ASBABUL WURUD
Anggota Kelompok
1. Dzikroyatul Chulwah 12501194020
2. Fainana Nilna Mina 12501194025
3. Badriyatul Ulum 12501194030
4. Ismail Sahputra 12501194035
Asbab menurut arti lughawi adalah bentuk jama’ dari kata sabab, yang berarti
tali. Menurut Ibnu Manzhur dalam kamus Lisan al-‘Arab mengatakan bahwa arti
Asbab adalah saluran, yang dijelaskan sebagai: “segala sesuatu yang
menghubungkan suatu benda ke benda lainnya”. Kata Asbab adalah jama’ dari
sebab. Menurut ahli bahasa diartikan dengan al-habl (tali). Saluran yang artinya
dijelaskan sebagai segala yang menghubungkan satu benda dengan benda lainnya.
Hal senada juga dikatakan dalam Mu’jam al-Wasith yaitu segala sesuatu yang
mengantarkan kepada tujuan. Atau suatu jalan yang menuju terbentuknya suatu
hukum tanpa adanya pengaruh apapun dari hukum itu sendiri, demikian yang
dikatakan oleh para ahli hukum Islam sebagaimana yang ditulis oleh Suyuthi.
Adapun kata Wurud adalah jama’ dari maurid/mauridah yang berarti air yang
memancar atau air yang mengalir.
يصلوا
ص الة اجلالس علي:يف س جتهم جلوس ا فخ رج ان يب عن د اهلاجرة وهم يص لون يف س جتهم جلوس ا فق ال
النصف
"Kami memasuki kota Madinah dan mendadak kami diserang perasaan letih
yang demikian hebat. Maka sebagian besar dari kami shalat ditempat
masing-masing dengan cara duduk. Kemudian keluarlah Rasulullah di terik
matahari yang menyengat itu, sementara dari kami masih ada yang shalat
ditempatnya masing-masing dengan duduk. Lalu beliaupun berkata: “Pahala
orang shalat dengan duduk, setengah dari pahala yang shalat dengan
berdiri”. Abdullah bin Umar selanjutnya menuturkan:” Maka orang-
orangpun segera memaksakan diri berdiri”.
Mayoritas ulama menyimpulkan bahwa yang dimaksud shalat dalam
hadits tersebut jika ditinjau melalui asbab al-wurud nya yaitu shalat sunnah.
Pengertiannya adalah bahwa bagi orang yang sesungguhnya mampu
melakukan shalat sunnah sambil berdiri kemudian shalat dalam keadaan
duduk, maka ia akan mendapat pahala separuh dari orang yang shalat sunnah
dengan berdiri. Namun jika seseorang memang dinilai tidak mampu untuk
melakukan shalat sambil berdiri dikarenakan sakit misalnya, baik shalat
fardlu ataupun sunnah, lalu ia memilih shalat dengan duduk, maka ia tidak
termasuk orang yang disebut dalam hadits tersebut, sebab orang yang tidak
mampu shalat dengan berdiri dikarenakan sakit termasuk golongan orang
yang mendapat rukhsah atau keringanan.
2. Membatasi arti yang mutlak
Maksudnya adalah pembatasan kata yang masih terlalu umum. Salah satu
contohnya adalah hadits tentang balasan bagi orang yang berbuat baik
kemudian banyak orang yang menirunya. Orang yang berbuat baik tersebut
akan mendapatkan pahala orang-orang yang telah meniru perbuatannya tanpa
mengurangi sedikit pun pahala orang-orang tersebut.
من سن سنة حسنة عمل هبا بعده كان له مثل أجر من عمل هبا من غري ان ينقص من أجره شيء ومن
سن سنة سيئة كان عليه مثل وزر من عمل هبا من غري ان ينقص من أوزارهم شيء
“Siapa pun orang yang mencontohkan suatu sunnah (perbuatan) yang baik
yang diamalkan oleh orang lain setelahnya maka ia mendapat pahala
sebanyak pahala orang lain yang telah melakukan perbuatan baik tersebut
tanpa mengurangi pahala orang-orang yang telah melakukannya. Siapun
orang yang mencontohkan suatu perbuatan yang jelek maka maka ia
mendapat dosa sebanyak dosa orang lain yang telah melakukan perbuatan
jelek tersebut tanpa mengurangi dosa orang-orang yang telah
melakukannya,” (Abdullāh Abū Muḥammad Ad-Dārimī, Sunan Ad-Dārimī).
Dalam hadits di atas, kata sunnah hasanah terlihat masih umum, ditandai
dengan tanda nakirah, yaitu tanwīn ()ًـ. Menurut As-Suyūṭī, yang dimaksud
sunnah hasanah dalam hal ini adalah perbuatan baik yang terdapat dalam naṣ
agama. As-Suyūṭī kemudian menyebutkan redaksi hadits yang lebih lengkap,
bahwa suatu hari Rasul SAW berkhotbah dan berpesan untuk bertakwa,
kemudian para sahabat datang membawa beberapa barang untuk
disedekahkan, mulai baju, uang, perhiasan, makanan pokok, hingga ada
seseorang Ansor yang datang dengan bungkusan yang sangat berat dan
membuatnya tak bisa mengangkatnya, hingga wajah Rasul SAW terlihat
semringah. Kemudian Rasul bersabda hadits di atas. Dari redaksi hadits yang
disebutkan secara lengkap di atas, As-Suyūṭi berkesimpulan bahwa yang
dimaksud sunnah ḥasanah atau perbuatan baik dalam hadits di atas, adalah
perbuatan baik yang telah diajarkan Rasul dalam naṣ agama, baik dalam Al-
Qur’an maupun hadits.
Contoh hadits nya yaitu: انتم اعلم بامر دنياكمyang artinya “Kalian lebih tahu
tentang urusan duniawimu”. Hadits ini secara sekilas dipahami bahwa Nabi
menyerahkan semua urusan duniawi kepada para sahabat dan mendudukkan
mereka sebagai orang yang lebih mengetahui akan urusan duniawinya.
Setelah ditinjau dari asbab al-wurud nya yaitu menjelaskan bahwa hal itu
berkaitan dengan proses pencangkokkan pohon kurma, maka bukan berarti
Nabi sama sekali tidak memahami sesuatu yang bersifat duniawi.
3. Merinci yang mujmal (global)
Maksudnya adalah memperinci sesuatu yang masih global. Seperti hadits
yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas tentang Rasulullah
SAW yang memerintahkan Bilal untuk menggenapkan kalimat azan dan
mengganjilkan kalimat iqamah:
امر بال ان يشفع االذان ويوتر الالقامة
Contohnya :
ٍ ُكنَّا ىِف َجْي: عن جابربن عبد اهلل وسلمة بن األكوع قال
: ش فَأَتَانَا رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم فقال
ِ ِ ِ
ْ َإنَّهُ قَ ْد أَذ َن لَ ُك ْم أَ ْن تَ ْستَ ْمتعُوا ف
.اس مَتَْتعُوا
Dari Jabir bin ‘Abd Allah dan Salamah bin al-Akwa’, mereka berdua
menyatakan : Kami dalam rombongan paukan perang, maka datanglah
utusan Rasulullah saw. kepada kami dan berkata : “Sesungguhnya beliau
(Rasulullah) telah mengijinkan kau sekalian untuk melakukan nikah mut’ah,
maka lakukanlah nikah mut’ah tersebut. (H.R. al-Bukhari, Muslim dan
Ahmad).
1
Noor Rohman Fauzan, “Urgensi Nasikh-Mansukh Dalam Legilasi Hukum Islam”, Jurnal Studi
Hukum Islam 1, No. 2 (2014): 203
ِّس ِاء َي ْو َم ِ
َ َن َهى َع ْن ُمْت َع ة الن، عن علي بن أىب ط الب رض ي اهلل عن ه أن رس ول اهلل ص لى اهلل علي ه وس لم
.َخْيَبَر َو َع ْن اَ ْك ِل احْلُ ُم ِر ا ِإلنْ ِسيَّ ِةز
Dari ‘Ali bin Abi Thalib r.a., bahwasanya rasulullah saw. telah melarang
mengawini wanita dengan cara mut’ah pada saat Perang Khaibar dan
melarang makan daging keledai jinak (peliharaan). (H.R. al-Bukhari,
Muslim, dan lainnya).
2
Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta : PT Bulan Bintang, t.th), hal
82-85
belum bisa memanfaatkan alat-alat yang berteknologi canggih karena pada
masa itu mereka belum mengenalnya. Tetapi, jika umat Islam telah mampu
menggunakan alat-alat canggih itu, maka menempuh kegiatan hisab boleh
menggunakan alat yang berteknologi canggih.3
Jadi dapat dipahami, jika perintah berpuasa tersebut sudah dijelaskan didalam
hadits dan sebagai ‘illat-nya itu ditentukan dengan melihat bulan (hisab)
dengan mata (jaman Rasulullah) atau menggunakan alat yang canggih untuk
mengetahui jatuhnya tanggal 1 Ramadhan.
6. Menjelaskan kemusykilan (janggal)
Tentang asbaabul wuruudil hadist, Imam Muhammad Ibn Idris as-Syafi’i atau
lebih dikenal dengan Imam As-Syafi’i, dalam kitabnya Ar-Risaalah
mengingatkan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, ada kalanya suatu hadist lahir karena Rasulullah ditanya tentang
sesuatu hal oleh para sahabat. Akan tetapi, dalam periwayatan (transmisi)-nya, si
periwayat tidak menyampaikan hadis tersebut secara sempurna (misalkan, tidak
menyebutkan pertanyaan yang melahirkan jawaban tersebut). Atau, hadist tersebut
hanya diriwayatkan oleh orang yang hanya mendengar atau mengetahui jawaban
Rasulullah tersebut. Namun ia tidak mengetahui masalah atau latarbelakang yang
melatari jawaban Rasulullah pada hadist tersebut.
3
Ibid., hal 54-55
Maka memahami matan hadist dengan memperhatikan asbaabul wuruud-nya,
akan mendapatkan pemahaman yang minimal mendekati apa yang dimaksudkan
Nabi saat mencetuskan hadist tersebut.
ِ
الِك َع ْن ابْ ِن
ٌ َخَبَرنَ ا َم
ْفأ ُ ُ – َح َّد َثنَا َعْب ُد اللَّه بْ ُن ي2241 )266 ص/ 8 ص حيح البخ اري – (ج
َ وس
ِ ِ َّي أَنَّه قَ َال مَسِ عت عمر بن اخْلَط ٍ ِ ٍ ِشه
ُاب َرض َي اللَّهُ َعْنه َ ْ ََ ُ ُ ْ ُ ِّ الز َبرْيِ َع ْن َعْبد الرَّمْح َ ِن بْ ِن َعْبد الْ َقا ِر
ُّ اب َع ْن عُْر َو َة بْ ِن َ
ِ ُ ان علَى َغ ِ م ا أَْقر ُؤه ا و َك ا َن رس
ِ ٍ ِ ِ ول مَسِ ع
ص لَّى
َ ول اللَّه َُ َ َ َ َ ور َة الْ ُف ْرقَ َ رْيَ ت ه َش َام بْ َن َحكي ِم بْ ِن ِح َزام َي ْق َرأُ ُس
ُ ْ ُ َي ُق
ول اللَّ ِه
َ ت بِِه َر ُس ِ ِِ ِ ِ ِ ِ
ُ ف مُثَّ لَبَّْبتُهُ بِ ِر َدائه فَجْئ ُ اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم أَْقَرأَن َيها َوك ْد
َ ْت أَ ْن أ َْع َج َل َعلَْيه مُثَّ أ َْم َه ْلتُهُ َحىَّت ان
َ صَر
َت َه َذا َي ْقَرأُ َعلَى َغرْيِ َم ا أَْقَرأْتَنِ َيه ا َف َق َال يِل أ َْر ِس ْلهُ مُثَّ قَ َال لَهُ ا ْق َرأْ َف َق َرأ ِ
ُ ت إِيِّن مَس ْع
ِ
ُ صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َف ُق ْل
َ
ِ ٍ قَ َال ه َك َذا أُنْ ِزلَت مُثَّ قَ َال يِل ا ْقرأْ َف َقرأْت َف َق َال ه َك َذا أُنْ ِزلَت إِ َّن الْ ُقرآ َن أُنْ ِز َل علَى سبع ِة أ
َُح ُرف فَا ْقَرءُوا مْن ه
ْ َ َْ َ ْ ْ َ ُ َ َ ْ َ
َما َتيَ َّسَر
Artinya: “Abdullah bin Yusuf telah bercerita kepada saya, Malik telah
menceritakan pada saya dari Ibn Syihab dari Urwah bin Zubair dari Abdur
rahman bin Abdul Qari, dia berkata: “saya mendengar Umar bin Khathab
berkata: “saya mendengar Hisyam bin Hakim bin Hisyam membaca surat al-
Furqan dengan bacaan selain yang telah saya baca, padahal Rasulullah saw
telah nenbacakan pada saya. Hampir saja saya bertindak terhadap Hisyam.
Kemudia saya menunda tindakan saya sampai ia pulang ke rumahnya.
Kemudian saya menyeret lengan bajunya untuk mendatangi Rasulullah saw
bersamanya. Saya berkata pada Rasulullha saw : bahwa saya mendengar
oarng ini membaca ayat yang bukan seperti yang dibacakan Rasulullah.
Kemudian Nabi memerintahkan saya “lepaskan orang tersebut”. Kemudian
Nabi merkata kepada Hisyam :”bacalah”. Hisyam pun membaca. Kemudian
nabi bersabda:”sesungguhmya al-Quran itu diturunkan dengan tujuh huruf
(dialek), maka bacalah mana yang mudah daripadanya”.4
2. Hadits yang sebab tidak disebutkan dalam hadits tersebut tetapi disebutkan
pada jalan (thuruq) hadits yang lain, misalnya : hadits yang menerangkan niat
dan hijrah yang diriwayatkan oleh Umar ra.
Namun ada pula matan hadits yang timbul tanpa Sabab al Wurud atau timbul
dengan sendirinya. Sebagaimana contoh:
:ات َي ْوٍم
َ َص ا ِرذ
ِ ِ
َ ْص لَّى اهللُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم قَ َال لألَن
ِ َّ صا ِرى َر ِض ى اهللُ َعْن هُ أ
َ َن َر ُس ْو َل اهلل
ٍ
َ َْع ْن َع ْمرو بْ ِن َع ْوف اْألَن
ُّ َخ َش ى أَ ْن ُتْب َس َط
الد ْنيَـا َعلَْي ُك ْم َك َم ا ِ ِ ِ
ْ َولَكىِّن أ، َخ َش ى َعلَْي ُك ْم
ْ َف َواهلل َم ا الْ َف ْق ُر أ، أَبْش ُروا َوأ َِّمـلُوا َمايَ ُس ُّر ُك ْم
(مَّت َف ٌق َعلَْيه ِ ِ
ُ . َفُت ْهل ُك ُك ْم َك َما أ َْهلَ َكْت ُه ْم، وها
َ َفَتنَـافَ ُسوا َك َما َتنَـافَ ُس، ت َعلَى َم ْن َكا َن َقْبلَ ُك ْم
ْ َبُسط
5
http://sepharonaldo.blogspot.com/2010/05/asbabul-wurud-al-hadits.html?
zx=9d5909e453344ff2, diakses 28 September 2019