Anda di halaman 1dari 59

KKN PROFESI ANGKATAN 59

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
Makassar, 10 Desember 2017

LAPORAN MINI CASE


DIABETES MELITUS DAN DEMAM TIFOID

OLEH :
Fifi Alfiah
110 2014 0020

Supervisi/ Dokter Pembimbing Klinik:


dr. Ida Royani, M.Kes / dr. Erna Mempron, M.M

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2017

1
BAB I

LAPORAN KASUS NON INFEKSI

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. N
Umur : 34 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Makassar dan Bugis
Pekerjaan : IRT
Alamat : Jl. Tamangapa
Tanggal Periksa : 21 November 2017
Waktu : 09:15
Nama PKM : Puskesmas Tamangapa
No.Register : 01-01-672
dr.Jaga : dr. E

ANAMNESIS

Keluhan Utama : Gatal seluruh badan

Anamnesis Terpimpin :

Gatal dialami sejak sehari sebelum ke Puskesmas. Gatal dialami pada


seluruh badan. Gatal tidak dibatasi oleh waktu, baik pagi, siang maupun
malam. Gejala lain yang menyertai adalah kesemutan dan keram-keram pada
kaki yang dirasakan hilang timbul. 3 tahun yang lalu pasien merasa berat
badannya turun meskipun banyak makan. Namun setelah pengobatan berat
badannya mulai naik kembali. Sering lapar (-), sering kencing (-), sering haus
(+). Penglihatan kabur (-), nyeri kepala (-), pusing (-), mual (-), muntah (-).

BAB : Biasa, lancar


BAK : warna kuning, lancar

2
Riwayat penyakit sebelumnya :
- Riwayat DM tipe II sejak 3 tahun yang lalu, yang terdiagnosis saat pasien
melakukan operasi kista ovarium.
- Operasi kista Ovarium 3 tahun yang lalu
Riwayat Pengobatan
- Riwayat pengobatan teratur (+) minum obat metformin dan glibenklamid
Riwayat Kebiasaan
- Mengonsumsi roti dan minum kopi
- Setelah terdiagnosis Diabetes Melitus rutin olahraga dan menjaga pola
makan
Riwayat Keluarga
- Keluarga dengan penyakit yang sama (+) ayah meninggal dengan penyakit
DM, Ibu telah melakukan operasi kaki diabetik.
B. PEMERIKSAAN FISIS
Status Generalis : Sakit sedang/ Gizi lebih / Compos mentis
GCS 15 (E4M6V5)
BB = 60 kg
TB = 151,3 cm
IMT = 26,2 kg/m2 , Status gizi : Obesitas 1
Status Vitalis : T = 100/70 mmHg (Hipotensi)
N = 80x/menit, irreguler
P = 24x/menit
S = 37ºC Axilla
Kepala : Bentuk = Mesocephal
Ukuran = Normocephal
Rambut kering (-)
Massa tumor (-)
Mata : Konjunctiva anemis (-/-), sclera ikterus (-/-)
Hidung : Rhinore (-), Deviasi septum (-)
Telinga : Otore (-)
Bibir : Stomatitis (-), Bibir kering (-)

3
Mulut : Lidah kotor (-)
Leher : Pembesaran kelenjar (-), Deviasi trakea (-), Massa tumor (-),
DVS (-)
Thorax : I = Normochest, Simetris (kanan=kiri), penggunaan otot bantu
pernapasan(-)
P = Nyeri tekan (-), Massa tumor (-), Krepitasi (-), vocal fremitus
(kanan=kiri)
P = Sonor (kanan=kiri)
Batas paru hepar = ICS 5 anterior dextra

A = Bunyi pernapasan = vesikuler


Bunyi pernapasan tambahan (-)

Rhonki Wheezing

Jantung : I = Ictus cordis tidak tampak

P = Ictus cordis tidak teraba

P = Pekak relatif

Batas atas kanan = ICS II parasternal dextra

Batas atas kiri = ICS II parasternal sinistra

Batas kanan bawah = ICS V linea parasternalis dextra

Batas kiri bawah = ICS V linea medio clavicularis

A = Bunyi jantung I/II murni reguler, bising jantung (-)

Abdomen : I = Datar, mengikuti gerak napas

A = Peristaltik (+), kesan normal

4
P = Nyeri tekan (-), massa tumor (-), hepar tidak teraba, lien
tidak teraba

P = Tympani (+), asites (-)

Ekstremitas : Edema -/-, deformitas -/-, fraktur -/-

C. RESUME
Pasien datang ke Puskesmas dengan keluhan pruritus pada seluruh badan
yang dialami sejak kemarin. Pruritus tidak dibatasi oleh waktu, baik pagi,
siang maupun malam. Gejala lain yang menyertai adalah parestesia pada
os.pedis yang dirasakan hilang timbul. 3 tahun yang lalu pasien merasa berat
badannya turun meskipun banyak makan. Namun setelah pengobatan berat
badannya mulai naik kembali. Sering haus (+). Riwayat Diabetes Melitus tipe
II sejak 3 tahun yang lalu, yang terdiagnosis saat pasien melakukan operasi
kista ovarium. Riwayat pengobatan teratur (+) minum obat metformin dan
glibenklamid. Riwayat makan roti (+). Setelah terdiagnosis Diabetes Melitus,
rutin olahraga dan menjaga pola makan. Keluarga dengan penyakit yang sama
(+), ayah meninggal dengan penyakit Diabetes Melitus dan Ibu telah
melakukan operasi kaki diabetik.
Pada pemeriksaan status generalis dan vitalis didapatkan: Sakit sedang,
Gizi lebih, composmentis, BB : 60 kg, TB : 151,3 cm, IMT : 26,2 kg/m 2
(Obesitas I). Dari pemeriksaan fisis didapatkan Tekanan darah: 100/70
mmHg, Nadi : 80 x/menit irregular, Pernapasan : 24x/menit, Suhu: 37ºC.
D. DIAGNOSIS

Diabetes Melitus Tipe II

E. DIAGNOSIS BANDING

Diabetes Melitus Tipe I

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium : GDP = 160 mg/dl

5
G. RENCANA TERAPI
 Non farmakologi: Diet sehat dengan makanan rendah glukosa dan tinggi
serat, olahraga secara rutin 3-4 kali seminggu selama ±30 menit, minum
obat secara teratur, serta rutin melakukan tes dan check up.
 Farmakologi:
1. Metformin 1x500 mg/hari
2. Glimepiride 1x2 mg/hari
3. Loratadine 1x10 mg/hari
4. Ketokonazole salep 10 mg
H. PROGNOSIS
Qua ed vitam : Dubia ad Bonam
Qua ed sanationem : Dubia
Qua ed funcionam : Dubia

6
LAMPIRAN DOKUMENTASI

7
LAMPIRAN REKAM MEDIK

8
BAB 11

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes
melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,
atau kedua-duanya.1

B. Epidemiologi
Diantara penyakit degeneratif, diabetes adalah salah satu penyakit tidak
menular yang akan meningkat jumlahnya di masa mendatang. Diabetes sudah
merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad
21. Data terakhir dari WHO menunjukkan justru peningkatan tertinggi jumlah
pasien diabetes malah di Negara Asia Tenggara termasuk Indonesia.2
Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di
Indonesia, kekerapan diabetes di Indonesia berkisar anatara1,4 dengan 1,6%.
Jumlah pasien diabetes dalam jangka waktu 30 tahun penduduk Indonesia akan
naik sebesar 40% dengan peningkatan jumlah pasien diabetes yang jauh lebih
besar yaitu 86-138%, yang disebabkan oleh karena:2
 Faktor demografi: 1) jumlah penduduk meningkat, 2) penduduk usia lanjut
bertambah banyak, 3) urbanisasi makin tak terkendali.
 Gaya hidup yang ke barat-baratan: 1) penghasilan per kapita tinggi, 2)
restoran siap santap, 3) teknologi canggih menimbulkan sedentary life,
kurang gerak badan.
 Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi
 Meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes menjadi
lebih panjang.

9
C. Klasifikasi
Klasifikasi DM dapat dilihat pada tabel berikut: 1

D. Etiologi

Penyebab DM Tipe II antara lain:3

1. Penurunan fungsi cell β pancreas


Penurunan fungsi cell β disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
a) Glukotoksisitas
Kadar glukosa darah yang berlangsung lama akan menyebabkan
peningkatan stress oksidatif, IL-1b, dan NF-kB dengan akibat peningkatan
apoptosis sel β.
b) Lipotoksisitas
Peningkatan asam lemak bebas yang berasal dari jaringan adiposa dalam
lipolisis akan mengalami metabolisme non oksidatif menjadi ceramide
yang toksik terhadap sel beta sehingga terjadi apoptosis.
c) Penumpukan amyloid

10
Pada keadaan resistensi insulin, kerja insulin dihambat sehingga kadar
glukosa darah akan meningkat, karena itu sel beta akan berusaha
mengkompensasinya dengan meningkatkan sekresi insulin hingga terjadi
hiperinsulinemia. Peningkatan sekresi insulin juga di ikuti dengan sekresi
amylin dari sel beta yang akan ditumpuk disekitar sel beta hingga menjadi
jaringan amyloid dan akan mendesak sel beta itu sendiri sehingga akhirnya
jumlah sel beta dalam pulau Langerhans menjadi berkurang. Pada DM
Tipe II jumlah sel beta berkurang sampai 50-60%.
d) Efek inkretin
Inkretin memiliki efek langsung terhadap sel beta dengan cara
meningkatkan proliferasi sel beta, meningkatkan sekresi insulin dan
mengurangi apoptosis sel beta.
e) Usia
Diabtes tipe II biasanya terjadi setelah usia 30 tahun dan semakin sering
terjadi setelah usia 40 tahun, selanjutnya terus meningkat pada usia lanjut.
Usia lanjut yang mengalami gangguan toleransi glukosa mencapai 50-
92%. Proses menua yang berlangsung setelah usia 30 tahun
mengakibatkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia. Perubahan
dimulai dari tingkat sel, berlanjut pada tingkat jaringan dan akhirnya pada
tingkat organ yang dapat mempengaruhi fungsi homeostasis. Komponen
tubuh yang mengalami perubahan adalah sel beta pankreas yang
menghasilkan hormon insulin, sel-sel jaringan target yang menghasilkan
glukosa,system saraf, dan hormon lain yang mempengaruhi kadar glukosa.
f) Genetik
2. Retensi insulin
Penyebab retensi insulin pada DM tipe II sebenarnya tidak begitu jelas,
tetapi faktor-faktor berikut ini banyak berperan:
a) Obesitas
Obesitas menyebabkan respon sel beta pankreas terhadap glukosa darah
berkurang, selain itu reseptor insulin pada sel diseluruh tubuh termasuk di
otot berkurang jumlah dan keaktifannya kurang sensitif.

11
b) Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
c) Kurang gerak badan
d) Faktor keturunan
e) Stress
Reaksi pertama dari respon stress adalah terjadinya sekresi system saraf
simpatis yang di ikuti oleh sekresi simpatis adrenal medular dan bila stress
menetap maka sistem hipotalamus pituitari akan diaktifkan.
E. Patomekanisme

Patogenesis diabetes mellitus tipe II ditandai dengan adanya resistensi


insulin perifer, gangguan “hepatic glucose production (HGP)”, dan penurunan
fungsi sel β, yang akhirnya akan menuju ke ekrusakan total sel β. Mula-mula
timbul resistensi insulin yang kemudian disusul oleh peningkatan sekresi
insulin untuk mengkompensasi retensi insulin itu agar kadar glukosa darah
tetap normal. Lama-kelamaan sel β tidak akan sanggup lagi mengkompensasi
retensi insulin hingga kadar glukosa darah meningkat dan fungsi sel β makin
menurun, saat itulah diagnosis diabetes ditegakkan. Penurunan fungsi sel β itu
berlangsung secara progresif sampai akhirnya sama sekali tidak mampu lagi
mensekresi insulin.2

Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah uatama yang berhubungan


dengan insulin, yaitu: resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin.
Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel.
Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu
rangkaian reaksi dalam metabolism glukosa di dalam sel. Resistensi insulin
pada diabetes mellitus tipe II disertai dengan penurunan reaksi intra sel ini.
Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi
pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan
mencegah terbentuknya glukagon dalam darah harus terdapat peningkatan
jumlah insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu,
keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa
akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun

12
demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan
akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes mellitus
tipe II. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas
diabetes mellitus tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang
adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang
menyertainya.2

Pada keadaan tertentu glukosa dapat meningkat sampai dengan 1200


mg/dl, hal ini dapat menyebabkan dehidrasi pada sel yang disebabkan oleh
ketidakmampuan glukosa berdifusi melalui membran sel, hal ini akan
merangsang osmotik reseptor yang akan meningkatkan volume ektrasel
sehingga mengakibatkan peningkatan osmolalitas sel yang akan merangsang
hypothalamus untuk mensekresi ADH dan merangsang pusat haus di bagian
lateral (polidipsi). Penurunan volume cairan intrasel merangsang volume
reseptor di hypothalamus menekan sekresi ADH sehingga terjadi diuresis
osmosis yang akan mempercepat pengisian vesika urinaria dan akan
merangsang keinginan berkemih (poliuria). Penurunan transport glukosa
kedalam sel menyebabkan sel kekurangan glukosa untuk proses metabolisme
sehingga mengakibatkan starvasi sel. Penurunan penggunaan dan aktivitas
glukosa dalam sel akan merangsang pusat makan dibagian lateral
hypothalamus sehingga timbul peningkatan rasa lapar (polifagia).2

Pada diabetes mellitus yang telah lama dan tidak terkontrol, bisa terjadi
aterosklerosis pada arteri yang besar, penebalan membrane kapiler di seluruh
tubuh, dan degenerative pada saraf perifer. Hal ini dapat mengarah pada
komplikasi lain seperti thrombosis coroner, stroke, gangren pada kaki,
kebutaan, gagal ginjal dan neuropati.2

F. Faktor Resiko
Faktor risiko diabetes sama dengan faktor risiko untuk intoleransi
glukosa yaitu :1

Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi :

13
 Ras dan etnik

 Riwayat keluarga dengan diabetes (anak penyandang diabetes)

 Umur.Risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring


dengan meningkatnya usia. Usia > 45 tahun harus dilakukan
pemeriksaan DM.

 Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi>4000 gram atau


riwayat pernah menderita DM gestasional (DMG).

 Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg.

Bayi yang lahir dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih


tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan BB normal.

Faktor risiko yang bisa dimodifikasi :

 Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m2).

 Kurangnya aktivitas fisik.

 Hipertensi (> 140/90 mmHg).


 Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL)

 Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat
akan meningkatkan risiko menderita prediabe- tes/intoleransi glukosa
dan DM tipe 2.

Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes :

 Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain


yang terkait dengan resistensi insulin

 Penderita sindrom metabolik memiliki riwayat toleransi glu- kosa


terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT)
sebelumnya. Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke,
PJK, atau PAD (Peripheral Arterial Diseases).1

G. Gejala Klinik
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Gejala yang
dikeluhkan pada pasien diabetes mellitus berupa:1
1) Keluhan klasik DM: poliuria, polifagia, polydipsia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan masukkan.

14
2) Keluahn lain, dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulva pada wanita.

H. Pemeriksaan Fisis
Keadaan umum adalah paling pertama kita perhatikan dalam pemeriksaan
fisis. Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan tanda-tanda vital, yaitu
tekanan darah, suhu tubuh, frekuensi nadi, dan frekuensi pernafasan. Inspeksi
didahului pada daerah tungkai bawah yaitu melihat apakah terdapat luka atau
ulkus, lalu dilanjutkan inspeksi keseluruh bagian tubuh untuk melihat tanda-
tanda dan dehidrasi akibat hiperglikemia. Perhatikan juga apakah terdapat
tanda takipnea atau pernapasan kusmaull. Selain itu pemeriksaan juga
dilakukan pada mata yaitu pemeriksaaan ketajaman penglihatan dan respon
pupil mata. Pada pemeriksaan tungkai bawah juga penting untuk mendeteksi
apakah terdapat neuropati dengan tes raba halus menggunakan monofilament
dan tes ulang fisiologis. Palpasi juga dapat dilakukan untuk meraba adanya
pulsasi terutama pada tungkai bawah.4
Pada pemeriksaan fisis dicari tanda penyakit penyerta/komplikasi
diantaranya hipertensi, kardiomegali, infeksi paru, udem, kulit kering, dan
gangguan pulsasi PD.5
I. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk DM sebagai berikut:1
1) Glukosa darah sewaktu
2) Glukosa darah puasa
3) Uji toleransi glukosa oral
Tes ini digunakan untuk menetukan status pre DM, namun tidak
dibutuhkan untuk penapisan dan tidak sebaiknya dilakukan pada pasien
dengan manifestasi klinis diabetes dan hiperglikemia.
4) Pemeriksaan HbA1C
J. Diagnosis
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:1

15
1) Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma
sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegak- kan diagnosis DM

2) Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya


keluhan klasik

3) Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75


g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan
glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan
tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam
praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.

Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa dapat


dilihat pada bagan1. Kriteria diagnosis DM untuk dewasa tidak hamil dapat
dilihat pada tabel-1. Apabila hasil pe- meriksaan tidak memenuhi kriteria
normal atau DM, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat
digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau
glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO


didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL
(7,8-11,0 mmol/L).

2. GDPT:Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa


plasma puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6 – 6,9 mmol/L)
dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam <140 mg/dL.

16
Tabel 1. Kriteria diagnosis DM 1

1.Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11,1


mmol/L) Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan
sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir

2. Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7.0


mmol/L) Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan
sedikitnya 8 jam

3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban
glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke
dalam air.

* Pemeriksaan HbA1c (>6.5%) oleh ADA 2011 sudah


dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis DM, jika
dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandardisasi.

17
K. Pengobatan

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas


hidup penyandang diabetes. Adapun Pilar penatalaksanaan DM, yaitu:1

1. Edukasi

2. Terapi gizi medis

3. Latihan jasmani

4. Intervensi farmakologis

Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani


selama beberapa waktu (24 minggu). Apa bila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat
hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu,
OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai
indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya
ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan
adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.

1. Edukasi

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes
memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim
kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat.
Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang
komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Berbagai hal tentang

18
edukasi dibahas lebih mendalam di bagian promosi perilaku sehat di
halaman.

Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan


gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien.
Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah
mendapat pelatihan khusus

2. Terapi gizi medis

- Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penata laksanaan


diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan
secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan
yang lain serta pasien dan keluarganya).
- Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi.
- Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama
dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masingmasing
individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya
keteraturan ma kan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah
makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun
glukosa darah atau insulin.

Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:

 Karbohidrat

 Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 4565% total asupan energi.

 Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.

 Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbo hidrat


dalam sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah
atau makanan lain sebagai bagian dari kebu tuhan kalori sehari.

19
 Lemak

 Asupan lemak dianjurkan sekitar 2025% kebutuhan kalori.

 Tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.

 Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak


mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak
dan susu penuh (whole milk).

 Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari.

 Protein

 Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.

 Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang cumi,dll),


daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak,
kacang-kacangan, tahu, dan tempe.

 Natrium

 Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan


anjuran untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau
sama dengan 6-7 gram (1 sendok teh) garam dapur.

 Serat

 Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes di- anjurkan


mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran
serta sumber karbohidrat yang tinggi se- rat, karena mengandung
vitamin, mineral, serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.

 Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari.

3. Latihan jasmani

20
Kegiatan jasmani seharihari dan latihan jasmani secara teratur (34 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), meru pakan salah satu pilar
dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan seharihari seperti berjalan kaki ke
pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan
jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat
badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki
kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang di anjurkan berupa latihan
jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai,
jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan
umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat,
intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah
mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup
yang kurang gerak atau bermalasmalasaan.

4. Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan
dan latihan jasmani (gaya hidup sehat).

Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.

1.) Obat hipoglikemik oral

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:

A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan


glinid

B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan


tiazolidindion

C. Penghambat glukoneogenesis (metformin)

D. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.

E. DPPIV inhibitor

21
Perbandingan Golongan OHO1
Cara kerja Efek Reduk Keuntungan Kerugian
samping si
utama
Sulfonilurea Meningkatkan BB naik, 1,0-2,0% Sangat efektif Meningkatkan berat
sekresi insulin hipoglikem badan, hipoglikemia
ia (glibenklamid dan
klorpropamid)
Glinid Meningkatkan BB naik, 0,5-1,5% Sangat efektif Meningkatkan berat
sekresi insulin hipoglikem badan,
ia pemberian3x/hari,
harganya mahal dan
hipoglikemia
Metformin Menekan produksi Dispepsia, 1,0-2,0% Tidak ada kaitan Efek samping
glukosa hati & diare, dengan berat badan gastrointestinal,
menambah asidosis kontraindikasi pada
sensitifitas terhadap laktat insufisiensi renal
insulin
Penghambat Menghambat Flatulens, 0.,5-0,8% Tidak ada kaitan Sering menimbulkan
glukosidase- absorpsi tinja dengan berat badan efek
alfa glukosa lembek gastrointestinal, 3x/hari
dan mahal
Tiazolidindion Menambah Edema 0,5-1,4% Memperbaiki profil Retensi cairan,
sensitifitas terhadap lipid (pioglitazon), CHF,fraktur, berpotensi
insulin berpotensi menimbulkan infark
menurunkan infark miokard, dan mahal
miokard
(pioglitazon)
DPP-4 Meningkatkan Sebah, 0,5-0,8% Tidak ada kaitan Penggunaan jangka
inhibitor sekresi insulin, muntah dengan berat badan panjang tidak
menghambat sekresi disarankan, mahal
glukagon

22
Inkretin Meningkatkan Sebah, 0,5-1,0% Penurunan berat Injeksi 2x/hari,
analog/mimeti sekresi insulin, muntah badan penggunaan jangka
k menghambat sekresi panjang tidak disarankan,
glukagon dan mahal
Insulin Menekan Hipoglikemi 1,5-3,5% Dosis tidak terbatas, Injeksi 1-4 kali/hari,
produksi glukosa , BB naik memperbaiki profil harus
hati, stimulasi lipid dan sangat dimonitor,
pemanfaatan efektif meningkatkan berat
glukosa badan, hipoglikemia
dan analognya mahal

23
L. Komplikasi
 Penyulit akut1

1. Ketoasidosis diabetik (KAD)

Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan


kadar glukosa darah yang tinggi (300600 mg/dL), disertai dengan adanya
tanda dan gejala asidosis dan plasma keton(+) kuat. Osmolaritas plasma
meningkat (300320 mOs/ mL) dan terjadi peningkatan anion gap

2. Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH)

Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-
1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, os molaritas plasma sangat
meningkat (330380 mOs/mL), plasma keton (+/), anion gap normal atau
sedikit meningkat.

3. Hipoglikemia

Hipoglikemia dan cara mengatasinya:

 Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60


mg/dL

 Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus


selalu dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia
paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin.

 Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar-debar,


banyak keringat, gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik
(pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma).

 Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai.


Bagi pasien dengan kesadaran yang masih baik, diberikan makanan
yang mengandung karbohidrat atau mi- numan yang mengandung gula
berkalori atau glukosa 15-20 gram melalui intra vena. Perlu dilakukan

24
pemeriksaan ulang glukosa darah 15 menit setelah pemberian glukosa.
Gluk- agon diberikan pada pasien dengan hipoglikemia berat.

 Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat


diberikan glukosa 40% intravena terlebih dahulu sebagai tindakan
darurat, sebelum dapat dipastikan penyebab menurunnya kesadaran.

 Penyulit menahun1

1. Makroangiopati

 Pembuluh darah jantung

 Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer sering terjadi pada


penyandang diabetes. Biasanya terjadi dengan ge- jala tipikal
claudicatio intermittent, meskipun sering tanpa gejala. Terkadang ulkus
iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.

 Pembuluh darah otak

2. Mikroangiopati:

 Retinopati diabetik

 Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan me- ngurangi risiko
dan memberatnya retinopati. Terapi aspi- rin tidak mencegah timbulnya
retinopati

 Nefropati diabetik

 Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko
nefropati

25
 Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kgBB) juga akan
mengurangi risiko terjadinya nefropati

3. Neuropati

 Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer,


berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus
kaki dan amputasi.

 Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar


sendiri, dan lebih terasa sakit di malam hari.

 Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan


skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan
pemeriksaan neurologi sederhana, dengan monofilamen 10 gram
sedikitnya setiap tahun.

 Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan duloxetine, antidepresan


trisiklik, atau gabapentin.

 Semua penyandang diabetes yang disertai neuropati perifer harus


diberikan edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki.
Untuk penatalaksanaan penyulit ini seringkali diperlukan kerja sama
dengan bidang/disiplin ilmu lain.

M. Pencegahan
1) Pencegahan Primer
Sasaran pencegahan primer:

Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang


memiliki faktor risiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi
berpotensi untuk mendapat DM dan kelompok intoleransi glukosa.

Materi pencegahan primer

26
Materi pencegahan primer terdiri dari tindakan penyuluhan dan
pengeloaan yang ditujukan untuk kelompok masyarakat yang
mempunyai risiko tinggi dan intoleransi glukosa.

Materi penyuluhan meliputi antara lain:

1. Program penurunan berat badan. Pada seseorang yang mempunyai


risiko diabetes dan mempunyai berat badan lebih, penurunan berat
badan merupakan cara utama untuk menurunkan risiko terkena DM tipe
2 atau intoleransi glukosa. Beberapa penelitian menunjukkan
penurunan berat badan 5-10% dapat mencegah atau memperlambat
munculnya DM tipe 2.

2. Diet sehat.

 Dianjurkan diberikan pada setiap orang yang mempunyai risiko.

 Jumlah asupan kalori ditujukan untuk mencapai berat ba- dan ideal.

 Karbohidrat kompleks merupakan pilihan dan diberikan secara terbagi


dan seimbang sehingga tidak menimbulkan puncak (peak) glukosa darah
yang tinggi setelah makan.

 Mengandung sedikit lemak jenuh, dan tinggi serat larut.


3. Latihan jasmani.

 Latihan jasmani teratur dapat memperbaiki kendali glukosa darah,


mempertahankan atau menurunkan berat badan, serta dapat
meningkatkan kadar kolesterol HDL.

 Latihan jasmani yang dianjurkan: Dikerjakan sedikitnya selama 150


menit/minggu dengan latihan aerobik sedang (mencapai 50-70% denyut
jantung maksimal), atau 90 menit/minggu dengan latihan aerobik berat

27
(mencapai denyutjantung>70% maksimal). Latihan jasmani dibagi
menjadi 3-4 x aktivitas/minggu.

4. Menghentikan merokok.

Merokok merupakan salah satu risiko timbulnya gangguan


kardiovaskular. Meskipun merokok tidak berkaitan langsung dengan
timbulnya intoleransi glukosa, tetapi merokok dapat memperberat
komplikasi kardiovaskular dari intoleransi glukosa dan DM tipe2

2) Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat


timbulnya penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Dilakukan
dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini
penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Dalam upaya pencegahan
sekunder program penyuluhan memegang peran penting untuk
meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani program pengobatan
dan dalam menuju perilaku sehat.

Untuk pencegahan sekunder ditujukan terutama pada pasien baru.


Penyuluhan dilakukan sejak pertemuan pertama dan perlu selalu diulang
pada setiap kesempatan pertemuan berikutnya. Salah satu penyulit DM
yang sering terjadi adalah penyakit kardiovaskular, yang merupakan
penyebab utama kematian pada penyandang diabetes. Selain pengobatan
terhadap tingginya kadar glukosa darah, pengendalian berat badan,
tekanan darah, profil lipid dalam darah serta pemberian antiplatelet dapat
menurunkan risiko timbulnya kelainan kardiovaskular pada penyandang
diabetes.

3) Pencegahan Tersier

 Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyan- dang


diabetes yang telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah
terjadinya kecacatan lebih lanjut

28
 Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin,

sebelum kecacatan menetap. Sebagai contoh aspirin dosis rendah (80-325


mg/hari) dapat diberikan secara rutin bagi penyandang diabetes yang
sudah mempunyai penyulit

makroangiopati.

 Pada upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada


pasien dan keluarga. Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi
yang dapat dilakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal.

Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan holistik dan


terintegrasi antar disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit rujukan.
Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai disiplin (jantung dan
ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi
medis, gizi, podiatris, dll.) sangat diperlu kan dalam menunjang
keberhasilan pencegahan tersier

N. Prognosis
Umumnya adalah dubia. Karena penyakit ini adalah penyakit kronis, quo
ad vitam umunya adalah dubia ad bonam, namun quo ad fungsionam dan
sanatiomnya adalah dubia ad malam.6

29
PEMBAHASAN

Pasien datang dengan keluhan gatal pada seluruh badan yang dialami sejak
kemarin. Gatal tidak dibatasi oleh waktu, baik pagi, siang maupun malam. Gejala
lain yang menyertai adalah kesemutan dan keram-keram pada daerah kaki yang
dirasakan hilang timbul. Gejala yang dialami pasien merupakan gejala klinis
selain gejala klasik pada penderita Diabetes Melitus, yang dapat disebabkan
karena peningkatan kadar glukosa darah. 3 tahun yang lalu pasien merasa berat
badannya turun meskipun banyak makan, namun setelah pengobatan berat
badannya mulai naik kembali, dan sering merasa haus/polidipsia. Keluhan yang
dialami pasien menunjukkan gejala klasik dari Diabetes Melitus yang disebabkan
karena peningkatan kadar glukosa darah yang nantinya akan merangsang pusat
haus di lateral.
Riwayat Diabetes Melitus tipe II sejak 3 tahun yang lalu, pengobatan teratur
minum obat metformin dan glibenklamid, makan roti, dan setelah terdiagnosis
Diabetes Melitus rutin olahraga dan menjaga pola makan, yang berarti pasien
telah mengetahui dan menyadari bagaimana cara penatalaksanaan bagi
penyandang Diabetes Melitus. Riwayat keluarga dengan penyakit yang sama,

30
yaitu ayah meninggal dengan penyakit DM dan Ibu telah melakukan operasi kaki
diabetik, IMT : 26,2 kg/m2 (Obes I), merupakan faktor-faktor resiko dari Diabetes
mellitus yang tidak dapat dimodifikasi (genetik) dan dapat dimodifikasi (berat
badan). Hasil Lab menunjukkan GDP 160 mg/dl, yang berarti gula darah pasien
masih tinggi. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor resiko diantaranya
riwayat DM, obesitas, stress, diet tidak sehat rendah serat tinggi glukosa, dll.

Pengobatan yag dapat diberikan sebaga berikut:

1. Metformin 1x500 mg/hari (obat anti hiperglikemik dengan cara menghambat


gluconeogenesis dan meningkatkan sensitivitas terhadap insulin)
2. Glimepiride 1x2 mg/hari (obat anti hiperglikemik dengan cara memicu
peningkatan sekresi insulin, karena mempunyai cara kerja yang sinergis
dengan metforimin sehingga dapat dikombinasikan)
3. Loratadine 1x10 mg/hari ( anti histamin)
4. Ketokonazole salep 10 mg (anti jamur, karena pada pasien DM rentan
terinfeksi seperti jamur).
Pengobatan secara farmako didampingi dengan edukasi diet sehat dengan
makanan rendah glukosa dan tinggi serat, olahraga secara rutin (3-4 kali
seminggu selama ±30 menit), menurunkan berat badan, minum obat secara
teratur, serta rutin melakukan tes dan check up.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2011. Konsensus Pengendalian


dan Pencegahan DM Tipe II. Jakarta: Perkeni
2. Suli, Seliati, Ed. 2014. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI. Jakarta:
Interna Publishing
3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011. Penatalaksanaan
Diabetes Melitus Terpadu, Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FK UI
4. Gleadle J. At a glance. 2007. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta:
Erlangga
5. Chris Tanto, Ed. 2014. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi IV. Jakarta:
Media Aescalapius
6. Faqih, M. daeng, ed. 2013. Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, edisi 1. Jakarta: IDI

32
BAB I

LAPORAN KASUS INFEKSI

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. S
Umur : 20 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Mahasiswi
Alamat : Jl. Tamangapa
Tanggal Periksa : 23 November 2017
Waktu : 09.38 wita
Nama PKM : Puskesmas Tamangapa
No.RM : - (No. Kis)
dr.Jaga : dr. A

ANAMNESIS

33
Keluhan Utama : Demam
Anamnesis Terpimpin :
Dialami sejak 4 hari yang lalu secara terus menerus dan meningkat pada sore
dan malam hari, membaik pada pagi hari. Menggigil (-), nyeri kepala (+),
pusing (+) jika banyak bergerak, batuk (+) sejak 3 hari yang lalu tidak
berdahak, bau mulut (+), nyeri menelan (-) nafsu makan menurun, mual (+),
muntah (-), nyeri ulu hati (-)
BAB : tidak lancar
BAK : warna kuning, lancar
Riwayat penyakit sebelumnya :
- Riwayat Asma sudah berlangsung lama
- Riwayat penyakit yang sama sebelumnya (-)
Riwayat Pengobatan
- Riwayat pengobatan (-)
Riwayat Kebiasaan
- Riwayat mengonsumsi makanan dan minuman di pinggir jalan (-)
Riwayat Keluarga
- Keluarga dengan keluhan yang sama (+) sepupu dan tante yang tinggal
serumah

B. PEMERIKSAAN FISIS
Status Generalis : Sakit ringan/ Gizi kurang/ Compos mentis
GCS 15 (E4M6V5)
BB = 43 kg
TB = 155 cm
IMT = 17,8 kg/m2 , Status gizi : underweight
Status Vitalis : T = 110/60 mmHg
P = 24x/menit
N = 108x/menit
S = 37,1°C, axilla
Kepala : Bentuk = Mesocephal

34
Ukuran= Normocephal
Rambut kering (-)
Massa tumor (-)
Mata : Konjunctiva anemis (-/-), sclera ikterus (-/-)
Hidung : Rhinore (-), Deviasi septum (-)
Telinga : Otore (-)
Bibir : Stomatitis(-), Bibir kering (+)
Mulut : Lidah kotor (-), hiperemis, tonsil ; T1/T1 normal, bau
mulut (+).
Leher : Pembesaran kelenjar (-), Deviasi trakea (-), Massa tumor
(-), DVS (-).
Thorax : I = Normochest, Simetris (kanan=kiri), penggunaan otot
bantu pernapasan(-)
P = Nyeri tekan (-), Massa tumor (-), Krepitasi (-),vocal
fremitus(kanan=kiri)
P = Sonor (kanan = kiri)
Batas paru hepar = ICS 5 anterior dextra

A = Bunyi pernapasan = vesikuler


Bunyi pernapasan tambahan (-)

Rhonki Wheezing

Jantung : I= Ictus cordis tidak tampak

P = Ictus cordis tidak teraba

P = Pekak relatif

Batas atas kanan = ICS II parasternal dextra

35
Batas atas kiri = ICS II parasternal sinistra

Batas kanan bawah = ICS V linea parasternalis dextra

Batas kiri bawah = ICS V linea medio clavicularis

A = Bunyi jantung I/II murni reguler, bising jantung (-)

Abdomen : I = Datar, mengikuti gerak napas

A = Peristaltik (+), kesan normal

P = Nyeri tekan (-), massa tumor (-), hepar tidak teraba, lien
tidak teraba

P = Tympani (+), asites (-)

Ekstremitas : Edema -/-, deformitas -/-, fraktur -/-

C. RESUME

Pasien datang ke puskesmas dengan keluhan febris sejak 4 hari yang lalu
bersifat remitten, membaik pada pagi hari memberat saat sore dan malam hari.
Cefalgia (+), vertigo (+) jika banyak bergerak, anoreksia (+), nausea (+), bau
mulut (+), konstipasi sejak 4 hari yang lalu. Riwayat asma sudah berlangsung
lama. Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama yaitu sepupu dan tante
yang tinggal serumah.

Pada pemeriksaan status generalis dan tanda vitalis didapatkan : Sakit


ringan, Gizi kurang, Composmentis, BB : 43 kg, TB : 155 cm, IMT : 17,8
kg/m2 (underweight). Dari pemeriksaan fisis didapatkan Tekanan Darah :
110/60 mmHg, Nadi : 108 x/menit, Pernapasan : 24x/menit, Suhu : 37,1 oC
axilla.

D. DIAGNOSIS
Febris et cause suspect Demam Tifoid
E. DIAGNOSIS BANDING

36
Demam Berdarah Dengue
Malaria
Leptospirosis
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tes widal :
Titer O = 1/160
G. RENCANA TERAPI
 Non farmakologi: istirahat tirah baring, dan mengatur tahapan mobilisasi,
diet tinggi kalori dan tinggi protein, konsumsi obat-obatan secara rutin dan
tuntas.
 Farmakologi:
1. Paracetamol 3x500 mg/hari
2. Metilprednisolon 2x4 mg/hari
3. Chlorphenamin maleat 3x4 mg/hari
4. Cefadroxil 2x500 mg/hari
5. Asetilsistein 3x200 mg/hari
H. PROGNOSIS
Qua ed vitam : Bonam
Qua ed sanationem : Dubia ad Bonam
Qua ed funcionam : Bonam

37
LAMPIRAN DOKUMENTASI

38
LAMPIRAN REKAM MEDIK

39
40
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Demam tifoid atau typhus abdominalis adalah penyakit yang disebabkan
oleh kuman Salmonella typhi. Salmonella typhi adalah kuman gram negative
berbentuk batang yang hidup secara fakultatif anaerob Demam tifoid
merupakan penyakit infeksi akut bersifat sistemik yang disebabkan oleh
mikroorganisme Salmonella typhi. Penyakit ini masih sering dijumpai di
negara berkembang yang terletak di subtropis dan daerah tropis seperti
Indonesia.1
B. Epidemiologi

Penyakit demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan khususnya di


Indonesia dan negara berkembang lainnya. Insidens demam tifoid masih tinggi
meskipun komplikasi dan angka kematian sudah menurun dengan upaya
diagnosis cepat dan pemberian antibiotik yang tepat.2
Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait
dengan sanitasi lingkungan; di daerah rular (Jawa Barat) 157 kasus per
100.000 penduduk sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000
penduduk. Perbedaan insidensi di perkotaan berhubungan erat dengan
penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan
pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan.3
Case Fatality Rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari
seluruh kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil Survei
Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI)
tahun 1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas
tertinggi.3

C. Etiologi

41
Basil penyebab demam tifoid adalah Salmonella typhi dari genus
Salmonella. Bakteri ini berbentuk basil, gram negatif, bergerak tidak
berkapsul, tidak membentuk spora tetapi memiliki fimbria, bersifat aerob dan
anaerob fakultatif. Ukuran antara (2-4) kali o,6 mikro meter. Suhu optimum
untuk tumbuh adalah 37 derajat celcius dengan pH antara 6-8. Basil ini
dibunuh dengan pemanasan (suhu 60 derajat celcius) selama 15-20 menit.
Masa inkubasi tifoid 10-14 hari dan pada anak, masa inkubasi ini lebih
bervariasi berkisar 5-40 hari dengan perjalanan penyakit kadang-kadang juga
tidak teratur.4

Struktur antigen Salmonella typhi terdiri dari 3 macam antigen yaitu :4,5

1. Antigen O (antigenic somatik) merupakan bagian terpenting dalam


menentukan virulensi kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia
lipopolisakarida disebut endotoksin dan terletak pada lapisan luar dari
tubuh kuman. Antigen ini bersifat hidrofilik, tahan terhadapa pemanasan
suhu 100 derajat Celcius selama 2-5 jam dan tahan alcohol 96% selama 4
jam pada suhu 37 derajat Celcius tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen flagella) yang terletak pada flagella dan fimbria (pili)
dari kuman. Flagel ini terdiri dari badan sel yang melekat pada sitoplasma
dinding sel kuman, struktur kimia ini berupa protein yang tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alcohol pada suhu 60
derajat Celcius. Selain itu flagel juga terdiri dari the hook dan filament
yang terdiri dari komponen protein polymerase yang disebut flagella

42
dengan BM 51-57 kDa yang dipakai dalam pemeriksaan asam nukleat
kuman Salmonella typhi.
3. Antigen Vi (permukaan) yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman
yang dapat melindungi kuman terhadap fagositosis. Struktur kimia
proteinnya dapat digunakan untuk mendeteksi adanya karier dan akan
rusak jika diberi pemanasan selama 1 jam pada suhu 60 derajat Celcius
dan pada pemberian asam serta fenol.

Dinding sel Salmonella typhi dibentuk 20% nya oleh lapisan lipoprotein.
Sementara itu, lapisan fosfolipid dan lipopolisakarida membentuk 80%
dinding sel kuman Salmonella typhi. Lipolisakarida yang terdiri dari lipid A,
oligosakarida, dan polisakarida yang merupakan bagian terpenting dan
utamayang menentukan sifat antigenik dan aktivitas eksotoksin. Lipid A
merupakan asam lemak jenuh yang menentukan aktivitas endotoksin dari
lipopolisakarida yang selanjutnya dapat mengakibatkan demam dan reaksi
imunologis sang pejamu.4

Outer Membran Protein (OMP) ialah dinding sel terluar membrane


sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang berfungsi sebagai sawar untuk
mengendalikan aktivitas masuknya cairan ke dalam membrane sitoplasma dan
berfungsi sebagai reseptor bakteriofag dan bakteriolisin.4

D. Patomekanisme

43
Kuman penyebabnya ialah Salmonella typhi yang memasuki tubuh melalui
makanan yang terkontaminasi kuman melalui jarul oral-fecal.
Singkatnya,kuman ini terdapat dalam tinja, kemih atau darah dengan masa
inkubasi sekitar 10 hari. Yang kemudian tubuh akan melakukan mekanisme
pertahanan melalui beberapa proses respon imun baik local maupun sistemik,
spesifik dan non-spesifik, serta humoral dan seluler.6

Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung dan sebagiannya lolos


masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas
humoral mukosa (IgA) usus kurang baik makan kuman akan menembus sel-
sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina
propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama
oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag
dan selanjutnya dibawa ke plak peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar
getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang
terdapat di dalam makrofag ini, masuk ke dalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke
seluruh anggota retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-
organ ini kuman meningkatkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak
di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah

44
lagi mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-
tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.3
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang
biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam
lumen usus. Sebagian dikeluarkan melalui fese dan sebagian masuk lagi ke
dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,
berhubung makrofag telah teraktivasi dan hipereaktif makan saat fagositosis
kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti
demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabillitas vaskular,
gangguan mental dan koagulasi.3
Di dalam plak peyeri makrofag hipereaktif menimbulkan reaksi
hiperplasia jaringan (Salmonella typhi intra makrofag menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ).
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar
plak peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi
sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini
dapat berkembang ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan
perforasi.3

Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat


timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular,
pernapasa, dan gangguan organ lainnya.3

E. Gejala Klinis

Kumpulan gejala-gejala klinis tifoid disebut dengan sindrom demam


tifoid. Beberapa gejala klinis yang sering pada tifoid diantaranya:4,7

 Demam atau panas adalah gejala utama tifoid, dengan demam lebih dari 7
hari. Pada awal sakit, demamnya kebanyakan samar-sama saja, selanjutnya
suhu tubuh sering turun naik. Pagi lebih rendah atau normal, sore dan
malam lebih tinggi (demam intermitten). Dari hari ke hari intensitas

45
demam makin tinggi yang disertai banyak gejala lain seperti sakit kepala
(pusing-pusing) yang sering dirasakan di daerah frontal, nyeri otot, pegal-
pegal, insomnia, anoreksia, mual dan muntah.
 Gangguan Saluran pencernaan. Sering ditemukan bau mulut yang tidak
sedap karena demam yang lama. Bibir kering dan kadang-kadang pecah-
pecah. Lidah kelihatan kotor dan ditutupi selaput putih. Pada umunya
penderita sering mengeluh nyeri perut terutama region epigastrium (nyeri
ulu hati) disertai nausea, mual dan muntah.
 Gangguan kesadaran. Umumnya terdapat gangguan kesadaran berupa
penurunan kesadaran ringan. Sering didapatkan kesadaran apatis dengan
kesadaran seperti berkabut (tifoid). Bila klinis berat, tak jarang penderita
sampai somnolent dan koma.
 Hepatosplenomegali. Hati dan atau limpa, ditemukan sering membesar.
Hati terasa kenyal dan nyeri tekan
 Bradikardi relatif dan gejala lain.

Pada minggu pertama, gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan
gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri
kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare,
perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisis
hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat
perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu
kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif,
lidah yang berselaput, hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan
mental berupa samnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae
jarang ditemukan pada orang Indonesia.3

Gejala klinis yang sering terjadi merupakan dampak dari sitokine


proinflamatori serta berbagai mediator kimia maka muncul panas yang
berlangsung berkepanjangan lebih dari 1 minggu, berlangsung insidius,tipe
panas stepladder yang mencapai 39-40 derajat celcius, kemudian panasnya
berlangsung persisten, tipe kontinu atau tipe intermiten. Bersamaan dengan

46
munculnya gejala panas sering disertai dengan keluhan saluran cerna berupa
mual, muntah, anoreksia, nyeri abdominal, diare atau konstipasi.8,9

Gejala yang tidak spesifik seperti malaise, menggigil, sakit kepala, mialgia
dan batuk sering muncul pada awal perjalanan penyakit. Pada pemeriksaan
fisik penderita tampak sakit sedang hingga berat pada fase toksik. Apatis dan
delirium terjadi pada 10-45 %, bradikardia relatif 15-100% penderita, lidah
tifoid ditemukan pada sebagian besar kasus, bercak Ros muncul pada awal
penyakit pada lebih separuh individu berkulit putih sedangkan pada kulit
hitam gambaran tersebut sering tidak terlihat. Hepatomegali lebih sering
daripada splenomegali, biasanya muncul pada akhir minggu pertama atau awal
minggu kedua. Pemeriksaan abdomen didapatkan rasa nyeri lokal maupun
difus, terkadang disertai penurunan bising usus atau terjadi distensi abdomen.
Leukopenia dengan neutropenia ditemukan pada demam tifoid tetapi sebagian
pasien jumlah leukosit normal. Demam tifoid merupakan penyakit multisistem
dan meliputi hampir semua organ tubuh terlibat dengan potensi munculnya
komplikasi yang serius seperti perdarahan intestinal, perforasi ileum, syok
septik, miokarditis dan komplikasi neuropsikiatrik.8

MANIFESTASI KLINIS

Demam enterik Diare atau konstipasi

Keluhan dan gejala pada Hepatomegali


saluran cerna
splenomegali

(Manifestasi klinis yang dominan pada demam tifoid) 6

Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10 sampai dengan 14 hari.


Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan
berat, dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai dengan
komplikasi hingga kematian.3

47
F. Pemeriksaan Fisis

Keadaan umum adalah paling pertama kita perhatikan dalam pemeriksaan


fisis. Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan tanda-tanda vital, yaitu
tekanan darah, suhu tubuh, frekuensi nadi, dan frekuensi pernafasan. Adapun
pemeriksaan fisis yang didapatkan pada pasien demam tifoid, yaitu:10

 Suhu tinggi
 Bau mulut karena demam lama
 Bibir kering dan kadang pecah-pecah
 Lidah kotor dan kadang ditutup selaput putih (coated tongue), jarang
ditemukan pada anak
 Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor
 Nyeri tekan region epigastrik (nyeri ulu hati)
 Hepatoplesnomegali
 Bradikardia relatif (peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh
peningkatan frekuensi nadi)
G. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Laboratorium meliputi pemeriksaan hematologi, urinalis,


kimia klinik, imunoreologi, mikrobiologi, dan biologi molekular. Pemeriksaan
ini ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosis (adakalanya bahkan
menjadi penentu diagnosis), menetapkan prognosis, memantau perjalanan
penyakit dan hasil pengobatan serta timbulnya penyulit.3

1. Hematologi
Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit
perdarahan usus atau perforasi.
a. Hitung leukosit sering rendah (leukopenia), tetapi dapat pula normal
atau tinggi.
b. Hitung jenis leukosit: sering neutropenia dengan limfositosis relatif.

48
c. LED ( Laju Endap Darah ) : Meningkat
d. Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia).
2. Urinalis
a. Protein: bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam)
b. Leukosit dan eritrosit normal; bila meningkat kemungkinan terjadi
penyulit.
3. Kimia Klinik
Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan gambaran
peradangan sampai hepatitis Akut.
4. Serologi
a. Widal
Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi
(didalam darah) terhadap antigen kuman Samonella typhi / paratyphi
(reagen). Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan
paling sering diminta terutama di negara dimana penyakit ini endemis
seperti di Indonesia. Sebagai uji cepat (rapid test) hasilnya dapat segera
diketahui. Hasil positif dinyatakan dengan adanya aglutinasi. Karena
itu antibodi jenis ini dikenal sebagai Febrile agglutinin.
Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat
memberikan hasil positif palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu
dapat disebabkan oleh faktor-faktor, antara lain pernah mendapatkan
vaksinasi, reaksi silang dengan spesies lain (Enterobacteriaceae sp),
reaksi anamnestik (pernah sakit), dan adanya faktor rheumatoid (RF).
Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh karena antara lain penderita
sudah mendapatkan terapi antibiotika, waktu pengambilan darah
kurang dari 1 minggu sakit, keadaan umum pasien yang buruk, dan
adanya penyakit imunologik lain.
Diagnosis Demam Tifoid / Paratifoid dinyatakan bila a/titer O = 1/160,
bahkan mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi
mengingat penyakit demam tifoid ini endemis di Indonesia. Titer O
meningkat setelah akhir minggu. Melihat hal-hal di atas maka

49
permintaan tes widal ini pada penderita yang baru menderita demam
beberapa hari kurang tepat. Bila hasil reaktif (positif) maka
kemungkinan besar bukan disebabkan oleh penyakit saat itu tetapi dari
kontrak sebelumnya.
b. Elisa Salmonella typhi/ paratyphi lgG dan lgM
Pemeriksaan ini merupakan uji imunologik yang lebih baru, yang
dianggap lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji Widal untuk
mendeteksi Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebagai tes cepat (Rapid Test)
hasilnya juga dapat segera di ketahui. Diagnosis Demam Typhoid/
Paratyphoid dinyatakan 1/ bila lgM positif menandakan infeksi akut; 2/
jika lgG positif menandakan pernah kontak, pernah terinfeksi ,reinfeksi
atau daerah endemik.
c. Pemeriksaan Tubex
Pemeriksaan Tubex merupakan pemeriksaan aglutinasi kompetitif
semi-kuantitatif yang cepat dan mudah untuk dikerjakan.
Pemeriksaan ini mendeteksi antibodi IgM terhadap antigen LPS 0-9
pada serum pasien, prinsip kerjanya dengan menggunakan metode
reaksi immunoassay magnetic binding inhibition (IMBI) yaitu dengan
cara mengukur kemampuan serum antibodi IgM dalam menghambat
reaksi antara antigen Salmonella typhi dan anti-09 IgM monoclonal
antibody (MAb). Selanjutnya ikatan inhibisi akan dipisahkan oleh
suatu daya magnetic.3
5. Mikrobiologi
Kultur (Gall culture/ Biakan empedu)
Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan
Demam Typhoid/ paratyphoid. Interpretasi hasil : jika hasil positif maka
diagnosis pasti untuk Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebalikanya jika hasil
negatif, belum tentu bukan demam tifoid atau paratifoid, karena hasil
biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu antara
lain jumlah darah terlalu sedikit kurang dari 2mL), darah tidak segera
dimasukan ke dalam medial Gall (darah dibiarkan membeku dalam spuit

50
sehingga kuman terperangkap di dalam bekuan), saat pengambilan darah
masih dalam minggu- 1 sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotika, dan
sudah mendapat vaksinasi.
Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena
perlu waktu untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7hari,
bila belum ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari). Pilihan bahan
spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah darah, kemudian untuk
stadium lanjut/ carrier digunakan urin dan tinja.
6. Biologi molekular.
PCR (Polymerase Chain Reaction)
Metode ini mulai banyak dipergunakan. Pada cara ini di lakukan
perbanyakan DNA kuman yang kemudian diindentifikasi dengan DNA
probe yang spesifik. Kelebihan uji ini dapat mendeteksi kuman yang
terdapat dalam jumlah sedikit (sensitifitas tinggi) serta kekhasan
(spesifitas) yang tinggi pula. Spesimen yang digunakan dapat berupa
darah, urin, cairan tubuh lainnya serta jaringan biopsi.

H. Diagnosis
 Suspek demam tifoid (suspect case):10
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisis didapatkan gejala demam, gangguan
saluran cerna, dan petanda gangguan kesadaran. Diagnosis suspek tifoid
hanya dibuat pada pelayanan kesehatan dasar.
 Demam tifoid klinis (Probable case):10
Suspek demam tifoid didukung dengan gambaran laboratorium yang
menunjukkan tifoid.

51
I. Diferensial Diagnosis
 Demam berdarah dengue
 Malaria
 Leptospirosis10
J. Penatalaksanaan
Terdapat trilogi dalam penatalaksanaan demam tifoid, yaitu:3
1. Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya
di tempat seperti makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air
besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam
perawatan perlu sekali menjaga kebersihan tempat tidur,pakaian, dan
perlengkapan yang dipakai.
2. Diet dan terapi penunjang, dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman
dan kesehatan secara optimal. Penderita demam tifoid diberi diet bubur
saring, kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan
nasi, di mana perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat
kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring bertujuan menghindari
komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi. Hal ini disebabkan ada
pendapat bahwa usus harus diistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan
bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah
selulosa (menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan
dengan aman pada pasien demam tifoid.
3. Pemberian antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah
penyebaran kuman. Antimikroba yang sering digunakan adalah:3,11

52
a. Cloramfenikol. Dosis yang diberikan adalah 4x500 mg per hari dapat
diberikan secara per oral atau intravena. Diberikan sampai 7 hari bebas
panas.
b. Tiamfenikol. Dosis dan efektivitas tiamfenikol hampir sama dengan
kloramfenikol, tapi komplikasi hematologinya lebih rendah
dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4x500
mg.
c. Kotrimoksazol. Efektivitas obat ini hampir sama dengan
kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa adalah 2x2 tablet diberikan
selama 2 minggu.
d. Ampisilin dan amoksisilin. Dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-
150 mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu. Kemampuan obat ini
untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan
kloramfenikol.
e. Sefalosporin generasi ketiga. Hingga saat ini golongan sefalosporin
generasi ketiga yang terbukti efektif adalah seftriakson dengan dosis
yang dianjurkan antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc yang
diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3
hingga 5 hari.
f. Golongan flurokuinolon. Terdapat beberapa jenis bahan sediaan dan
aturan pemberiannya, yaitu:3
1) Norfloksasi dosis 2x400 mg/hari selama 14 hari
2) Siprofloksasin dosis 2x500 mg/hari selama 6 hari
3) Ofloksasin dosis 2x400 mg/hari selama 7 hari
4) Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
5) Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari

Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan


tertentu saja, antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok
septik, yang pernah terukti ditemukan 2 macam organisme dalam kultur
darah selain kuman Salmonella.3

53
K. Komplikasi

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid, yaitu: 3

1. Komplikasi intestinal
a. Perdarahan intestinal
Pada plaque peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis)
dapat terbentuk luka/tukak berbentuk lonjong dan memanjang terhadap
sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh
darah sehingga terjadi perdarahan. Selanjutnya, bila tukak menembus
dinding usus maka perforasi dapat terjadi.
b. Perforasi usus
Terjadi pada sekitar 3 % dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul
pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain
gejala umum demam tifoid yang biasaterjadi maka penderita demam tifoid
dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah
kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan
disertai dengan tanda-tanda ileus.
2. Komplikasi ekstra-intestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler : gagal sirkulasi perifer, miokarditis,
tromboflebitis
b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, Koagulasi
Intravaskuler Diseminata (KID), thrombosis
c. Komplikasi paru : pneumonia, empiema, pleuritis
d. Komplikasi hepatobilier : hepatitis,kolesistitis
e. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis
f. Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, arthritis
g. Komplikasi neuropsikiatrik/tifoid toksik.

I. Prognosis

54
Prognosis adalah bonam, namun ad sanatium dubia ad bonam, karena
penyakit dapat terjadi berulang.10

I. Pencegahan
Preventif dan kontrol penularan.
Tindakan preventif sebagai upaya pencegahan penularan dan peledakan
kasus luar biasa (KLB) demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari
segi kuman Salmonella typhi sebagai agen penyakit dan faktor pejamu serta
faktor lingkungan.3
Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid,
yaitu:3
a. Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi. Pelaksanaannya dapat secara
aktif, yaitu mendatangi sasaran, maupun pasif, yaitu menunggu bila ada
penerimaan pegawai di suatu instansi atau swasta. Sasaran aktif lebih
diutamakan pada populasi tertentu seperti pengelola sarana makanan dan
minuman baik tingkat usaha rumah tangga, restoran, hotel sampai pabrik
beserta distributornya. Sasaran lainnya adalah yang terkait dengan
pelayanan masyarakat, yait petugas kesehatan, guru, petugas kebersihan,
pengelola sarana umum lainnya.
b. Pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi. Kegiatan ini
dilakukan di rumah sakit, klinik maupun di rumah dan lingkungan sekitar
orang yang telah diketahui terinfeksi.
c. Proteksi pada orang berisiko terinfeksi. Sarana proteksi pada populasi iini
dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di daerah endemik maupun
hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung daeranya endemis atau non-
endemis, tingkat risiko tertularnya yaitu berdasarkan tingkat hubungan
perorangan dan jumlah frekuensinya, serta golongan individu berisiko,
yaitu golongan imunokomromai golongan rentan.

Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu:3

1. Daerah non-endemik. Tanpa kejadian outbreak atau epidemi:

55
a. Sanitasi air dan kebersihan lingkungan
b. Penyaringan pengelola pembuatan/distributor/penjualan makanan-
minuman
c. Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier
2. Bila ada kejadian epidemi tifoid
a. Pencarian dan eliminasi sumber penularan
b. Pemeriksaan air minum dan mandi-cuci-kakus
c. Penyuluhan hiegene dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut
3. Daerah endemik
a. Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang
memenuhi standar prosedur (perebusan >570°C, iodisasi, dan
klorinisasi)
b. Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah mendidih,
menjauhi makanan segar (sayur/buah)
c. Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun
pengunjung

Vaksinasi Demam Tifoid

Saat ini vaksinasi demam tifoid tersedia 2 pilihan yaitu vaksin hidup yang
dilemahkan (Ty21A) dan vaksin polisakarida Vi. Vaksinasi ini ditekankan
pemberiannya bagi seseorang yang tinggal di daerah endemik ataupun bagi
turis yang akan masuk ke daerah endemik.12

Vaksin-vaksin tifoid ini hanya memberikan perlindungan atas infeksi


Salmonella typhi tidak pada bakteri lainnya. Namun, meskipun kita sudah
diberi vaksin ini ,tidak sepenuhnya terbentuk perlindungan terhadap penyakit
demam tifoid, karena daya lindung vaksin tifoid hanya sekitar 50% - 70%.12

1. Vaksin Tifoid Oral


Vaksin Ty21A berupa kapsul yang diberikan kepada orang dewasa dan
anak berumur lebih dari 6 bulan. Cara pemberiannya adalah dengan 4
dosis, selang 1 hari (1-3-5-7), pemberian ulangan dilakukan tiap 5 tahun.

56
Bagi turis yang hendak masuk daerah endemik, vaksin diberikan 1 minggu
sebelum berangkat.12
Yang perlu diperhatikan dalam pemberian vaksin ini adalah tidak
boleh dilakukan saat sedang demam, tidak boleh dilakukan pada orang
dengan penurunan sistem kekebalan tubuh (HIV,keganasan,sedang
kemoterapi atau sedang terapi steroid) dan riwayat reaksi anafilaksis pada
pemeberian dosis pertama serta tidak boleh kepada orang dengan alergi
gelatin.Efek samping dari vaksin ini cukup ringan, yaitu berupa muntah,
diare, demam, dan sakit kepala.12
2. Vaksin Tifoid Polisakarida Vi

Vaksin ini berasal dari polisakarida Vi dari kapsul Salmonella typhi.


Cara pembariannya yaitu dosis 1 kali suntukan IM, biasanya dilengan atas
untuk orang dewasa atau di paha atas bagi anak-anak. Efek samping yang
timbul berupa demam, pusing, sakit kepala, nyeri sendi, nyeri otot tempat
suntikan dan reaksi-reaksi alergi.12

57
PEMBAHASAN

Pasien datang dengan keluhan demam dialami sejak 4 hari yang lalu secara
terus menerus dan meningkat pada sore dan malam hari dan membaik pada pagi
hari (demam intermitten), yang menunjukan gejala klinis dari demam tifoid yang
disertai dengan gejala lain seperti nyeri kepala, pusing jika banyak bergerak,
mual, serta konstipasi. Gejala klinis yang sering terjadi merupakan dampak dari
sitokine proinflamatori serta berbagai mediator kimia terhadap bakteri
Salmonella typhi. Pasien memiliki riwayat keluarga dengan keluhan yang sama,
yaitu sepupu dan tante yang tinggal serumah, yang merupakan salah satu faktor
resiko terinfeksi demam tifoid. Pada pemeriksaan fisis didapatkan bau mulut
yang merupakan salah satu tanda pada pasien demam tifoid dan pada
pemeriksaan widal, Titer O = 1/160 yang menunjukkan positif dan merupakan
salah satu pemeriksaan yang menunjang diagnosis demam tifoid.
Pengobatan yang diberikan sebagai berikut:
1. Paracetamol 3x500 mg/hari
2. Metilprednisolon 2x4 mg/hari
3. Chlorphenamin maleat 3x4 mg/hari
4. Cefadroxil 2x500 mg/hari
5. Asetilsistein 3x200 mg/hari
Penatalaksanaan pada pasien demam tifoid paling utama adalah tirah
baring total selama 7 hari, pemberian diet tinggi kalori dan tinggi protein, dan
pemberian antibiotik. Karena demam tifoid merupakan penyakit yang dapat
berulang, maka pasien di edukasi agar tetap menjaga kesehatan, menghindari
jajan dipinggir jalan atau mengkonsumsi makanan yang tercemar, dan vaksin
tifoid.

58
TINJAUAN PUSTAKA

1. Tapan, Erik. 2004. Flu, HFMD, Diare Pada Pelancong, Malaria, Demam
Berdarah, Malaria, Tifus. Edisi 1. Jakarta : Pustaka Populer Obor.
2. Crump JA, Luby SP, Mintz ED. The global burden of typhoid fever. Bull
World Health Organ 2004
3. Widodo J. Demam Tifoid. In: Sudoyo AW, dkk, editors. 2009. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5 Jilid 3. Jakarta Pusat: Interna Publishing
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; p.2798-2805.
4. Supari, Siti Fadilah. 2006. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 364 / Menkes / SK / V / 2006. Pedoman Pengendalian
Demam Tifoid. Hal 1 -39
5. Arifianto. 2012. Orang Tua Cermat,Anak Sehat. Cetakan I. Jakarta :
Gagas Media. Hal 87-92
6. Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi. Cetakan 1. Jakarta : EGC. Hal 143-
144
7. Febry, Ayu Bulan. 2010. Smart Parents : Pandai Mengatur Menu dan
Tanggap Saat Anak Sakit. Cetakan 1. Jakarta : Gagas Media. Hal 109
8. Nasronudin. Penyakit Infeksi di Indonesia dan Solusi Kini dan Mendatang.
Edisi kedua. Hal 192-195
9. Hayes, Peter C. 2000. Diagnosis dan Terapi. Jakarta : EGC. Hal 329-330
10. Faqih, M. daeng, ed. 2013. Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, edisi 1. Jakarta: IDI
11. Bunga,Sari,dkk. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Demam Typhoid. Wilayah Kerja Puskesmas Kassi-Kassi Makassar
12. Cahyono, Suharjo. 2010. Vaksinasi : Cara Ampuh Cegah Penyakit Infeksi.
Yogyakarta : Kanisus. Hal 95-96

59

Anda mungkin juga menyukai