PENDAHULUAN
1
Demam Berdarah Dengue (DBD) di perkirakan akan masih cenderung meningkat dan
meluas sebarannya. Hal ini karena vektor penular DBD tersebar luas baik ditempat pemukiman
maupun ditempat umum. Selain itu kepadatan penduduk, mobilitas penduduk, urbanisasi yang
semakin meningkat terutama sejak 3 dekade yang terakhir. Sampai saat ini belum ada obat atau
vaksin yang spesifik, tetapi bila pasien berobat dini, dan mendapat penatalaksanaan yang
adekuat, umumnya kasus-kasus penyakit ini dapat diselamatkan 2.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi
Demam berdarah dengue (DBD) / dengue haemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit
infeksi yang di sebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot/atau
nyeri sendi yang di sertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia, dan diastestis
hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit ) atau penumpukan cairan di rongga tubuh 1.
2.2 Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia tenggara, Pasifik Barat dan Karibia.
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air 1. Di
Indonesia kasus DBD berfluktuasi setiap tahunnya dan cenderung semakin meningkat angka
kesakitannya dan sebaran wilayah yang terjangkit semakin luas. Pada tahun 2016, DBD
berjangkit di 463 kabupaten/kota dengan angka kesakitan sebesar 78.13 per 100.000 penduduk,
namun angka kematian di tekan di bawah 1%, yaitu 0.79%. KLB DBD terjadi hampir setiap
tahun di tempat yang berbeda dan kejadian sulit diduga 2.
Infeksi virus dengue di tularkan melalui gigitan vektor nyamuk Stegomiya aegipty ( dahulu
di sebut aedes aegipty ) dan Stegomiya albopictus (dahulu Aedes albopictus). Transmisi virus
tergantung dari faktor biotik dan abiotik. Termasuk dalam faktor biotik adalah vektor virus,
vektor nyamuk, dan penjamu manusia, sedangkan faktor abotik adalah suhu lingkungan,
kelembapan, dan curah hujan3. Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi
lingkungan dan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air
jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya) 1.
2.3 Etiologi
Virus dengue termasuk dalan genus Flavivirus, dari famili Flaviviridae.
Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30nm terdiri dari asam ribonukleat rantai
tunggal dengan berat molekul 4x106 1. Berdasarkan genom yang di miliki, virus dengue
termasuk virus (positive sense single stranded) RNA. Genom ini dapat ditranslasikan
langsung mengahsilkan saru rantai polipeptida berupa tiga protein struktural (capsid =
C, pre-membrane = prM, dan envelope = E) dan tujuh protein non- struktural (NS1,
NS2A, NS2B, NS3, NS4A, NS4B, dan NS 5) 3. Terdiri dari empat serotipe virus
dengue (DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4). Seluruh serotipe beredar di Indonesia
3
dengan serotipe DEN 3 yang paling dominan dan ditemukan pada kasus dengue dengan
masa inkubasi sekitar 4 – 10 hari 5.
2.4 Vektor
A. aegypti adalah spesies nyamuk tropis dan subtropis yang ditemukan antara
garis lintang 35 U dan 35 S. Distribusi A. Aegypti juga dibatasi oleh ketinggian
sehingga nyamuk ini tidak ditemukan di atas ketinggian 1.000 m. A. aegypti adalah
salah satu vektor nyamuk yang paling utama untuk arbovirus karena nyamuk ini sangat
antropofilik, hidup dekat manusia, dan sering hidup di dalam rumah sekitar kamar tidur,
pakaian, dan air bersih sehingga sulit untuk mengontrolnya dari lingkungan luar.
Nyamuk dewasa lebih sering menggigit pagi hari dan sore hari 6.
2.5 Penularan
Setelah menggigit manusia .yang terinfeksi, virus dengue memasuki nyamuk
betina dewasa. Virus pertama kali bereplikasi dalam midgut kemudian bereplikasi
dalam kelenjar saliva nyamuk yang lamanya kurang lebih 8-12 hari, periode ini disebut
periode ekstrinsik. Nyamuk yang mengandung virus tersebut kemudian menggigit
manusia lain dan bereplikasi dalam tubuh manusia dengan masa inkubasi 4-7 hari (3-14
hari) yang disebut periode intrinsik. Viremia terjadi 1 hari sebelum dan 5 hari setelah
onset penyakit.
2.6 Patofisiologi
2.6.1 Volume plasma
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan
membedakan DD dengan DBD ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh
darah, penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia, serta diatesis
hemoragik. Penyelidikan volume plasma pada kasusu DBD dengan menggunakan 131
Iodine labelled human albumin sebagai indikator membuktikan bahwa plasma
merembes selama perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa demam dan mencapai
puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara akut, nilai hematokrit
meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh
darah. Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok menimbulkan dugaan bahwa syok
4
terjadi akibat kebocoran plasma ke daerah esktra vaskular (ruang interstisial dan rongga
serosa) melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung dugaan ini adalah
meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa
yaitu rongga peritoneum, pleura, dan perikardium dan terdapatnya edema 4.
2.6.2 Trombositopenia
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada
sebagian besar kasus DBD. Nilai hematokrit mulai menurun pada masa demam dan
mencapai nilai rendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada
masa konvalense dan nilai normal biasanya mecapai 7-10 hari sejak permulaan sakit.
Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam
sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya
destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain trombositopenia ialah depresi fungsi
megakariosit 4.
2.6.3 Sistem koagulasi dan fibrolisis
Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD. Masa
perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial yang
teraktivasi memanjang. Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk faktor II, V,
VII, VIII, X dan fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi peningkatan fibrinogen
degradation products (FDP). Penelitian lebih lanjut faktor koagulasi membuktikan
adanya penurunan aktivitas antitrombin III. Disamping itu juga dibuktikan menurunnta
aktifitas faktor VII, faktor II, dan antitrombin III tidak sebanyak seperti fibrinogen dan
faktor VIII. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa menurunnya kadar fibrinogen dan
faktor VIII tidak hanya diakibatkan oleh konsumsi sistem koagulasi, tetapi juga oleh
konsumsi sistem fibrinolisis. Kelainan fibrinolisis pada DBD dibuktikan dengan
penurunan aktifitas a-2 plasmin inhibitor dan penurunan aktifitas plasminogen 4.
2.6.4 Sistem komplemen
Penelitian sistem komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan kadar C3,
C3 proaktivator, C4, dan C5, baik pada kasus yang di sertai syok maupun tidak.
Terdapat hubungan positif antara kadar serum komplemen dengan derajat penyakit.
Penurunan ini menimbulkan perkiraan bahwa dengue, aktivasi komplemen terjadi baik
melalui jalur klasik maupu jalur alternatif. Bukti – bukti yang mendukung peran sistem
komplemen pada penderita DBD ialah, ditemukannya kadar histamin yang meningkat
5
dalam urin 24 jam, adanya kompleks imun yang bersirkulasi (circulating immune
complex), baik pada DBD derajat ringan maupun berat, adanya korelasi antara kadar
kuantitatif kompleks imun dengan derajat berat penyakit 4.
2.6.5 Respon Leukosit
Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat peningkatan
limfosit atopik yang belangsung sampai hari kedelapan. Dilaporkan juga bahwa sediaan
hapus buffy coat kasus DBD dijumpai transformed lymphocytes dalamn persentase yang
tinggi (20-50%). Pemeriksaan LBP (limfosit plasma biru) pada infeksi dengue mencapai
puncak pada hari keenam. Selanjutnya dibuktikan pula bahwa diantara hari keempat
sampai kedelapan demam terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD
dengan dengan dengue. Dari penelitian imunologi disimpulkan bahwa LPB merupakan
campuran antara limfosit B dan limfosit T 4.
2.7 Patogenesis
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih
diperdebatkan, berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme
imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom
renjatan dengue 1.
Secara umum patogenesis infeksi virus dengue diakibatkan oleh interaksi
berbagai komponen dari respon imun atau reaksi inflamasi yang terjadi secara
terintegrasi. Sel imun yang paling penting dalam berinteraksi dengan virus dengue yaitu
sel dendrit, monosit/makrofag, sel endotel, dan trombosit. Akibat interaksi
tersebut akan dikeluarkan berbagai mediator antara lain sitokin, peningkatan aktivasi sistem
komplemen, serta terjadi aktivasi limfosit T. Apabila aktivasi sel imun tersebut berlebihan, akan
di produksi sitokin (terutama proinflamasi), kemokin, dan mediator inflamasi lain dalam
jumlah banyak. Akibat produksi berlebih dari zat-zat tersebut akan menimbulkan berbagai
kelainan yang akhirnya menimbulkan bentuk tanda dan gejala infeksi virus dengue 3.
Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah :
a) Respon humoral diperankan oleh limfosit B dengan menghasilkan antibodi spesifik
terhadap virus dengue 3. Berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses
netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi
antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus
6
pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini di sebut antibody dependent enchancment
(ADE);
b) Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T-Sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun
seluler terhapat virus dengue. Diferensiasi T-helper yaitu TH1 akan memproduksi
interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6,
dan IL-10.
c) Monosit dan makrofag berperan dalam proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan
replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag.
d) Selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a
dan C5a 1.
Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain,
menyatakan bahwa infeksi virus dengue (secondary heterologous infection / infeksi sekunder)
menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi
sehingga virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue
menyebabkan aktivasi T-helper dan T-sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon
gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator
inflamasi seperti TNF-a, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6 dan histamin yang
mengakibatkan disfungsi sel endotel dan terjadi kebocoran plasma. Trombositopenia pada
infeksi dengue terjadi melalui mekanisme : Supresi sumsum tulang dan destruksi masa hidup
trombosit 1.
7
seperti pada demam dengue, dapat ditemukan pada masa penyembuhan. Hepatomegali
ditemukan sejak fase demam, dengen pembesaran yang bervariasi antara 2-4 cm dibawah arkus
kosta. Namun, hepatomegali lebih sering ditemukan pada DBD dengan syok (sindrom syok
dengue/SSD) 3.
Pada DBD terjadi kebocoran plasma yang secara klinis berbentuk efusi pleura, apabila
kebocoran plasma lebih berat dapat ditemukan asites. Pemeriksaan rotgen foto dada posisi
lateral dekubitus kanan, efusi pleura terutama di hemithoraks kanan merupakan temuan yang
sering di jumpai. Pemeriksaan ultrasonografi dapat di pakai untuk menemukan asites dan efusi
pleura. Penebalan dinding kandung empedu (gall blader wall thickening) mendahului
manifestasi klinis kebocoran plasma lain. Peningkatan nilai hematokrit (>20% dari data dasar)
dan penurunan kadar protein plasma terutama albumin serum ( >0.5 g/dl dari data dasar)
merupakan tanda indirek kebocoran plasma. Kebocoran plasma berat menimbulkan
berkurangnya volume intravaskular yang akan menyebabkan syok hipovolemi yang di kenal
sebagai sindrom syok dengue (SSD) yang memperburuk prognosis 3.
8
Fase penyembuhan
Setelah fase kritis pada DBD, anak memasuki fase penyembuhan, kebocoran
pembuluh darah berhenti seketika, plasma kembali dari ruang interstitial masuk ke
dalam pembuluh darah. Pada fase ini, jumlah trombosit mulai meningkat, hematokrit
menurun, dan hitung leukosit juga mulai meningkat. Fase ini hanya berlangsung 1-
2 hari tapi dapat menjadi fase berbahaya apabila cairan intravena tetap diberikan dalam
jumlah berlebih sehingga anak dapat mengalami kelebihan cairan dan terlihat sesak. Pada
hari-hari tersebut demam dapat meningkat kembali tetapi tidak begitu tinggi sehingga
memberikan gambaran kurva suhu seperti pelana kuda. Seringkali anak diberikan antibitiotik
yang tidak diperlukan. Pada fase ini anak terlihat riang, nafsu makan kembali muncul, serta aktif
seperti sebelum sakit. Berbeda dengan DBD, pada DD, setelah fase demam tidak terjadi fase
kritis/kebocoran plasma sehingga tidak tampak perubahan pada pemeriksaan.
Laboratorium,seperti peningkatan nilai hematokrit. Namun kadar leukosit dapat menurun
dan setelah 24-48 jam, jumlah leukosit dan trombosit akan meningkat bertahap secara
bermakna.
9
2.9 Kriteria diagnosis
Kriteria diagnosis infeksi dengue dibagi menjadi kriteria diagnosis klinis dan kriteria
diagnosis laboratoris. Kriteria diagnosis klinis penting dalam penapisan kasus, tata laksana
kasus, memperkirakan prognosis kasus, dan surveilans. Kriteria diagnosis laboratoris yaitu
kriteria diagnosis dengan konfirmasi laboratorium yang penting dalam pelaporan, surveilans,
penelitian dan langkah-langkah tidakan preventif dan promotif 2.
2.9.1 Kriteria Diagnosis Klinis
Manifestasi klinis infeksi dengue dengan sangat bervariasi dan sulit dibedakan dari
penyakit infeksi lain terutama pada fase awal perjalanan penyakitnya. Dengan meningkatnya
kewaspadaan masyarakat terhadap infeksi dengue, tidak jarang pasien demam di bawa berobat
pada fase awal penyakit, bahkan pada hari pertama demam. Sisi baik dari kewaspadaan ini
adalah pasien demam berdarah dengue dapat diketahui dan memperoleh pengobatan pada fase
dini, namun di sisi lain pada fase ini sangat sulit bagi tenaga kesehatan untuk menegakkan
diagnosis demam berdarah dengue. Oleh karena itu diperlukan petunjuk kapan suatu infeksi
dengue harus di curigai, petunjuk ini dapat berupa tanda dan gejala klinis serta pemeriksaan
laboratorium rutin 2.
Berdasarkan petunjuk klinis tersebut di buat kriteria diagnosis klinis, yang terdiri atas
kriteria diagnosis klinis Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD), demam
berdarah dengue dengan syok (Sindrom Syok Dengue/SSD), dan Expanded dengue Syndrome
(unusual manifestation) 3.
10
1. Diagnosis Klinis Demam Dengue
Demam 2-7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus menerus, bifasik.
Manifestasi perdarahan baik spontan seperti petekie, purpura, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena, maupun berupa uji
tourniquet positif.
Nyeri kepala, mialgia, artralgia, nyeri retroorbital
Dijumpai kasus DBD baik di lingkungan sekolah, rumah atau disekitar rumah
Leukopenia <4.000/mm3
Trombositopenia< 100.000/mm3
Apabila ditemukan gejala demam ditambah dengan adanya dua atau lebih tanda dan
gejala lain, diagnosis klinis demam dengue dapat di tegakkan 3.
2. Diagnosis Klinis Demam Berdarah Dengue
Demam 2-7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-menerus (kontinua)
Manifestasi perdarahan baik yang spontan seperti petekie, purpura, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena, maupun berupa uji
Tourniquette yang positif
Nyeri kepala, mialgia, artralgia, nyeri retroorbital
Dijumpai kasus demam berdarah dengue baik dilingkungan sekolah, rumah atau
sekitar rumah
Terdapat kebocoran plasma yang ditandai dengan salah satu tanda/gejala :
- Peningkatan nilai hematokrit, > 20% dari pemeriksaan awal atau dari data
populasi menurut umur
- Ditemukan adanya efusi pleura, asites
- Hipoalbuminemia, hipoproteinemia
Trombositopenia <100.000/mm3
Demam disertai dengan dua atau lebih manifestasi klinis, ditambah bukti perembesan
plasma dan trombositopenia cukup untuk menegakkan diagnosis DBD 3.
3. Tanda Bahaya ( Warning Sign)
Klinis : Demam turun tetapi keadaan anak memburuk
Nyeri perut dan nyeri tekan abdomen
Muntah yang menetap
Letargi, gelisah
Perdarahan mukosa
Pembesaran hati
11
Akumulasi cairan
Oliguria
Laboratorium : Peningkatan kadar hematokrit bersamaan dengen
Penurunan cepat cepat jumlah trombosit
Hematokrit awal tinggi 3.
4. Demam Berdarah Dengue dengan Syok (SSD)
Menentukan kriteria DBD
Ditemukan tanda dan gejala syok hipovolemik baik terkompensasi maupun
dekompensasi
Syok Terkompensasi
Takikardi
Takipnea
Tekanan nadi ( perbedaan antara sistolik dan diastolik) < 20mmHg
Waktu pengisian kapiler (capillary refill time /CRT) > 2 detik
Kulit dingin
Produksi urin (urin output) menurun, < 1 ml/kgBB/jam
Anak gelisah
Syok Dekompensasi
Takikardi
Hipotensi (sistolik dan diastolik turun)
Nadi cepat dan kecil
Pernapasan Kusmaull atau hiperpne
Sianosis
Kulit lembab dan dingin
Profound shock : nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak teratur 3.
5. Expanded dengue Syndrome
Memenuhi kriteria DD atau DBD baik disertai syok maupun tidak, dengan manifestasi
klinis komplikasi infeksi virus dengue atau dengan manifestasi klinis yang tidak biasa, seperti
tanda dan gejala :
Kelebihan cairan
Gangguan elektrolit
Ensefalopati
Perdarahan hebat
Gagal ginjal akut
12
Haemolytic uremic syndrome (HUS)
Gangguan jantung : gangguan konduksi, miokarditis, perikarditis
Infeksi ganda 3.
2.9.2 Kriteria Diagnosis Laboratoris
Kriteria diagnosis laboratoris diperlukan untuk survailens epidemiologi, terdiri atas :
1. Probable dengue, apabila diagnosis klinis diperkuat oleh hasil pemeriksaan
serologi anti dengue
2. Confirmed dengue, apabila diagnosis klinis diperkuat dengan genome virus dengue
dengan pemeriksaan RT-PCR antigen dengue pada pemeriksaan NS 1, atau apabila
didapatkan serokonversi pemeriksaan IgG dan IgM (dari negatif menjadi positif )
pada pemeriksaan serologi berpasangan 3.
Trombositopenia
(< 100.000/mm3)
Sama seperti grade I, ditambah adanya
DBD II Peningkatan
perdarahan spontan
hematokrit >20%
Trombositopenia
Sama seperti Grade I dan II, di tambah
(< 100.000/mm3)
tanda kegagalan sirkulasi : nadi lemah,
DBD III Peningkatan
tekanan nadi < 20mmHg, hipotensi,
tampak lemas. hematokrit >20%
13
Demam berdarah dengue derajat III-IV di sebut juga sindrom renjatan dengue
Tabel 1 Klasifikasi derajat Demam Berdarah dengue (WHO, 2011) 5
2.11 Pemeriksaan Penujang
1. Laboratorium
Disesuaikan dengan perjalanan penyakit : pada hari ke-3 umumnya leukosit menurun atau
normal, hematokrit mulai meningkat (hemokonsentrasi), dan trombositopenia terjadi pada hari
ke 3-7. Pada pemeriksaan jenis leukosit, ditemukan limfositosis (peningkatan 15%) mulai hari
ke 3, di tandai adanya limfosit atipik 5.
2. Radiologi
Pada foto thoraks posisi “Right Lateral Decubitus” dapat mendeteksi adanya efusi pleura
minimal pada paru kanan. Sedangkan asites, penebalan dinding kandung empedu dan efusi
pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan Ultra Sonografi (USG) 2.
3. Serologis
Pemeriksaan serologi didasarkan atas timbulnya antibodi penderita terinfeksi virus dengue.
a. Uji Serologi Hemaglutinasi Inhibisi (Haemaglutination Inhibition Test) : pemeriksaan
HI sampai saat ini dianggap sebagai uji baku emas (gold standart). Namun pemeriksaan
ini memerlukan 2 sample darah (serum) dimana spesimen harus diambil pada fase akut
dan fase konvalense (penyembuhan), sehingga tidak dapat memberikan hasil yang
cepat2.
b. ELISA (IgM/IgG) : infeksi dengue dapat dibedakan sebagai infeksi primer atau
sekunder dengan menentukan rasio limit antibodi dengan dengue IgM terhadap IgG.
Dengan cara uji antibodi IgM dan IgG, uji tersebut dapat dilakukan hanya dengan
menggunakan satu sampel darah (serum) saja, yaitu darah akut sehingga hasil cepat di
dapat 2.
4. Deteksi antigen virus dengue
Deteksi antigen virus dengue yang banyak dilaksanakaan pada saat ini adalah pemeriksaan
NS1 antigen virus dengue (NS-1 dengue antigen). Protein ini dapat dideteksi sejalan dengan
viremia yaitu sejak hari pertama demam dan menghilang setelah 5 hari, sensitivitas tinggi pada
1-2 hari demam dan kemudian makin menurun setelahnya 3.
2.12 Penatalaksanaan
Pada dasarnya pengobatan infeksi dengue bersifat simptomatis dan suportif, yaitu
mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan
sebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD di rawat di
ruang perawatan biasa. Tetapi kasus DBD dengan komplikasi di perlukan perawatan intensif 2.
14
Berdasarkan rekomendasi WHO 2011, prinsip umum terapi dengue ialah sebagai
berikut :
1. Pemberian cairan kristaloid isotonik selama periode kritis, kecuali pada bayi usia <6
bulan yang di sarankan menggunakan Nacl 0.45%
2. Penggunaan cairan koloid hiperonkotik, misalnya dekstran 40, dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan kobocoran plasma yang berat, dan tidak ada
perbaikan yang adekuat setelah pemberian kristaloid
3. Jumlah cairan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan rumatan (maintanance) di
tambah 5% untuk dehidrasi. Jumlah tersebut hanya untuk menjaga agar volume
intravaskular dan sirkulasi tetap adekuat
4. Durasi pemberian terapi cairan intravena tidak boleh melebihi 24-48 jam pada kasus
syok. Pada kasus tanpa syok, durasi terapi tidak lebih dari 60-72 jam
5. Pada pasien obesitas, perhitungan volume cairan sebaiknya menggunakan berat
badan ideal
6. Pemberian cairan selalu disesuaikan dengan kondisi klinis. Kebutuhan cairan
intravena pada anak berbeda dengan dewasa
7. Pemberian transfusi trombosit tidak di rekomendasikan pada anak 5.
15
Gambar 3 Skrining tersangka infeksi dengue di triase 4
16
Nasihat kepada orang tua untuk pasien rawat jalan
Anak harus istirahat
Cukup minum selain air putih dapat diberikan susu, jus buah, cairan elektrolit,
air tajin. Cukup minum ditandai dengan frekuensi buang air kecil setiap 4-6 jam
Parasetamol 10mg/kgBB/kali di berikan apabila suhu >38C dengan interval 4-
6jam, hindari pemberian aspirin /NSAID/ibu profen. Berikan kompres hangat
Pasien rawat jalan harus kembali berobat setiap hari dan dinilai oleh petugas
kesehatan sampai melewati fase kritis, mengenai pola demam, jumlah cairan
yang masuk dan keluar (misalnya muntah, buang air kecil), tanda-tanda
perembesan plasma dan perdarahan, serta pemeriksaan darah perifer lengkap
Pasien harus segera di bawa kerumah sakit jika ditemukan satu atau lebih
keadaan berikut : pada saat suhu turun keadaan anak memburuk, nyeri perut
hebat, muntah terus menerus, tangan dan kaki dingin dan lembab, letargi atau
gelisah /rewel, anak tampak lemas, perdarahan (misalnya bab berwarna hitam
atau muntah hitam ), sesak nafas, tidak buang air kecil lebih dari 4-6 jam atau
kejang 3..
2.12.1 Tata laksana DBD Tanpa Syok 2
Perbedaan patofisilogik utama antara DBD dan penyakit lain adalah adanya peningkatan
permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Maka
keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase kritis
yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang merupakan fase awal terjadinya
kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma
dan gangguan hemostasis. Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan
plasma, yang dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit. Fase kritis pada umumnya
mulai terjadi pada hari ketiga sakit. Penurunan jumlah trombosis sampai ≤100.000/μl atau
kurang dari 1-2 trombosit/Ipb (rata-rata dihitung pada 10 Ipb) terjadi sebelum peningkatan
hematokrit dan sebelum terjadi penurunan suhu. Peningkatan hematokrit ≥20% mencerminkan
perembesan plasma dan merupakan indikasi untuk pemberian cairan. Larutan garam isotonik
atau kristaloid sebagai cairan awal pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai dengan
berat ringan penyakit.
Secara umum perjalanan penyakit DBD dibagi menjadi 3 fase yaitu fase demam, fase
kritis dan fase penyembuhan (konvalesens) :
a) Fase Demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat simtomatik
dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak
17
dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan, maka
cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu
diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam pada DBD.
b) Fase Kritis
Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5
fase demam. Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi.
Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk
pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma dan
pedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum
dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu
kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit
tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak
terlalu sensitif.
Penggantian Volume Plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase penurunan
suhu (fase afebris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya adalah penggantian
volume plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan harus diberikan dengan
bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan
pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan berikutnya harus selalu
disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit, dan jumlah volume urin. Secara umum
volume yang dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah defisit 5-8%.
Cairan intravena diperlukan, apabila:
1) Anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak
mungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat
terjadinya syok.
2) Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan
yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan
glukosa 5% di dalam larutan NaCI 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat
7,46%, 1-2 ml/kgBB intravena bolus perlahan-lahan.
Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid/ NaCI 0,9% atau dekstrosa 5% dalam
ringer laktat/NaCI 0,9%, 6-7 ml/kgBB/jam. Monitor tanda vital, diuresis setiap jam dan
hematokrit serta trombosit setiap 6 jam. Selanjutnya evaluasi 12-24 jam. Apabila selama
observasi keadaan umum membaik yaitu anak nampak tenang, tekanan nadi kuat, tekanan darah
stabil, diuresis cukup, dan kadar Ht cenderung turun minimal dalam 2 kali pemeriksaan
berturut-turut, maka tetesan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam Apabila dalam observasi
18
selanjutnya tanda vital tetap stabil, tetesan dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam dan akhirnya
cairan dihentikan setelah 24-48 jam.
Jenis Cairan
- Kristaloid: Larutan ringer laktat (RL), Larutan ringer asetat (RA), Larutan garam faali
(GF), Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL), Dekstrosa 5% dalam larutan ringer
asetat (D5/ RA), Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF). (Catatan: Untuk
resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA, tidak boleh larutan yang mengandung
dekstosa)
- Koloid: Dekstran 40, Plasma, Albumin, Hidroksil etil starch 6%, gelafundin
c) Fase Penyembuhan/konvalesen
Pada fase penyembuhan, ruam konvalesen/ sekunder akan muncul pada daerah
esktremitas. Perembesan plasma berhenti ketika memasuki fase penyembuhan, saat terjadi
reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali kedalam intravaskuler. Apabila pada saat itu cairan
tidak dikurangi, akan menyebabkan edema palpebra, edema paru dan distres pernafasan.
19
Gambar 4 Tata Laksana DBD tanpa syok 4
20
Gambar 5 Tata laksana DBD tanpa syok 4
21
Bila sirkulasi tetap stabil, jumlah cairan di kurangi secara bertahap menjadi 7,5, 5, 3,
1,5 mL/kgBB/jam. Pada umumnya setelah 24-48 jam pasca resusitasi, cairan
intravena sudah tidak diperlukan. Pertimbangkan untuk mengurangi jumlah cairan
yang diberikan secara intravena bila masukan cairan melalui oral mulai membaik.
Bila syok tidak terasi, periksa analisis gas darah, hematokrit, kalsium, dan gula darah
untuk menilai kemungkinan adanya A-B-C-S yang memperberat syok hipovolemik.
Apabila salah satu atau beberapa kelainan tersebut ditemukan, segera lakukan
koreksi.
Apabila hematokrit masih tetap tinggi atau meningkat, berikan bolus kedua.
Sebaiknya dipilih larutan koloid dengan jumlah cairan 10-20 mL/kgBB dalam waktu
10-20 menit, apabila tidak ada dapat diberikan larutan kristaloid isotonik. Walaupun
tidak ditemukan perdarahan tetapi keadaan klinis tidak membaik. Pertimbangkan
pemberian transfusi.
Apabila syok teratasi, pertahankan jumlah cairan 10 mL/kgBB/ jam selama 1-2 jam,
setelah itu jenis cairan diganti dengan larutan kristaloid dengan jumlah cairan
dikurangi secara bertahap menjadi 7.5, 5, 3, 1,5 mL/kgBB/jam. Pada umumnya
dalam waktu 24-48 jam setelah syok teratasi pemberian cairan intravena sudah tidak
diperlukan lagi. Namun apabila tidak teratasi, pasien dapat jatuh ke dalam profound
shock maka seringkali diperlukan bantuan napas buatan dan pemberian obat
inotropik, dan memerlukan perawatan diunit perawatan intensif.
Tata laksana sindrome syok dengue dekompensasi
Berikan oksigen 2-4 L/menit
Berikan resusitasi cairan dengan cairan kristaloid dan/atau 10-20 mL/kgBB secara
bolus dalam waktu 10-20 menit. Pada saat bersamaan usahakan dilakukan
pemeriksaan hematokrit, analisi gas darah, gula darah, dan kalsium.
Bila syok teratasi, berikan cairan kistaloid dengan dosis 10 mLkgBB/jam selama 1-2
jam
Bila sirkulasi tetap stabil, jumlah cairan di kurangi secara bertahap menjadi 7,5, 5, 3,
1,5 mL/kgBB/jam. Pada umumnya setelah 24-48 jam pasca resusitasi, cairan
intravena sudah tidak diperlukan. Pertimbangkan untuk mengurangi jumlah cairan
yang diberikan secara intravena bila masukan cairan melalui oral mulai membaik.
Apabila syok belum teratasi periksa ulang hematokrit, jika hematokrit tinggi
diberikan bolus kedua. Koreksi apabila asidosis, hipoglikemia atau hipokalsemia.
Bila Ht rendah atau normal dan ditemukan perdarahan masif, berikan transfusi darah
segar dengan dosis 10 mL/kgBB atau fresh packed red cell dengan dosis 5
22
mL/kgBB. Jika nilai hematokrit rendah atau menurun namun tidak ditemukan tanda
perdarahan berikan bolus kedua apabila tidak membaik pertimbangkan pemberian
transfusi darah. Pada syok berat (prolonged shock, recurrent shock, profound
shock), perdarahan masif, ensefalopati/ensefalitis, atau gagal napas, yang sulit diatasi
memerlukan perawatan di unit perawatan intensif 3.
23
2.13 Tanda-tanda penyembuhan
Frekuensi nadi, tekanan darah, dan frekuensi nafas stabil
Suhu badan normal
Tidak dijumpai perdarahan baik eksternal maupun internal
Nafsu makan membaik
Tidak dijumpai muntah maupun nyeri perut
Volume urin cukup
Kadar hematokrit stabil pada kadar basal
Ruam konvalense, ditemukan pada 20%-30% kasus 3.
24
BAB III
ILUSTRASI KASUS
Identitas Pasien
Nama pasien : An. S
Tanggal Lahir : 02 Agustus 2008
Umur : 12 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Buatan II, Koto Gasib
Tanggal masuk : 24 Agustus 2020
Tanggal keluar : 29 Agustus 2020
Dokter : dr. H. Wilson, Sp.A, M.Biomed
25
dikulit pada saat uji tourniquet (Rumple Leed). BAK dan BAB
tidak ada keluhan. Ibu pasien mengatakan dilingkungan sekitar
rumah ada yang mengalami sakit yang sama.
26
RIWAYAT NUTRISI
0-6 bulan
ASI : 8-10 kali/hari atau setiap menangis
Lainnya :
6-8 bulan
ASI : 8-10 kali/hari atau setiap menangis
Makan Pagi/Siang/Malam : 3 kali/hari (tim)
Makanan Selingan (Snacks) : 3 kali/hari
Lainnya :
8-12 bulan
ASI : 6-8 kali/hari atau setiap menangis
Makan Pagi/Siang/Malam : 3 kali/hari (tim+sayur)
Makanan Selingan (Snacks) : 3 kali/hari
Lainnya :
12-23 bulan
Formula (SGM) : 4-6 kali/hari atau setiap menangis
Makan Pagi/Siang/Malam : 3 kali/hari (tim+sayur)
Makanan Selingan (Snacks) : 3 kali/hari
Lainnya :
27
RESPONSE SCORE
EYE
Membuka mata spontan (normal) 4
Dengan kata-kata akan membuka mata bila diminta 3
4
Membuka mata bila diberikan rangsangann yeri 2
Tidak membuka mata walaupun dirangsang nyeri 1
VERBAL
Memiliki orientasi baik karena dapat memberikan jawaban dengan 5
baik dan benar pada pertanyaan yang diajukan (nama, umur, dll)
Memberikan jawaban pada pertanyaan tetapi jawabannya seperti 4
bingung
Memberikan jawaban pada pertanyaan tetapi jawabannya hanya 3 5
berupa kata-kata tidak jelas
Memberikan jawaban berupa suara yang tidak jelas bukan 2
merupakan kata
Tidak memberikan jawaban berupa suara apapun 1
MOTORIK
Dapat menggerakan seluruh ekstremitas sesuai dengan permintaan 6
Dapat menggerakkan ekstremitas secara terbatas karena nyeri 5
(lokalisasi nyeri)
Respons gerakan menjauhi rangsang nyeri (menarik karena nyeri) 4 6
Fleksi ekstremitas karena nyeri 3
Ekstensi ekstremitas karenanyeri 2
Tidak ada respons berupa gerak 1
TOTAL 15 15
Nilai 12 – 14: Gangguan Kesadaran Ringan
Nilai 9 – 11 : Gangguan Kesadaran Sedang
Nilai 8 : Coma
I. Keadaan Umum
Kesan Keadaan Sakit : Sakit sedang
Sensorium : Kualitatif : Compos Mentis
Kuantitatif : GCS 15 (E:4 V:5 M:6)
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 97x/i
Pernafasan : 20x/i
28
Temperatur : 36,4 C
Data Antropometri
Berat Badan : 40 Kg
Tinggi Badan : 150 cm
Lingkar Lengan Atas : 25 cm
Lingkar Kepala : 53 cm
29
30
II. PEMERIKSAAN FISIK
Kulit
a. Sianosis : tidak ditemukan
b. Ikterus : tidak ditemukan
c. Pucat : tidak ditemukan
d. Turgor : kembali cepat
e. Edema : tidak ditemukan
f. Uji tourniquet :+
Rambut : hitam, lebat dan bersih
Kepala : √ Normal Mikrosefali Makrosefali Lainnya:
a. Wajah
Dismorfik: Ya √ Tidak Lainnya: ..
b. Mata
Palpebra
Edema : Ya √ Tidak Lainnya :-
Konjungtiva
Pucat : Ya Ya √ Tidak
Hyperemis : Ya v Tidak
Sekret : Ya √ Tidak
Lainnya :
Sklera
Ikterus : Ya √ Tidak
Lainnya : -
Pupil
Isokor : √ Ya Tidak
Refleks Cahaya : +/+
Lainnya :-
c.Hidung : Bentuk normal, Simetris, polip (-), sekret (-), mukosa tidak
hiperemis.
d. Mulut
Bibir : Bibir tampak kering
31
Gusi : Tidak ditemukan kelainan
Palatum : Tidak ditemukan kelainan
Lidah : Tidak ditemukan kelainan
Tonsil : Tidak ditemukan kelainan
Faring : Tidak ditemukan kelainan
Lainnya :-
e.Telinga : Normal
f. Leher
a.Kelenjar Getah Bening
Pembesaran : Ya √ Tidak
Jumlah : Tunggal Multipel
Ukuran : .... cm
Konsistensi : Lunak Keras
b. Kaku Kuduk : Positif √ Negatif
c. Lainnya :-
Thoraks
a. Paru
b. Inspeksi : simetris ka=ki
c. Palpasi : simetris ka=ki / krepitasi (-)
d. Perkusi : sonor Kanan dan kiri
e. Auskultasi : vesikuler ka=ki, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Auskultasi : BJ I = BJ II Normal
Gallop - Murmur -
Abdomen
a. Inspeksi : Dalam Batas Normal
b. Palpasi
Nyeri Tekan : Ya √ Tidak
Turgor : kembali cepat
Ascites : tidak ditemukan
Hepar : tidak teraba pembesaran
32
Lien : tidak teraba pembesaran
Massa : tidak ditemukan
b. Perkusi : bunyi timpani
c. Auskultasi : peristaltik normal (+)
Ekstremitas : √ dingin Oedem : - √ CRT <2”
Petekie di ektremitas atas pada saat uji tourniquet(+).
Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan
Anus/ Rectum : tidak dilakukan pemeriksaan
P. Neurologis
a. R. Fisiologis : Tidak dilakukan pemeriksaan
b. R. Patologis : Tidak dilakukan pemeriksaan
c. R. Meningeal : Tidak dilakukan pemeriksaan
d. Kekuatan Otot : Tidak dilakukan pemeriksaan
e. Nervus Kranialis : Tidak dilakukan pemeriksaan
V. TERAPI
IVFD RL 36 tpm makro
Injeksi Paracetamol 400 mg (Bila Demam)
33
FOLLOW UP DI BANGSAL ANAK
Tgl S O A P
25-08- • Demam (-) • Kesadar Demam IVFD RL 36 tpm
2020 • Mual (-) an: Berdarah makro
• Muntah (+) Composmentis Dengue Injeksi Paracetamol
1 kali • Keadaan grade I 400 mg (Bila
• Pusing (+) Umum: Demam)
• Badan Tampak sakit
pegal-pegal (+) sedang
• Nafsu • TD :
makan menurun 100/60 mmHg
(+) • HR:
• Badan 100x/i
lemas (+) • RR: 24x/i
• BAK dan • Suhu:
BAB tidak ada 36.5oC
keluhan • Mata:
Kongjungtiva
Anemis (-),
Sklera Ikterik(-)
• Thorax:
Paru
(Vesikuler:+/+)
, Jantung BJ I
& II (Reguler)
• Abdomen
: Supel, BU (+)
• Ekstremit
as: Akral
hangat, CRT <2
34
detik
Pemeriksaan Anjuran : Pemeriksaan Darah Rutin
35
Anemis (-),
Sklera Ikterik(-)
• Thorax:
Paru
(Vesikuler:+/+)
, Jantung BJ I
& II (Reguler)
• Abdomen
: Supel, BU (+)
• Ekstremit
as: Akral
hangat, CRT <2
detik
Pemeriksaan Anjuran : Pemeriksaan Darah Rutin
36
Hasil Pemeriksaan Darah Rutin (26-08-2020)
37
Tgl S O A P
27-08- • Demam (-) • Kesadar Demam IVFD RL 34 tpm
2020 • Mual (-) an: Berdarah makro
• Muntah (-) Composmentis Dengue Injeksi Paracetamol
• Pusing (+) • Keadaan grade I 400 mg (Bila
• Badan Umum: Baik Demam)
pegal-pegal (-) • TD :
• Nafsu 100/70 mmHg
makan (+) • HR:
• Badan 100x/i
lemas (-) • RR: 20x/i
• BAK dan • Suhu:
BAB tidak ada 36oC
keluhan • Mata:
Kongjungtiva
Anemis (-),
Sklera Ikterik(-)
• Thorax:
Paru
(Vesikuler:+/+)
, Jantung BJ I
& II (Reguler)
• Abdomen
: Supel, BU (+)
• Ekstremit
as: Akral
hangat, CRT <2
detik
38
Hasil Pemeriksaan Darah Rutin (27-08-2020)
39
BAB IV
PEMBAHASAN
Diagnosis pada pasien ini adalah Demam Berdarah Dengue (DBD) / Dengue
Haemorrhagic Fever (DHF) grade I. Ditegakkan sebagai Demam Berdarah Dengue
didapatkan dari temuan anamnesis yaitu demam yang dialami sudah 5 hari, timbul
mendadak, tinggi, terus menerus, pegal pada badan, pusing dan di temui nya gejala yang
sama pada lingkungan sekitar rumah. Dari hasil pemeriksaan fisik uji tourniquet
ditemukan ada nya bintik-bintik perdarahan pada kulit. Dan juga didukung dengan hasil
laboratorium dimana di dapatkan penurunan trombosit yang menandakan ada nya
kebocoran plasma. Hal tersebut sesuai dengan teori penegakkan kriteria diagnosis
demam berdarah dengue berdasarkan klasifikasi WHO 2011.
Untuk fase perjalanan penyakit, saat pasien di bawa kerumah sakit, pasien
sedang mengalami fase kritis. Dimana terjadi pada hari 4-5 demam, pada fase ini
demam anak akan turun, kemudian akan terjadi penurunan jumlah trombosit dan nilai
hematokrit menjadi meningkat. Perlu diwaspadai pada fase ini bisa menyebabkan syok.
Saat pasien di bawa kerumah sakit merupakan hari ke 5 pasien demam, dan suhu pasien
saat itu adalah 36.4 C dan jumlah trombosit pasien mengalami penurunan yaitu
70.000/mm3, setelah dipantau pasien tidak menunjukkan gejala – gejala awal menuju
syok (warning sign).
Berdasarkan derajat klasifikasi demam berdarah dengue terdapat 4 grade
menurut WHO 2011, dimana pada pasien ini merupakan demam berdarah dengue grade
I, karna ditemukan gejala klinis berupa uji tourniquetnya positif dan juga dari
pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan adanya trombositopenia (<100.000/mm3).
Untuk penatalaksaan pada pasien ini sudah sesuai dengan teori penatalaksaan
demam berdarah dengue tanpa syok, dimana hal yang terpenting dari penatalaksaan
adalah penggantian volume plasma, pada pasien di berikan IVFD RL 36 tpm makro,
karena pasien masih dapat makan dan minum. Setelah dipantau keadaan pasien
membaik dan tidak menunjukkan gejala menuju syok.
40
Kriteria pulang pada pasien juga sudah sesuai dengan teori, dimana pasien tidak
mengalami demam setalah 24 jam tanpa antipiretik, nafsu makan sudah membaik, dan
jumlah trombosit > 50.000/mm3.
DAFTAR PUSTAKA
1. Suhendro., Leonard., dkk 2009. Demam Berdarah Degue dalam Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Marcellus SK, Setiati S. Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Edisi V., Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Soedarmo, Sumarno dkk. 2017. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi 2.
Jakarta : UKK Infeksi dan Penyakit Tropis IDAI
5. Suprapto N., Mulya RK., 2014. Demam Berdarah Degue dalam. Cris T. Editor.
Kapita Selekta . Jilid I. Edisi IV ., Jakarta : Media Aeculapius.
41