Makalah Hukum Waris
Makalah Hukum Waris
UNIVERSITAS JAMBI
PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
DAYANG ANTARI
P2B219044
KELAS A
UNIVERSITAS JAMBI
PASCASARJANA
JAMBI
2020
PENDAHULUAN
1
Soerjono Soekanto dan Soleman b.Taneko, Hukum Adat di Indonesia, Rajawali,
Jakarta, 1983, hal.59.
2
Tim Pengajar Mata Kuliah Hukum Kekeluargaan, Hukum Kekeluargaan,
Fakultas Hukum Universitas Jambi, Jambi, 2015, hal.6
perkawinan, dalam pembahasan ini akan dibatasi untuk melihat sistem
perkawinan karena mempunyai kaitan yang erat dan sangat menentukan
dalam masalah kewarisan. Pada dasarnya sistem perkawinan terbagi atas tiga
macam:
1. Sistem Endogami, dimana orang hanya diperbolehkan kawin dengan
seorang dari suku keluarganya sendiri. Sistem perkawinan ini kini jarang
terjadi di indonesia, hanya ada satu daerah saja yang secara praktis
mengenal sistem endogami ini, yaitu daerah toraja.
2. Sistem Exogami, dimana orang diharuskan menikah dengan suku lain,
menikah dengan suku sendiri merupakan larangan. Sistem ini dapat
dijumpai di daerah Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan,
Buru dan Seram.
3. Sistem Eleutherogami, dimana tidak mengenal larangan dan keharusan
seperti pada dua sistem sebelumnya. Seseorang bebas untuk menikah
dengan siapa saja asalkan tidak menyimpang dari kaedah kesusilaan dan
agama. Sistem Eleutherogami ini ditemukan pada masyarakat yang
Bilateral.
Ketiga sistem perkawinan tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap
ketentuan hukum waris adat suatu masyarakat karena akan mengikat
dalam hubungan hukum kedua belah pihak.
Pada masyarakat Kerinci, dalam mengatur kehidupan berumah tangga,
peranan hukum adat kelihatan masih dominan. Kenyataan yang ditemukan
sampai sekarang menunjukkan hukum adat tetap menjad landasan yang mesti
dipedomani dan dihormati, disamping ketentuan lainnya. Di Kerinci dari dulu
hingga kini dibenarkan menikah ke dalam maupun keluar pintu,kalbu, dan
perutnya.
Jadi dalam masyarakat Kerinci tidak berlaku sistem perkawian Endogami
dan Exogami. Seseorang tidak dilarang melakukan perkawinan sepupu
(paralel cousin), baik sepupu dari pihak bapak maupun pihak ibu. Begitu pula
perkawinan tidak dengan saudara sepupu bapak dan saudara sepupu ibu
(cross cousin). Sungguhpun demikian, masyarakat Kerinci tidak menyukai
perkawinan yang sifatnya terlalu dekat, seperti kawin dengan sepupu dimana
bapak atau ibu mereka bersaudara kandung.
Perkawinan paralel cousin dan cross cousin disebut dengan kawin anak
kemenakan sangat dianjurkan kecuali untuk perkawinan sepupu bapak dan
sepupu ibu kandung. Perkawinan anak kemenakan dianggap sebagai kuah
ketumpah ke dalam nasi, namun bila sebaliknya maka dikatakan memagar
kepala condong, buah jatuh pada orang lain. Biasanya perkawinan cross
cousin diusahakan dengan kemenakan (keponakan) terdekat, baru dengan
kemenakan jauh seperti senenek atau semoyang dalam perut, kemudian
kemenakan se kalbu atau se lurah.
Selain itu, dalam masyarakat Kerinci tidak dilarang kawin se-desa dan
kawin ke dalam desa lain, bahkan ditemukan sejak lama orang Kerinci
menikah dengan orang asing. Asalkan yang bersangkutan beragama Islam.
Dengan demikian kelihatan jelas bahwa perkawinan dalam masyarakat
Kerinci berbentuk perkawinan terbuka (Eleutherogami). Bila dilihat dari
pelaksanaan dan bentuk perkawinan yang terjadi dalam masyarakat, serta
peranan kerabat kedua belah pihak yang sama mengikat dan pentingnya,
kelihatan sekali masyarakat Kerinci bersifat Bilateral. Sifat bilateral itu
mempertegas kedudukan semua anak dalam hubungannya dengan orang tua
dan kerabat dari kedua belah pihak dalam kedudukan sama eratnya,
derajatnya dan pentingnya. Sifat bilateral ini akan sangat mempengaruhi
terhadap harta warisan dan penerusannya kepada ahli waris.
Di indonesia, perkawinan pun tidak terlepas kaitannya dengan pewarisan,
dapat ditegaskan bahwa pengertian hukum waris menurut para sarjana pada
pokoknya adalah “peraturan yang mengatur perpindahan kekayaan seorang
yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain.”3
Hukum waris di Indonesia berkaitan pula dengan hukum waris adat, yang
mana ada berbagai macam adat istiadat yang ada di Indonesia. Menurut R.
Soepomo yang dimaksud dengan hukum waris adat adalah “hukum adat waris
yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta
3
J.Satrio, Hukum Waris, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hal.8.
mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak
terwujud benda dari suatu angkatan manusia (generasi) kepada turunannya.”4
Sistem pewarisan di indonesia terbagi menjadi:
1. Sistem pewarisan individual, yaitu sistem pewarisan dimana setiap
warisan mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan atau
memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing.
2. Sistem pewarisan kolektif, yaitu dimana harta peninggalan diteruskan
dan dialihkan kepemilikanya dari pewaris kepada waris sebagai kesatuan
yang tidak terbagi-bagi penguasaannya dan kepemilikannya, melainkan
setiap waris berhak untuk mengusahakan menggunakan atau mendapat
hasil dari harta peninggalan itu.
3. Sistem pewarisan mayorat, yaitu juga merupakan sistem pewarisan
kolektif, hanya penerusan dan pengalihan hak penguasaan atas harta yang
tidak terbagi-bagi itu dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas
sebagai pemimpin rumah tangga atau kepala keluarga menggantikan
kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga.5
4
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia (suatu pengantar), Refika Aditama,
Bandung, 2012, hal.71.
5
Hi. Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Penerbit Alumni, Bandung, 1989,
hal.24.
Dapat dilihat terdapat dua ciri khas dalam sistem kewarisan
masyasrakat Kerinci. Pada satu sisi bisa bersifat individual, disisi lain bisa
pula bersifat kolektif. Pola penguasaan tanah melalui sistem gilir ganti sawah
merupakan salah satu bentuk dari cara pembagian warisan yang terjadi dalam
masyarakat Kerinci.
Dalam Hukum Adat Kerinci, Harta kaum yang akan diwariskan kepada
ahli warisnya yang berhak terdiri dari:
a. Harta Pusaka Tinggi, Yaitu harta yang turun temurun dari beberapa
generasi, baik yang berupa tembilang basi, yakni harta tua yang diwarisi
turun temurun dari mamak kepada kemenakan, maupun tembilang perak,
yakni harta yang diperoleh dari hasil harta tua, kedua jenis harta pusaka
tinggi ini menurut hukum adat akan jatuh kepada kemenakan dan tidak
boleh diwariskan kepada anak.
b. Harta Pusaka Rendah, Yaitu harta yang turun temurun dari satu
generasi.”6
Idris Djakfar Depati Agung dan Indra Idris, Hukum Waris Adat Kerinci, Pustaka
6
B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah deskripsi Sosial suku Kerinci?
2. Bagaimana tinjauan umum tentang pewarisan di Kabupaten Kerinci?
PEMBAHASAN
Kalbu Kalbu
Tumbi Tumbi Tumbi Tumbi Tumbi Tumbi Tumbi Tumbi Tumbi Tumbi Tumbi Tumbi
Rasyd Yakin, Menggali Adat Lamo Pusako Usang di Sakti Alam Kerinci,
7
8
Idris Djakfar Depati Agung dan Indra Idris, Op.Cit., hal.38.
melihat dari segi keadilan si ahli waris. Meskipun banyak ditemukan dalam
pembagian warisan ada pihal ahli waris yang mendapat bagian lebih banyak
dari yang lain, misalnya pihak anak batino memperoleh bagian lebih besar
dari anak jantan, itupun terjadi bila ada alasan kuat yang mendukungnya dan
disepakati secara mufakat oleh seluruh ahli waris.
Pembagian harta waris dengan prinsip pembagian yang merata telah
lama dimulai oleh masyarakat pedesaan di lingkungan perladangan.
Keberhasilan dalam berladang, meyebabkan nilai ekonomis sebuah ladang
yang ditanami tanaman keras (cengkeh, kopi, dan kulit manis) menjadi tinggi
dan jauh melebihi nilai ekonomis harta berat seperti rumah, sawah dan
lumbung padi. Disamping itu, hasil usaha berladang sebagian besar di
investasikan pada perhiasan, mobil dan peralatan rumah tangga lainnya.
Bahkan dengan adanya lembaga perbankan, membuat masyarakat lebih suka
menyimpan uang dalam bentuk tabungan dan deposito. Hal ini menyebabkan
harta ringan semakin bertambah dan nilainya bisa menjadi lebih tinggi bila
dibandingkan dengan harta berat.
Kecenderungan semakin rendahnya nilai harta berat, tentu
mengakibatkan bagian yang diterima ahli waris perempuan akan lebih kecil
bila hal tersebut menjadi patokan dalam membagi harta waris. Disamping itu,
keberhasilan dalam berladang menyebabkan ekonomi masyarakat semakin
kuat, dan umumnya investasi cenderung dilakukan pada kebutuhan sekunder
karena kebutuhan primer telah terpenuhi. Hal ini menyebabkan pembentukan
harta ringan semakin bertambah jumlah dan nilainya. Meskipun demikian,
masyarakat Kerinci tetap berpegang dan menerapkan sistem kewarisan
individual, dimana harta yang dimiliki oleh seorang pewaris akan dibagi
kepada semua ahli waris bila pewaris meninggal dunia.
PENUTUP
KESIMPULAN
Dalam sistem kewarisan masyarakat Kerinci kedudukan ahli waris
perempuan lebih diperhatikan. Hal ini dikarenakan masyarakat Kerinci bersifat
matrilinia. Dalam Hukum Adat Kerinci, Harta kaum yang akan diwariskan kepada
ahli warisnya yang berhak terdiri dari Harta Pusaka Tinggi dan Harta Pusaka
Rendah. Harta yang akan diwariskan dibagi terlebih dahulu menjadi dua bagian.
Bagian pertama disebut dengan harta berat dan bagian kedua disebut dengan harta
ringan. seluruh harta berat diperuntukan bagi saudara kandung perempuan, Bagian
dari harta ringan yang berupa benda bergerak seperti hewan ternak, kendaraan,
keris, pedang seluruhnya akan menjadi milik saudara laki-laki.
Dalam pewarisan, pada masyarakat Kerinci khususnya Kelurahan Sungai
Penuh mengenal dua macam warisan, yaitu:Warisan sko (gelar adat), dan Warisan
harta pusaka. Kerinci menganut sistem pewarisan individual, yang mana diketahui
dari hasil penelitian bahwa harta warisan dibagikan kepada semua ahli waris. Baik
pada daerah perladangan, persawahan, dan perkotaan mengatakan jika harta
warisan dalam masyarakat akan dibagi kepada semua ahli waris bila si pewaris
meninggal dunia.