Anda di halaman 1dari 3

Hening dan Keributan

Hidup di tengah dunia yang penuh dengan gejolak tanpa henti merupakan suatu hal
yang menguras banyak tenaga. Kenapa? Karena kita mengeluarkan tenaga kita untuk bertahan,
kita berjuang untuk membuat diri kita merasa aman, nyaman, pantas, berharga, dan perasaan
lainnya yang ingin dicapai. Dan, selalu ada hambatan dalam tiap proses perjuangan—yang mau
tak mau harus kita hadapi. Hambatan-hambatan tersebut menjelma ke dalam wujud yang
berbeda-beda di mata orang dan dalam menghadapinya, seberapa banyak tenaga yang perlu
diusahakan? Seberapa tajam keberanian yang perlu diasah? Seberapa besar kesabaran yang perlu
dipompa? Seberapa kuat tekanan yang harus dibiasakan? Setiap orang akan punya jawabannya
masing-masing, sesuai dengan bagaimana keadaan dalam diri mereka. Apa semua orang akan
memiliki kesiapan yang matang sebelum menghadapi semua hambatan yang terbit silih berganti?
Karena jawaban dari pertanyaan itu, saya sadar seberapa berpengaruhnya keadaan jiwa dan jalan
pikir seseorang dalam menjalani kehidupannya sehari-hari.

Saya akan bercerita tentang bagaimana orang yang saya kenal menjadi pejuang dalam
kehidupannya sendiri. Gadis ini berambut ikal hitam legam dengan perawakan kurus, ia lahir ke
dunia dua tahun setelah saya, dan dihadiahi dengan nama: Hening. Di satu sisi, kepribadian dan
tingkah lakunya bisa sangat serasi dengan nama yang diberikan oleh orang tua saya; hening,
sunyi, kalem, tidak banyak bersuara. Namun di sisi lain, bisa pula berbanding terbalik, ia bisa
berubah menjadi orang yang sangat dekat dengan yang namanya ‘keributan’.

‘Keributan’ ini sering kali muncul disaat-saat Hening sedang menghadapi hambatan,
saat ia sedang mencoba untuk mencapai sesuatu dan berakhir tidak seperti yang diharapkannya
atau saat ia berjuang tetapi ia melakukan sebuah kesalahan dipertengahan jalan. Semua itu
memercikkan pengaruh yang cukup besar bagi Hening sehingga terbentuk sebuah ‘keributan’
dari dalam dirinya dan juga dalam mengekspresikannya. Hal ini kerap terjadi saat memiliki
sangkut paut dengan bidang pendidikan, tentang kegiatan pembelajarannya di kelas. Di dalam
kelas yang terdiri dari puluhan murid, mereka memiliki beberapa tujuan yang sama dalam
menjalani kegiatan belajar; menjadi pintar, mendapat nilai bagus, menghasilkan tugas yang
memuaskan, atau mencapai peringkat terbaik. Semua itu tentunya secara tidak langsung
membangun sebuah persaingan antarmurid, yang mana itu membuat setiap siswa harus
mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk bisa mencapai apa yang ingin mereka capai. Semua
murid pasti bisa melaluinya, tapi belum tentu semua murid siap melakukannya. Tujuan-tujuan itu
tidak terbilang mudah untuk dicapai, ada proses yang perlu dilalui seperti jatuh, hancur, salah,
patah, layu, berantakan. Namun, di dalam berproses yang terdengar pahit itu, rupanya membantu
kita dalam membentuk versi diri yang semakin baik tiap waktunya, kita belajar untuk bangun,
sembuh, memperbaiki, tumbuh, menyusun ulang. Bagai tangga, semakin banyak proses yang
dilalui, semakin banyak anak tangga yang bisa dipijak untuk mencapai tujuan yang kita inginkan.
Namun sayangnya, ada beberapa orang yang belum menyadari hal tersebut, salah satunya adalah
Hening. Ia menganggap bahwa suatu kesalahan yang ia perbuat, suatu percobaan yang gagal,
suatu hasil yang kacau adalah akhir dari segalanya, ia menganggap dirinya tidak sebaik teman-
temannya yang lain, menganggap dirinya tidak pantas, bodoh, tidak memiliki kemampuan yang
mumpuni, tidak cukup baik untuk menjadi pintar.

Beberapa bulan yang lalu, Hening belajar keras untuk ulangannya, ia mengerjakan
dengan tekun, lalu hasil yang keluar tidak sebagus yang diharapkannya. Hening sedang
mengerjakan tugasnya, ia mengerahkan seluruh kemampuannya, namun ternyata ia telat
mengumpul dari waktu yang seharusnya sehingga nilainya terancam dikurangi. Hening sedang
berada di dalam sesi diskusi pada salah satu mata pelajaran, saat ia menyampaikan jawaban dan
pendapatnya, ternyata temannya yang lain mampu membuat jawaban yang lebih baik dan lebih
benar dari miliknya, di dalam grup diskusi tersebut, ia berpikir bahwa semua orang dapat melihat
kekurangan dan kesalahan dari jawaban yang dibuatnya. Semua kejadian yang telah saya
sebutkan tadi berkahir pada suatu keributan. Keributan yang bersumber dari dalam dirinya;
kekacauan emosi, pergumulan hati, pergulatan pikiran yang berujung pada fase menyalahkan,
menghina, mencaci maki, merendahkan diri sendiri hingga titik terendah yang dapat dicapainya.
Seperti badai hebat yang sulit diredam suaranya, Hening akan menangis hebat, meraung-raung
dalam waktu yang lama hingga suaranya serak, tidak ingin memakan apapun walau sedang
kelaparan, ia akan menyakiti tubuhnya sendiri dengan menjambak-jambak rambutnya, menggigit
lututnya saat meringkuk, memukul-mukul kepalanya, dan yang paling membuat saya terperangah
adalah saat ia meminta cutter untuk melukai lengannya. Semua itu membuat saya marah, hati
saya sebagai seorang kakak merasa hancur melihat semua tindakan adik saya yang akan berubah
total saat ia mengalami keterpurukan.
Jika Hening sedang memasuki fase-fase itu, saya mencoba sekuat tenaga untuk
memposisikan diri sebagai dirinya, karena bagi saya hal itu bukanlah hal besar yang tak harus
terlalu dipikirkan tetapi akan dianggap berbeda oleh Hening. Saya berusaha mengerti bahwa
perasaan bersalah, kurang pantas, bodoh, atau gagal itu beratnya bisa berbeda-beda saat hinggap
di pikiran seseorang. Saya berusaha sekuat tenaga untuk memberikannya kalimat-kalimat
pendukung saat orang lain bahkan dirinya sendiri tidak mampu meredam semua perasaan itu.
Saya berbicara padanya untuk menyadarkannya bahwa semuanya pasti ada pelajaran yang bisa
diambil, saya berusaha membenahi pola pikirnya yang sedang kalut, walau sebenarnya sangat
susah karena saya takut jika perkataan-perkataan saya yang terkadang terbawa emosi bisa
mengarah pada sebuah ‘toxic positivity’

Dan, saya sadar betapa susahnya kita memaafkan diri kita sendiri saat melakukan
kesalahan, susah memandang diri sendiri berharga saat sedang dikurung rasa-rasa tak
mengenakan itu. Saya lalu berpikir, Hening bisa pulih dari fase-fase beratnya mungkin karena
sedikit pengaruh kata-kata saya yang mendukung dan tidak menghakiminya, lalu bagaimana
dengan orang yang mengalami hal yang sama tetapi tidak ada seseorangpun yang menemaninya?
Bagaimana jika hanya ada penghakiman dan tindakan meremahkan yang ia dapatkan? Lalu ia
memendam semuanya sendiri, tidak ingin berbagi kesulitannya karena takut membebani orang
lain, semuanya akan menumpuk di dalam dirinya dan akan meledak sewaktu-waktu. Saya sadar,
masih ada banyak kejadian seperti ‘Hening dan Keributan’ di dunia ini, yang bersembunyi dan
melalui semuanya sendiri. Maka dari itu, setidaknya saya ingin membantu orang-orang itu
menguatkan dan menyembuhkan dirinya sendiri hingga keadaan mentalnya bisa lebih stabil dari
pada sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai