Anda di halaman 1dari 7

Nama : Siti Mutia Suryani

NIM : 5171311016
Prodi : PTI
Makul : Teknologi Pendidikan

 Media pembelajaran

50 Guru Pelatihan Pengembangan Industri Kreatif, Manfaatkan Eceng


Gondok untuk Media Pembelajaran

Rabu, 25 Oktober 2017 21:41 surya/sulvi sofiana

KERAJINAN - 50 Guru SD negeri dan swasta di Kota Surabaya mengikuti pelatihan pengembangan
industri kreatif menganyam eceng gondok di aula SMPN 13, Rabu (25/10/2017).

SURYA.co.id | SURABAYA – Tumpukan ranting eceng gondok kering di aula SMPN 13 Surabaya
perlahan berubah menjadi aneka kerajinan tangan. Tetapi, bukan perajin yang mengerjakannya,
melainkan para guru SD yang mulai mempelajarinya.

Salah satu guru yang tampak serius menganyam tumbuhan kering itu adalah guru SDN Benowo 1,
Aan Hendra. Ia tampak hati-hati namun cekatan menganyam batang-batang coklat yang menyerupai
pita plastik tersebut. Ia mencoba membentuk anyaman tersebut menjadi kotak tisu.

“Harus saya buat mudah ini, karena nanti yang membuat juga siswa-siswa saya. Jadi saya harus
lihai,” ujarnya diela kesibukannya, Rabu (25/10/2017).

Setidaknya 50 guru SD negeri dan swasta di Kota Surabaya mengikuti kegiatan pelatihan
pengembangan industri kreatif ini. Supardi, pelatih industri kreatif megungkapkan pembuatan tempat
tisu ini merupakan kerajinan sederhana. Sangat mudah ditiru pemula dan diajarkan pada anak-anak.
Apaagi di musim saat ini eceng gondok bisa dengan mudah ditemukan. Ia juga menjelaskan, beberapa
kerajinan lain yang bisa dibuat mulai dari tas, sepatu, sandal, hingga vas bunga.

"Meski para guru ini rata-rata baru kali pertama mengikuti, mereka relatif langsung bisa. Hanya perlu
pengarahan agar hasilnya lebih sempurna," jelasnya. Menurutnya, dengan pelatihan ini para guru bisa
mengajarkan kepada siswa-siswi selama proses belajar mengajar di kelas. Sebab, kreativitas seorang
anak harus dimunculkan sejak dini agar bisa terus berinovasi.

"Karena dengan mengajarkan membuat kerajinan dari bahan baku enceng gondok itu bisa melatih
motorik siswa. Apalagi di Surabaya sendiri tengah mengedepankan industri - industri kreatif.
Khususnya mulai dari usia dini," jelasnya.

Supardi menjelaskan, kegiatan pelatihan ini dilakukan bertahap selama tiga pekan kedepan.
Di mana, setiap harinya melatih 50 guru dalam pengembangan industri kreatif jenjang sekolah dasar.
Total keseluruhan peserta mencapai 410 guru. Selain mengajarkan dalam membuat tempat tisu,
keteramilan akan dilanjutkan dengan menyulam pita.
"Diharapkan usai mengikuti kegiatan ini, para guru lebih telaten dan bersabar dalam mendidik siswa.
Karena selama pelatihan ini juga dibutuhkan ketelatenan dan kesabaran untuk bisa menghasilkan
karyanya bernilai tinggi," imbuhnya.

Ternyata Belajar PPKn Itu Asik Lho, Nih Rahasianya!


 By Indriana Maulida - 30 November 2016

MALANGTODAY.NET – Apa yang terlintas di benak kamu saat mempelajari Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan (PPKn)? Hafalan, bosan, banyak bacaan, banyak ceramah, sulit, hingga
mengarang bebas.

Namun, salah seorang guru PPKn SMP Plus Alkautsar Malang, Probohayu Pertiwi K.M, berhasil
membuat kegiatan belajar PPKn menjadi asik dan menyenangkan. Ditemui MalangTODAY.net, dara
manis ini menceritakan bagaimana pengalaman dan kreasinya membuat pelajaran PPKn menjadi
makin asik dan menarik di dalam kelas.

“Karena PPKn merupakan pelajaran yang berkelindan dengan sejarah bangsa, negaranya, jati diri
bangsanya sendiri, ya kesannya membosankan sih pelajarannya, tetapi kalau dipelajari ya asik juga
kok. Saya berusaha mengajak mereka untuk berpikir serta memberinya tantangan. Seperti ketika
belajar tentang lembaga negara dan peraturan perundang-undangan itu kan materinya sulit, jadi saya
minta mereka belajar secara berkelompok, dan berpikir untuk membuat sebuah game atau permainan
yang bisa membuat mereka lebih memahami materi. Masing-masing kelompok terlihat antusias dalam
membuat pertanyaan dan jawaban kemudian, diolahnya sedemikian baiknya hingga bisa dimainkan
dan dimengerti oleh kelompok lainnya. Tak disangka, mereka berhasil membuat banyak model
permainan seperti monopoli, kartu kata, hingga word square.” Ceritanya pada MalangTODAY, Selasa
(29/11).

Guru muda alumni UM tersebut menambahkan bahwa dari enam kelompok yang terbentuk, 75%
membuat monopoli dengan variasi yang berbeda, ada yang benar-benar pakai uang-uangan, rumah-
rumahan, tetapi ada juga yang sekadar pakai dadu. Semua bentuk aturan main, mereka sendiri yang
buat, dalam hal poin pun mereka sendiri yang menentukan.

Hayu mengemukakan bahwa hal yang dilakukannya tersebut, ternyata memperoleh tanggapan positif
dari anak didiknya. “Mereka merasa senang. Mereka bersaing, banyak-banyakan poin gitu, karena
poin terbanyaklah yang dapat nilai tertinggi. Seru banget kata mereka. Kegiatan yang membosankan
bisa juga dilebur dengan variasi tersebut. Selain itu, mereka jadi lebih ingat dengan yang dipelajari,
seperti mengingat pernah main yang beginian ini di PPKn,” tambahnya.

Kehadiran kurikulum 2013 atau yang lebih populer dengan sebutan K-13, seperti menjadi cambuk
tersendiri bagi para pendidik untuk bisa lebih kreatif dan inovatif dalam melaksanakan kegiatan
pembelajaran, sehingga sebuah proses belajar menjadi lebih asik dan bermakna.
“K-13 menuntut guru untuk lebih memperhatikan proses yang terdiri dari 5M. Saya berharap, ada
banyak variasi baru di pembelajaran ppkn kedepannya, semoga saya dan para pendidik lainnya bisa
lebih banyak mengembangkan media pembelajaran, sehingga mindset peserta didik yang mengatakan
bahwa ppkn itu sulit dan membosankan, bisa dijadikan sebuah pelajaran yang seru dan
menyenangkan,” pungkasnya. (Tin/MG2).

 Psikologi belajar

Belajar Berlebihan Memicu Stres Akademik

WAKTU belajar memang sangat penting diberlakukan berjadwal untuk anak. Perlu diperhatikan,
tujuan belajar adalah membuat anak menjadi cerdas. Bukan malah membuat anak menjadi stres. Rasa
stres akan timbul ketika ada unsur memaksakan anak untuk meraih keberhasilan. “Saat belajar
dipaksakan dengan waktu yang berlebihan, akan membuat anak mengalami stres akademik,” ujar
Hairani Lubis, psikolog saat diwawancarai pewarta Celoteh pada Jumat (6/10).

Jelas dia, stres akademik adalah rasa yang muncul karena terlalu banyaknya tuntutan dan tugas yang
harus dikerjakan anak.

Jika anak merasa terbebani dengan tugas yang diberikan, maka tujuan awal mencerdaskan anak tidak
akan tercapai. “Maksimal waktu yang dibutuhkan 80–90 menit dalam satu mata pelajaran yang
diberikan. Juga waktu tersebut harus sesuai dengan kemampuan anak, bila dipaksakan akan membuat
prestasi menurun,” tambahnya.

Ketika stres akademik dialami anak, akan ada banyak kemungkinan yang terjadi pada tumbuh
kembang anak. Di antaranya anak akan mudah lelah, tidak bersemangat untuk sekolah atau
mengerjakan tugas, sulit berkonsentrasi, emosi yang tidak stabil, mudah marah atau mudah sedih. Juga
terlihat motivasi belajarnya menurun, malahan akan menolak untuk belajar.

“Orangtua harus atur jadwal belajar jam belajar berdasarkan kemampuan anak. Beri metode belajar
yang mengasyikan agar anak tidak merasa bosan saat proses belajar,” terang dia.
Dia melanjutkan, ketika seorang anak dalam keadaan senang maka akan lebih mudah untuk
memahami pelajaran yang diberikan.

Sesuai usia

Dosen psikologi tersebut menjelaskan, metode belajar yang tepat adalah metode yang sesuai dengan
usia perkembangan anak. Untuk anak di bawah usia 7 tahun metode bermain sambil belajar efektif
untuk dilakukan. Karena usia 0–5 tahun merupakan tahap bermain. Sebaiknya anak tidak dibebankan
dengan tugas-tugas ataupun pelajaran membaca dan menulis. Karena kapasitas berpikir anak di usia
tersebut masih terbatas, sehingga informasi yang diterimanya pun terbatas. Oleh karena itu, dengan
bermain anak lebih mudah menyerap pelajaran yang diberikan.

Untuk usia di atas 5 tahun, sebaiknya menggunakan metode mengajar yang bervariasi, misalnya
dengan melakukan praktik atau field trip . Metode belajanya jugar sebaiknya disesuaikan gaya belajar
anak, misalnya anak yang kinestetik akan lebih mudah belajar dengan praktik daripada teori.
“Dengan menyesuaikan gaya belajarnya, anak akan lebih termotivasi untuk belajar,” pungkasnya.
Psikolog: Media Sosial Picu Krisis Kepercayaan Diri pada Remaja
Oleh Jeko I. R. pada 09 Okt 2017, 12:00 WIB

Copyright © 2017 liputan6.com All Right Reserved Liputan6.com, Los Angeles - Media sosial
(medsos) tak selamanya bersifat informatif dan positif. Menurut pengamatan Jean Twenge, psikolog di
San Diego State University, media sosial seperti Facebook, Instagram, dan Twitter, ternyata bisa
memicu krisis kepercayaan diri bagi pengguna--khususnya kalangan remaja.

Twenge berujar, media sosial menciptakan pola keterikatan secara rutin, yang 'mengikat' pengguna
untuk terus membukanya demi mengakses informasi.

"Akan tetapi, sayangnya ini juga mengisolir mereka. Akibatnya, para remaja tidak memiliki waktu
untuk keluarga dan teman-temannya. Kontak sosial mereka seolah-seolah terblokir," kata Twenge.

Karena terisolir, remaja akan terus mengandalkan media sosial sebagai temannya. Di saat lingkungan
sekitar dapat menerima keterbukaan informasi yang lebih agresif, ia justru akan menjadi yang
tertinggal.

"Media sosial itu memang menghubungkan pengguna, entah dengan ke pengguna lain atau ke
informasi baru. Padahal tidak juga, ini dapat mengurangi rasa percaya diri mereka. Mereka lupa
kontak sosial lebih berguna. Kontak sosial banyak bentuknya, menerima informasi baru dari mulut ke
mulut, berkomunikasi dengan kerabat, dan masih banyak lagi," lanjutnya.

Menurut Twenge, masalah terjadi pada remaja yang lahir di periode 1995-2012. Generasi ini sudah
mengenal smartphone dan menganggapnya sebagai perangkat utama. Mirisnya, jumlah remaja yang
lahir pada periode tersebut mengaku jarang menemui teman-temannya. "Sejak 2000, mengalami
penurunan 40 persen. Dan pada 2015, cuma ada 56 persen remaja yang pergi bersosialisasi," imbuh
Twenge.

Twenge juga mengungkap, remaja modern ini juga dianggap lambat untuk belajar dan berkembang.
Kebanyakan dari mereka menghabiskan waktu sendiri di dalam kamar, terus-terusan 'tenggelam' di
dalam linimasa media sosial. "Mereka bisa stress dan depresi karena terus-terusan seperti ini,"
ucapnya.

Berujung pada Depresi

Sebelumnya, penelitian juga mengungkap media sosial dapat memicu efek depresi pada pengguna
remaja. Penelitian telah dilakukan ke subjek kalangan remaja berumur 13-17 tahun yang sering
menggunakan smartphone-nya untuk 'berinteraksi' di jejaring sosial.

Mengutip informasi laman The Independent , penelitian ini dilakukan oleh tim peneliti asal Kanada,
International Association of Cyber Psychology, Training & Rehabilitation (iACToR) dengan
melakukan observasi pada 750 subjek yang merupakan remaja dari berbagai institusi pendidikan di
wilayah Ontario.

Penelitian yang juga dipublikasikan lewat jurnal Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking
ini mengungkap penggunaan medsos yang terlampau berlebihan rupanya mampu menunjukkan
indikasi si pemilik jejaring sosial memiliki masalah gangguan mental dan memicu depresi.

"Kapasitas penggunaan jejaring sosial harusnya dibatasi sebagaimana mestinya. Jika digunakan terus
menerus dalam jangka waktu berjam-jam, hal tersebut akan menciptakan rasa candu bagi para
pengakses," ungkap tim peneliti.

Menurutnya, hal itu mengubah cara pandang pengguna bahwa jejaring sosial termasuk ke hal primer
di dalam kehidupan pengguna. Bahayanya, penggunaan jejaring sosial secara berlebihan dapat
berdampak negatif pada penggunanya.

"Jejaring sosial berfungsi sebagai alat komunikasi dan pencari informasi jika memang dibutuhkan.
Namun hal tersebut bisa berubah fungsi 360 derajat menjadi sebuah 'pengisi dahaga' penggunanya
ketika sedang kesepian," tambahnya.

Observasi yang telah dilakukan tim peneliti menyimpulkan sebagian besar dari 750 subjek anak
remaja tersebut memang kerap kali tidak memiliki kegiatan apa-apa khususnya pada waktu malam
hari. Oleh karena itu, mereka mengakses jejaring sosial sebagai 'teman' agar bisa mengisi kesepian
mereka.

"Hal ini menunjukkan bahwa mereka mengalami tanda depresi, jika ini terus dilakukan, mereka akan
melakukan hal lebih ekstrem seperti tindakan bunuh diri atau cyberbullying," tukasnya.
Mereka menambahkan, seharusnya ketika kesepian para anak remaja bisa melakukan kegiatan positif
yang lebih menggaet mereka ke perkembangan fisik dan mental yang lebih sehat, seperti berolahraga,
membaca buku, mendengarkan musik dan masih banyak lagi.

"Sudah seharusnya fungsi dari jejaring sosial dibatasi. Selagi masih ada waktu dan belum terlambat,
kini peran orang tua yang harus mengawasi anak mereka agar tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan.

SRL, Bantu Siswa Maksimalkan Potensi Akademis


Wednesday, 04 October 2017 | 11:28 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Banyak mahasiswa tidak menggunakan strategi pembelajaran yang


umum. Sebuah studi di jurnal akses terbuka
Frontiers in Psychology menemukan pelatihan khusus tentang bagaimana dan kapan menggunakan
strategi pembelajaran, dapat membantu lebih banyak siswa untuk memaksimalkan potensi akademis
mereka.

Seperti dilansir dari laman, Sciencedaily, tahun pertama di universitas adalah kurva belajar yang
curam bagi banyak siswa. Tinggal jauh dari rumah, mengelola keuangan dan menyeimbangkan
sosialisasi dengan pekerjaan kelas merupakan tantangan baru. Perubahan besar lainnya adalah
merencanakan dan mengatur pembelajaran mereka sendiri, termasuk berurusan dengan berbagai
bentuk penilaian akademis, dari berbagai pilihan ujian hingga esai.
Siswa baru biasanya mengerjakan strategi mereka sendiri untuk belajar, seringkali melalui trial and
error. Namun, strategi untuk mempersiapkan satu jenis tes atau tugas mungkin tidak sesuai. Akibatnya,
siswa mungkin merasa tidak siap dan berjuang. Bahkan, mahasiswa pascasarjana pun dapat
menghadapi tantangan baru, seperti menulis tesis, master, yang mungkin memerlukan teknik belajar
yang berbeda.

Strategi self-regulated learning (SRL) adalah cara yang sangat efektif bagi siswa untuk
memaksimalkan potensi akademis mereka, dan dianggap penting untuk kesuksesan akademis oleh
peneliti pendidikan. "SRL mengacu pada evaluasi, perencanaan, dan pelaksanaan pembelajaran Anda
sendiri," kata Nora Foerst dari University of Vienna.

"SRL mencakup banyak strategi pembelajaran yang berbeda, seperti merencanakan pendekatan Anda,
menyusun konten pembelajaran Anda, menghargai diri Anda sendiri setelah mencapai tujuan atau
membuat tuntutan realistis untuk menghindari frustrasi."

Studi sebelumnya menemukan bahwa banyak siswa mengetahui tentang strategi umum OR. Namun,
peneliti kurang yakin seberapa sering siswa benar-benar menggunakan teknik, apakah mereka dapat
menggunakannya secara efektif, dan apakah mereka mengetahui teknik mana yang paling sesuai
dalam situasi pembelajaran tertentu.

Hal-hal yang tidak diketahui ini memberi inspirasi kepada Foerst dan rekan-rekannya untuk mensurvei
siswa yang terdaftar dalam program Bachelor atau Master di bidang Psikologi atau Ekonomi di
Universitas Wina mengenai pengetahuan dan tindakan strategi pembelajaran mereka. Para ilmuwan
bertanya kepada siswa apakah mereka tahu tentang strategi SRL yang bermanfaat untuk situasi belajar
yang spesifik.

Mereka juga menilai apakah para siswa menerapkan tekniknya, dan jika tidak, mengapa tidak. Seperti
yang diharapkan, kebanyakan siswa dapat dengan benar mengidentifikasi banyak strategi SRL.

Namun, lebih sedikit siswa yang benar-benar menerapkannya saat belajar. Dalam beberapa kasus,
sebanyak sepertiga siswa yang mengidentifikasi teknik dengan benar mengakui bahwa mereka tidak
menggunakannya dalam pembelajaran mereka sendiri.

Baik siswa Psikologi dan Ekonomi menunjukkan perbedaan yang sama antara pengetahuan dan
tindakan. Siswa psikologi sedikit lebih baik dalam mengidentifikasi strategi, kemungkinan karena
kurikulum mereka mencakup informasi tentang teknik SRL. Survei tersebut mengungkapkan berbagai
alasan untuk tidak menggunakan strategi pembelajaran mandiri. Banyak siswa merasa mereka tidak
memiliki cukup waktu untuk menggunakan strategi tersebut, atau tidak dapat menerapkannya secara
efektif.

Beberapa gagal melihat manfaat strategi untuk tugas tertentu, atau percaya bahwa menggunakannya
akan terlalu banyak pekerjaan. Lantas, bagaimana universitas bisa meningkatkan jumlah siswa yang
mendapat manfaat dari strategi pembelajaran mandiri?

"Kami ingin studi ini, dan studi masa depan, untuk mendorong universitas untuk memberikan lebih
banyak pelatihan SRL untuk siswa mereka," kata Foerst.

"Secara khusus, tampak bahwa siswa memerlukan pelatihan langsung untuk mempelajari bagaimana
dan kapan menerapkan strategi SRL untuk situasi pembelajaran yang spesifik. Selain itu, mereka
memerlukan bantuan untuk memahami bahwa teknik tersebut dapat menghemat waktu dan
meningkatkan hasil belajar mereka," ucapnya.

Anda mungkin juga menyukai