Anda di halaman 1dari 12

CARA MENENTUKAN BATAS

LAUT TERITORIAL DAN ZONA UDARA

(Tugas Pendidikan Kewarganegaraan)

Dosen Pengampu : Suherni, M.Pd.

Disusun Oleh :

Suci Susanti (1811060012) Ratu Anggraini (1811060)

Rini Larasati (1811060246) Dede Nurhidayah (1811060)

Sigit Indah Sari (1811060414) Riska Indah P. (1811060129)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI

2019
BATAS LAUT TERITORIAL

A. Pengertian Laut Territorial


Konsep laut teritorial muncul karena kebutuhan untuk menumpas
pembajakan dan untuk mempromosikan pelayaran dan perdagangan antar negara.
Prinsip ini mengijinkan negara untuk memperluas yurisdiksinya melebihi batas
wilayah pantainya untuk alasan keamanan. Secara konseptual, laut teritorial
merupakan perluasan dari wilayah teritorial darat. Sejak Konferensi Den Haag
1930 kemudian Konferensi Hukum Laut 1958, negara-negara pantai mendukung
rencana untuk konsep laut teritorial ditetapkan dalam doktrin hukum laut.
Kemudian ketentuan laut teritorial dikodifikasikan dalam Konvensi Hukum Laut
1982 (LOCS). LOCS mengijikan negara pantai untuk menikmati yurisdiksi
eksklusif atas tanah dan lapisan tanah dibawahnya sejauh 12 mil laut diukur dari
garis dasar sepanjang pantai yang mengelilingi negara tersebut.penertian laut
territorial menurut hukum laut internasional maupun nasional adalah sebagai
berikut :
1. Menurut UNCLOS
Garis-garis dasar (garis pangkal / baseline), yang lebarnya 12 mil laut
diukur dari garis dasar Laut territorial didefinisikan sebgai laut wilayah yang
terletak disisi luar dari garis pangkal.
Yang dimaksud dengan garis dasar disini adalah garis yang ditarik pada
pantai pada waktu air laut surut . Negara pantai mempunyai kedaulatan atas Laut
Teritorial, ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dimana dalam pelaksanaannya
kedaulatan atas laut territorial ini tunduk pada ketentuan hokum internasional.

2. Menurut UU No.6 Tahun 1996


Laut teritorial adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil yang diukur dari
garis pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana yang dimaksud pasal 5 UU No 6
Tahun 1996 yaitu:
(1) Garis pangkal kepulauan Indonesia ditarik dengan menggunakan garis
pangkal     lurus kepulauan.
(2) Dalam hal garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) tidak dapat digunakan, maka digunakan garis pangkal biasa atau garis
pangkal lurus.
(3) Garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah
garis -garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah
pulau-pulau dan karang- karang kering terluar dari kepulauan Indonesia.
(4) Panjang garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut, kecuali bahwa 3% (tiga per
seratus) dari jumlah keseluruhan garis -garis pangkal yang mengelilingi
kepulauan Indonesia dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga suatu
kepanjangan maksimum 125 (seratus dua puluh lima) mil laut.
(5) Garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak
boleh ditarik dari dan ke elevasi surut, kecuali apabila di atasnya telah
dibangun mercu suar atau instalasi serupa yang se-cara permanen berada di
atas permukaan laut atau apabila elevasi surut tersebut terletak seluruhnya
atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari
pulau yang terdekat.
(6) Garis pangkal biasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah garis air
rendah sepanjang pantai.
(7) Garis pangkal lurus sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah garis lurus
yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis pantai yang menjorok jauh
dan menikung ke daratan atau deretan pulau yang terdapat di dekat sepanjang
pantai.

Dalam Laut Teritorial berlaku hak lintas laut damai bagi kendaraan-
kendaraan air asing. Kapal asing yang menyelenggarakan lintas laut damai di Laut
Teritorial tidak boleh melakukan ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap
kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara pantai serta tidak
boleh melakukan kegiatan survey atau penelitian, mengganggu sistem
komunikasi, melakukan pencemaran dan melakukan kegiatan lain yang tidak ada
hubungan langsung dengan lintas laut damai. Pelayaran lintas laut damai tersebut
harus dilakukan secara terus menerus, langsung serta secepatnya, sedangkan
berhenti dan membuang jangkar hanya dapat dilakukan bagi keperluan navigasi
yang normal atau kerena keadaan memaksa atau dalam keadaan bahaya atau untuk
tujuan memberikan bantuan pada orang, kapal atau pesawat udara yang berada
dalam keadaan bahaya.

Terkait dengan pelaksanaan hak lintas damai bagi kapal asing tersebut, Negara
pantai berhak membuat peraturan yang berkenaan dengan keselamatan pelayaran
dan pengaturan lintas laut, perlindungan alat bantuan serta fasilitas navigasi,
perlindungan kabel dan pipa bawah laut, konservasi kekayaan alam hayati,
pencegahan terhadap pelanggaran atas peraturan perikanan, pelestarian
lingkungan hidup dan pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran,
penelitian ilmiah kelautan dan survei hidrografi dan pencegahan pelanggaran
peraturan bea cukai, fiskal, imigrasi dan kesehatan.

Di laut teritorial kapal dari semua negara, baik negara berpantai ataupun tidak
berpantai, dapat menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial, demikian
dinyatakan dalam pasal 17 LOCS 1982. Dalam pasal 18 LOCS 1982, disebutkan
pengertian lintas, berarti suatu navigasi melalui laut teritorial untuk keperluan:
1) Melintasi laut tanpa memasuki perairan pedalaman atau singgah di tempat
berlabuh di tengah laut atau fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman ;
atau
2) Berlalu ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di
tengah laut (roadstead) atau fasilitas pelabuhan tersebut.

Termasuk dalam pengertian lintas ini harus terus menerus, langsung serta
secepat mungkin, dan mancakup juga berhenti dan buang jangkar, tetapi hanya
sepanjang hal tersebut berkaitan dengan navigasi yang lajim atau perlu dilakukan
karena force majure atau memberi pertolongan kepada orang lain, kapal atau
pesawat udara yang dalam keadaan bahaya.

Selanjutnya dalam pasal 19 Konvensi menyatakan, bahwa lintas adalah


damai, sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban atai keamanan
Negara pantai.sedangkan lintas suatu kapal asing dianggap membahayakan
kedamaian, ketertiban atau keamanan suatu Negara pantai, apabila kapal tersebut
dalam melakukan navigasi di laut teritorial melakukan salah satu kegiatan sebagai
berikut :
1) Setiap ancaman penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan
wilayah atau kemerdekaan politik Negara pantai, atau dengan cara lain
apapun yang merupakan pelanggaran atas hukum internasional sebagaimana
tercantum dalam Piagam PBB.
2) Setiap latihan atau praktek dengan senjata macam apapun.
3) Setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan infomasi yang
merugikan bagi pertahanan atau keamanan Negara pantai.
4)      Peluncuran, pendaratan atau penerimaan pesawat udara di atas kapal.
5)      Perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi pertahanan dan
keamanan Negara pantai.
6)      Bongkar atau muat setiap komoditi, mata uang atau orang secara
bertentangan dengan peraturan bea cukai dan imigrasi.
7)      Perbuatan pencemaran laut yang disengaja.
8)      Kegiatan perikanan.
9)      Kegiatan riset.
10)  Mengganggu sistem komunikasi.
11)  Kegiatan yang berhubungan langsung dengan lintas.

Pasal 32 UNLOCS memberikan pengecualian bagi kapal perang atau


kapal pemerintah yang dioperasikan untuk tujuan non komersial. Pasal 29 LOCS
memberikan definisi kapal perang yaitu suatu kapal yang dimiliki oleh angkatan
bersenjata suatu Negara yang memamkai tanda luar yang menunjukkan ciri
khusus kebangsaan kapal tersebut, di bawah komando seorang perwira, yang
diangkat oleh pemerintah Negaranya dan namanya terdaftar dinas militer yang
tepat atau daftar yang serupa yang diawasi oleh awak kapal yang tunduk pada
disiplin angkatan bersenjata reguler.

Negara pantai tidak boleh menghalangi lintas damai kapal asing melalui
laut teritorialnya, kecuali dengan ketentuan Konvensi atau perundang-undangan
yang dibuat sesuai dengan ketentuan Konvensi. Negara pantai juga tidak boleh
menetapkan persyaratan atas kapal asing yang secara praktis berakibat penolakan
atau pengurangan hak lintas damai. Lain dari pada itu Negara pantai tidak boleh
mengadakan diskriminasi formil atau diskriminasi nyata terhadap kapal Negara
manapun. Untuk keselamatan pelayaran, Negara pantai harus secepatnya
mengumumkan bahaya apapun bagi navigasi dalam laut teritorialnya yang
diketahuinya.

Selanjutnya Pasal 25 LOCS, mengenai hak perlindungan bagi keamanan


Negaranya, Negara pantai dapat mengambil langkah yang diperlakukan untuk
mencegah lintas yang tidak damai di laut teritorialnya. Negara pantai juga berhak
untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran apapun
terhadap persyaratan yang ditentukan bagi masuknya kapal ke perairan pedalaman
atau ke persinggahan demikian. Tanpa diskriminasi formil atau diskriminasi nyata
di antara kapal, Negara pantai dapat menangguhkan sementara pada daerah
tertentu di laut teritorialnya untuk perlindungan keamanannya termasuk keperluan
latihan senjata.

B. Cara Menentukan Lebar Dan Garis Batas Laut Teritorial

Seperti yang diuraikan diatas bahwa penentuan laut territorial  suatu


Negara pantai dilakukan dengan cara penarikan sejauh 12 mil dari garis pangkal
terluar yang merupakan ttitik pasang surut terendah seperti yang diatur dalam
pasal 5 unclos dan uu no.6 tahun 1996 pasal 5.namun unclos dan uu no.6
tahun1996 memberikan pengecualian terhadap wilayah laut yang memiliki pantai
yang saling berhadapan antar Negara pantai.

a).      Pasal 10 uu no.6 tahun 1996 menyebutkan bahwa :

(1) Dalam hal pantai Indonesia letaknya berhadapan atau berdampingan dengan
negara lain,   kecuali adapersetujuan yang sebaliknya, garis batas laut
teritorial antara Indonesia dengan negara tersebut adalahgaris tengah yang
titik-titiknya sama jaraknya dari titik- titik ter-dekat pada garis pangkal dari
mana lebar laut teritorial masing-masing negara diukur.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila
terdapat alasan hak historis ataukeadaan khusus lain yang menyebabkan
perlunya menetapkan batas laut teritorial antara kedua negaramenurut suatu
cara yang berbeda dengan ketentuan tersebut.

b).  Pasal 83 UNCLOS, 1982 menetapkan bahwa penentuan batas landasan


continental antar negara dengan pesisir yang berhadapan atau berdekatan
akan dilaksanakan melalui perjanjian berdasarkan hukum internasional
dengan tujuan untuk mencapai suatu penyelesaian yang pantas dan fair.
Berdasarkan peraturan diatas ,dapat dinyatakan bahwa penentuan batas laut
territorial antara Negara pantai yang memiliki wilayah pantai dapat dilakukan
melalui perundingan atau kesepakatan antar kedua belah pihak.

C. Pengaturan Hukum Laut Indonesia


Secara nasional pengaturan mengenai hak lintas damai terdapat dalam:
1)      UU No 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia
2)      Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 1962 tentang Hak Lintas Damai
kendaraan Air Asing.
3)      UU No 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nation Convention of the
Law of the Sea 1982.
4)      UU No 6 Tahun 1996 tentang Perairan
5)      Peraturan Pemerintah No 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal
Asing dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia
6)      PP no.19 tahun 1999 tentang pengendalian dan atau perusakan laut

Namun melihat peraturan yang ada mengatur tentang laut territorial


diindonesia masih banyak terdapat berbagai kekurangan diantaranya tidak adanya
pengaturan batas laut Indonesia.

D. Pengaturan Hukum Laut Internasional Mengenai Laut Teritorial Dalam


Unclos 1982
Dalam unclos laut teritorial diatur dalam :
Bagian 1. Pendahuluan (pasal 1sampai 3)
Bagian 2. batas Laut Teritorial
Bagian 3.lintas damai di laut territorial
1)      Sub bagian a.
Peraturan yang berlaku bagi semua kapal (pasal 17 sampai 26)
2)      Sub bagian b.
Peraturan yang berlaku bagi kapal dagang dan kapal pemerintah yang
dioperasikan untuk tujuan komersial (pasal 27 sampai 28)
3)      Sub bagian c.
Peraturan yang berlaku bagi kapal perang dan kapal pemerintah lainnya
yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial(pasal 29 sampai 32)

BATAS ZONA UDARA

Apabila mempelajari Konvensi Chicago 1944 maka terlihat bahwa tidak


ada satupun pasal yang mengatur mengenai batas wilayah udara yang dapat
dimliki oleh suatu negara bawah baik secara horisontal maupun secara vertikal.
Untuk mengisi kekosongan hukum tersebut, hukum internasioal memberikan
kepada para sarjana terkemuka untuk menggali dan mencari konsep-konsep
hukum yang dapat digunakan sebagai landasan hukum.

1. Batas Kedaulatan Wilayah Udara Secara Horisontal


Seperti telah diketahui bahwa batas wilayah darat suatu negara adalah
berdasarkan perjanjian dengan negara-negara tetangga, dan dengan demikian
setiap negara memiliki batas kedaulatan di wilayah udara secara horisontal adalah
sama dengan seluas wilayah darat negaranya, sedangkan negara yang berpantai
batas wilayah negara akan bertambah yaitu dengan adanya ketentuan hukum yang
diatur di dalam Article 3 United Nations Convention on the Law Of the Sea
(1982) yang menyebutkan setiap negara pantai dapat menetapkan lebar laut
wilayahnya sampai maksimum 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal (base
line).
Gambar : Batas wilayah udara secara horisontal : Yaitu dengan cara luas daratan
yang berdasarkan perjanjian perbatasan dengan negara tetangga dan ditambah
dengan Pasal 3 Konvensi Hukum Laut 1982. Begitu pula dalam hal apabila laut
wilayah yang berdampingan atau berhadapan dengan milik negara tetangga yang
kurang dari 2 x 12 mil laut, maka penyelesaian masalah batas wilayah udara
secara horisontal adalah melalui perjanjian antar negara tetangga seperti halnya
dalam hukum laut internasional.
Tetapi ada beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Kanada mengajukan
secara sepihak untuk menetapkan jalur tambahan (contiguous zone) di ruang
udara yang dikenal dengan istilah A.D.I.Z. (Air Defence Identification Zone)
yaitu setiap pesawat udara yang terbang menuju negara Amerika Serikat atau
Kanada dalam jarak 200 mil harus menyebutkan jati diri pesawat udara. Hal ini
dilakukan untuk keamanan negara dari bahaya yang datang melalui ruang udara.

2. Batas Kedaulatan Wilayah Udara Secara Vertikal


Untuk menentukan batas kedaulatan di wilayah udara secara vertikal masih tetap
menjadi permasalahan sampai dengan saat ini, karena perjanjian internasional,
kebiasaan internasional, prinsip-prinsip hukum umum dan yurisprudensi
internasional yang mengatur tentang batas kedaulatan wilayah udara secara
vertikal belum ada, maka beberapa sarjana terkemuka khususnya ahli hukum
udara berusaha untuk membuat beberapa konsep (teori, ajaran atau pendapat)
yang mungkin dapat digunakan sebagai landasan pembuatan peraturan tentang
batas ketinggian kedaulatan negara di ruang udara, yaitu misalnya konsep dari :
a) Beaumont dan Shawcross yang menyebutkan bahwa batas ketinggian
kedaulatan negara di ruang udara adalah tidak terbatas.
b) Cooper yang menyebutkan bahwa batas ketinggian kedaulatan negara di ruang
udara adalah setinggi negara itu dapat menguasainya.
c) Holzendorf yang menyebutkan bahwa batas ketinggian kedaulatan negara di
ruang udara adalah setinggi 1000 meter yang ditarik dari permukaan bumi yang
tertinggi.
d) Lee yang menyebutkan bahwa batas ketinggian kedaulatan negara di ruang
udara adalah sama dengan jarak tembakan meriam (canon theory).
e) Von Bar yang menyebutkan bahwa batas ketinggian kedaulatan negara di ruang
udara adalah 60 meter dari permukaan bumi.
f) Priyatna Abdurrasyid yang menyebutkan bahwa batas ketinggian kedaulatan
negara di ruang udara adalah setinggi sebuah pesawat udara konvensional
sudah tidak dapat lagi melayang.
Pendapat Priyatna Abdurrasyid ini pernah ditentang dengan adanya Pasal
30 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia
yang menyebutkan bahwa “T.N.I.- A.U. selaku penegak kedaulatan negara di
udara mempertahankan wilayah dirgantara nasional ………. dstnya”. Kata
dirgantara berarti mencakup ruang udara dan antariksa (ruang angkasa) termasuk
G.S.O. (Geo Stationer Orbit).
Dengan demikian pada waktu itu negara Indonesia tidak menganut
pendapat Priyatna Abdurrasyid tetapi menganut pendapat Beaumont dan
Showcross. Dengan tidak adanya ketentuan-ketentuan hukum internasional yang
mengatur tentang batas ketinggian wilayah udara yang dapat dimiliki oleh negara
bawah, maka banyak negara-negara di dunia melakukan secara sepihak
menetapkan batas ketinggian wilayah udara nasionalnya seperti yang dilakukan
oleh negara Amerika Serikat melalui Space Command menetapkan batas vertikal
udara adalah 100 kilometer.
Negara Australia di dalam Australian Space Treaty Act 1998 menetapkan
batas ketinggian wilayah udaranya adalah 100 kilometer yang diukur dari
permukaan laut.
Negara Korea Selatan mengusulkan dalam sidang UNCOPUOS 2003
bahwa batas ketinggian wilayah udara adalah antara 100 sampai dengan 110
kilometer.
Negara Rusia mengusulkan dalam sidang UNCOPUOS 1992 batas ketinggian
wilayah udara adalah antara 100 sampai dengan 120 kilometer.
Sedangkan negara Indonesia pada Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menyebutkan bahwa “Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara
Republik Indonesia”, serta pada Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara disebutkan bahwa “batas wilayah
negara di darat, perairan, dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang udara di
atasnya ditetapkan atas dasar perjanjian bilateral dan atau trilateral mengenai batas
darat, batas laut, dan batas udara serta berdasarkan peraturan perundang-undangan
dan hukum internasional”.
Mengenai batas wilayah di darat maupun di laut hampir sebagian besar
telah dilakukan oleh negara Indonesia dengan negara-negara tetangga, tetapi
tentang batas wilayah di udara secara vertikal belum ada baik itu dalam ketentuan
hukum nasional maupun dalam perjanjian antar negara tetangga.
Pada Pasal 6 ayat 1 Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang
Pengelolaan Ruang Udara Nasional menyebutkan sebagai berikut : “Batas vertikal
pengelolaan ruang udara nasional sampai ketinggian 110 (seratus sepuluh)
kilometer dari konfiguarsi permukaan bumi”.
Dengan demikian dapat terlihat adanya ketidak seragaman konsep di
antara para sarjana terkemuka ataupun oleh negara-negara dalam menentukan
batas ketinggian wilayah udara yang dapat dimiliki oleh suatu negara bawah.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu, Diakses pada 13 Mei 2019, 11.30 WIB

Kusumaatmadja, mochtar. 1978. Hukum Laut Internasional. Bandung: Bina Cipta

Narzif. 2003. Modul Hukum Laut Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai