Anda di halaman 1dari 15

Etika Pancasila

Tugas Terstruktur
Disusun untuk Memenuhi Tugas Materi Report

Oleh :
Kelompok 1
Dimas Satriawan (1807210058)
Kayla Alif Mariska S (1807210059)
Rizki Maulidinia (1807210168)
Muhammad Rafly (1807210169)
Nila Ardiyah (1807210074)
Muhammad Akbar Athallasyah (1807210085)
Reza Hariadi (1807210098)
Fachri Ferdiansyah (1807210099)
Putri Suci Amalia (1807210111)
Fahri Tanjung 1807210114)

Kelas :B-1 Pagi

JURUSAN TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
2018
KATA PENGANTAR

Bersyukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah ini dapat

disiapkan dalam rangkaian proses pemenuhan tugas mandiri materi report. Penulis memperoleh

pengalaman yang sangat berarti dan berkesan. Begitu juga, dengan kerendahan hati penulis ingin

berterima kasih kepada bapak Ardiansyah, S.H, M.Kn. selaku dosen mata kuliah Pancasila yang

memberikan tugas ini untuk pengembangan mahasiswa dalam memahami materi pembelajaran.

Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang telah turut membantu

dalam penyelesaiannya. Penulis berharap kiranya makalah ini dapat bermanfaat sebagai bahan

referensi dan inspirasi untuk membangun negeri tercinta. Amin.

Medan, 2019
Penulis,

Kelompok 1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang


Pancasila memiliki bermacam-macam fungsi dan kedudukan, antara lain sebagai dasar
negara, pandangan hidup bangsa, ideologi negara, jiwa dan kepribadian bangsa. Pancasila juga
sangat sarat akan nilai, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.
Oleh karena itu, pancasila secara normatif dapat dijadikan sebagai suatu acuan atas tindakan
baik, dan secara filosofis dapat dijadikan perspektif kajian atas nilai dan norma yang
berkembang dalam masyarakat.sebagai suatu nilai yang terpisah satu sama lain, nilai-nilai
tersebut bersifat universal, dapat ditemukan dimanapun dan kapanpun. Namun, sebagai suatu
kesatuan nilai yang utuh, nilai-nilai tersebut memberikan ciri khususpada keindonesiaan karena
merupakan komponen utuh yang terkristalisasi pancasila.
Meskipun para perumus Pancasila mendapat pendidikan dari barat, namun perumusan
pancasila digali dan bersumber dari agama, adat dan kebudayaan yang hidup di Indonesia. Oleh
karena itu, pancasila pada awalnya merupakan consensus politik yang memberi dasar bagi
berdirinya Negara Indonesia, berkembang menjadi consensus moral yang digunakan sebagai
sistem etika yang digunakan untuk mengkaji moralitas bangsa dalam konteks hubungan
berbangsa dan bernegara.

1.2     Rumusan Masalah


1. Apa itu etika?
2. Apa saja aliran-aliran dalam etika?
3. Apa itu etika pancasila?
4. Apa itu pancasila sebagai solusi persoalan bangsa dan Negara dalam studi kasus korupsi?
5. Apa itu norma, nilai dan moral?
6. Apa Hubungan norma, nilai dan moral?

1.3    Tujuan
1.      Untuk mengetahui apa itu etika.
2.      Untuk mengetahui aliran-aliran yang terdapat dalam etika.
3.      Untuk mengetahui tentang etika pancasila.
4.      Untuk mengetahui apa itu pancasila sebagai solusi persoalan bangsa dan Negara dalam
studi kasus korupsi.
5. Untuk mengetahui apa itu normal, nilai dan moral
6. Untuk mengetahui apa hubungan norma, nilai dan moral
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Etika


Secara etimologis (asal kata), etika berasal dari bahasa Yunani, ethos, dalam bentuk
tunggal artinya padang rumput, kebiasaan, adat, watak, dan lain-lain, dan dalam bentuk jamak
artinya kebiasaan. Etika berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang
kebiasaan. Istilah ini identik dengan moral yang berasal dari bahasa Latin, mos yang jamaknya
mores, yang juga berarti adat atau cara hidup. Dalam bahasa Indonesia, moral diterjemahkan
dengan arti susila. Moral ialah ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana
yang baik dan wajar. Etika lebih bersifat teori, sedangkan moral menyatakan ukuran. Meskipun
kata etika dan moral memiliki kesamaan arti, dalam pemakaian sehari-hari dua kata ini
digunakan secara berbeda.
Moral atau moralitas digunakan untuk pembuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika
digunakan untuk mengkaji sistem nilai yang ada (Zubair, 1987: 13). Dalam bahasa Arab,
padanan kata etika adalah akhlak yang merupakan kata jamak khuluk yang berarti perangai,
tingkah laku atau tabiat (Zakky, 2008: 20). Menurut Dr.H. Hamzah Ya’cub dalam buku etika
islam, etika ialah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan
memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh dapat diketahui oleh akal pikiran. Etika adalah
suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral
tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan
dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1987).

2.2     Aliran-aliran Dalam Etika


Dalam kajian etika dikenal ada tiga teori/aliran besar, yaitu deontologi, teleologi dan
keutamaan. Setiap aliran memiliki sudut pandang sendiri-sendiri dalam menilai apakah suatu
perbuatan diakatakan baik atau buruk.

1.    Etika Deontologi


Etika deontologi memandang bahwa tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah
tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Etika deontologi tidak mempersoalkan akibat
dari tindakan tersebut, baik atau buruk. Kebaikan adalah ketika seseorang melaksanakan apa
yang sudah menjadi kewajibannya. Tokoh yang mengemukakan teori ini adalah Immanuel Kant
(1734-1804). Kan menolak akibat suatu tindakan tersebut karena akibat tadi tidak menjamin
universalitas dan konsistensi dalam bertindak dan menilai suatu tindakan (Keraf, 2002: 9).
Kewajiban moral sebagai manifestasi hukum moraladalah sesuatu yang sudah tertanam dalam
setiap diri pribadi manusia yang bersifat universal.
Kewajiban moral untuk tidak melakukan korupsi, misalnya, merupakan tindakan tanpa
syarat yang harus dilakukan oleh setiap orang. Bukan karena hasil atau adanya tujuan-tujuan
tertentu yang akan diraih, namun karena secara moral setiap orang sudah memahami bahwa
korupsi adalah tindakan yang dinilai buruk oleh siapapun. Etika deontologi menekankan bahwa
kebijakan/tindakan harus didasari oleh motivasi dan kemauan baik dari dalam diri, tanpa
mengharapkan pamrih apapun dari tindakan yang dilakukan (Kuswanjono, 2008: 7). Ukuran
kebaikan dalam etika deontologi adalah kewajiban, kemauan baik, kerja keras, dan otonomi
bebas.

2.    Etika Teleologi


Pandangan etika teleologi berkebalikan dengan etika deontologi, yaitu bahwa baik buruk
suatu tindakan dilihat berdasarkan tujuan atau akibat dari perbuatan itu. Jawaban yang diberikan
oleh etika teologi bersifat situasional yaitu memilih mana yang membawa akibat baik meskipun
harus melanggar kewajiban, nilai norma yang lain. Etika teleologi dapat digolongkan menjadi
dua, yaitu egoisme etnis dan utilitarianisme.

a. Egoisme etnis memandang bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang berakibat
baik untuk pelakunya. Secara moral setiap orang dibenarkan mengejar kebahagiaan untuk
dirinya dan dianggap salah atau buruk apabila membiarkan dirinya sengsara dan
dirugikan.
b. Utilitarianisme menilai bahwa baik buruknya suatu perbuatan tergantung bagaimana
akibatnya terhadap banyak orang. Tindakan dikatakan baik apabila mendatangkan
kemanfaatan yang besar dan memberikan kemanfaatan bagi banyak orang. Etika
utilitarianisme lebih bersifat realistis,terbuka terhadap beragam alternatif tindakan dan
berorientasi pada kemanfaatan yang besar dan yang menguntungkan banyak orang.

Ada enam kelemahan utilitarisme, yaitu:


1. Karena alasan kemanfaatan untuk orang banyak berarti akan ada sebagian masyarakat
yang dirugikan, dan itu dibenarkan. Dengan demikian utilitarianisme membenarkan
adanya ketidakadilan terutama terhadap minoritas.
2. Dalam kenyataan praktis, masyarakat lebih melihat kemanfaatan itu dari sisi yang
kuantitas- materialistis, kurang memperhitungkan manfaat yang non-material seperti
kasih sayang, nama baik, hak dan lain-lain.
3. Karena kemanfaatan yang banyak diharapkan dari segi material yang tentu terkait dengan
masalah ekonomi, maka untuk atas nama ekonomi tersebut hal-hal yang ideal seperti
nasionalisme, martabat bangsa akan terabaikan, misal atas nama memasukkan investor
asing aset-aset negara dijual kepada pihak asing, atau atas nama meningkatkan devisa
negara pengiriman TKW ditingkatkan. Hal yang menimbulkan problem besar adalah
ketika lingkungan dirusak atas nama untuk menyejahterakan masyarakat.
4. Kemanfaatan yang dipandang oleh etika utilitarianisme sering dilihat dalam jangka
pendek, tidak melihat akibat jangka panjang. Padahal, misal dalam persoalan lingkungan,
kebijakan yang dilakukan sekarang akan memberikan dampak negatif pada masa yang
akan datang.
5. Karena etika utilitarianisme tidak menganggap penting nilai dan norma, tapi lebih pada
orientasi hasil, maka tindakan yang melanggar nilai dan norma atas nama kemanfaatan
yang besar, misalnya perjudian/prostitusi, dapat dibenarkan.
6. Etika utilitarianisme mengalami kesulitan menentukan mana yang lebih diutamakan
kemanfaatan yang besar namun dirasakan oleh sedikit masyarakat atau kemanfaatan yang
lebih banyak dirasakan banyak orang meskipun kemanfaatannya kecil.
Menyadari kelemahan itu, etika utilitarianisme membedakannya dalam dua tingkatan,
yaitu utilitarianisme aturan dan tindakan. Atas dasar ini, maka pertama, setiap kebijakan
dan tindakan harus dicek apakah bertentangan dengan nilai dan norma atau tidak. Kalau
bertentangan maka kebijakan dan tindakan tersebut harus ditolak meskipun memiliki
kemanfaatan yang besar. Kedua, kemanfaatan harus dilihat tidak hanya yang bersifat fisik
saja tetapi juga yang non-fisik seperti kerusakan mental, moralitas, kerusakan lingkungan
dsb. Ketiga, terhadap masyarakat yang dirugikan perlu pendekatan personal dan
kompensasi yang memadai untuk memperkecil kerugian material dan non-material.

3.    Etika Keutamaan


Etika ini tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan, tidak juga mendasarkan pada
penilaian moral pada kewajiban terhadap hukum moral universal, tetapi pada pengembangan
karakter moral pada diri setiap orang. Karakter moral ini dibangun dengan cara meneladani
perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan oleh para tokoh besar. Internalisasi ini dapat dibangun
melalui cerita, sejarah yang didalamnya mengandung nilai-nilai keutamaan agar dihayati dan
ditiru oleh masyarakatnya. Kelemahan etika ini adalah ketika terjadi didalam masyarakat yang
majemuk, maka tokoh-tokoh yang dijadikan panutan juga beragam sehingga konsep keutamaan
menjadi sangat beragam pula, dan keadaan ini dikhawatirkan akan menimbulkan benturan sosial.
Kelemahan etika keutamaan dapat diatasi dengan cara mengarahkan keteladanan tidak
pada figur tokoh, tetapi pada perbuatan baik yang dilakukan oleh tokoh itu sendiri, sehingga
akan ditemukan prinsip-prinsip umum tentang karakter bermoral itu seperti apa.
2.3    Etika Pancasila
Etika Pancasila adalah etika yang mendasarkan penilaian baik dan buruk pada nilai-nilai
Pancasila, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Suatu
perbuatan dikatakan baik bukan hanya apabila tidak bertentangan dengan nilai-nilai tersebut,
namun juga sesuai dan mempertinggi nilai-nilai Pancasila tersebut. Nilai-nilai Pancasila
meskipun merupakan kristalisasi nilai yang hidup dalam realitas sosial, keagamaan, maupun adat
kebudayaan bangsa Indonesia, namun sebenarnya nilai-nilai Pancasila juga bersifat universal
yaitu dapat diterima oleh siapapun dan kapanpun. Rumusan Pancasila yang otentik dimuat dalam
Pembukan UUD 1945 alinea keempat. Dalam penjelasan UUD 1945 yang disusun oleh PPKI
ditegaskan bahwa “pokok- pokok pikiran yang termuat dalam Pembukaan (ada empat, yaitu
persatuan, keadilan, kerakyatan dan ketuhanan menurut kemanusiaan yang adildan beradab)
dijabarkan ke dalam pasal-pasal Batang Tubuh. Dan menurut TAP MPRS No.XX/MPRS/1966
dikatakan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum.
Hakikat Pancasila pada dasarnya merupakan satu sila yaitu gotong royong atau cinta
kasih dimana sila tersebut melekat pada setiap insan, maka nilai-nilai Pancasila identik dengan
kodrat manusia. oleh sebab itu penyelenggaraan Negara yang dilakukan oleh pemerintah tidak
boleh bertentangan dengan harkat dan martabat manusia, terutama manusia yang tinggal di
wilayah nusantara. Pancasila merupakan hasil kompromi nasional dan pernyataan resmi
bahwa bangsa Indonesia menempatkan kedudukan setiap warga negara secara sama, tanpa
membedakan antara penganut agama mayoritas maupun minoritas. Selain itu juga tidak
membedakan unsur lain seperti gender, budaya, dan daerah. Nilai-nilai Pancasila bersifat
universal yang memperlihatkan napas humanisme, karenanya Pancasila dapat dengan mudah
diterima oleh siapa saja.

Di dalam Pancasila terdapat nilai-nilai dan makna-makna yang dapat di implementasikan


dalam kehidupan sehari-hari.
1. Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Secara garis besar mengandung makna bahwa Negara
melindungi setiap pemeluk agama (yang tentu saja agama diakui di Indonesia) untuk
menjalankan ibadahnya sesuai dengan ajaran agamanya. Tanpa ada paksaan dari siapa pun
untuk memeluk agama, bukan mendirikan suatu agama. Tidak memaksakan suatu agama atau
kepercayaannya kepada orang lain. Menjamin berkembang dan tumbuh suburnya kehidupan
beragama. Dan bertoleransi dalam beragama, yakni saling menghormati kebebasan menjalankan
ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
2. Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Mengandung makna bahwa setiap warga
Negara mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum, karena Indonesia berdasarkan atas
Negara hukum. mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara
sesama manusia. Menempatkan manusia sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk Tuhan.
Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Bertingkah laku sesuai dengan adab dan norma yang
berlaku di masyarakat.

3. Sila Ketiga: Persatuan Indonesia. Mengandung makna bahwa seluruh penduduk yang mendiami
seluruh pulau yang ada di Indonesia ini merupakan saudara, tanpa pernah membedakan suku,
agama ras bahkan adat istiadat atau kebudayaan. Penduduk Indonesia adalah satu yakni satu
bangsa Indonesia. cinta terhadap bangsa dan tanah air. Menjaga persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia. Rela berkorban demi bangsa dan negara. Menumbuhkan rasa senasib dan
sepenanggungan.

4. Sila Keempat: Kerakyatan Yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam


Permusyawaratan/Perwakilan. Mengandung maksud bahwa setiap pengambilan keputusan
hendaknya dilakukan dengan jalan musyawarah untuk mufakat, bukan hanya mementingkan
segelintir golongan saja yang pada akhirnya hanya akan menimbulkan anarkisme. tidak
memaksakan kehendak kepada orang lain. Melakukan musyawarah, artinya mengusahakan
putusan bersama secara bulat, baru sesudah itu diadakan tindakan bersama. Mengutamakan
kepentingan negara dan masyarakat.

5.   Sila Kelima: Keadilan Sosial Bagi Seluruh rakyat Indonesia. Mengandung maksud bahwa setiap
penduduk Indonesia berhak mendapatkan penghidupan yang layak sesuai dengan amanat UUD
1945 dalam setiap lini kehidupan. mengandung arti bersikap adil terhadap sesama, menghormati
dan menghargai hak-hak orang lain. Kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat. Seluruh
kekayaan alam dan isinya dipergunakan bagi kepentingan bersama menurut potensi masing-
masing. Segala usaha diarahkan kepada potensi rakyat, memupuk perwatakan dan peningkatan
kualitas rakyat, sehingga kesejahteraan tercapai secara merata. Penghidupan disini tidak hanya
hak untuk hidup, akan tetapi juga kesetaraan dalam hal mengenyam pendidikan. Apabila nilai-
nilai yang terkandung dalam butir-butir Pancasila di terapkan di dalam kehidupan sehari-hari
maka tidak akan ada lagi kita temukan di Negara kita yang namanya ketidak adilan, terorisme,
koruptor, serta kemiskinan. Karena di dalam Pancasila sudah tercemin semua norma-norma yang
menjadi dasar dan ideologi bangsa dan Negara. Sehingga tercapailah cita-cita sang perumus
Pancasila yaitu menjadikan Pancasila menjadi jalan keluar dalam menuntaskan permasalahan
bangsa dan Negara.
2.4    Pancasila Sebagai Solusi Persoalan Bangsa dan Negara Dalam Studi Kasus Korupsi
Moralitas individu dan sosial memiliki hubungan sangat erat bahkan saling tarik-menarik
dan mempengaruhi. Moralitas individu dapat dipengaruhi moralitas sosial, demikian pula
sebaliknya. Seseorang yang moralitas individunya baik ketika hidup dilingkungan masyarakat
yang bermoral buruk bisa saja dapat terpengaruh. Kenyataan seperti ini seringkali terjadi pada
lingkungan pekerjaan. Ketika lingkungan pekerjaan berisi orang-orang yang bermoral buruk,
maka orang yang bermoral baik akan dikucilkan atau diperlakukan tidak adil. Seorang yang
moral individunya lemah akan terpengaruh untuk menyesuaikan diri dan mengikuti. Namun
sebaliknya, seseorang yang memiliki moralitas individu baik akan tidak terpengaruh bahkan
dapat mempengaruhi lingkungan yang bermoral buruk tersebut.
Nilai-nilai pancasila apabila betul-betul dipahami, dihayati, dan diamalkan tentu mampu
menurunkan angka korupsi. Penanaman satu sila saja, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, apabila
bangsa Indonesia menyadari jati dirinya sebagai makhluk Tuhan, tentu tidak akan mudah
menjatuhkan martabat dirinya ke dalam kehinaan dengan melakukan korupsi. Perbuatan korupsi
terjadi karena hilangnya kontrol diri dan ketidakmampuan untuk menahan diri melakukan
kejahatan. Kebahagiaan material dianggap segala-galanya dibanding kebahagiaan spiritual yang
lebih agung, mendalam, dan jangka panjang. Keinginan mendapatkan kekayaan dan kedudukan
secara cepat menjadikan nilai-nilai agama dikesampingkan. Manusia sebagai makhluk ciptaan
Tuhan yang paling sempurna tentu tidak akan merendahkan dirinya diperhamba oleh harta,
namun akan menyerahkan diri sebagai hamba Tuhan. Buah dari pemahaman dan penghayatan
nilai ketuhanan ini adalah kerelaan untuk diatur Tuhan, melakukan yang diperintahkan, dan
meninggalkan yang dilarang-Nya.
Penanaman satu nilai tentunya tidak cukup dan memang tidak bisa dalam konteks
Pancasila, karena nilai-nilai Pancasila merupakan kesatuan organis yang tidak dapat dipisahkan
antara satu dengan yang lain. Dengan demikian, akan menjadi kekuatan moral besar manakala
keseluruhan nilai Pancasila yang meliputi nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan,
dan keadilan dijadikan landasan moril dalam seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara,
terutama dalam pemberantasan korupsi.
Penanaman nilai pancasila tersebut paling efektif adalah melalui pendidikan dan media.
Pendidikan informal di keluarga harus menjadi landasan utama dan kemudian didukung oleh
pendidikan formal di sekolah dan non-formal di masyarakat. Peran media juga sangat penting
karena memiliki daya jangkau dan daya pengaruh yang sangat kuat bagi masyarakat. Media
harus memiliki visi dan misi mendidik bangsa dan membangun karakter masyarakat yang maju
namun tetap berkepribadian Indonesia.
2.5 Pengertian Nilai, Norma, dan Moral
Secara etimologi, nilai berasal dari kata value (Inggris) yang berasal dari kata valere
(Latin) yang berarti : kuat, baik, berharga. Dengan demikian secara sederhana, nilai adalah
sesuatu yang berguna.
Nilai bersifat abstrak, seperti sebuah ide, dalam arti tidak dapat ditangkap melalui indra,
yang dapat ditangkap adalah objek yang memiliki nilai. Nilai juga mengandung harapan akan
sesuatu yang diinginkan. Jadi, nilai bersifat normative, suatu keharusan (das sollen) yang
menuntut diwujudkan dalam tingkah laku. Nilai menjadi pendorong / motivator hidup manusia.
Tindakan manusia digerakkan oleh nilai.
Di dalam Dictionary of Sosciology and Related Science dikemukakan bahwa nilai
adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Jadi,
nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan objek
itu sendiri. Sesuatu itu mengandung nilai artinya ada sifat atau kualitas yang melekat pada
sesuati itu. dengan demikian maka nilai itu sebenarnya adalah suatu kenyataan yang
“tersembunyi” di balik kenyataan-kenyataan lainnya. ada nilai itu karena adanya kenyataan-
kenyataan lain sebagai pembawa nilai (wartrager).

Dalam filsafat pancasila, juga disebutkan bahwa ada tiga tingkatan nilai, yaitu:
a) Nilai Dasar
Nilai yang mendasari nilai instrumental. Nilai dasar ( dalam bahasa ilmiahnya disebut dasar
onotologis), yaitu merupakan hakikat, esensi, intisari atau makana terdalam dari nilai-nilai
tersebut. Nilai dasar ini bersifat universal karena menyangkut hakikat kenyataan objektif segala
sesuatu, misalnya: hakikat Tuhan, manusia atau segala sesuatu lainnya.

b) Nilai Instrumental
Nilai instrumental merupakan suatu pedoman yang dapat diukur dan dapat diarahkan. Nilai
instrumental juga merupakan pelaksanaan umum dari nilai dasar. Umumnya berbentuk norma
social dan norma hokum yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam peraturan dan mekanisme
lembaga-lembaga negara.

c) Nilai Praksis
Nilai praksis pada hakikatnya merupakan penjabaran dari nilai instrumental dalam suatu
kehidupan yang nyata. Nilai praksis sesungguhnya menjadi batu ujian, apakah nilai dasar dan
nilai instrumental itu benar-benar hidup dalam masyarakat Indonesia.
Nilai-nilai dasar dari Pancasila adalah nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, nilai
Kemanusiaan Yang adil dan beradab, nilai persatuan Indonesia, nilai kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan nilai keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.

Norma atau kaidah adalah aturan pedoman bagi manusia dalam berperilaku sebagai
perwujudan dari nilai yaitu perwujudan martabat manusia sebagai mahluk budaya, moral, religi,
dan sosial. Norma merupakan suatu kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai
untuk dipatuhi.
Norma yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari ada empat, yaitu :
1. Norma agama
Norma ini disebut juga dengan norma religi atau kepercayaan. Norma ini ditunjukkan
kepada kehidupan beriman yaitu kewajiban manusia kepada Tuhan dan dirinya sendiri.
2. Norma Etik atau Moral
Norma ini disebut juga dengan norma kesusilaan atau etika atau budi pekerti. Norma
moral atau etik adalah norma yang paling dasar. Norma ini menentukan bagaimana kita
menilai seseorang, karena norma ini berkaitan dengan tingkah laku manusia. Norma
kesusilaan berhubungan dengan manusia sebagai individu karena menyangkut kehidupan
pribadi.
3. Norma kesopanan
Norma ini disebut juaga norma adat, sopan santun, tata karma atau norma fatsoen. Norma
ini didasarkan atas kebiasaan, kepatuhan atau kepantasan yang berlaku dalam
masyarakat.
4. Norma hukum
Suatu sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang
memaksakan kepada kita.

Moral berasal dari kata mos (mores) yang hampir sama dengan kesusilaan, kelakuan.
Moral adalah suatu ajaran-ajaran atau wejangan-wejangan, patokan-patokan, kumpulan
peraturan, baik lisan maupun tertulis tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah
laku dan perbuatan manusia.

2.6 Hubungan Nilai, Norma dan Moral


Sebagaimana dijelaskan diatas, nilai adalah bersifat abstrak, seperti sebuah ide, dalam arti
tidak dapat ditangkap melalui indra, yang dapat ditangkap adalah objek yang memiliki nilai.
Nilai juga mengandung harapan akan sesuatu yang diinginkan. Agar nilai tersebut lebih berguna
dalam menuntun sikap dan tingkah laku manusia, maka perlu dikongkritkan menjadi lebih
objektif. Maka wujud yang lebih kongkrit dari nilai tersebut adalah merupakan suatu norma.
Selanjutnya nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika. Makna moral
yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah lakunya.
Dalam pengertian inilah maka kita memasuki wilayah norma sebagai penuntun sikap dan tingkah
laku manusia.
Hubungan antara moral dan etika memang sangat erat sekali dan kadangkala kedua hal
tersebut disamakan begitu saja. Namun sebenarnya kedua hal tersebut memiliki perbedaan.

2.7 Pancasila sebagai Nilai Dasar Fundamental bagi Bangsa dan Negara Republik
Indonesia

1. Dasar Filosofis
Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia pada
hakikatnya merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat sistematis. Oleh karena itu sebagai suatu
dasar filsafat maka sila-sila pancasila merupakan suatu kesatuan yang bulat, hierarkhis dan
sistematis.
Dasar pemikiran filosofis dari sila-sila Pancasila sebagai dasar filsafat negara sebagai
berikut. Pancasila sebai filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia, mengandung makna
bahwa dalam setiap aspek kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan serta kenegaraan harus
berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan , Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan.
Nilai-nilai Pancasila bersifat objektif dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Rumusan dari sila-sila Pancasila itu sendiri sebenarnya hakikat maknanya yang terdalam
menunjukkan adanya sifat-sifat yang umum universal dan abstrak, karena merupakan
suatu nilai.
2. Inti nilai-nilai Pancasila akan tetap ada sepanjang masa dalam kehidupan bangsa
Indonesia dan mungking juga pada bangsa lain baik dalam adat kebiasaan, kebudayaan,
kenegaraan maupun dalam kehidupan keagamaan.
3. Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, menurut ilmu hukum
memenuhi syarat sebagai pokok kaidah yang fundamental negara sehingga merupakan
suatu sumber hukum positif di Indonesia.

Sebaliknya nilai-nilai Pancasila yang bersifat subjektif dijelaskan sebagai berikut:


1. Nilai-nilai Pancasila timbul dari bangsa Indonesia sehingga bangsa Indonesia sebagai
kausa materialis.
2. Nilai-nilai Pancasila merupakan filsafat (pandangan hidup) bangsa Indonesia sehingga
merupakan jati diri bangsa.
3. Nilai-nilai Pancasila di dalamnya terkandung ketujuh nilai-nilai kerokhanian yaitu nilai
kebenaran, keadilan, kebaikan, kebijaksanaan, etis, estetis, dan religius.

2. Nilai-nilai Pancasila sebagai Nilai Fundamental Negara


Nilai-nilai Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia pada hakikatnya merupakan
suatu sumber dari segala sumber hukum dalam negara Indonesia. Sebagai suatu sumber dari
segala sumber hukum secara objektif merupakan suatu pandangan hidup, kesadaran, cita-cita
hukum serta cita-cita moral yang luhur yang meliputi suasana kejiwaan, serta watak bangsa
Indonesia, yang pada tanggal 18 Agustus 1945 telah dipadatkan oleh para pendiri negara menjadi
lima sila dan ditetapkan secara yuridis formal menjadi dasar filsafat negara Republik Indonesia.
Hal ini sebagaimana ditetapkan dalam Ketetapan No. XX/MPRS/1966.
Nilai-nilai Pancasila terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 secara yuridis memiliki
kedudukan sebagai Pokok Kaidah Negara yang fundamental.
BAB  III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan
mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap
yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1987). Dalam kajian
etika, dikena adal tiga teori/aliran besar, yaitu deontologi, teleologi dan keutamaan. Setiap aliran
memiliki sudut pandang sendiri-sendiri dalam menilai apakah suatu perbuatan diakatakan baik
atau buruk.
Etika Pancasila adalah etika yang mendasarkan penilaian baik dan buruk pada nilai-nilai
Pancasila, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Suatu
perbuatan dikatakan baik bukan hanya apabila tidak bertentangan dengan nilai-nilai tersebut,
namun juga sesuai dan mempertinggi nilai-nilai Pancasila tersebut.
Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia pada
hakikatnya merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat sistematis. Oleh karena itu sebagai suatu
dasar filsafat maka sila-sila pancasila merupakan suatu kesatuan yang bulat, hierarkhis dan
sistematis. Pancasila memberikan dasar-dasar yang bersifat fundamental dan universal bagi
manusia baik dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

3.2     Saran
1.     Etika yang terdapat dalam Pancasila harus senantiasa di terapkan dalam bersikap dan
berperilaku dalam kehidupan sehari-hari, sehingga terwujud perilaku yang sesuai dengan adat,
budaya dan karakter bangsa Indonesia.
2.     Nilai-nilai Pancasila senantiasa harus diamalkan dalam setiap kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Agar tercipta persatuan dan kesatuan antar warga Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai