Anda di halaman 1dari 15

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JAMBI
PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

MAKALAH HUKUM WARIS

“PELAKSANAAN PEWARISAN DI KABUPATEN KERINCI”

DAYANG ANTARI

P2B219044

KELAS A

UNIVERSITAS JAMBI

PASCASARJANA

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

JAMBI

2020
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Hukum adat bangsa Indonesia sebagai hukum yang digali dari sifat
kepribadian bangsa Indonesia sendiri, yang pada hakekatnya sudah terdapat
sejak zaman kuno, zaman pra Hindu. Hukum adat ini penting artinya untuk
dapat mengatur segala hal yang diperbolehkan atau dilarang dilakukan oleh
setiap anggota masyarakat dalam suatu kelompok hukum adat tertentu untuk
dapat menghindari dan menyelesaikan konflik atau perselisihan yang
mungkin terjadi atau dihadapi oleh masyarakat adat tersebut.
Hukum adat sebagaimana dimaklumi adalah hukum tertua yang
mengatur pranata kehidupan manusia di negara Republik Indonesia
dibandingkan dengan Hukum Islam ataupun Hukum Nasional. Oleh karena
itu adat istiadat tersebut dari hari kehari semakin diperhatikan, tidaklah heran
lagi jika peradabannya semakin maju. Manusia yang hidup dalam lingkungan
masyarakat sudah membiasakan diri hidup dalam batas dan tempat kediaman
yang tertentu serta pedoman kepada tata cara yang telah dirasakan kebaikan
dan manfaatnya dalam membina kehidupan rukun, aman dan damai.
Terbentuknya masyarakat Hukum Adat disebabkan karena adanya faktor
ikatan yang mengikat masing-masing anggota masyarakat adat tersebut,
Sistem kekerabatan yang ada pada masyarakat Indonesia untuk setiap suku
pada tiap-tiap daerah berbeda-beda. Untuk mengetahui berbagai sistem
kekerabatan dapat dilihat dari bentuk masyarakat menurut sifat keturunan,
dengan demikian sistem kekerabatan memiliki kekuasaan sendiri. Pada
umumnya dalam masyarakat Indonesia mengenal tiga sistem kekerabatan,
yaitu:
1. Sistem Patrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis
bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari
kedudukan wanita didalam pewarisan
(gayo,alas,batak,nias,lampung,buru,seram,nusa tenggara,irian).
2. Sistem Matrilial, yaitu sistem keturunan yang ditarik dari garis ibu, dimana
kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria dalam
pewarisan (minangkabau,enggano,timor)
3. Sistem parental atau bilateral yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut
garis orang tua,atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu) dimana kedudukan
pria dan wanita tidak dibedakan didalam pewarisan
(aceh,sumateratimur,riau,jawa,kalimantan,sulawesi,dll).”1

Sistem kekerabatan mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hukum


adat, seperti perkawinan dan pewarisan. Perkawinan menurut ketentuan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah “ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhananYang Maha Esa”2
Oleh karena itu ikatan perkawinan mempunyai ketentuan-ketentuan
sistem dan cara yang jelas. Sedangkan perkawinan menurut adat kerinci
bukanlah urusan kedua belah pihak calon penganten, tetapi merupakan
kewajiban kedua belah pihak orang tua, nenek mamak, tengganai mereka.
Di samping itu, dalam pandangan masyakarat adat kerinci perkawinan
adalah suatu ikatan syakral (suci) yang mengikat kedua belah pihak
penganten lahir bathin dengan jalan memenuhi ketentuan adat, syarak dan
sekarang di tambah lagi dengan undang-undang perkawinan. Dengan kata
lain bahwa perkawinan itu diletakkan diatas tungku bercabang tiga, yaitu:
1. Memenuhi ketentuan adat
2. Memenuhi ketentuan syarak
3. Memenuhi ketentuan undang-undang perkawinan
Biasanya dalam kekerabatan tidak terlepas dengan sistem kekerabatan
dan bentuk kekerabatan yang juga akan berpengaruh terhadap sistem

1
Soerjono Soekanto dan Soleman b.Taneko, Hukum Adat di Indonesia, Rajawali,
Jakarta, 1983, hal.59.
2
Tim Pengajar Mata Kuliah Hukum Kekeluargaan, Hukum Kekeluargaan,
Fakultas Hukum Universitas Jambi, Jambi, 2015, hal.6
perkawinan, dalam pembahasan ini akan dibatasi untuk melihat sistem
perkawinan karena mempunyai kaitan yang erat dan sangat menentukan
dalam masalah kewarisan. Pada dasarnya sistem perkawinan terbagi atas tiga
macam:
1. Sistem Endogami, dimana orang hanya diperbolehkan kawin dengan
seorang dari suku keluarganya sendiri. Sistem perkawinan ini kini jarang
terjadi di indonesia, hanya ada satu daerah saja yang secara praktis
mengenal sistem endogami ini, yaitu daerah toraja.
2. Sistem Exogami, dimana orang diharuskan menikah dengan suku lain,
menikah dengan suku sendiri merupakan larangan. Sistem ini dapat
dijumpai di daerah Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan,
Buru dan Seram.
3. Sistem Eleutherogami, dimana tidak mengenal larangan dan keharusan
seperti pada dua sistem sebelumnya. Seseorang bebas untuk menikah
dengan siapa saja asalkan tidak menyimpang dari kaedah kesusilaan dan
agama. Sistem Eleutherogami ini ditemukan pada masyarakat yang
Bilateral.
Ketiga sistem perkawinan tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap
ketentuan hukum waris adat suatu masyarakat karena akan mengikat
dalam hubungan hukum kedua belah pihak.
Pada masyarakat Kerinci, dalam mengatur kehidupan berumah tangga,
peranan hukum adat kelihatan masih dominan. Kenyataan yang ditemukan
sampai sekarang menunjukkan hukum adat tetap menjad landasan yang mesti
dipedomani dan dihormati, disamping ketentuan lainnya. Di Kerinci dari dulu
hingga kini dibenarkan menikah ke dalam maupun keluar pintu,kalbu, dan
perutnya.
Jadi dalam masyarakat Kerinci tidak berlaku sistem perkawian Endogami
dan Exogami. Seseorang tidak dilarang melakukan perkawinan sepupu
(paralel cousin), baik sepupu dari pihak bapak maupun pihak ibu. Begitu pula
perkawinan tidak dengan saudara sepupu bapak dan saudara sepupu ibu
(cross cousin). Sungguhpun demikian, masyarakat Kerinci tidak menyukai
perkawinan yang sifatnya terlalu dekat, seperti kawin dengan sepupu dimana
bapak atau ibu mereka bersaudara kandung.
Perkawinan paralel cousin dan cross cousin disebut dengan kawin anak
kemenakan sangat dianjurkan kecuali untuk perkawinan sepupu bapak dan
sepupu ibu kandung. Perkawinan anak kemenakan dianggap sebagai kuah
ketumpah ke dalam nasi, namun bila sebaliknya maka dikatakan memagar
kepala condong, buah jatuh pada orang lain. Biasanya perkawinan cross
cousin diusahakan dengan kemenakan (keponakan) terdekat, baru dengan
kemenakan jauh seperti senenek atau semoyang dalam perut, kemudian
kemenakan se kalbu atau se lurah.
Selain itu, dalam masyarakat Kerinci tidak dilarang kawin se-desa dan
kawin ke dalam desa lain, bahkan ditemukan sejak lama orang Kerinci
menikah dengan orang asing. Asalkan yang bersangkutan beragama Islam.
Dengan demikian kelihatan jelas bahwa perkawinan dalam masyarakat
Kerinci berbentuk perkawinan terbuka (Eleutherogami). Bila dilihat dari
pelaksanaan dan bentuk perkawinan yang terjadi dalam masyarakat, serta
peranan kerabat kedua belah pihak yang sama mengikat dan pentingnya,
kelihatan sekali masyarakat Kerinci bersifat Bilateral. Sifat bilateral itu
mempertegas kedudukan semua anak dalam hubungannya dengan orang tua
dan kerabat dari kedua belah pihak dalam kedudukan sama eratnya,
derajatnya dan pentingnya. Sifat bilateral ini akan sangat mempengaruhi
terhadap harta warisan dan penerusannya kepada ahli waris.
Di indonesia, perkawinan pun tidak terlepas kaitannya dengan pewarisan,
dapat ditegaskan bahwa pengertian hukum waris menurut para sarjana pada
pokoknya adalah “peraturan yang mengatur perpindahan kekayaan seorang
yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain.”3
Hukum waris di Indonesia berkaitan pula dengan hukum waris adat, yang
mana ada berbagai macam adat istiadat yang ada di Indonesia. Menurut R.
Soepomo yang dimaksud dengan hukum waris adat adalah “hukum adat waris
yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta

3
J.Satrio, Hukum Waris, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hal.8.
mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak
terwujud benda dari suatu angkatan manusia (generasi) kepada turunannya.”4
Sistem pewarisan di indonesia terbagi menjadi:
1. Sistem pewarisan individual, yaitu sistem pewarisan dimana setiap
warisan mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan atau
memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing.
2. Sistem pewarisan kolektif, yaitu dimana harta peninggalan diteruskan
dan dialihkan kepemilikanya dari pewaris kepada waris sebagai kesatuan
yang tidak terbagi-bagi penguasaannya dan kepemilikannya, melainkan
setiap waris berhak untuk mengusahakan menggunakan atau mendapat
hasil dari harta peninggalan itu.
3. Sistem pewarisan mayorat, yaitu juga merupakan sistem pewarisan
kolektif, hanya penerusan dan pengalihan hak penguasaan atas harta yang
tidak terbagi-bagi itu dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas
sebagai pemimpin rumah tangga atau kepala keluarga menggantikan
kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga.5

Dalam sistem kewarisan masyarakat Kerinci kedudukan ahli waris


perempuan lebih diperhatikan. Hal ini dikarenakan masyarakat Kerinci
bersifat matrilinial. Demikian juga perlakuan pada harta peninggalan. Ada
bagian yang bisa langsung dibagi diantara ahli waris dan terdapat pula bagian
harta peninggalan yang hanya diwariskan pada sekumpulan ahli waris.
Untuk yang diwariskan pada sekumpulan ahli waris, harta tersebut tidak
boleh dibagi diantara mereka, tetapi harus menggunakan sistem pewarisan
kolektif, itu berarti masyarakat kerinci menganut sistem pewarisan kolektif.
Diantara ahli waris secara individu, hanya memiliki hak pakai atas bagian
harta waris tersebut.

4
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia (suatu pengantar), Refika Aditama,
Bandung, 2012, hal.71.
5
Hi. Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Penerbit Alumni, Bandung, 1989,
hal.24.
Dapat dilihat terdapat dua ciri khas dalam sistem kewarisan
masyasrakat Kerinci. Pada satu sisi bisa bersifat individual, disisi lain bisa
pula bersifat kolektif. Pola penguasaan tanah melalui sistem gilir ganti sawah
merupakan salah satu bentuk dari cara pembagian warisan yang terjadi dalam
masyarakat Kerinci.
Dalam Hukum Adat Kerinci, Harta kaum yang akan diwariskan kepada
ahli warisnya yang berhak terdiri dari:
a. Harta Pusaka Tinggi, Yaitu harta yang turun temurun dari beberapa
generasi, baik yang berupa tembilang basi, yakni harta tua yang diwarisi
turun temurun dari mamak kepada kemenakan, maupun tembilang perak,
yakni harta yang diperoleh dari hasil harta tua, kedua jenis harta pusaka
tinggi ini menurut hukum adat akan jatuh kepada kemenakan dan tidak
boleh diwariskan kepada anak.
b. Harta Pusaka Rendah, Yaitu harta yang turun temurun dari satu
generasi.”6

Dalam hukum waris masyarakat Kerinci, harta yang akan diwariskan


dibagi terlebih dahulu menjadi dua bagian. Bagian pertama disebut dengan
harta berat dan bagian kedua disebut dengan harta ringan. Harta berat adalah
bagian harta yang nilai ekonomisnya dianggap paling dan mampu menjamin
kelangsungan kehidupan suatu keluarga. Bagian dari harta berat ini hanya ada
tiga yaitu : rumah, sawah dan lumbung padi. Selain dari ketiga bentuk harta
tersebut, semuanya mereka namai dengan harta ringan.
Pembagian warisan menurut hukum waris adat Kerinci mangacu pada
dua pola. Pertama , pembagian dalam bentuk berat ringan, dan kedua
pembagian dalam bentuk sama rata. Untuk pola pertama berpegang pada
ketentuan dalam pepatah adat yang berbunyi ; Nan berat tinggal pada batino,
nan ringan dibawo jantan”, batino berkembang lapik berkembang tika,
berpiuk gedang bertungku jarang.”.

Idris Djakfar Depati Agung dan Indra Idris, Hukum Waris Adat Kerinci, Pustaka
6

Anda, Kerinci, 1995, hal.44.


Ketentuan dari pepatah adat tersebut mengandung arti bahwa seluruh
harta berat diperuntukan bagi saudara kandung perempuan. Untuk harta berat
berupa rumah dan lumbung padi boleh dibagi lagi diantara mereka sehingga
menjadi hak individual, asalkan mendapat persetujuan dari saudara laki-laki.
Sedangkan untuk tanah sawah tidak dibenarkan untuk dibagi dan statusnya
menjadi hak milik bersama anak perempuan. Masing-masing ahli waris
perempuan akan mendapat hak pakai menggarap warisan tersebut, yang
diatur dan diawasi saudara laki-laki melalui sistem gilir ganti sawah.
Bagian dari harta ringan yang berupa benda bergerak seperti hewan
ternak, kendaraan, keris, pedang seluruhnya akan menjadi milik saudara laki-
laki. Harta tersebut dibagi diantara mereka menjadi hak individu. Bila
diantara ahli waris hanya ada saudara perempuan, maka seluruh harta berat
jatuh kepadanya. Demikian pula bila ahli waris seluruhnya perempuan, maka
seluruh harta berat dibagi rata menjadi hak individu kecuali sawah tetap
dipertahankan menjadi hak kolektif yang diatur melalui sistem gilir ganti. Jika
seluruh ahli waris adalah laki-laki, maka seluruh harta warisan akan dibagi
menurut ketentuan pola kedua, yaitu pembagian sama rata terhadap seluruh
harta warisan yang ditinggalkan.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang sudah dipaparkan
diatas, maka penulis perlu mengkaji dan menganalisis mengenai pewarisan
secara Hukum Adat di Kabupaten Kerinci dan pelaksanaannya akan
dituangkan ke dalam karya tulis ilmiah dalam bentuk makalah yang
berjudul PELAKSANAAN PEWARISAN DI KABUPATEN
KERINCI.

B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah deskripsi Sosial suku Kerinci?
2. Bagaimana tinjauan umum tentang pewarisan di Kabupaten Kerinci?
PEMBAHASAN

A. Deskripsi Sosial Suku Kerinci.


Banyak hal yang telah diatur dalam hukum adat, salah satunya adalah
hukum adat yang mengatur tentang pelaksanaan pewarisan. Dalam hal ini
Hukum waris adat adalah bagian dari hukum adat yang keanekaragamannya
sangat jelas sekali terlihat dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dengan
melihat gejala-gejala yang ada dan berbeda-beda antara satu daerah dengan
daerah lainnya dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada kenyataannya antara satu suku dengan suku-suku yang lain dalam
satu lingkungan hidup yang sama, berbeda caranya dalam pelaksanaan
penerusan atau pengalihan harta kekayaan kepada para ahli warisnya. Khusus
mengenai sistem pelaksanaan pewarisan menurut hukum adat terdapat adanya
keragaman atau perbedaan sistem pelaksanaan warisan yang digunakan antara
daerah satu dengan daerah lain. Hal ini dapat terlihat jelas khususnya dalam
hal sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat adat Minangkabau
berbeda dengan masyarakat adat di pulau Jawa begitu pula hal nya dengan
Kerinci.
Di daerah Kerinci terdapat persekutuan masyarakat Hukum Adat yang
unik. Hal ini berbeda dengan wilayah lain dalam Provinsi Jambi, karena
dipengaruhi oleh sejarah keberadaan Kerinci itu sendiri yang berasal dari
pagaruyung dan dipengaruhi oleh kerajaan Mataram dan Cina. Hal ini terlihat
pada peninggalan-peninggalan atau benda-benda pusaka yang ditinggalkan
dan dari tambo adat kerinci yang bertulis huruf rencong, Jawa kuno dan
tulisan Cina.
Persekutuan masyarakat adat yang ada di Kerinci berdasarkan pada
persekutuan geneologis artinya didasarkan pada garis keturunan yang ditarik
dari garis keturunan Ibu yang sama, yang disebut dengan istilah “Kalbu”
(Suku) yang terdiri dari beberapa “Perut”. Kalbu merupakan gabungan dari
beberapa perut yang terdiri atas “Tumbi-tumbi”. Gabungan dari kalbu disebut
dengan “Pintu” (Dusun).
Struktur organisasi dalam masyarakat hukum adat Kerinci dari Pintu,
Kalbu, Perut, dan Tumbi. Untuk jelasnya dapat dilihat pada bagan berikut.
Bagan Struktur Organisasi Masyarakat Hukum Adat Kerinci
Pintu/Dusun

Kalbu Kalbu

Perut Perut Perut Perut Perut Perut

Tumbi Tumbi Tumbi Tumbi Tumbi Tumbi Tumbi Tumbi Tumbi Tumbi Tumbi Tumbi

Masyarakat hukum adat Kerinci juga memiliki harta persekutuan yang


berupa:
1) Tanah ajun arah (tanah parit sudut empat).
2) Rumah gedang.
3) Sawah, luhah.
4) Sawah gilir.
Harta persekutuan masyarakat Kerinci pada prinsipnya tidak bisa
diperjual belikan, dihibah atau digadaikan tetapi hanya bisa diwariskan
kepada anak cucu secara turun temurun yang bersifat hak pakai, sesuai
dengan petuah adat “alah sko dek janji, alah janji dek mupakat”, artinya
sudah kaedah yang berlaku karena janji dan sudah janji karena adanya
mupakat (tambo adat Kerinci. Tidak tertutup kemungkinan harta persekutuan
tersebut bisa dialihkan apabila harta persekutuan tersebut berada diluar tanah
ajun arah (parit sudut empat), yang telah dimiliki secara perorangan.
Sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat adat ini penting
artinya untuk diketahui dan dipahami, karena berkaitan dengan pelimpahan
kekuasaan dalam jabatan masyarakat adat dan hukum waris khususnya dalam
pelaksanaan warisan menurut hukum adat di Kelurahan Sungai Penuh
Kabupaten Kerinci.
Dalam pewarisan, pada masyarakat Kerinci khususnya Kelurahan
Sungai Penuh mengenal dua macam warisan, yaitu:
1) Warisan sko (gelar adat)
2) Warisan harta pusaka, harta pusaka terbagi dua, yaitu:
a. Harta pusaka tinggi adalah harta pusaka yang diwariskan oleh nenek
moyang turun temurun, seperti sawah dan rumah. Harta pusaka tinggi
ini hanya bisa dinikmati oleh anak perempuan.
b. Harta pusaka rendah adalah harta pencarian bersama suami dan isteri
selama berlangsungnya pernikahan sampai akhir hayat atau karena
perceraian.
Harta pusaka rendah ini yang akan menjadi ahli waris utamanya adalah
anak laki-laki dan bisa dikuasai secara individu. Pembagian harta warisan
masyarakat Kerinci khususnya Kelurahan Sungai Penuh membagikan harta
warisan yang ditinggalkan oleh pewaris setelah pewaris wafat (meninggal
dunia) dan hibah dilakukan selagi pewaris masih hidup.

B. Tinjauan Umum Sistem Pewarisan di Kabupaten Kerinci.


Masyarakat kerinci adalah masyarakat yang menganut sistem
kekerabatan matrilineal yaitu masyarakat yang menarik pertalian keturunan
melalui keibuan yang menarik garis keturunannya dari pihak ibu terus ke atas.
Dalam pembagian harta warisannya masyarakat kerinci khususnya Kelurahan
Sungai Penuh membagikan harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris
setelah pewaris wafat (meninggal dunia).
Pembagian harta warisan pada masyarakat Kerinci khususnya
Kelurahan Sungai Penuh dilakukan dengan cara musyawarah yang dilakukan
oleh ahli waris dengan berpedoman dengan pepatah adat yaitu: hasil yang
digalung ditaruko dengan tembilang besi ditinggalkan kepada anak betino dan
hasil yang digalung ditaruko dengan tembilang perak atau emas, karena dibeli
ditinggalkan kepada anak jantan, artinya “hasil membuka lahan pertanian atau
membuat rumah dengan tembilang besi ditinggalkan kepada anak perempuan
dan hasil membuka lahan pertanian atau membuat rumah dengan tembilang
perak atau emas karena dibeli ditinggalkan kepada anak laki-laki.”7

Rasyd Yakin, Menggali Adat Lamo Pusako Usang di Sakti Alam Kerinci,
7

Sungai Penuh, 1986, hal.44


Dalam pewarisan adat kelurahan sungai penuh yang menjadi ahli waris
adalah anak kandung baik anak laki-laki maupun perempuan. Namun yang
menjadi ahli waris utama adalah anak perempuan. Cara pembagian pewarisan
pada masyarakat kerinci khususnya kelurahan sungai penuh dilakukan setelah
pewaris wafat atau meninggal dunia dan hibah dilakukan selagi pewaris
masih hidup.
Dalam hukum waris adat kerinci ada 3 unsur yang harus diperhatikan
yaitu:
1. Adanya orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan baik
harta berwujud maupun harta tidk berwujud.
2. Ada beberpa orang atau ahli waris
3. Adanya harta kekayaan yang ditinggalkan yaitu harta berwujud, baik harta
pusaka tinggi dan harta pusaka rendah dan harta yang tidak berwujud
seperti gelar adat, pesan keramat, hutang-piutang, ilmu gaib dan lain
sebagainya.
Ketiga unsur ini harus ada dalam pewarisan adat kerinci khusunya
kelurahan sungai penuh, karena berkaitan satu dengan yang lainnya dalam
pewarisan. Sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa pada
kehidupan masyarakat Kerinci menganut sistem pewarisan individual, yang
mana diketahui dari hasil penelitian bahwa harta warisan dibagikan kepada
semua ahli waris. Baik pada daerah perladangan, persawahan, dan perkotaan
mengatakan jika harta warisan dalam masyarakat akan dibagi kepada semua
ahli waris bila si pewaris meninggal dunia.
Memang diakui pada mulanya dalam pembagian harta warisan
masyarakat Kerinci lebih mengutamakan ahli waris perempuan. Kedudukan
anak batino lebih menonjol dari kedudukan anak jantan di dalam pewarisan.
Harta berat seperti rumah, sawah, dan lumbung padi yang dahulu nilai
ekonomisnya jauh lebih tinggi, semua jatuh kepada ahli waris perempuan
(anak batino). Ahli waris laki-laki (anak jantan) hanya memperoleh harta
ringan, yaitu harta selain harta berat. Cara pembagian dengan mengutamakan
ahli waris perempuan tersebut dikarenakan masyarakat Kerinci masih kental
sifat matrilinealnya. Disamping itu anak batino berperan dalam mengurus
keluarga baik orang tua maupun saudara laki-laki sebelum mereka nantinya
berumah tangga, atau bilamana saudara laki-laki harus kembali pada tumbi
asalnya, seperti akibat perceraian maka saudara perempuan mesti
menerimanya.
Setelah masyarakat Kerinci menjalani proses pergeseran ke dalam
bentuk masyarakat yang bilateral, maka pandangan dan sikap masyarakat
dalam masalah kewarisan ini menjadi berbeda dengan sebelumnya. Ada
beberapa hal yang menyebabkan perubahan sikap dan pandangan masyarakat
Kerinci tersebut, dantaranya:
1. Dalam perkembangan masyarakat sekarang, sudah dianggap tidak
relevan lagi membedakan peruntukan harta bagi ahli waris seperti dulu,
dimana ahli waris perempuan menerima harta berat dan ahli waris laki
menerima harta ringan. Bila tetap berpegang pada prinsip lama, maka
terjadi ketidak adilan yang merugikan pihak perempuan, karena dalam
kenyataannya banyak diantara harta ringan nilainya jauh lebih tinggi bila
dibandingkan dengan harta berat.
2. Terdapat harta berat yang hilang seperti lumbung padi, sebaliknya harta
ringan semakin bertambah seperti mobil, peralatan elektronik rumah
tangga, tabungan dan deposito yang nilai ekonomisnya bisa lebih tinggi
dari harta berat.
3. Masyarakat Kerinci sekarang telah mempunyai pandangan yang sama
terhadap hak dan kedudukan antara ahli waris perempuan maupun ahli
waris laki-laki.
4. Semakin tebalnya rasa keadilan yang tumbuh dalam masyarakat karena
pengaruh pendidikan dan agama.”8

Masyarakat Kerinci pada umumnya menganggap pengelompokkan


warisan atas harta berat dan harta ringan bukan suatu yang prinsip lagi dalam
masalah kewarisan. Masyarakat Kerinci sekarang lebih condong untuk

8
Idris Djakfar Depati Agung dan Indra Idris, Op.Cit., hal.38.
melihat dari segi keadilan si ahli waris. Meskipun banyak ditemukan dalam
pembagian warisan ada pihal ahli waris yang mendapat bagian lebih banyak
dari yang lain, misalnya pihak anak batino memperoleh bagian lebih besar
dari anak jantan, itupun terjadi bila ada alasan kuat yang mendukungnya dan
disepakati secara mufakat oleh seluruh ahli waris.
Pembagian harta waris dengan prinsip pembagian yang merata telah
lama dimulai oleh masyarakat pedesaan di lingkungan perladangan.
Keberhasilan dalam berladang, meyebabkan nilai ekonomis sebuah ladang
yang ditanami tanaman keras (cengkeh, kopi, dan kulit manis) menjadi tinggi
dan jauh melebihi nilai ekonomis harta berat seperti rumah, sawah dan
lumbung padi. Disamping itu, hasil usaha berladang sebagian besar di
investasikan pada perhiasan, mobil dan peralatan rumah tangga lainnya.
Bahkan dengan adanya lembaga perbankan, membuat masyarakat lebih suka
menyimpan uang dalam bentuk tabungan dan deposito. Hal ini menyebabkan
harta ringan semakin bertambah dan nilainya bisa menjadi lebih tinggi bila
dibandingkan dengan harta berat.
Kecenderungan semakin rendahnya nilai harta berat, tentu
mengakibatkan bagian yang diterima ahli waris perempuan akan lebih kecil
bila hal tersebut menjadi patokan dalam membagi harta waris. Disamping itu,
keberhasilan dalam berladang menyebabkan ekonomi masyarakat semakin
kuat, dan umumnya investasi cenderung dilakukan pada kebutuhan sekunder
karena kebutuhan primer telah terpenuhi. Hal ini menyebabkan pembentukan
harta ringan semakin bertambah jumlah dan nilainya. Meskipun demikian,
masyarakat Kerinci tetap berpegang dan menerapkan sistem kewarisan
individual, dimana harta yang dimiliki oleh seorang pewaris akan dibagi
kepada semua ahli waris bila pewaris meninggal dunia.
PENUTUP

KESIMPULAN
Dalam sistem kewarisan masyarakat Kerinci kedudukan ahli waris
perempuan lebih diperhatikan. Hal ini dikarenakan masyarakat Kerinci bersifat
matrilinia. Dalam Hukum Adat Kerinci, Harta kaum yang akan diwariskan kepada
ahli warisnya yang berhak terdiri dari Harta Pusaka Tinggi dan Harta Pusaka
Rendah. Harta yang akan diwariskan dibagi terlebih dahulu menjadi dua bagian.
Bagian pertama disebut dengan harta berat dan bagian kedua disebut dengan harta
ringan. seluruh harta berat diperuntukan bagi saudara kandung perempuan, Bagian
dari harta ringan yang berupa benda bergerak seperti hewan ternak, kendaraan,
keris, pedang seluruhnya akan menjadi milik saudara laki-laki.
Dalam pewarisan, pada masyarakat Kerinci khususnya Kelurahan Sungai
Penuh mengenal dua macam warisan, yaitu:Warisan sko (gelar adat), dan Warisan
harta pusaka. Kerinci menganut sistem pewarisan individual, yang mana diketahui
dari hasil penelitian bahwa harta warisan dibagikan kepada semua ahli waris. Baik
pada daerah perladangan, persawahan, dan perkotaan mengatakan jika harta
warisan dalam masyarakat akan dibagi kepada semua ahli waris bila si pewaris
meninggal dunia.

Anda mungkin juga menyukai