Anda di halaman 1dari 1

IGNORANSI DALAM PENCEGAHAN PANDEMI

Dari Kacamata Sosiologi

Hari ini di beberapa kota, termasuk di Kota Medan


kehidupan sepertinya masih berjalan seperti biasa.
Jalanan masih ramai, beberapa rumah makan dan kedai
kopi masih juga tak sepi. Apakah ini ada kaitannya
dengan tingginya ignoransi masyarakat? Atau jangan-
jangan orang-orang yang sudah berdiam diri dirumah
yang dianggap terlalu khawatir dan aware berlebihan?
Bisa ya, bisa juga tidak. Namun ditengah ancaman
penyebaran virus Covid-19 yang semakin tinggi dan
jatuhnya ribuan korban di berbagai negara, sudah
sepantasnya antisipasi dalam bentuk tindakan-tindakan
rasional harus dilakukan.

Pertanyaan penting yang perlu diajukan adalah,


mengapa informasi yang telah disampaikan dan bisa di
akses dari berbagai sumber seperti tidak membekas dan
jadi hiasan di layar-layar televisi dan telepon pintar
masyarakat? Apakah sudah sebegitu parahnya tingkat
ignorancy masyarakat kita?

Ignorancy sendiri sebenarnya berakar dari ketiadaan atau minimnya pengetahuan. Teori dan definisi klasik itu
mungkin ada benarnya. Tapi jika dilihat dari banjirnya informasi tentang resiko virus ini, tidaklah mungkin
pengetahuan mereka sama sekali nol tentang pandemi ini. Namun jika dianalisis secara Sosiologis, Ignorancy ini
tidak hanya lahir dari minimnya informasi dan pengetahuan. Informasi dan pengetahuan yang cukup tidak serta-
merta ditindaklanjuti dengan tindakan rasional sesuai dengan fakta. Pengetahuan yang meluncur dari berbagai
media informasi akan menjadi tidak ada guna nya jika menjadi sebuah persepsi yang di konstruksi secara sosial
(social constructed). Informasi dan pengetahuan tersebut kemudian diterjemahkan kembali oleh individu atau
masyarakat dari sisi benar atau tidaknya berdasarkan konsensus yang di negosiasikan (negotiated social
consensus). Ketika informasi dan pengetahuan tersebut harus di reproduksi kembali, di negosiasikan kembali di
masyarakat, maka ia akan berubah menjadi persepsi. Dan sialnya, persepsi sangarlah relatif.

Jika sudah pada posisi ini, individu dan masyarakat akan menganggap pengetahuan bersifat reviseable yang
mendistorsi pengetahuan. Sebanyak apapun informasi dan pengetahuan yang dilepas ke masyarakat, maka akan
diterjemahkan dan direproduksi secara berbeda, bahkan dibumbui dengan sikap emosional yang cenderung
irrasional. Mungkin banyak masyarakat yang tidak merasakan ini ketika tidak mengambil sikap dan tindakan
berdiam diri di rumah beserta keluarga. Mereka menerjemahkan kembali informasi yang ada, me-negosiasikan dan
membangun konsensus antar sesama atas dasar kebutuhan, kepentingan, emosi dan faktor lain yang mereka
terjemahkan sendiri.

Tentu tak bisa menyalahkan total masyarakat hingga menjadi sangat ignorant. Mungkin sebelumnya mereka punya
pengalaman masa lalu yang menganggap sikap dan persepsi sendiri lebih dipercaya daripada yang mereka peroleh
dari berbagai media informasi. Pengambil kebijakan tentu tak bisa moderat terhadap sikap ignorant seperti itu,
karena ancaman yang ditimbulkan juga akan terjadi pada orang-orang yang sudah mengambil sikap rasional
dengan informasi dan pengetahuan yang mereka dapat. Mulai sekarang, jujurlah dalam memberi informasi agar
masyarakat tidak membangun konsensus sendiri atas pengetahuan dan informasi dan meminimalisir masyarakat
yang masuk kategori ignorant. Sedangkan dalam waktu yang pendek ini, mau tidak mau pemerintah harus lebih
tegas dan akurat dalam menyebarkan informasi, agar persepsi dan konsensus liar tidak semakin berkembang. (Tua
H)

Anda mungkin juga menyukai