Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

ASBABUL WURUD

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Studi Al-Quran dan Al-Hadits
Dosen Pengampu
Dr. Hj. Salamah Noorhidayati, M. Ag.

Anggota Kelompok
1. Dzikroyatul Chulwah 12501194020
2. Fainana Nilna Mina 12501194025
3. Badriyatul Ulum 12501194030
4. Ismail Sahputra 12501194035

PROGRAM MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


PASCASARJANA IAIN TULUNGAGUNG
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
2019
ASBABUL WURUD

A. Definisi dan Cara Mengetahui Asbabul Wurud

Asbab menurut arti lughawi adalah bentuk jama’ dari kata sabab, yang berarti
tali. Menurut Ibnu Manzhur dalam kamus Lisan al-‘Arab mengatakan bahwa arti
Asbab adalah saluran, yang dijelaskan sebagai: “segala sesuatu yang
menghubungkan suatu benda ke benda lainnya”. Kata Asbab adalah jama’ dari
sebab. Menurut ahli bahasa diartikan dengan al-habl (tali). Saluran yang artinya
dijelaskan sebagai segala yang menghubungkan satu benda dengan benda lainnya.
Hal senada juga dikatakan dalam Mu’jam al-Wasith yaitu segala sesuatu yang
mengantarkan kepada tujuan. Atau suatu jalan yang menuju terbentuknya suatu
hukum tanpa adanya pengaruh apapun dari hukum itu sendiri, demikian yang
dikatakan oleh para ahli hukum Islam sebagaimana yang ditulis oleh Suyuthi.
Adapun kata Wurud adalah jama’ dari maurid/mauridah yang berarti air yang
memancar atau air yang mengalir.

Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud oleh


Asbab al-Wurud adalah sesuatu atau sebab-sebab yang membatasi arti suatu
hadits, baik itu dalam pengertian ‘am atau khash, mutlak atau terbatas dan
seterusnya. Dengan kata lain, “suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadits saat
kemunculannya atau konteks sosial dari sebuah teks”, sama halnya dengan
definisi Hasbi ash-Shiddiqi yang mengatakan bahwa Asbab al-Wurud adalah ilmu
untuk mengetahui sebabsebab munculnya sebuah hadits, waktu dan tempat
terjadinya. Al-Wahidi mengatakan bahwa konsepsi pengetahuan tentang asbab al-
wurud hanya dapat diketahui melalui periwayatan dan mendengar dari mereka
(sahabat) yang menjadi saksi peristiwa lahirnya sebuah teks hadits. Ulama’ lain
berpendapat bahwa mengetahuinya dari para sahabat melalui qarinah yang
mengiringinya. Sehingga dalam hal ini tak ada tempat untuk berijtihad. Oleh
karena itu, wilayah ijtihad dibatasi hanya dalam menghadapi riwayat dan
mentarjihnya.

B. Urgensi Mempelajari Asbabul Wurud

Pengetahuan tentang Asbab al-Wurud al-Hadits mempunyai peranan yang


sangat penting dalam rangka memahami hadits. Sebab biasanya hadits yang
disampaikan oleh Nabi memiliki sifat tertentu. Oleh karena itu, perlu
diperhatikan konteks historisitas suatu hadits agar tidak terjadi kesalahpahaman
dalam memahami maksud suatu hadits serta tidak terjebak pada teksnya saja,
sementara konteks historisitasnya terabaikan sama sekali.

Pemahaman hadits yang mengabaikan peranan Asbab al-Wurud al-Hadits


akan cenderung bersifat kaku, literalis-skriptualis, bahkan kadang kurang
akomodatif terhadap perkembangan zaman. Adapun urgensi mempelajari Asbab
al-Wurud al-Hadits menurut Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi dalam kitabnya
adalah sebagai berikut.

1. Mentakhsish (mengkhususkan) arti yang umum


Maksudnya ialah suatu hadits yang diriwayatkan masih bersifat umum
sehingga dibutuhkan pentakhsishan pada hadits tersebut. Misalnya hadits
yang berbunyi:
‫صالة القاعد علي النصف من صالة القائم‬
“Shalat orang yang sambil duduk pahalanya separuh dari orang yang shalat
sambil berdiri.”
Pada hadits tersebut, arti dari “shalat” masih bersifat umum. Yaitu dapat
dimaksudkan sebagai shalat fardlu dan sunnah. Namun jika ditinjau melalui
asbab al-wurud nya, “shalat” dalam hadits tersebut dapat dipahami bahwa
yang dimaksud ialah shalat sunnah, bukan shalat fardlu. Inilah yang disebut
takhsish dalam hadits, yaitu menentukan kekhususan suatu hadits yang
bersifat umum, dengan memperhatikan konteks asbab al-wurud nya.
Asbab al-wurud dari hadits tersebut adalah ketika itu di Madinah dan
penduduknya sedang terjangkit suatu wabah penyakit. Maka kebanyakan para
sahabat melakukan shalat sunnah sambil duduk. Pada waktu itu, kebetulan
Nabi datang dan tahu bahwa mereka suka melakukan shalat sunnah sambil
duduk. Maka Nabi kemudian besabda bahwa shalat orang sambil duduk
pahalanya separuh dari orang yang shalat dengan berdiri. Mendengar
pernyataan tersebut, akhirnya para sahabat yang tidak sakit memilih shalat
sunnah sambil berdiri. Sebab lahirnya hadits ini juga dapat diketahui melalui
riwayat Abdullah bin Umar:
‫ ق دمنا املدين ة فنالن ا وب اء من وع ك املدين ة ش ديد وك ان الن اس يكث ريون ان‬:‫عن عب د اهلل بن عم رو ق ال‬

‫يصلوا‬

‫ ص الة اجلالس علي‬:‫يف س جتهم جلوس ا فخ رج ان يب عن د اهلاجرة وهم يص لون يف س جتهم جلوس ا فق ال‬

‫النصف‬

.‫ فطفق الناس حينئذ يتجسمون القيام‬:‫من صالة القائم قال‬

"Kami memasuki kota Madinah dan mendadak kami diserang perasaan letih
yang demikian hebat. Maka sebagian besar dari kami shalat ditempat
masing-masing dengan cara duduk. Kemudian keluarlah Rasulullah di terik
matahari yang menyengat itu, sementara dari kami masih ada yang shalat
ditempatnya masing-masing dengan duduk. Lalu beliaupun berkata: “Pahala
orang shalat dengan duduk, setengah dari pahala yang shalat dengan
berdiri”. Abdullah bin Umar selanjutnya menuturkan:” Maka orang-
orangpun segera memaksakan diri berdiri”.
Mayoritas ulama menyimpulkan bahwa yang dimaksud shalat dalam
hadits tersebut jika ditinjau melalui asbab al-wurud nya yaitu shalat sunnah.
Pengertiannya adalah bahwa bagi orang yang sesungguhnya mampu
melakukan shalat sunnah sambil berdiri kemudian shalat dalam keadaan
duduk, maka ia akan mendapat pahala separuh dari orang yang shalat sunnah
dengan berdiri. Namun jika seseorang memang dinilai tidak mampu untuk
melakukan shalat sambil berdiri dikarenakan sakit misalnya, baik shalat
fardlu ataupun sunnah, lalu ia memilih shalat dengan duduk, maka ia tidak
termasuk orang yang disebut dalam hadits tersebut, sebab orang yang tidak
mampu shalat dengan berdiri dikarenakan sakit termasuk golongan orang
yang mendapat rukhsah atau keringanan.
2. Membatasi arti yang mutlak
Maksudnya adalah pembatasan kata yang masih terlalu umum. Salah satu
contohnya adalah hadits tentang balasan bagi orang yang berbuat baik
kemudian banyak orang yang menirunya. Orang yang berbuat baik tersebut
akan mendapatkan pahala orang-orang yang telah meniru perbuatannya tanpa
mengurangi sedikit pun pahala orang-orang tersebut.
‫من سن سنة حسنة عمل هبا بعده كان له مثل أجر من عمل هبا من غري ان ينقص من أجره شيء ومن‬

‫سن سنة سيئة كان عليه مثل وزر من عمل هبا من غري ان ينقص من أوزارهم شيء‬

“Siapa pun orang yang mencontohkan suatu sunnah (perbuatan) yang baik 
yang diamalkan oleh orang lain setelahnya maka ia mendapat pahala
sebanyak pahala orang lain yang telah melakukan perbuatan baik tersebut
tanpa mengurangi pahala orang-orang yang telah melakukannya. Siapun
orang yang mencontohkan suatu perbuatan yang jelek maka maka ia
mendapat dosa sebanyak dosa orang lain yang telah melakukan perbuatan
jelek tersebut tanpa mengurangi dosa orang-orang yang telah
melakukannya,” (Abdullāh Abū Muḥammad Ad-Dārimī, Sunan Ad-Dārimī).
Dalam hadits di atas, kata sunnah hasanah terlihat masih umum, ditandai
dengan tanda nakirah, yaitu tanwīn (‫)ًـ‬. Menurut As-Suyūṭī, yang dimaksud
sunnah hasanah dalam hal ini adalah perbuatan baik yang terdapat dalam naṣ
agama. As-Suyūṭī kemudian menyebutkan redaksi hadits yang lebih lengkap,
bahwa suatu hari Rasul SAW berkhotbah dan berpesan untuk bertakwa,
kemudian para sahabat datang membawa beberapa barang untuk
disedekahkan, mulai baju, uang, perhiasan, makanan pokok, hingga ada
seseorang Ansor yang datang dengan bungkusan yang sangat berat dan
membuatnya tak bisa mengangkatnya, hingga wajah Rasul SAW terlihat
semringah. Kemudian Rasul bersabda hadits di atas. Dari redaksi hadits yang
disebutkan secara lengkap di atas, As-Suyūṭi berkesimpulan bahwa yang
dimaksud sunnah ḥasanah atau perbuatan baik dalam hadits di atas, adalah
perbuatan baik yang telah diajarkan Rasul dalam naṣ agama, baik dalam Al-
Qur’an maupun hadits.
Contoh hadits nya yaitu: ‫ انتم اعلم بامر دنياكم‬yang artinya “Kalian lebih tahu

tentang urusan duniawimu”. Hadits ini secara sekilas dipahami bahwa Nabi
menyerahkan semua urusan duniawi kepada para sahabat dan mendudukkan
mereka sebagai orang yang lebih mengetahui akan urusan duniawinya.
Setelah ditinjau dari asbab al-wurud nya yaitu menjelaskan bahwa hal itu
berkaitan dengan proses pencangkokkan pohon kurma, maka bukan berarti
Nabi sama sekali tidak memahami sesuatu yang bersifat duniawi.
3. Merinci yang mujmal (global)
Maksudnya adalah memperinci sesuatu yang masih global. Seperti hadits
yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas tentang Rasulullah
SAW yang memerintahkan Bilal untuk menggenapkan kalimat azan dan
mengganjilkan kalimat iqamah:
‫امر بال ان يشفع االذان ويوتر الالقامة‬

“Rasulullah memerintahkan kepada Bilal agar menggenapkan adzan dan


mengganjilkan iqomat”
Namun hadits ini seolah bertentangan dengan pendapat jumhūr ulama
yang menyebutkan bahwa kalimat takbir dalam adzan itu tidak hanya dua
kali, tapi empat kali. Sedangkan kalimat takbir dalam iqamah adalah dua kali.
Yang dimaksud mengganjilkan dalam hadits di atas adalah empat kali. Hal
ini bisa dilihat dari asbabul wurud hadits tersebut yang menjelaskan sejarah
kalimat adzan, yaitu melalui proses mimpi Abdullāh bin Zaid. Kemudian
Abdullāh datang kepada Rasulullah SAW dan menceritakan mimpinya, yaitu
menyebutkan kalimat takbīr empat kali saat adzan dan dua kali saat iqamah.
Baru kemudian Rasul SAW meminta Abdullāh mengajarkan kalimat itu
kepada Bilāl, (Ibnu Ḥibbān, Ṣaḥīḥ Ibnu Ḥibbā).
Inilah yang dimaksud oleh As-Suyūṭī bahwa asbabul wurud hadits di atas,
yang berupa penjelasan Abdullāh bin Zaid tentang kalimat lengkap adzan
menjelaskan hal-hal yang masih global dalam kalimat menggenapkan dan
mengganjilkan.
4. Menentukan persoalan Nasikh dan Mansukh
Kata naskh atau al-naskh dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar. Kata
al-naskh memiliki banyak arti yang diantaranya, “menghilangkan” seperti
yang disebutkan dalam al-Quran mengenai kata nashakat dan yansaku yang
berarti “menghilangkan”. Yang artinya : “Allah menghilangkan apa yang
dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Hajj 22:52). Al-
naskh bisa berarti “mengalihkan”, seperti contohnya dalam perkataan
“tanasukh al-ilanwahidin” (mengalihkan warisan dari seseorang kepada yang
lain). Selain itu al-naskh juga bisa diartikan sebagai
“memindahkan/mengutip/menukil, seperti dalam ungkapan “nasakhu al-
khitab” (aku mengutip suatu buku) Al-Zakarsyi, 1957, II: 29; Al-Suyuthy,
t.th, II:20. Sedangkan pegertian secara terminologi (istilah) menurut para
ulama adalah merubah hukum syara’ dengan dalil yang datang kemudian.1

Contohnya :

ٍ ‫ ُكنَّا ىِف َجْي‬: ‫عن جابربن عبد اهلل وسلمة بن األكوع قال‬
: ‫ش فَأَتَانَا رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم فقال‬
ِ ِ ِ
ْ َ‫إنَّهُ قَ ْد أَذ َن لَ ُك ْم أَ ْن تَ ْستَ ْمتعُوا ف‬
.‫اس مَتَْتعُوا‬

Dari Jabir bin ‘Abd Allah dan Salamah bin al-Akwa’, mereka berdua
menyatakan : Kami dalam rombongan paukan perang, maka datanglah
utusan Rasulullah saw. kepada kami dan berkata : “Sesungguhnya beliau
(Rasulullah) telah mengijinkan kau sekalian untuk melakukan nikah mut’ah,
maka lakukanlah nikah mut’ah tersebut. (H.R. al-Bukhari, Muslim dan
Ahmad).

1
Noor Rohman Fauzan, “Urgensi Nasikh-Mansukh Dalam Legilasi Hukum Islam”, Jurnal Studi
Hukum Islam 1, No. 2 (2014): 203
‫ِّس ِاء َي ْو َم‬ ِ
َ ‫ َن َهى َع ْن ُمْت َع ة الن‬، ‫عن علي بن أىب ط الب رض ي اهلل عن ه أن رس ول اهلل ص لى اهلل علي ه وس لم‬
.‫َخْيَبَر َو َع ْن اَ ْك ِل احْلُ ُم ِر ا ِإلنْ ِسيَّ ِةز‬

Dari ‘Ali bin Abi Thalib r.a., bahwasanya rasulullah saw. telah melarang
mengawini wanita dengan cara mut’ah pada saat Perang Khaibar dan
melarang makan daging keledai jinak (peliharaan). (H.R. al-Bukhari,
Muslim, dan lainnya).

Dilihat dari makna yang terkandung di dalam kedua hadits tersebut


sudah diketahui bahwasannya saling bertentangan satu sama lainnya.
Berdasarkan petunjuk dari kedua hadits tersebut dapatlah dipahami bahwa
pada dasarnya nikah mut’ah itu dilarang. Sedangkan secara temporal, nikah
mut’ah pernah diperbolehkan yang kemudian diikuti larangan dan larangan
itu berlaku utnuk selamanya.2

5. Menjelaskan ‘illat (alasan) suatu hukum


Sebagai contohnya :
ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِِ
َ ‫ فَِإ ْن غُيِّبَ َعلَْي ُك ْم فَاَ ْكملُوا ع َّدةَ َش ْعبَا َن ثَاَل ثنْي‬.‫والر ْؤيَته َواَفْط ُر ْوال ُر ْؤيَته‬
ُ ‫وم‬ ُ ‫ص‬
ُ
Berpuasalah kamu sekalian karena telah melihat bulan (1 Ramadhan) dan
berhari rayalah setelah kamu sekalian melihat bulan (1 Syawal). Apabila
(cuaca di langit menjadi bulan) terlindung dari (pemandangan) kamu
sekalian, maka sempurnakanlah (bilangan hari untuk) bulan Sya’ban
(menjadi) 30 hari. (H.R. al-Bukhari, Muslim, dan lainnya, dari Abu
Hurairah).
Hadits diatas menerangkan bahwa perintah untuk puasa disaat melihat
bulan pada tanggal 1 Ramadhan dan Hari Raya saat bulan terlihat pada
tanggal 1 Syawal. Penentuan tanggal ini dengan keadaan mata kepala (rukyah
al-hilal bi ain) adalah atas pertimbangan kepada umat Islam pada waktu itu.
Mereka belum bisa melaksanakan kegiatan hisab awal bulan Qamariah dan

2
Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta : PT Bulan Bintang, t.th), hal
82-85
belum bisa memanfaatkan alat-alat yang berteknologi canggih karena pada
masa itu mereka belum mengenalnya. Tetapi, jika umat Islam telah mampu
menggunakan alat-alat canggih itu, maka menempuh kegiatan hisab boleh
menggunakan alat yang berteknologi canggih.3
Jadi dapat dipahami, jika perintah berpuasa tersebut sudah dijelaskan didalam
hadits dan sebagai ‘illat-nya itu ditentukan dengan melihat bulan (hisab)
dengan mata (jaman Rasulullah) atau menggunakan alat yang canggih untuk
mengetahui jatuhnya tanggal 1 Ramadhan.
6. Menjelaskan kemusykilan (janggal)

C. Macam-macam Asbabul Wurud al-Hadits

Tentang asbaabul wuruudil hadist, Imam Muhammad Ibn Idris as-Syafi’i atau
lebih dikenal dengan Imam As-Syafi’i, dalam kitabnya Ar-Risaalah
mengingatkan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

Pertama, ada kalanya suatu hadist lahir karena Rasulullah ditanya tentang
sesuatu hal oleh para sahabat. Akan tetapi, dalam periwayatan (transmisi)-nya, si
periwayat tidak menyampaikan hadis tersebut secara sempurna (misalkan, tidak
menyebutkan pertanyaan yang melahirkan jawaban tersebut). Atau, hadist tersebut
hanya diriwayatkan oleh orang yang hanya mendengar atau mengetahui jawaban
Rasulullah tersebut. Namun ia tidak mengetahui masalah atau latarbelakang yang
melatari jawaban Rasulullah pada hadist tersebut.

Kedua, ada kalanya Rasulullah menetapkan suatu ketentuan atas suatu


masalah. Kemudian pada kesempatan lain, menyangkut masalah yang sama,
beliau menetapkan pula suatu ketentuan yang tampaknya berbeda. Akan tetapi,
sebagian orang tidak mengetahui peristiwa yang melatarinya dalam kesempatan
berbeda itu, sehingga mengesankan ada ketidakkonsistensi atau bahkan
pertentangan. Padahal sebenarnya bukanlah demikian.

3
Ibid., hal 54-55
Maka memahami matan hadist dengan memperhatikan asbaabul wuruud-nya,
akan mendapatkan pemahaman yang minimal mendekati apa yang dimaksudkan
Nabi saat mencetuskan hadist tersebut.

D. Contoh-contoh Asbabul Wurud


1. Hadits yang mempunyai sebab disebutkan dalam hadits itu sendiri. Misalnya
hadits tentang al-Quran turun dengan tujuh huruf (dialek).

ِ
‫الِك َع ْن ابْ ِن‬
ٌ ‫َخَبَرنَ ا َم‬
ْ‫فأ‬ ُ ُ‫ – َح َّد َثنَا َعْب ُد اللَّه بْ ُن ي‬2241 )266 ‫ ص‬/ 8 ‫ص حيح البخ اري – (ج‬
َ ‫وس‬
ِ ِ َّ‫ي أَنَّه قَ َال مَسِ عت عمر بن اخْلَط‬ ٍ ِ ٍ ‫ِشه‬
ُ‫اب َرض َي اللَّهُ َعْنه‬ َ ْ ََ ُ ُ ْ ُ ِّ ‫الز َبرْيِ َع ْن َعْبد الرَّمْح َ ِن بْ ِن َعْبد الْ َقا ِر‬
ُّ ‫اب َع ْن عُْر َو َة بْ ِن‬ َ
ِ ُ ‫ان علَى َغ ِ م ا أَْقر ُؤه ا و َك ا َن رس‬
ِ ٍ ِ ِ ‫ول مَسِ ع‬
‫ص لَّى‬
َ ‫ول اللَّه‬ َُ َ َ َ َ ‫ور َة الْ ُف ْرقَ َ رْي‬َ ‫ت ه َش َام بْ َن َحكي ِم بْ ِن ِح َزام َي ْق َرأُ ُس‬
ُ ْ ُ ‫َي ُق‬
‫ول اللَّ ِه‬
َ ‫ت بِِه َر ُس‬ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ
ُ ‫ف مُثَّ لَبَّْبتُهُ بِ ِر َدائه فَجْئ‬ ُ ‫اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم أَْقَرأَن َيها َوك ْد‬
َ ْ‫ت أَ ْن أ َْع َج َل َعلَْيه مُثَّ أ َْم َه ْلتُهُ َحىَّت ان‬
َ ‫صَر‬

َ‫ت َه َذا َي ْقَرأُ َعلَى َغرْيِ َم ا أَْقَرأْتَنِ َيه ا َف َق َال يِل أ َْر ِس ْلهُ مُثَّ قَ َال لَهُ ا ْق َرأْ َف َق َرأ‬ ِ
ُ ‫ت إِيِّن مَس ْع‬
ِ
ُ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َف ُق ْل‬
َ
ِ ٍ ‫قَ َال ه َك َذا أُنْ ِزلَت مُثَّ قَ َال يِل ا ْقرأْ َف َقرأْت َف َق َال ه َك َذا أُنْ ِزلَت إِ َّن الْ ُقرآ َن أُنْ ِز َل علَى سبع ِة أ‬
ُ‫َح ُرف فَا ْقَرءُوا مْن ه‬
ْ َ َْ َ ْ ْ َ ُ َ َ ْ َ
‫َما َتيَ َّسَر‬

Artinya: “Abdullah bin Yusuf telah bercerita kepada saya, Malik telah
menceritakan pada saya dari Ibn Syihab dari Urwah bin Zubair dari Abdur
rahman bin Abdul Qari, dia berkata: “saya mendengar Umar bin Khathab
berkata: “saya mendengar Hisyam bin Hakim bin Hisyam membaca surat al-
Furqan dengan bacaan selain yang telah saya baca, padahal Rasulullah saw
telah nenbacakan pada saya. Hampir saja saya bertindak terhadap Hisyam.
Kemudia saya menunda tindakan saya sampai ia pulang ke rumahnya.
Kemudian saya menyeret lengan bajunya untuk mendatangi Rasulullah saw
bersamanya. Saya berkata pada Rasulullha saw : bahwa saya mendengar
oarng ini membaca ayat yang bukan seperti yang dibacakan Rasulullah.
Kemudian Nabi memerintahkan saya “lepaskan orang tersebut”. Kemudian
Nabi merkata kepada Hisyam :”bacalah”. Hisyam pun membaca. Kemudian
nabi bersabda:”sesungguhmya al-Quran itu diturunkan dengan tujuh huruf
(dialek), maka bacalah mana yang mudah daripadanya”.4

2. Hadits yang sebab tidak disebutkan dalam hadits tersebut tetapi disebutkan
pada jalan (thuruq) hadits yang lain, misalnya : hadits yang menerangkan niat
dan hijrah yang diriwayatkan oleh Umar ra.

ٍِ ُّ ‫َح َّدثَنَا احْلُ َمْي ِد‬


ُّ ‫ي َعْب ُد اللَّ ِه بْ ُن‬
‫َخَب ريِن‬ َ ْ‫الز َبرْيِ قَ َال َح َّدثَنَا ُس ْفيَا ُن قَ َال َح َّدثَنَا حَيْىَي بْ ُن َس عيد اأْل َن‬
ُّ ‫ص ا ِر‬
َ ْ ‫ي قَ َال أ‬
ِ ِ َّ‫ول مَسِ عت عم ر بن اخْلَط‬ ِ ٍ َّ‫حُم َّم ُد بن إِب ر ِاهيم التَّي ِمي أَنَّه مَسِ ع ع ْل َقم ةَ بن وق‬
ُ‫اب َرض َي اللَّهُ َعْن ه‬ َ ْ َ َ ُ ُ ْ ُ ‫اص اللَّْيث َّي َي ُق‬ َ َ ْ َ َ َ ُ ُّ ْ َ َ ْ ُ ْ َ
‫ات َوإِمَّنَا لِ ُك ِّل ْام ِر ٍئ َم ا‬
ِ َّ‫الني‬
ِّ ِ‫ال ب‬ ُ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم َي ُق‬
ُ ‫ول إِمَّنَا اأْل َْع َم‬ ِ َ ‫علَى الْ ِمْن ِ قَ َال مَسِ عت رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ َُ ُ ْ ‫رَب‬ َ
‫اجَر إِلَْي ِه‬ ِ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ َ‫نَوى فَمن َكان‬
َ ‫ت ه ْجَرتُهُ إىَل ُد ْنيَا يُص ُيب َها أ َْو إىَل ْامَرأَة َيْنك ُح َها فَ ِه ْجَرتُهُ إىَل َما َه‬
ْ َْ َ

Artinya: “Saya mendengar Umar bin Khatthab berkata di atas mimbar:


“saya mendengar Rasulullah saw bersabda: ”Sesungguhnya amal-amal
perbuatan itu hanyalah menurut niatnya masing-masing. Maka barang siapa
yang hijrahnya karena untuk mendapatkan keduniaan atau perempuan yang
bakal dinikahinya, maka hijrahnya itu hanya kepada apa yang diniatkannya
saja.”.

Namun ada pula matan hadits yang timbul tanpa Sabab al Wurud atau timbul
dengan sendirinya. Sebagaimana contoh:

:‫ات َي ْوٍم‬
َ َ‫ص ا ِرذ‬
ِ ِ
َ ْ‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم قَ َال لألَن‬
ِ َّ ‫صا ِرى َر ِض ى اهللُ َعْن هُ أ‬
َ ‫َن َر ُس ْو َل اهلل‬
ٍ
َ ْ‫َع ْن َع ْمرو بْ ِن َع ْوف اْألَن‬
ُّ ‫َخ َش ى أَ ْن ُتْب َس َط‬
‫الد ْنيَـا َعلَْي ُك ْم َك َم ا‬ ِ ِ ِ
ْ ‫ َولَكىِّن أ‬، ‫َخ َش ى َعلَْي ُك ْم‬
ْ ‫ َف َواهلل َم ا الْ َف ْق ُر أ‬، ‫أَبْش ُروا َوأ َِّمـلُوا َمايَ ُس ُّر ُك ْم‬
‫(مَّت َف ٌق َعلَْيه‬ ِ ِ
ُ .‫ َفُت ْهل ُك ُك ْم َك َما أ َْهلَ َكْت ُه ْم‬، ‫وها‬
َ ‫ َفَتنَـافَ ُسوا َك َما َتنَـافَ ُس‬، ‫ت َعلَى َم ْن َكا َن َقْبلَ ُك ْم‬
ْ َ‫بُسط‬

Artinya: Dari ‘Amru Bin ‘Auf Al Anshary, sesungguhnya Rasulullah SAW


bersabda kepada orang-orang Anshar pada suatu hari: Bergembiralah kamu
sekalian, nescaya kamu akan mendapati apa yang kamu inginkan; Demi
4
http://sepharonaldo.blogspot.com/2010/05/asbabul-wurud-al-hadits.html?
zx=9d5909e453344ff2, diakses 28 September 2019
Allah, bukanlah kefakiran yang lebih aku takuti (menimpa) kamu, tetapi aku
takut (kalau) dunia ini dibentangkan keatas kamu (diberi kekayaan dan
dimurahkan rezeki) sebagaimana dia telah dibentangkan keatas orang-orang
sebelum kamu; maka kamupun berlumba-lumba (mencari) nya dunia)
sebagaimana mereka berlumba-lumba dengannya, lalu duniapun
memusnahkan kamu sebagaimana dia memusnahkan mereka. (Muttafaq
‘Alaihi)5

5
http://sepharonaldo.blogspot.com/2010/05/asbabul-wurud-al-hadits.html?
zx=9d5909e453344ff2, diakses 28 September 2019

Anda mungkin juga menyukai