
artinya penggugat/hakim menerapkan pasal 53 ayat (2) huruf a
yaitu melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam

5
alasan gugatannya/dalam hal hakim melakukan pengujian terhadap
Keputusan TUN yang digugat.
- Apakah dengan pembatasan AAUPB sebagaimana disebutkan dalam
penjelasan pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004
akan membatasi penggugat untuk mencantumkan AAUPB dalam
gugatan, dan membatasi hakim untuk melakukan pengujian dengan
AAUPB diluar yang ditentukan secara limitative dalam pasal 3
undang-undang Nomor 28 tahun 1999
- Apakah AAUPB harus dicantumkan dalam dictum putusan sebagai
norma yang membatalkan Keputusan Tata Usaha Negara yang
digugat
Berkaitan dengan penempatannya hanya dalam penjelasan pasal timbul
berbagai kritik dari kalangan akademisi diantaranya dikemukakan oleh Philipus
M. Hadjon, beliau mengatakan “ Penjelasan tersebut sangat menyesatkan dan
salah karena tidak membedakan penyelenggara negara dengan pemerintahan,
selanjutnya beliau memberikan catatan :
1. Hakim dalam penilaian keabsahan hendaknya tidak menyebut UU
Nomor : 28 Tahun 1999 sebagai dasar penilaian sehubungan dengan
penerapan asas-asas umum pemerintahan yang baik pada dasarnya
merupakan hukum tidak tertulis;
2. Sebagian besar asas tersebut merupakan Asas Penyelenggaraan
Negara dan bukan Asas Penyelenggaraan Pemerintahan. Asas
Penyelenggaraan Negara masuk Hukum Tata Negara yang meliputi
kekuasaan legislative, eksekutif dan yudisiil sedangakan Asas
Penyelenggaraan Pemerintahan masuk hukum administrasi (
hukum tata usaha Negara ) yang hanya meliputi kekuasaan eksekutif
3. Asas-asas umum pemerintahan yang baik dewasa ini telah dikaitkan
dengan general principle of good governance.

Berkenaan dengan pendapat tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa


asas-asas yang tercantum dalam UU No. 28 Tahun 1999 tersebut ditujukan
untuk para penyelenggara Negara secara keseluruhan, hal ini sejalan dengan
penjelasan umum undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 angka 3 bahwa
sasaran pokok undang-undang ini adalah para penyelenggara Negara.

6
Selanjutnya dalam ketentuan pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun 1999 yang
dimaksud dengan penyelenggara Negara yaitu yang menjalankan fungsi
eksekutif,legislative, yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya
berkaitan dengan penyelenggaraaan Negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan siapakah yang dimaksud
dengan penyelenggara Negara, dalam pasal 2 UU ini disebutkan pula secara
terperinci dan hakim juga termasuk dalam kelompok sebagai penyelenggara
Negara.
Asas umum penyelenggaraan Negara sebagaimana dimaksud dalam
pasal 3 UU Nomor 28 Tahun 1999 telah diakomodir kembali di dalam UU Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Pasal 20 ayat (1):

Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada asas umum


Penyelenggraaan Negara yang terdiri atas :
a. asas kepastiasn hukum
b. asas tertib penyelenggaraan Negara
c. asas kepentingan umum
d. asas keterbukaan
e. asas proporsionalitas
f. asas profesionalitas
g. asas akuntabilitas
h. asas efisiensi, dan
i. asas efektifitas.
Penentuan secara limitative AAUPB yang ditentukan dalam penjelasan
pasal 53 ayata (2) huruf b undang-undang Peratun, bisa saja ditafsirkan
sebagai pembatasan penggunaan AAUPB sebagai alasan menggugat maupun
menguji keputusan Tata Usaha Negara oleh hakim. Namun apabila kita simak
pendapat Prof P.M Hadjon dalam makalah beliau yang berjudul “AAUPB dalam
kaitannya dengan alasan gugatan pada Peradilan Tata Usaha Negara”, AAUPB

7
adalah norma pemerintahan, merupakan hukum tidak tertulis, lahir dari
praktek, baik praktek pemerintahan maupun praktek Pengadilan
(Yurisprudensi). Apabila dicermati pendapat beliau tersebut, dapat diartikan
bahwa AAUPB itu tidak dibatasi mengenai jenis dan waktu kelahirannya namun
disesuaikan dengan kebutuhan dalam praktek pemerintahan ataupun dalam
praktek Peradilan.
Hal yang sama diungkapkan kembali dalam makalah beliau yang
berjudul “ Implikasi UU Nomor 9 Tahun 2004 Terhadap Hukum Acara Peradilan
Tata Usaha Negara :
Penerapan ketentuan pasal 53 ayat (2) huruf b (AAUPB) hendaknya
tetap berpedoman pada hakekat dan karakter yuridis AAUPB sebagai
norma pemerintahan yang tidak tertulis yang tidak hanya lahir atas
tuntutan Discretionary power due administration.
Dengan berpegang pada hakekat dan karakteristik AAUPB, penjelasan
pasal 53 ayat (2) huruf b yang menunjuk UU Nomor : 28 Tahun 1999
sebagai landasan hukum. rincian AAUPB adalah sangat tidak tepat dan
mengingat tempatnya dalam penjelasan maka nilai yuridisnya hanyalah
sebatas interpretasi .
Andaikata hakim menerapkan pasal 53 ayat (2) huruf b dengan
menunjuk UU Nomor 28 Tahun 1999, maka sangatlah kontradiktif karena
dengan menunjuk Undang-undang berarti masuk katagori
toetsingsgronden pasal 53 ayat (2) huruf a yaitu peraturan perundang-
undangan.

Apabila dibandingkan dengan AAUPB yang dimuat dalam RUU tentang


Administrasi Pemerintahan dalam pasal 3 RUU tersebut tercantum juga jenis
dan macam AAUPB. Selain itu AAUPB juga terdapat dalam bukunya Indroharto,
dalam bukunya Philipus M. Hadjon dan dalam Himpunan Makalah Asas-asas
Umum Pemerintahan Yang Baik yang disusun oleh Bapak Paulus Effendi
Lotulung yang jumlahnya beragam. Keragaman jumlah AAUPB tersebut
menunjukan bahwa betapa ragamnya AAUPB diluar yang disebutkan dalam UU
Nomor 28 Tahun 1999 tersebut.
Berdasarkan pada uraian tersebut diatas selanjutnya persoalan hukum
yang timbul berikutnya adalah apakah Penggugat/Hakim terikat pada jenis-jenis

8
AAUPB sebagaimana disebutkan dalam penjelasan pasal 53 ayat (2) huruf b
undang-undang Nomor : 9 Tahun 2004.
Sebelum sampai pada kesimpulan apakah Penggugat/Hakim terikat atau
tidak pada jenis-jenis AAUPB sebagaimana disebutkan dalam penjelasan pasal
53 ayat (2) huruf b undang-undang Nomor : 9 Tahun 2004 maka terlebih
dahulu haruslah dianalisis bagaimanakah kekuatan dan fungsi Penjelasan dari
suatu Peraturan Perundang-undangan.
Kalau diamati dalam praktek atau dalam sistem ketatanegaraan kita
hampir seluruh dari suatu peraturan perundang-undangan baik dalam bentuk
legislasi ( Undang - Undang dan Peraturan Daerah ) maupun dalam bentuk
regulasi ( seperti PP ) selalu disertai dengan Penjelasan yang terdiri dari
Penjelasan Umum dan Penjelasan Pasal demi pasal, kecuali Penjelasan tidak
kita temukan lagi dalam UUD 1945 pasca amandemen.
Sebagai pisau analisis dari persoalan hukum tersebut diatas mari kita
coba pergunakan ketentuan-ketentuan yang bersifat normatif ataupun teori-
teori hukum yang dikemukakan oleh para ahli-ahli hukum untuk membedahnya.
Secara normatif tata cara dan syarat-syarat atau standar pembentukan
suatu peraturan perundang-undangan sudah diatur dalam Undang-undang
Nomor : 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan. Dalam lampirannya BAB I huruf E angka 149, dinyatakan bahwa :
Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk Peraturan Perundang-
undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu,
penjelasan hanya memuat uraian atau jabaran lebih lanjut dari norma yang
diatur dalam batang tubuh. Dengan demikian, penjelasan sebagai sarana
untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan
terjadi ketidakjelasan dari norma yang dijelaskan. Selanjutnya sebagaimana
ditentukan dalam BAB I dinyatakan bahwa suatu penjelasan bukanlah suatu
kemestian yang harus ada, penjelasan ada jika diperlukan hal ini berbeda
dengan judul, pembukaan, batang tubuh dan ketentuan penutup.
Intisari yang dapat diambil dari Lampiran BAB I huruf E angka 149 dari
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 berkenaan dengan Penjelasan dari

9
suatu Peraturan Perundang-undangan adalah Penjelasan berfungsi sebagai
tafsiran resmi dari pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma
dalam batang tubuh sehingga dengan demikian penjelasan bukanlah suatu
norma. Oleh karena Penjelasan bukan suatu norma, maka terdapat suatu
keharusan yang harus diperhatikan dalam menyusun penjelasan pasal demi
pasal sebagaimana diatur dalam lampiran UU Nomor 10 Tahun 2004 BAB I
angka 159 yaitu Penjelasan :
a. tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh
b. tidak memperluas atau menambah norma yang ada dalam batang tubuh
c. tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batang
tubuh
d. tidak mengulangi uraian kata istilah, atau pengertian yang telah dimuat di
dalam ketentuan umum.
Penilaian terhadap Penjelasan resmi dari suatu perundang-undangan
bukan sebagai suatu kaidah atau norma, dikemukakan pula oleh Bagir Manan
dan Kuntana Magnar dalam bukunya Beberapa Masalah Hukum Tata Negara,
h. 114-115 dengan mengemukakan pendapat sebagai berikut :
“Penjelasan resmi bukan kaidah, karena itu tidak mempunyai kekuatan
hukum sebagai kaidah. Para penegak hukum atau pelaksana hukum
lainnya dan siapapun juga terikat pada ketentuan dalam batang tubuh
undang-undang atau Peraturan Pemerintah tetapi tidak terikat pada
penjelasan. Hakim dapat mengenyampingkan penjelasan resmi dengan
menggunakan metode penafsiran lain, tapi Hakim tidak dapat
mengenyampingkan ketentuan dalam Undang-undang atau Peraturan
Pemerintah kecuali dalam keadaan khusus, misalnya karena alasan
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
atau penerapan undang-undang tersebut akan menimbulkan
ketidakadilan yang mendalam dalam masyarakat “

Dari pendapat yang dikemukakan tersebut diatas, konsekwensi yuridis


dengan telah diundangkannya Undang-undang Nomor: 28 Tahun 1999 pada
tanggal 19 Mei 1999 dalam Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor : 75 dan
dinyatakan mulai berlaku 6 bulan sejak tanggal diundangkan sebagaimana
dinyatakan dalam pasal 24 UU tersebut, maka sesuai dengan ketentuan pasal
50 UU Nomor : 10 Tahun 2004 yang menentukan Peraturan Perundang-

10
undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal
diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan
yang bersangkutan. Maka dengan demikian adalah kewajiban setiap orang
terikat untuk mengakui eksistensinya atau keberadaannya.
Bersandar pada uraian tersebut diatas, bahwa Hakim/ Penggugat tidak
terikat pada jenis-jenis AAUPB sebagaimana disebutkan dalam penjelasan
pasal 53 ayat (2) huruf b undang-undang Nomor : 9 Tahun 2004 karena
Penjelasan bukanlah sebagai suatu kaidah atau norma hukum, namun
Penggugat/Hakim tetap terikat pada pasal 3 UU No. 28 Tahun 1999 jo pasal 20
UU Nomor 32 Tahun 1999 yang memuat perincian asas-asas umum
penyelenggaraaan negara yang diidentikan dengan AAUPB oleh Pembuat
Undang-Undang.
Selain terikat pada ketentuan peraturan perundang-undangan
sebagaimana tersebut diatas menurut penulis Penggugat / Hakim atas dasar
ketentuan pasal 16 ayat (1) asas ius curia novit, pasal 25 ayat (1) dan pasal 28
ayat (1) Undang-undang Nomor : 4 Tahun 2004 Penggugat/Hakim masih tetap
bisa menggunakan AAUPB lain selain yang disebutkan dalam Peraturan
Perundang-undangan sebagai dasar untuk menggugat
(beroepsgronden) atau sebagai dasar hakim untuk melakukan pengujian
(toetsingsgronden) terhadap Keputusan Tata Usaha Negara, karena pada
hakekatnya karakter yuridis AAUPB adalah merupakan sebagai hukum tidak
tertulis atau dapat pula disebut sebagai asas-asas hukum yang tidak tertulis
yang lahir dari praktek pemerintahan atau praktek peradilan ( Philipus M.
Hadjon et al Pengantar Hukum Administrasi, 1994. h.270).
Selanjutnya tentang persolan hukum apakah AAUPB harus dicantumkan
dalam dictum putusan sebagai norma yang membatalkan Keputusan Tata
Usaha Negara yang digugat ternyata telah terjadi perubahan atau pergeseran
paradigma berfikir dikalangan para hakim Peratun sebelum dan pasca
masuknya AAUPB dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara.
Pergeseran paradigma berfikir tersebut dapat di lihat ketika dalam
Rumusan Pasal 53 Ayat (2) UU No. 5 tahun 1986 tidak mencantumkan secara

11
tegas adanya “Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik”, sebagai alasan
pembatalan keputusan tata usaha negara. Pemahaman terhadap ketentuan
Pasal 53 Ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 sebagai sumber pengaturan AAUPB,
terdapat perbedaan pendapat. Dari segi formulasinya, rumusan pasal tersebut
ada persamaan dengan yang dirumuskan dalam Pasal 8 Ayat (1) Wet AROB
Tahun 1976. Namun menurut Indroharto, rumusan yang terdapat dalam Pasal
53 itu lebih luas daripada yang dirumuskan dalam Pasal 8 Wet AROB,
mengingat ada penyebutan tersendiri butir (d) yaitu:... in strijd met in het
algemene rechtbewustzijn levend beginselen van behoorlijk bestuur”
(bertentangan dengan apa yang dalam kesadaran hukum umum merupakan
asas-asas yang berlaku hidup tentang pemerintahan yang baik). Selanjutnya
Philipus M Hadjon, berpendapat bahwa Pasal 53 Ayat (2) butir (c) unsur
tindakan sewenang-wenang adalah ketentuan yang paling terbuka untuk
menampung asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas berkaitan dengan perlu atau
tidak pencantuman AAUPB dalam dictum putusan, dalam Surat Edaran
Mahkamah Agung (Juklak) No. 52 Tahun 1992 dinyatakan bahwa:
“Di dalam hal hakim mempertimbangkan adanya Asas-asas Umum
Pemerintahan Yang Baik sebagai alasan pembatalan penetapan, maka
hal tersebut tidak perlu dimasukkan dalam diktum putusannya,
melainkan cukup dalam pertimbangan putusan dengan menyebutkan
asas mana dari Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik yang
dilanggar dan akhirnya mengacu pada pasal 53 Ayat (2)”.

Namun setelah dicantumkannya AAUPB dalam pasal 53 ayat (2) huruf b


UU Nomor : 9 Tahun 2004 walaupun tidak diperinci secara tegas jenis dan
macam AAUPB tersebut dalam pasal UU Peratun, timbul pemikiran dikalangan
para hakim Peratun, (temuan-temuan, petunjuk-petunjuk, intruksi-
intruksi dan pandangan yang berkaitan dengan Peradilan TUN dalam
Rakernas MARI tanggal 18 s/d 22 September 2005 di Denpasar)
apabila hakim menerapkan AAUPB yang dipakai sebagai dasar pengujian
terhadap Keputusan TUN yang digugat, untuk itu hakim harus menguraikannya
secara jelas dalam pertimbangan hukum putusannya. Sebagai konsekuensi

12
apabila terbukti ada pelanggaran terhadap AAUPB maka AAUPB dimaksud
harus dicantumkan dalam diktum putusan sebagai norma yang membatalkan
Keputusan TUN yang digugat. Hal ini di tindaklanjuti lagi dengan keluarnya
Buku II tentang Pedoman Teknis Administrasi Dan Teknis Peradilan
Tata Usaha Negara, Edisi 2007 diterbitkan oleh Mahkamah Agung RI
tahun 2008 dalam halaman 64 pada angka 6 dinyatakan : Dalam hal
gugatan dikabulkan, demi keseragaman amar putusan adalah :

MENGADILI:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat


2. Menyatakan tindakan Tergugat mengeluarkan Keputusan TUN yang
disengketakan melanggar undang-undang (dicantumkan pasal/ayat
peraturan perundang-undangan yang dilanggar), atau melanggar asas-
asas umum pemerintahan yang baik ( dicantumkan asas-asas umum
pemerintahan yang baik yang mana yang dilanggar)
3. dst...

Mengenai persoalan hukum wajib atau tidaknya AAUPB dicantumkan


dalam amar atau diktum putusan menurut penulis harus dikembalikan lagi pada
ketentuan normatif atau harus mengacu pada ketentuan undang-undang
tentang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu UU Nomor 5 tahun 1986 jo UU
Nomor : 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Dalam ketentuan pasal 97 dinyatakan :
ayat (7) Putusan Pengadilan dapat berupa :
a. gugatan ditolak;
b. gugatan dikabulkan;
c. gugatan tidak diterima;
d. gugatan gugur;
ayat (8) Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan Pengadilan
tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan
Keputusan Tata Usaha Negara.

13
Ayat (9) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) berupa :
a. pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan
; atau
b. pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan
dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru;
atau
c. penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan
didasarkan pada pasal 3.

Dengan mengacu pada ketentuan pasal 97 ayat (9) tersebut diatas


menurut penulis dalam hal hakim mempertimbangkan adanya Asas-asas Umum
Pemerintahan Yang Baik sebagai alasan pembatalan Keputusan Tata Usaha
Negara yang digugat, maka hal tersebut tidak perlu dimasukkan dalam diktum
putusan, melainkan cukup dalam pertimbangan putusan dengan menyebutkan
asas mana dari Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik yang dilanggar.

III. Kesimpulan.
Berdasarkan pada uraian tersebut diatas dapatlah disimpulkan bahwa:
1. Penggugat/Hakim tidak terikat pada jenis-jenis AAUPB seperti yang dirinci
dalam penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf b UU Nomor : 9 Tahun 2004,
karena penjelasan pasal dari suatu peraturan perundang-undangan bukan
norma namun melainkan hanya berfungsi sebagai tafsiran resmi dari
pembuaat undang-undang. Penggugat/ Hakim hanya terikat pada pasal 3
UU Nomor : 28 Tahun 1999 yang memuat tentang asas-asas
penyelenggaraan negara.

2. Penggugat / Hakim masih tetap bisa menggunakan AAUPB lain selain


yang disebutkan dalam Peraturan Perundang-undangan sebagai dasar untuk
menggugat (beroepsgronden) atau sebagai dasar hakim untuk melakukan
pengujian (toetsingsgronden) terhadap Keputusan Tata Usaha Negara,
karena pada hakekatnya karakter yuridis AAUPB adalah merupakan sebagai

14
hukum tidak tertulis atau dapat pula disebut sebagai asas-asas hukum yang
tidak tertulis yang lahir dari praktek pemerintahan dan/atau praktek
peradilan
3. Dengan mengacu pada ketentuan pasal 97 ayat (9) dalam hal hakim
mempertimbangkan adanya Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik
sebagai alasan pembatalan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat,
maka hal tersebut tidak perlu dimasukkan dalam diktum putusan, melainkan
cukup dalam pertimbangan putusan dengan menyebutkan asas mana dari
Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik yang dilanggar.

15

Anda mungkin juga menyukai