Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
Tanah Ultisol mempunyai sebaran yang sangat luas, meliputi hampir 25% dari
total daratan Indonesia. Penampang tanah yang dalam dan kapasitas tukar kation yang
tergolong sedang hingga tinggi menjadikan tanah ini mempunyai peranan yang
penting dalam pengembangan pertanian di Indonesia. Hampir semua jenis tanaman
dapat tumbuh dan dikembangkan pada tanah ini, kecuali terkendala oleh iklim dan
relief. Kesuburan alami tanah Ultisol umumnya terdapat pada horizon A yang tipis
dengan kandungan bahan organik yang rendah. Unsur hara makro seperti fosfor dan
kalium yang sering kahat, reaksi tanah masam hingga sangat masam, serta kejenuhan
aluminium yang tinggi merupakan sifat-sifat tanah Ultisol yang sering menghambat
pertumbuhan tanaman. Selain itu terdapat horizon argilik yang mempengaruhi sifat
fisik tanah, seperti berkurangnya pori mikro dan makro serta bertambahnya aliran
permukaan yang pada akhirnya dapat mendorong terjadinya erosi tanah.Penelitian
menunjukkan bahwa pengapuran, sistem pertanaman lorong, serta pemupukan
dengan pupuk organik maupun anorganik dapat mengatasi kendala pemanfaatan
tanah Ultisol. Pemanfaatan tanah Ultisol untuk pengembangan tanaman perkebunan
relatif tidak menghadapi kendala, tetapi untuk tanaman pangan umumnya terkendala
oleh sifat-sifat kimia tersebut yang dirasakan berat bagi petani untuk mengatasinya,
karena kondisi ekonomi dan pengetahuan yang umumnya lemah.
Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai
sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan
Indonesia (Subagyo et al. 2004). Sebaran terluas terdapat di Kalimantan (21.938.000
ha), diikuti di Sumatera (9.469.000 ha), Maluku dan Papua (8.859.000 ha), Sulawesi
(4.303.000 ha), Jawa (1.172.000 ha), dan Nusa Tenggara (53.000 ha). Tanah ini dapat
dijumpai pada berbagai relief, mulai dari datar hingga bergunung. Ultisol dapat
berkembang dari berbagai bahan induk, dari yang bersifat masam hingga basa.
Namun sebagian besar bahan induk tanah ini adalah batuan sedimen masam. Di
antara grup Ultisol, Hapludults mempunyai sebaran terluas. Hal ini karena
persyaratan klasifikasinya hanya didasarkan pada nilai kejenuhan basa yaitu < 35%
dan adanya horizon argilik, tanpa ada syarat tambahan lainnya.
Ultisol dicirikan oleh adanya akumulasi liat pada horizon bawah permukaan
sehingga mengurangi daya resap air dan meningkatkan aliran permukaan dan erosi
tanah. Erosi merupakan salah satu kendala fisik pada tanah Ultisol dan sangat
merugikan karena dapat mengurangi kesuburan tanah. Hal ini karena kesuburan tanah
Ultisol sering kali hanya ditentukan oleh kandungan bahan organik pada lapisan atas.
Bila lapisan ini tererosi maka tanah menjadi miskin bahan organik dan hara. Tanah
Ultisol mempunyai tingkat perkembangan yang cukup lanjut, dicirikan oleh
penampang tanah yang dalam, kenaikan fraksi liat seiring dengan kedalaman tanah,
reaksi tanah masam, dan kejenuhan basa rendah. Pada umumnya tanah ini
mempunyai potensi keracunan Al dan miskin kandungan bahan organik. Tanah ini
juga miskin kandungan hara terutama P dan kation-kation dapat ditukar seperti Ca,
Mg, Na, dan K, kadar Al tinggi, kapasitas tukar kation rendah, dan peka terhadap
erosi (Sri Adiningsih dan Mulyadi 1993). Di Indonesia, Ultisol umumnya belum
tertangani dengan baik. Dalam skala besar, tanah ini telah dimanfaatkan untuk
perkebunan kelapa sawit, karet dan hutan tanaman industri, tetapi pada skala petani
kendala ekonomi merupakan salah satu penyebab tidak terkelolanya tanah ini dengan
baik.
1.2. Tujuan
Ditinjau dari luasnya, tanah Ultisol mempunyai potensi yang tinggi untuk
pengembangan pertanian lahan kering. Namun demikian, pemanfaatan tanah ini
menghadapi kendala karakteristik tanah yang dapat menghambat pertumbuhan
tanaman terutama tanaman pangan bila tidak dikelola dengan baik. Beberapa kendala
yang umum pada tanah Ultisol adalah kemasaman tanah tinggi, pH ratarata < 4,50,
kejenuhan Al tinggi, miskin kandungan hara makro terutama P, K, Ca, dan Mg, dan
kandungan bahan organic rendah. Untuk mengatasi kendala tersebut dapat diterapkan
teknologi pengapuran, pemupukan P dan K, dan pemberian bahan organik. Penerapan
teknologi tersebut dapat meningkatkan hasil tanaman jagung.
2.2.1. Pengapuran
Susunan mineral primer yang dominan pada Ultisol dengan bahan induk yang
berbeda disajikan pada Tabel 3. Kuarsa yang dominan terdapat pada Ultisol yang
terbentuk dari tufa berkapur dan dari batuan granit (Pedon 3, Typic Haplohumults dan
Pedon 1, Typic Kandiudults). Pada Ultisol yang berkembang dari batuan tufa masam (
Pedon 2, Typic Paleudults), kuarsa dan opak mendominasi susunan mineral pasir,
sedangkan pada Ultisol dari bahan volkan intermedier (Pedon 4, Typic Paleudults),
opak merupakan mineral yang dominan pada fraksi pasir. Yatno et al. (2000)
menyatakan Ultisol dari batuan liat dan pasir didominasi oleh mineral kuarsa.
Kandungan mineral mudah lapuk (weatherable mineral) seperti orthoklas,= biotit,
epidot, gelas volkan olivin, sanidin amfibol, augit, dan hiperstin pada tanah Ultisol
umumnya rendah bahkan sering tidak ada (Subardja 1986; Suharta dan Prasetyo
1986; Prasetyo et al. 1998; Prasetyo et al. 2005).
Dengan demikian Ultisol tergolong tanah yang miskin akan unsur hara. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa bahan induk tanah Ultisol menentukan
komposisi mineralnya. Pada tanah yang berbahan induk batuan masam, mineral
primer didominasi oleh kuarsa, sedangkan pada tanah dari bahan volkan didominasi
oleh opak. Tufa masam merupakan jenis batuan sedimen masam dari bahan volkan
sehingga komposisi mineral primernya didominasi oleh campuran opak dan kuarsa.
Komposisi mineral liat Ultisol didominasi oleh kaolinit (Suharta dan Prasetyo 1986;
Setyawan 1997; Prasetyo et al. 2001; Alkusuma dan Badayos 2003; Prasetyo et al.
2005). Gambar 1 memperlihatkan komposisi mineral liat dari Ultisol berbahan induk
batuan granit. Pada gambar tersebut kaolinit ditunjukkan oleh puncak difraksi 7, 18A,
dan 3,56A. Mineral liat lainnya adalah vermikulit dengan puncak difraksi 14,2A dan
gibsit dengan puncak difraksi 4,83A. Puncak difraksi 11A pada perlakuan pemanasan
K+ hingga 550°C menunjukkan adanya interlayer hidroksi Al.
Ultisol merupakan tanah masam yang telah mengalami pencucian basa-basa
yang intensif dan umumnya dijumpai pada lingkungan dengan drainase baik. Kondisi
tersebut sangat menunjang untuk pembentukan mineral kaolinit. Namun, dominasi
kaolinit tersebut tidak mempunyai kontribusi yang nyata pada sifat kimia tanah,
karena kapasitas tukar kation kaolinit sangat rendah, berkisar 1,20−12,50 cmol/kg liat
(Briendly et al. 1986; Prasetyo dan Gilkes 1997). Mineral liat lainnya yang sering
dijumpai adalah haloisit dan gibsit (Subagyo et al. 1986). Adanya mineral smektit
pada tanah Ultisol pernah dilaporkan oleh Subagyo et al. (1986) pada Ultisol dari
batuan gamping di daerah Tuban, Jawa Timur dan oleh Prasetyo et al. (2000) pada
Ultisol dari bahan tufa berkapur di daerah Pametikarata, Sumba Timur. Smektit
merupakan jenis mineral 2:1 yang kehadirannya dalam tanah akan sangat menentukan
sifat fisik dan kimia tanah. Pembentukan mineral ini memerlukan lingkungan dengan
pH netral dan terjadi akumulasi basa-basa dan silika. Pada kedua jenis tanah Ultisol
tersebut, smektit berasal dari bahan induk tanah (inherited) yang terbentuk melalui
proses geologi (geogenic), bukan melalui proses pembentukan tanah
(pedogenic). Smektit pada Ultisol umumnya sedang dalam proses pelapukan, yang
dicirikan oleh tingginya Al dapat ditukar dan nilai kapasitas tukar kation yang rendah.
2.4. Ciri Morfologi
Tanah Ultisol umumnya mempunyai nilai kejenuhan basa < 35%, karena batas
ini merupakan salah satu syarat untuk klasifikasi tanah Ultisol
menurut Soil Taxonomy. Beberapa jenis tanah Ultisol mempunyai kapasitas tukar
kation < 16 cmol/kg liat, yaitu Ultisol yang mempunyai horizon kandik. Reaksi tanah
Ultisol pada umumnya masam hingga sangat masam (pH 5−3,10), kecuali tanah
Ultisol dari batu gamping yang mempunyai reaksi netral hingga agak masam (pH
6,80−6,50). Kapasitas tukar kation pada tanah Ultisol dari granit, sedimen, dan tufa
tergolong rendah masing-masing berkisar antara 2,90−7,50 cmol/kg, 6,11−13,68
cmol/kg, dan 6,10−6,80 cmol/kg, sedangkan yang dari bahan volkan andesitik dan
batu gamping tergolong tinggi (>17 cmol/kg).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa tanah Ultisol dari bahan
volkan, tufa berkapur, dan batu gamping mempunyai kapasitas tukar kation yang
tinggi (Prasetyo et al. 2000; Prasetyo et al. 2005; Tabel 2) Nilai kejenuhan Al yang
tinggi terdapat pada tanah Ultisol dari bahan sedimen dan granit (> 60%), dan nilai
yang rendah pada tanah Ultisol dari bahan volkan andesitik dan gamping (0%).
Ultisol dari bahan tufa mempunyai kejenuhan Al yang rendah pada lapisan atas
(5−8%), tetapi tinggi pada lapisan bawah (37−78%). Tampaknya kejenuhan Al pada
tanah Ultisol berhubungan erat dengan pH tanah.
Kandungan hara pada tanah Ultisol umumnya rendah karena pencucian basa
berlangsung intensif, sedangkan kandungan bahan organik rendah karena proses
dekomposisi berjalan cepat dan sebagian terbawa erosi. Pada tanah Ultisol yang
mempunyai horizon kandik, kesuburan alaminya hanya bergantung pada bahan
organik di lapisan atas. Dominasi kaolinit pada tanah ini tidak memberi kontribusi
pada kapasitas tukar kation tanah, sehingga kapasitas tukar kation hanya bergantung
pada kandungan bahan organik dan fraksi liat. Oleh karena itu, peningkatan
produktivitas tanah Ultisol dapat dilakukan melalui perbaikan tanah (ameliorasi),
pemupukan, dan pemberian bahan organik. Peningkatan fraksi liat yang membentuk
horizon argilik pada tanah Ultisol cukup merugikan karena horizon ini akan
menghalangi aliran air secara vertikal, sebaliknya aliran horizontal meningkat
sehingga memperbesar daya erosivitas.
Pembentukan horizon argilik merupakan proses alami yang sulit dicegah,
namun erosi yang terjadi dapat dihindari atau dikurangi dampaknya. Masalah Al
umumnya terjadi pada tanah Ultisol dari bahan sedimen. Bahan sedimen merupakan
hasil dari proses pelapukan (weathering) dan pencucian (leaching), baik pelapukan
dari bahan volkan, batuan beku, batuan metamorf maupun campuran dari berbagai
jenis batuan sehingga mineral penyusunnya sangat bergantung pada asal bahan yang
melapuk. Oleh karena itu, tanah Ultisol dari bahan sedimen sudah mengalami dua
kali pelapukan, yang pertama pada waktu pembentukan batuan sedimen dan yang
kedua pada wak-tu pembentukan tanah. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa
kandungan Al pada batuan sedimen sudah sangat tinggi. Kondisi ini akan berbeda bila
tanah Ultisol terbentuk dari bahan volkan dan batuan beku.
Pada tanah tersebut Al hanya berasal dari pelapukan batuan bahan induknya.
Kondisi ini juga masih dipengaruhi oleh pH. Pada bahan induk yang bersifat basa,
pelepasan Al tidak sebanyak pada batuan masam, karena pH tanah yang tinggi dapat
mengurangi kelarutan hidroksida Al. Ultisol dari bahan sedimen mempunyai
kesuburan alami yang lebih rendah daripada Ultisol dari bahan volkan atau batu
kapur, karena bahan sedimen sudah merupakan hasil perombakan bahan lain sehingga
kandungan unsur haranya pun rendah. Ultisol dari Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Timur yang berkembang dari batuan sedimen batu pasir dan batu liat
mempunyai nilai kapasitas tukar kation tanah 3−18 cmol(+)/kg, kejenuhan basa 3−
9%, kejenuhan Al 33−95%, dan pH 3,70−5 (Prasetyo dan Suharta 2000; Yatno et
al. 2000; Prasetyo et al. 2001). Sementara itu tanah Ultisol dari bahan volkan
mempunyai nilai kapasitas tukar kation 13,80− 25,49 cmol(+)/kg tanah, kejenuhan
basa 4− 35%, kandungan Al 0−16%, dan pH tanah 4,60−5,70 (Subagyo et al. 1987;
Prasetyo et al. 2005).
2.6. Potensi Lahan Kering untuk Pertanian Tanaman Pangan
3.1. Kesimpulan
4.1. Penutup
Pada pembuatan makalah ini, saya sebagai penulis meminta maaf atas segala
kekurangan dari makalah ini, karena saya masih dalam tahap belajar, saya
mengharapkan kritik dan saran dari saudara sekalian supaya saya bisa memperbaiki
kekurangan saya dalam pembuatan makalah ini, mungkin hanya itu saja yang dapat
saya sampaikan, terima kasih atas perhatiannya.
Wassalamualaikum wr. Wb …
DAFTAR PUSTAKA
Aini Indrasari dan Abdul Syukur, Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang Dan Unsur
Hara Mikro Terhadap Pertumbuhan Jagung Pada Ultisol Yang Dikapur, Jurnal
Ilmu Tanah dan Lingkungan, Vol 6 (2) (2006) p: 116-123.
Fajar Isminarni, Sri Wedhastri, Jaka Widada, Benito Heru Purwanto, Penambatan
Nitrogen Dan Penghasilan Indol Asam Asetat Oleh Isolat-Isolat Azotobacter
Pada Ph Rendah Dan Aluminium Tinggi, Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan
Vol. 7 No. 1 (2007) p: 23-30.