Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Discovery dan Inquiri masih dipandang tepat sebagai salah satu arah pengembangan
metode pembelajaran dalam Pendidikan IPS, kemudian kemukakan hasil analisis
lapangan anda minimal 10 faktor yang menyebabkan pembelajaran IPS lemah tidak
menarik, dan kemukakan alternatif strategik mengatasi kondisi tersebut.
Jawab :
Masalah yang selalu dianggap menarik dalam pembelajaran IPS selama ini, adalah
temuan dari beberapa penelitian (Hasan 2002), dan tulisan (Al Mukhtar, 2004. Azis, 2002,
Supriatna, 2002) mengisyaratkan bahwa pembelajaran IPS di sekolah selalu disajikan dalam
bentuk faktual, konsep yang kering, guru hanya mengejar target pencapaian kurikulum, tidak
mementingkan proses, karena itu pembelajaran IPS selalu menjenuhkan dan membosankan,
dan oleh peserta didik dianggap sebagai pelajaran kelas dua (Somantri, 2001).
Aziz (2002) mengatakan “padahal dalam pembelajaran IPS proses itu amat penting.
Dalam pembelajaran PIPS, peserta didik diharapkan dapat memperoleh pengetahuan,
pengalaman-pengalaman dalam menggunakan pengetahuan tersebut dalam kehidupan
demokratis, termasuk mepraktekkan berpikir dan pemecahan masalah.”
Pembelajaran IPS di sekolah juga belum berupaya melaksanakan dan membiasakan
pengalaman nilai-nilai kehidupan demokratis, sosial kemasyarakatan dengan melibatkan
siswa dan komunitas sekolah dalam berbagai aktifitas kelas dan sekolah. Selain itu dalam
pembelajaran IPS lebih menekankan pada aspek pengetahuan, fakta dan konsep-konsep yang
bersifat hafalan belaka. Inilah yang dituding sebagai kelemahan yang menyebabkan
“kegagalan” pembelajaran IPS di sekolah-sekolah di Indonesia.
Jika pembelajaran IPS selama ini tetap diteruskan, (terutama hanya menekankan pada
imformasi, fakta dan hafalan, lebih mementingkan isi dari pada proses, kurang diarahkan
pada proses berfikir (tingkat tinggi), dan kurang diarahkan pada pembelajaran yang bermakna
dan berfungsi bagi kehidupannya), maka pembelajaran IPS tidak akan mampu membantu
peserta didiknya untuk dapat hidup secara efektif dan produktif dalam kehidupan masa
datang. Oleh karena itu sudah semestinyalah pembelajaran IPS masa kini dan ke depan
mengikuti berbagai perkembangan yang terjadi di di dunia secara global.
Wiriaatmadja (2002: 276), Guru harus selalu memperbaharui kemahiran
profesionalnya (professional skills). Di antara kamahiran guru yang selalu perlu ditingkatkan
adalah kemampuan mengajarnya (teaching skills). Melalui pelatihan lokakarya, seminar, atau
pertemuan-pertemuan MGMP (Musyawarah Guru Mata Palajaran), dan lain-lain kemahiran-
kemahiran itu dapat diupayakan dan diperoleh dengan mendatangkan nara sumber.
Nana Supriatna (2002:18) menyebut terdapat beberapa strategi dalam mengajarkan
keterampilan sosial kepada peserta didik melalui IPS, diantaranya adalah cooperative
learning, konstruktivistik dan inquiry. Pertama, Wiriaatmadja (2002:277) juga menyebutkan
salah satu aspek dari kemahiran mengajar guru IPS yang dituntut untuk ditingkatkan dengan
masuknya arus globalisasi adalah menyajikan pembelajaran IPS dengan menggunakan
pendekatan-pendekatan dan model-model pembelajaran yang relevan dengan apa yang
menjadi tujuan pembelajaran. Misalnya dengan cooperative learning, maka pelajaran IPS
tidak semata-mata menghafal fakta, konsep, dan pengetahuan yang bersifat kognitif rendah
lainnya serta guru sebagai satu-satunya sumber informasi - melainkan akan membawa siswa
untuk berpartisipasi aktif, karena mereka akan diminta melakukan berbagai tugas seperti
bekerja secara berkelompok, melakukan inkuiri, dan melaporkan hasil kegiatannya kepada
kelas.
Ini berarti bahwa guru bukan satu-satunya yang memberikan informasi karena siswa
akan mencari sumber yang beragam dan terlibat dalam. berbagai kegiatan belajar yang
beragam pula. Sedangkan peran guru kecuali harus bertindak sebagai fasilitator dalam. semua
kegiatan ini, ia juga harus mengamati proses pembelajaran untuk memberikan penilaian
(assessment), tidak hanya untuk perolehan pengetahuan keIPSan (product) saja, melainkan
menilai keterampilan sosial siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung (process), yang
mencakup penilian untuk ranah afektif dan psikomotornya.
Kedua, Strategi serta pendekatan konstruktivisme yang menempatkan siswa sebagai
mitra pembelajaran dan pengembang materi pembelajaran dapat digunakan oleh guru IPS
dalam mengembangkan keterampilan sosial. Keterampilan siswa dalam hal memperoleh,
mengolah dan memanfaatkan informasi untuk memiliki, berdayakan dirinya dapat dilakukan
melalui proses pembelajaran di kelas. Guru IPS yang konstruktivistis harus dapat
memfasilitasi para siswanya dengan kesempatan untuk berlatih dalam mengklasifikasi,
menganalisis dan mengolah informasi berdasarkan sumber-sumber yang mereka terima.
Sikap kritis siswa terhadap informasi harus dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran
di kelas. Guru juga harus selalu membiasakan siswa untuk memprediksi, mengklasifikasi dan
menganalisis, dengan demikian aspek kognitif siswa yang dikembangkan tidak hanya
keterampilan dalam menghafal dan mengingat melainkan juga menganalisis, memprediksi,
mengkritisi dan mengevaluasi informasi yang mereka terima
Di Era global ini sumber-sumber informasi yang tidak terbatas dapat digunakan
sebagai materi pembelajaran IPS untuk mengembangkan keterampilan yang terkait dengan
informasi tersebut. Kemajemukan informasi berdasarkan sumber serta keobjektivitasan dan
kesubjektivitasan merupakan bahan yang menarik untuk mengembangkan keterampilan
tersebut di dalam kelas.
Ketiga, Menurut Marsh Colin dalam Supriatna (2002:19), Strategi inquiry
menekankan peserta didik menggunakan keterampilan sosial dan intelektual, strategi ini
menekankan peserta didik menggunakan keterampilan intelektual dalam memperoleh
pengalaman baru atau informasi baru melalui investigasi yang sifatnya mandiri. Dengan
demikian keterampilan memperoleh informasi baru berdasarkan pengetahuan mengenai
informasi atau pengalaman belajar sebelumnya merupakan kondisi baik untuk
mengembangkan keterampilan yang terkait untuk menguasai informasi.
Selanjutnya Supriatna (2002:19), mengatakan beberapa keuntungan strategi ini yang
terkait dengan penguasaan informasi diantaranya adalah:
1. Strategi ini memungkinkan peserta didik melihat isi pelajaran libih realistik dan
posistif ketika menganalisis dan mengaflikasikan data dalam memecahkan masalah.
2. Memberi kesempatan kepada siswa untuk merefleksikan isu-isu tertentu, mencari data
yang relevan, serta membuat keputusan yang bermakna bagi mereka secara pribadi.
3. Menempatkan guru sebagai fasilitator belajar sekaligus mengurangi perannya sebagai
pusat kegiatan belajar.
Wiriaatmadja (2002:305-306) mengatakan belajar dan mengajar Ilmu-ilmu Sosial
agar menjadi berdaya apabila proses pembelajarannya bermakna (meaningful), yaitu:
a. Siswa belajar menjalin pengetahuan, keterampilan, kepercayaan, dan sikap yang
mereka anggap berguna bagi kehidupannya di sekolah atau di luar sekolah,
b. Pengajaran ditekankan kepada pendalaman gagasan gagasan penting yang terdapat
dalam topik-topik yang dibahas, demi pernahaman, apresiasi dan aplikasi siswa.
c. Kebermaknaan dan pentingnya materi pengajaran ditekankan kepada bagaimana cara.
penyajiannya dan dikembangkannya melalui kegiatan aktif.
d. Interaksi di dalam kelas difokuskan pada pendalaman topik-topik terpilih dan bukan
pada pembahasan sekilas sebanyak mungkin materi.
e. Kegiatan belajar yang bermakna dan strategi assessment (penilaian) hendaknya
difokuskan pada perhatian siswa terhadap pikiran-pikiran atau gagasan-gagasan yang
penting yang terpateri dalam apa yang mereka pelajari.
f. Guru hendaknya berpikir reflektif dalam melakukan perencanaan/persiapan,
pemberlakuan, dan asessment pembelajaran.
Potensi sumber daya manusia merupakan aset nasional sekaligus sebagai modal dasar
pembangunan bangsa. Potensi ini hanya dapat digali dan dikembangkan serta. dipupuk secara efektif
melalui strategi pendidikan dan pembelajaran yang terarah dan terpadu, yang dikelola secara serasi
dan seimbang dengan memperhatikan pengembangan potensi peserta didik secara utuh dan optimal.
Oleh karena itu, strategi manajemen pendidikan perlu secara khusus memperhatikan pengembangan
potensi peserta didik Yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa (unggul), yaitu dengan
cara penyelenggaraan program pembelajaran yang mampu mengembangkan keunggulan-keunggulan
tersebut, baik keunggulan dalam hal potensi intelektual maupun bakat khusus yang bersifat
keterampilan (gifted and talented).
Strategi pembelajaran yang dilaksanakan selama ini masih bersifat massal, yang
memberikan perlakuan dan layanan pendidikan Yang sama kepada semua peserta didik.
Padahal, mereka berbeda tingkat kecakapan, kecerdasan, minat, bakat, dan kreativitasnya.
Strategi pelayanan pendidikan seperti ini memang tepat dalam konteks pemerataan
kesempatan, akan tetapi kurang menunjang usaha mengoptimalkan pengembangan potensi
peserta didik secara cepat. Hasil beberapa penelitian Depdikbud (1994) menunjukkan sekitar
sepertiga peserta didik yang dapat digolongkan sebagai peserta didik berbakat (gifted and
talented) mengalami gejala “prestasi kurang” (underachiever). Hal sama dikemukakan oleh
Munandar (1992) cukup banyak peserta didik berbakat yang prestasinya di sekolah tidak
mencerminkan potensi intelektual mereka yang menonjol. Salah satu penyebabnya adalah
kondisi-kondisi ekstemal atau lingkungan belajar yang kurang menunjang, kurang menantang
kepada mereka untuk mewujudkan kemampuannya secara optimal. Padahal, upaya untuk
mencapai keunggulan, melalui strategi pelayanan pendidikan massal akan memiliki
konsekuensi sumberdaya pendidikan (dana, tenaga dan sarana) yang kurang menguntungkan.
Model strategi pelayanan pendidikan altematif perlu dikembangkan untuk menghasilkan
peserta didik yang unggul melalui pemberian perhatian, perlakuan dan layanan pendidikan
berdasarkan bakat, minat dan kemampuannya.
Peserta didik yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa merupakan
kelompok kecil. Data di Balitbang Depdikbud (1994) menunjukkan hanya 2 – 5 % dari
seluruh peserta didik yang ada. Jumlah ini semakin meningkat pada jenjang yang lebih tinggi.
Di tingkat SLTP jumlah peserta didik berkemampuan dan berkecerdasan luar biasa mencapai
8 %. Lebih lanjut dikemukakan berdasarkan intelegensi Wechsler peserta didik berbakat
intelektual tergolong "sangat unggul" (IQ 130 keatas) berjumlah 2,2% dan tergolong
"unggul" (IQ 120-129) berjumlah 6,7% dari populasinya. Jumlah ini memang masih
tergolong kecil, namun secara potensial mereka unggul dalam salah satu atau beberapa
bidang yang meliputi bidang-bidang intelektual umum, dan akademia khusus, berpikir kreatif
produktif, kepemimpinan, seni dan psikomotorik.
Strategi pelayanan pendidikan altematif dalam manajemen pendidikan perlu
dikembangkan untuk menghasilkan peserta didik yang unggul, melalui pemberian perhatian,
perlakuan dan layanan pendidikan berdasarkan bakat minat dan kemampuannya. Agar
pelayanan pendidikan yang selama ini diberikan kepada peserta, didik mencapai sasaran yang
optimal, maka pembelajaran harus diaelaraskan dengan potensi peserta didik. Oleh karena itu
guru perlu melakukan pelacakan potensi peserta didik.
Mengajar atau "teaching" adalah membantu peserta didik memperoleh informasi, ide,
keterampilan, nilai, cara berfikir, sarana untuk mengekspresikan dirinya, dan cara-cara belajar
bagaimana belajar (Joyce dan Well, 1996). Sedangkan pembelajaran adalah upaya untuk
membelajarkan peserta didik. Secara impliait dalam pembelajaran terdapat kegiatan memilih,
menetapkan; mengembangkan metode untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan.
Pemilihan, penetapan, dan pengembangan metode didasarkan pada kondisi pembelajaran
yang ada. Kegiatan-kegiatan tersebut pada dasamya merupakan inti dari perencanaan
pembelajaran. Dalam hal ini istilah pembelajaran memiliki hakekat perencanaan atau
perancangan sebagai upaya untuk membelajarkan peserta didik. Itulah sebabnya dalam
belajar peserta didik tidak hanya berinteraksi dengan guru sebagai salah satu sumber belajar,
tetapi berinteraksi juga dengan keseluruhan sumber belajar yang lain. Oleh karena itu
pembelajaran menaruh perhatian pada "bagaimana membelajarkan peserta didik, dan bukan
pada "apa yang dipelajari peserta didik". Dengan demikian pembelajaran menempatkan
peserta didik sebagai subyek bukan sebagai obyek. Oleh karena itu agar pembelajaran dapat
mencapai hasil yang optimal guru perlu memahami karakteriatik peserta didik.
Hakikat belajar adalah suatu aktivitas yang mengharapkan perubahan tingkah laku
(behavioral change) pada diri individu yang belajar. Perubahan tingkah laku terjadi karena
usaha individu yang bersangkutan. Belajar dipengaruhi oleh berbagai faktor misalkan bahan
yang dipelajari, instrumental, lingkungan, dan kondisi individual si pelajar. Faktor-faktor
tersebut diatur sedemikian rupa, agar mempunyai pengaruh yang membantu tercapainya
kompetensi secara optimal.
Proses belajar yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan dan
pembelajaran merupakan proses yang kompleks dan senantiasa berlangsung dalam berbagai
situasi dan kondisi. Percival dan Ellington (1984) menggambarkan model sistem pendidikan
dalam proses belajar, bahwa masukan (input) untuk sistem pendidikan, atau sistem belajar
terdiri dari orang, informasi, dan sumber lainnya. Sedangkan keluaran (output) terdiri dari
orang/siswa dengan penampilan yang lebih maju dalam berbagai aspek. Di antara masukan
dan keluaran terdapat kotak hitam (black box) yang berupa proses belajar atau pendidikan.
Belajar selalu melibatkan tiga hal pokok yaitu: adanya perubahan tingkah laku, sifat
perubahannya relatif tetap (permanen) serta perubahan tersebut disebabkan oleh interaksi
dcngan lingkungan, bukan oleh proses kedewasaan ataupun perubahan-perubahan kondisi
fisik yeng temporer sifatnya. Oleh karena itu pada prinsipnya belajar adalah poses perubahan
tingkah-laku sebagai akibat dari interaksi antara siswa dengan sumber-sumber belajar, baik
sumber yang didesain maupun yang dimanfaatkan. Proses belajar tidak hanya terjadi karena
adanya interaksi antara siswa dengan guru. Hasil belajar yang maksimal dapat pula diperoleh
lewat interaksi antara siswa dengan sumber-sumber belajar lainnya.
Untuk memberikan landasan akademik/filosofts terhadap pelaksanaan pembelajaran,
maka perlu dikemukakan sejumlah pandangan dari para ahli pendidikan serta pembelajaran.
Ada tiga pakar pendidikan yang teori serta pandangannya bisa digunakan sebapi acuan dalam
mengembangkan dan mengimplementasikan Kurikulum 2004, yaitu John Dewey, Vygotsky,
dan Ausubel. Menurut Dewey (2001), tugas sekolah adalah memberi pengalaman belajar
yang tepat bagi siswa. Selanjutnya ditegaskan bahwa tugas guru adalah membantu siswa
menjalin pengalaman belajar yang satu dengan yang lain, termasuk yang baru dengan yang
lama. Pengalaman belajar baru melalui pengalaman belajar yang lama akan melekat pada
struktur kognitif siswa dan menjadi pengetahuan baru bagi siswa.
Menurut Vygotsky (2001), terdapat hubungan yang erat antara pengalaman sehari-
hari dengan konsep keilmuan (scientific), tetapi terdapat perbedaan secara kualitatif antara
berpikir kompleks dan berpikir konseptual. Berpikir kompleks berdasarkan pada
pengkategorisasian objek berdasarkan suatu situasi, dan berpikir konseptual berbasis pada
pengertian yang lebih abstrak. Ditegaskan bahwa pengembangan kemampuan dalam hal
menganalisis, membuat hipotesis, dan menguji pengalaman sehari-hari pada dasarnya
terpisah dari pengalaman sehari-hari. Kemampuan ini tidak ditentukan oleh pengalaman
sehari-hari saja, tetapi lebih tergantung pada tipe spesifik interaksi sosial.
Menurut Ausubel (1969), pengalaman belajar baru akan masuk ke dalam memori
jangka panjang dan akan menjadi pengetahuan baru apabila memiliki makna. Pengalaman
belajar adalah interakasi antara subjek belajar dengan bahan ajar, misalnya siswa
mengerjakan tugas membaca, melakukan pemecahan masalah, mengamati suatu gejala,
peristiwa, percobaan, dan sejenisnya. Agar pengalaman belajar yang baru menjadi
pengetahuan baru, semua konsep dalam mata pelajaran diusahakan memiliki nilai terapan di
lapangan.
Joyce, Weil, dan Showers (1992) menyatakan bahwa hakikat mengajar (teaching)
adalah membantu siswa memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai, cara berfikir, sarana
untuk mengekspresikan dirinya, dan cara-cara belajar bagaimana belajar. Hasil akhir atau
hasil jangka panjang dari proses mengajar adalah kemampuan siswa yang tinggi untuk dapat
belajar dengan mudah dan efektif di masa mendatang. Tekanan dari kegiatan mengajar tetap
saja pada siswa yang belajar. Dengan demikian hakikat mengajar adalah memfasilitasi siswa
dalam belajar agar mereka mendapat kemudahan dalam belajar
Ada beberapa alasan mengapa Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi
pilihan dalam Kurikulum 2004 sebagai upaya perbaikan kondisi pendidikan di tanah air, di
antaranya:
(1) potensi siswa berbeda-beda, dan potensi tersebut akan berkembang jika
stimulusnya tepat;
(2) mutu hasil pendidikan yang masih rendah serta diabaikin aspek-aspek moral,
akhlak, budi pekerti, seni & olah raga, serta life skill.
(3) persaingan global yang menyebabkan siswa/anak yang mampu akan
berhasil/eksis, dan yang kurang mampu akan gagal;
(4) persaingan pada kemampuan SDM (Sumber .Daya Manusia) produk lembaga
pendidikan, serta
(5) persaingan yang terjadi pada lembaga pendidikan, sehingga perlu rumusan yang
jelas mengenai standar kompetensi lulusan.
Upaya-upaya dalan rangka perbaikan dan pengembangan kurikulum menuju Kurikulum
2004 meliputi: kewenangan pengembangan, pendekatan pembelajaran, penataan isi/konten,
serta model sosialisasi, yang lebih disesuaikan dengan perkembangan situasi dan kondisi
serta era yang terjadi saat ini. Upaya perbaikan dan pengembangan kurikulum tersebut
berlangsung secara bertahap dan terus-menerus, yang mengarah pada terwujudnya azas
keluwesan dalam isi kurikulum dan pengelolaan proses belajar mengajar dalam rangka
pengembangan kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler. Pendekatan
pembelajaran dalam Kurikulum 2004 diarahkan pada upaya mengembangkan kemampuan
siswa dalam mengelola perolehan belajar (kompetensi) yang paling sesuai dengan kondisi
masing-masing. Dengan demikian proses belajar lebih mengacu kepada bagaimana siswa
belajar dan bukan lagi pada apa yang dipelajari.
Sebagai sebuah, konsep, sekaligus sebagai sebuah program, Kurikulum Berbasis
Kompetensi memiliki ciri-ciri: (1) menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik
secara individual maupun klasikal; (2) berorientasi pada hasil dan keberagaman; (3)
penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi; (4)
sumber belajar bukan hanya guru tetapi unsur belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif,
(5) penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan suatu
kompetensi (Siskandar, 2003).
Kurikulum 2004 dengan paradigmanya pembelajaran berbasis kompetensi
menempatkan siswa sebagai subjek didik, yakni lebih banyak mengikut sertakan siswa dalam
proses pembelajaran. Pendekatan ini bertolak dari anggapan bahwa siswa memiliki potensi
untuk berpikir sendiri dan potensi tersebut hanya dapat diwujudkan apabila mereka diberi
banyak kesempatan untuk berpikir sendiri. Oleh karena itu maka guru tidak boleh lagi
dipandang sebagai orang yang paling tahu segalanya, melainkan lebih berperan sebagai
fasilitator terjadinya proses belajar pada individu siswa, dan siswa tentunya juga harus secara
terus menerus berusaha menyempurnakan diri sehingga dari waktu ke waktu makin
meningkat kemampuannya. Kemampuan atau keterampilan mendasar dalam belajar, atau bisa
dikenal juga sebagai keterampilan proses antara lain adalah kemampuan atau keterampilan
dalam :
1. mengobservasi/mengadakan pengamatan
2. menghitung
3. mengukur
4. mengklasifikasi
5. mencari hubungan ruang/waktu
6. membuat hipotesis
7. merencanakan penelitian/eksperimen
8. mengendalikan variabel
9. menginterpretasi atau. Menafsirkan data
10. menyusun kesimpulan sementara (inferensi)
11. meramalkan (memprediksi)
12. menerapkan (mengaplikasikan
13. mengkomunikasikan
Dengan mengembangkan keterampilan-keterampilan memproses perolehan, anak
akan mampu menemukan dan mengembangkan sendiri fakta dan konsep serta
menumbuhkan dan mengembangkan sikap dan nilai yang dituju. Seluruh irama, gerak atau
tindakan dalam pembelaiaran seperti ini akan menciptakan kondisi belajar yang mampu
mengaktifkan siswa secara optimal.
Mendasarkan pada uraian di atas maka pendekatan dalam pengembangan KBK
sebagai ciri Kurikulum 2004, dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut:
a. Berorientasi pada pencapaian hasil dan dampaknya (outcome oriented)
b. Berbasis pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
c. Bertolak dari Kompetensi Tamatan/Lulusan
d. Memperhatikan pengembangan kurikulum berdiversifikasi
e. Mengembangkan kompetensi secara utuh dan menyelurah (holistik)
f. Menerapkan prinsip ketuntasan belajar (mastery learning)
Salah satu metode mengajar yang akhir-akhir ini banyak digunakan di sekolah-
sekolah yang sudah maju adalah metode discovery, hal itu disebabkan karena metode
discovery ini: (a) Merupakan suatu cara untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif, (b)
Dengan menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperoleh akan setia dan
tahan lama dalam ingatan, tidak akan mudah dilupakan siswa, (c) Pengertian yang ditemukan
sendiri merupakan pengertian yang betul-betul dikuasai dan mudah digunakan atau ditransfer
dalam situasi lain, (d) Dengan menggunakan strategi penemuan, anak belajar menguasai
salah satu metode ilmiah yang akan dapat dikembangkannya sendiri, (e) dengan metode
penemuan ini juga, anak belajar berfikir analisis dan mencoba memecahkan probelama yang
dihadapi sendiri, kebiasaan ini akan ditransfer dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan demikian diharapkan metode discovery ini lebih dikenal dan digunakan di
dalam berbagai kesempatan proses belajar mengajar yang memungkinkan.
Metode Discovery menurut Suryosubroto (2002:192) diartikan sebagai suatu prosedur
mengajar yang mementingkan pengajaran perseorangan, manipulasi obyek dan lain-lain,
sebelum sampai kepada generalisasi.
Metode Discovery merupakan komponen dari praktek pendidikan yang meliputi
metode mengajar yang memajukan cara belajar aktif, beroreientasi pada proses, mengarahkan
sendiri, mencari sendiri dan reflektif. Menurut Encyclopedia of Educational Research,
penemuan merupakan suatu strategi yang unik dapat diberi bentuk oleh guru dalam berbagai
cara, termasuk mengajarkan ketrampilan menyelidiki dan memecahkan masalah sebagai alat
bagi siswa untuk mencapai tujuan pendidikannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
metode discovery adalah suatu metode dimana dalam proses belajar mengajar guru
memperkenankan siswa-siswanya menemukan sendiri informasi yang secara tradisional biasa
diberitahukan atau diceramahkan saja.
Suryosubroto (2002:193) mengutip pendapat Sund (1975) bahwa discovery adalah
proses mental dimana siswa mengasimilasi sesuatu konsep atau sesuatu prinsip. Proses
mental tersebut misalnya mengamati, menggolong-golongkan, membuat dugaan,
menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan, dan sebagainya.
Langkah-langkah pelaksanaan metode penemuan menurut Suryosubroto (2002:197)
yang mengutip pendapat Gilstrap (1975) adalah: (a) Menilai kebutuhan dan minat siswa, dan
menggunakannya sebagai dasar untuk menentukan tujuan yang berguna dan realities untuk
mengajar dengan penemuan, (b) Seleksi pendahuluan atas dasar kebutuhan dan minat siswa,
prinsip-prinsip, generalisasi, pengertian dalam hubungannya dengan apa yang akan
dipelajarai, (c) Mengatur susunan kelas sedemikian rupa sehingga memudahkan terlibatnya
arus bebas pikiran siswa dalam belajar dengan penemuan, (d) Berkomunikasi dengan siswa
akan membantu menjelaskan peranan penemuan, (e) menyiapkan suatu situasi yang
mengandung masalah yang minta dipecahkan, (f) Mengecek pengertian siswa tentang maslah
yang digunakan untuk merangsang belajar dengan penemuan, (g) Menambah berbagai alat
peraga untuk kepentingan pelaksanaan penemuan, (h) memberi kesempatan kepada siswa
untuk bergiat mengumpulkan dan bekerja dengan data, misalnya tiap siswa mempunyai data
harga bahan-bahan pokok dan jumlah orang yang membutuhkan bahan-bahan pokok tersebut,
(i) Mempersilahkan siswa mengumpulkan dan mengatur data sesuai dengan kecepatannya
sendiri, sehingga memperoleh tilikan umum, (j) Memberi kesempatan kepada siswa
melanjutkan pengalaman belajarnya, walaupun sebagian atas tanggung jawabnya sendiri, (k)
memberi jawaban dengan cepat dan tepat sesuai dengan data dan informasi bila ditanya dan
diperlukan siswa dalam kelangsungan kegiatannya, (l) Memimpin analisisnya sendiri melalui
percakapan dan eksplorasinya sendiri dengan pertanyaan yang mengarahkan dan
mengidentifikasi proses, (m) Mengajarkan ketrampilan untuk belajar dengan penemuan yang
diidentifikasi oleh kebutuhan siswa, misalnya latihan penyelidikan, (n) Merangsang interaksi
siswa dengan siswa, misalnya merundingkan strategi penemuan, mendiskusikan hipotesis dan
data yang terkumpul, (o) Mengajukan pertanyaan tingkat tinggi maupun pertanyaan tingkat
yang sederhana, (p) Bersikap membantu jawaban siswa, ide siswa, pandanganan dan tafsiran
yang berbeda. Bukan menilai secara kritis tetapi membantu menarik kesimpulan yang benar,
(q) Membesarkan siswa untuk memperkuat pernyataannya dengan alas an dan fakta, (r)
Memuji siswa yang sedang bergiat dalam proses penemuan, misalnya seorang siswa yang
bertanya kepada temannya atau guru tentang berbagai tingkat kesukaran dan siswa siswa
yang mengidentifikasi hasil dari penyelidikannya sendiri, (s) membantu siswa menulis atau
merumuskan prinsip, aturan ide, generalisasi atau pengertian yang menjadi pusat dari
masalah semula dan yang telah ditemukan melalui strategi penemuan, (t) Mengecek apakah
siswa menggunakan apa yang telah ditemukannya, misalnya teori atau teknik, dalam situasi
berikutnya, yaitu situasi dimana siswa bebas menentukan pendekatannya.
Sedangkan langkah-langkah menurut Richard Scuhman yang dikutip oleh
Suryosubroto (2002:199) adalah : (a) identifikasi kebutuhan siswa, (b) Seleksi pendahuluan
terhadap prinsip-prinsip, pengertian, konsep dan generalisasi yang akan dipelajari, (c) Seleksi
bahan, dan problema serta tugas-tugas, (d) Membantu memperjelas problema yang akan
dipelajari dan peranan masing-masing siswa, (e) Mempersiapkan setting kelas dan alat-alat
yang diperlukan, (f) Mencek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan dan
tugas-tugas siswa, (g) Memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan penemuan, (h)
Membantu siswa dengan informasi, data, jika diperlukan oleh siswa, (i) memimpin analisis
sendiri dengan pertanyaan yang mengarahkan dan mengidentifikasi proses, (j) Merangsang
terjadinya interaksi antar siswa dengan siswa, (k) memuji dan membesarkan siswa yang
bergiat dalam proses penemuan, (l) Membantu siswa merumuskan prinsip-prinsip dan
generalisasi atas hasil penemuannya.
Metode discovery memiliki kebaikan-kebaikan seperti diungkapkan oleh
Suryosubroto (2002:200) yaitu: (a) Dianggap membantu siswa mengembangkan atau
memperbanyak persediaan dan penguasaan ketrampilan dan proses kognitif siswa, andaikata
siswa itu dilibatkan terus dalam penemuan terpimpin. Kekuatan dari proses penemuan datang
dari usaha untuk menemukan, jadi seseorang belajar bagaimana belajar itu, (b) Pengetahuan
diperoleh dari strategi ini sangat pribadi sifatnya dan mungkin merupakan suatu pengetahuan
yang sangat kukuh, dalam arti pendalaman dari pengertian retensi dan transfer, (c) Strategi
penemuan membangkitkan gairah pada siswa, misalnya siswa merasakan jerih payah
penyelidikannya, menemukan keberhasilan dan kadang-kadang kegagalan, (d) metode ini
memberi kesempatan kepada siswa untuk bergerak maju sesuai dengan kemampuannya
sendiri, (e) metode ini menyebabkan siswa mengarahkan sendiri cara belajarnya sehingga ia
lebih merasa terlibat dan bermotivasi sendiri untuk belajar, paling sedikit pada suatu proyek
penemuan khusus, (f) Metode discovery dapat membantu memperkuat pribadi siswa dengan
bertambahnya kepercayaan pada diri sendiri melalui proses-proses penemuan. Dapat
memungkinkan siswa sanggup mengatasi kondisi yang mengecewakan, (g) Strategi ini
berpusat pada anak, misalnya memberi kesempatan pada siswa dan guru berpartisispasi
sebagai sesame dalam situasi penemuan yang jawaban nya belum diketahui sebelumnya, (h)
Membantu perkembangan siswa menuju skeptisssisme yang sehat untuk menemukan
kebenaran akhir dan mutlak.
Kelemahan metode discovery Suryosubroto (2002:2001) adalah: (a) Dipersyaratkan
keharusan adanya persiapan mental untuk cara belajar ini. Misalnya siswa yang lamban
mungkin bingung dalam usahanya mengembangkan pikirannya jika berhadapan dengan hal-
hal yang abstrak, atau menemukan saling ketergantungan antara pengertian dalam suatu
subyek, atau dalam usahanya menyusun suatu hasil penemuan dalam bentuk tertulis. Siswa
yang lebih pandai mungkin akan memonopoli penemuan dan akan menimbulkan frustasi
pada siswa yang lain, (b) Metode ini kurang berhasil untuk mengajar kelas besar. Misalnya
sebagian besar waktu dapat hilang karena membantu seorang siswa menemukan teori-teori,
atau menemukan bagaimana ejaan dari bentuk kata-kata tertentu. (c) Harapan yang
ditumpahkan pada strategi ini mungkin mengecewakan guru dan siswa yang sudah biasa
dengan perencanaan dan pengajaran secara tradisional, (d) Mengajar dengan penemuan
mungkin akan dipandang sebagai terlalu mementingkan memperoleh pengertian dan kurang
memperhatikan diperolehnya sikap dan ketrampilan. Sedangkan sikap dan ketrampilan
diperlukan untuk memperoleh pengertian atau sebagai perkembangan emosional sosial secara
keseluruhan, (e) dalam beberapa ilmu, fasilitas yang dibutuhkan untuk mencoba ide-ide,
mungkin tidak ada, (f) Strategi ini mungkin tidak akan memberi kesempatan untuk berpikir
kreatif, kalau pengertian-pengertian yang akan ditemukan telah diseleksi terlebih dahulu oleh
guru, demikian pula proses-proses di bawah pembinaannya. Tidak semua pemecahan masalah
menjamin penemuan yang penuh arti.
Metode Discovery menurut Rohani (2004:39) adalah metode yang berangkat dari
suatu pandangan bahwa peserta didik sebagai subyek di samping sebagai obyek
pembelajaran. Mereka memiliki kemampuan dasar untuk berkembang secara optimal sesuai
dengan kemampuan yang mereka miliki.
Proses pembelajaran harus dipandang sebagai suatu stimulus atau rangsangan yang
dapat menantang peserta didik untuk merasa terlibat atau berpartisipasi dalam aktivitas
pembelajaran. Peranan guru hanyalah sebagai fasilitator dan pembimbing atau pemimpin
pengajaran yang demokratis, sehingga diharapkan peserta didik lebih banyak melakukan
kegiatan sendiri atau dalam bentuk kelompok memecahkan masalah atas bimbingan guru.
Ada lima tahap yang harus ditempuh dalam metode discovery menurut
Rohani(2004:39) yaitu: (a) Perumusan masalah untuk dipecahkan peserta didik, (b)
Penetapan jawaban sementara atau pengajuan hipotesis, (c) Peserta didik mencari informasi ,
data, fakta, yang diperlukan untuk menjawab atau memecahkan masalah dan menguji
hipotesis, (d) Menarik kesimpulan dari jawaban atau generalisasi, (e) Aplikasi kesimpulan
atau generalisasidalam situasi baru.
Metode Discovery menurut Roestiyah (2001:20) adalah metode mengajar
mempergunakan teknik penemuan. Metode discovery adalah proses mental dimana siswa
mengasimilasi sesuatu konsep atau sesuatu prinsip. Proses mental tersebut misalnya
mengamati, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat
kesimpulan, dan sebagainya. Dalam teknik ini siswa dibiarkan menemukan sendiri atau
mengalami proses mental itu sendiri, guru hanya membimbing dan memberikan instruksi.
Pada metode discovery, situasi belajar mengajar berpindah dari situasi teacher
dominated learning menjadi situasi student dominated learning. Dengan pembelajaran
menggunakan metode discovery, maka cara mengajar melibatkan siswa dalam proses
kegiatan mental melalui tukar pendapat dengan diskusi, seminar, membaca sendiri dan
mencoba sendiri, agar anak dapat belajar sendiri.
Penggunaan metode discovery ini guru berusaha untuk meningkatkan aktivitas siswa
dalam proses belajar mengajar. Sehingga metode discovery menurut Roestiyah (2001:20)
memiliki keunggulan sebagai berikut: (a) Teknik ini mampu membantu siswa untuk
mengembangkan, memperbanyak kesiapan, serta panguasaan ketrampilan dalam proses
kognitif/ pengenalan siswa, (b) Siswa memperoleh pengetahuan yang bersifat sangat pribadi /
individual sehingga dapat kokoh atau mendalam tertinggal dalam jiwa siswa tersebut, (c)
Dapat meningkatkan kegairahan belajar para siswa.
Metode discovery menurut Mulyasa (2005:110) merupakan metode yang lebih
menekankan pada pengalaman langsung. Pembelajaran dengan metode penemuan lebih
mengutamakan proses daripada hasil belajar.
Cara mengajar dengan metode discovery menurut Mulyasa (2005:110) menempuh
langkah-langkah sebagai berikut: (a) Adanya masalah yang akan dipecahkan, (b) Sesuai
dengan tingkat perkembangan kognitif peserta didik, (c) Konsep atau prinsip yang harus
ditemukan oleh peserta didik melalui kegiatan tersebut perlu dikemukakan dan ditulis secara
jelas, (d) harus tersedia alat dan bahan yang diperlukan, (e) Sususnan kelas diatur sedemian
rupa sehingga memudahkan terlibatnya arus bebas pikiran peserta didik dalam kegiatan
belajar mengajar, (f) Guru harus memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mengumpulkan data, (g) Guru harus memberikan jawaban dengan tepat dengan data serta
informasi yang diperlukan peserta didik.
Metode inquiry adalah metode yang mampu menggiring peserta didik untuk
menyadari apa yang telah didapatkan selama belajar. Inquiry menempatkan peserta didik
sebagai subyek belajar yang aktif (Mulyasa , 2003:234).
Kendatipun metode ini berpusat pada kegiatan peserta didik, namun guru tetap
memegang peranan penting sebagai pembuat desain pengalaman belajar. Guru berkewajiban
menggiring peserta didik untuk melakukan kegiatan. Kadang kala guru perlu memberikan
penjelasan, melontarkan pertanyaan, memberikan komentar, dan saran kepada peserta didik.
Guru berkewajiban memberikan kemudahan belajar melalui penciptaan iklim yang kondusif,
dengan menggunakan fasilitas media dan materi pembelajaran yang bervariasi.
Inquiry pada dasarnya adalah cara menyadari apa yang telah dialami. Karena itu
inquiry menuntut peserta didik berfikir. Metode ini melibatkan mereka dalam kegiatan
intelektual. Metode ini menuntut peserta didik memproses pengalaman belajar menjadi suatu
yang bermakna dalam kehidupan nyata. Dengan demikian , melalui metode ini peserta didik
dibiasakan untuk produktif, analitis , dan kritis.
Langkah-langkah dalam proses inquiry adalah menyadarkan keingintahuan terhadap
sesuatu, mempradugakan suatu jawaban, serta menarik kesimpulan dan membuat keputusan
yang valid untuk menjawab permasalahan yang didukung oleh bukti-bukti. Berikutnya adalah
menggunakan kesimpulan untuk menganalisis data yang baru (Mulyasa, 2005:235).
Strategi pelaksanaan inquiry adalah: (1) Guru memberikan penjelasan, instruksi atau
pertanyaan terhadap materi yang akan diajarkan. (2) Memberikan tugas kepada peserta didik
untuk menjawab pertanyaan, yang jawabannya bisa didapatkan pada proses pembelajaran
yang dialami siswa. (3) Guru memberikan penjelasan terhadap persoalan-persoalan yang
mungkin membingungkan peserta didik. (4) Resitasi untuk menanamkan fakta-fakta yang
telah dipelajari sebelumnya. (5) Siswa merangkum dalam bentuk rumusan sebagai
kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan (Mulyasa, 2005:236).
Metode inquiry menurut Roestiyah (2001:75) merupakan suatu teknik atau cara yang
dipergunakan guru untuk mengajar di depan kelas, dimana guru membagi tugas meneliti
suatu masalah ke kelas. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok, dan masing-masing
kelompok mendapat tugas tertentu yang harus dikerjakan, kemudian mereka mempelajari,
meneliti, atau membahas tugasnya di dalam kelompok. Setelah hasil kerja mereka di dalam
kelompok didiskusikan, kemudian dibuat laporan yang tersusun dengan baik. Akhirnya hasil
laporan dilaporkan ke sidang pleno, dan terjadilah diskusi secara luas. Dari sidang pleno
kesimpulan akan dirumuskan sebagai kelanjutan hasil kerja kelompok. Dan kesimpulan yang
terakhir bila masih ada tindak lanjut yang harus dilaksanakan, hal itu perlu diperhatikan.
Guru menggunakan teknik bila mempunyai tujuan agar siswa terangsang oleh tugas,
dan aktif mencari serta meneliti sendiri pemecahan masalah itu. Mencari sumber sendiri, dan
mereka belajar bersama dalam kelompoknya. Diharapkan siswa juga mampu mengemukakan
pendapatnya dan merumuskan kesimpulan nantinya. Juga mereka diharapkan dapat berdebat,
menyanggah dan mempertahankan pendapatnya. Inquiry mengandung proses mental yang
lebih tinggi tingkatannya, seperti merumuskan masalah, merencanakan eksperimen,
melakukan eksperimen, mengumpulkan dan menganalisa data, menarik kesimpulan. Pada
metode inquiry dapat ditumbuhkan sikap obyektif, jujur, hasrat ingin tahu, terbuka, dan
sebagainya. Akhirnya dapat mencapai kesimpulan yang disetujui bersama. Bila siswa
melakukan semua kegiatan di atas berarti siswa sedang melakukan inquiry.
Teknik inquiry ini memiliki keunggulan yaitu : (a) Dapat membentuk dan
mengembangkan konsep dasar kepada siswa, sehingga siswa dapat mengerti tentang konsep
dasar ide-ide dengan lebih baik. (b) Membantu dalam menggunakan ingatan dan transfer
pada situasi proses belajar yang baru. (c) mendorong siswa untuk berfikir dan bekerja atas
inisiatifnya sendiri, bersifat jujur, obyektif, dan terbuka. (d) Mendorong siswa untuk berpikir
intuitif dan merumuskan hipotesanya sendiri. (e) Memberi kepuasan yang bersifat intrinsik.
(f) Situasi pembelajaran lebih menggairahkan. (g) Dapat mengembangkan bakat atau
kecakapan individu. (h) Memberi kebebasan siswa untuk belajar sendiri. (i) Menghindarkan
diri dari cara belajar tradisional. (j) Dapat memberikan waktu kepada siswa secukupnya
sehingga mereka dapat mengasimilasi dan mengakomodasi informasi.
Metode inquiry menurut Suryosubroto (2002:192) adalah perluasan proses discovery
yang digunakan lebih mendalam. Artinya proses inqury mengandung proses-proses mental
yang lebih tinggi tingkatannya, misalnya merumuskan problema, merancang eksperimen,
melakukan eksperimen, mengumpulkan dan menganalisa data, menarik kesimpulan, dan
sebagainya.
Ujian Akhir Nasional mendapat sorotan dari pakar dan praktis pendidikan, terdapat
dua pandangan pro dan kontra, kemukakan secara konseptual ; teoritik tentang
pandangan tersebut. Bagaimana posisi dan pendapat anda sehubungan upaya
memperbaiki proses pembelajaran pendidikan IPS.
Jawab :
Banyak batasan penilaian atau evaluasi pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli.
Di antaranya dikemukakan oleh Arikunto (1986:3), bahwa: “Penilaian pendidikan adalah
kegiatan penilaian yang terjadi dalam kegiatan pendidikan”. Pendapat yang lebih terperinci
dikemukakan oleh Harahap (1979:19): “Penilaian pendidikan adalah penilaian tentang
perkembangan dan kemajuan murid yang berkenaan dengan penguasaan bahan pelajaran
yang disajikan kepada mereka serta nilai-nilai yang terdapat dalam kurikulum”. Sedangkan
menurut pasal 1 ayat (21) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas: “Evaluasi pendidikan
adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap
berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai
bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan” (2003:9).
Dari pengertian penilaian pendidikan sebagaimana tersebut di atas tersirat tujuan
penilaian pendidikan, yaitu untuk mengetahui apakah tujuan pendidikan yang telah
direncanakan sudah tercapai atau belum. Bagi tujuan pendidikan yang sudah tercapai
bagaimana tindak lanjutnya dan bagi yang belum tercapai bagaimana cara memperbaikinya.
Menurut Anderson, et al. (Arikunto:1988:3): “Tujuan utama penilaian pendidikan
adalah menyiapkan informasi untuk keperluan pengambilan keputusan tentang suatu
program”. Sedangkan Harahap (1979:19) berpendapat, bahwa: “Tujuan penilaian pendidikan
ialah untuk mengetahui atau mengumpulkan informasi tentang taraf perkembangan dan
kemajuan yang diperoleh murid, dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan di
dalam kurikulum”.
Berdasarkan pendapat di atas jelas, bahwa dengan penilaian pendidikan kita dapat
mengetahui tingkat keberhasilan pogram pendidikan yang telah direncanakan dan
dilaksanakan untuk selanjutnya dijadikan bahan petimbangan pengambilan keputusan,
pertanggungjawaban kepada para pihak terkait, dan perbaikan program selanjutnya. Hal ini
sebagaimana dikemukakan oleh Umar et al. (2000:4), bahwa: “Kegunaan utama dari
penilaian adalah untuk pengambilan keputusan dan untuk mempertanggungjawakan kegiatan
yang telah dilaksanakan”.
Prinsip dan Kriteria Penilaian
Agar penilaian yang dilakukan sesuai dengan tujuan penilaian yang diharapkan, maka perlu
memperhatikan prinsip-prinsip penilaian yang berlaku. Secara umum prinsip penilaian pendidikan
menurut Sirait (1989:31-33) adalah sebagai berikut:
Menentukan dan menjelaskan apa yang harus dinilai selalu mendapat prioritas dalam proses
evaluasi. Teknik evaluasi harus dipilih sesuai dengan tujuan yang akan dilayaninya. Evaluasi
yang komprehensif menuntut berbagai teknik evaluasi.
Pemakaian teknik evaluasi yang sewajarnya menuntut kewaspadaan akan
keterbatasannya seperti juga kekuatannya. Evaluasi adalah alat mencapai tujuan dan
bukan merupakan tujuan akhir.
Dari pendapat di atas, bahwa dalam penilaian pendidikan selain harus jelas tujuannya,
teknik penilaian yang digunakan sesuai dengan tujuan, komprehensif (menyeluruh),
menyadari kelebihan dan kekurangan dari berbagai teknik evaluasi, serta penilaian
merupakan salah satu alat yang penting untuk mencapai tujuan pendidikan.
Sementara menurut Arifin (1988:11-12), penilaian atau evaluasi hendaknya bertolak
dari prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Kontinuitas, artinya karena pendidikan itu merupakan suatu proses yang
kontinu, maka evaluasi pun harus dilakukan secara kontinu (terus-menerus).
2. Menyeluruh, artinya seluruh aspek kepribadian anak, baik yang
menyangkut aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
3. Objektivitas, artinya evaluasi harus didasarkan atas kenyataan yang
sebenarnya.
4. Kooperatif, artinya setiap kegiatan evaluasi hendaknya dilakukan secara
bersama oleh semua guru, terutama di sekolah lanjutan karena setiap anak didik
ditangani oleh banyak guru.
Suatu penilaian dikatakan baik, apabila sesuai dengan ciri-ciri penilaian yang baik.
Penilaian yang baik menurut Arikunto (1986:50-54), memiliki ciri sebagai berikut:
1. Validitas, sebuah tes disebut valid apabila tes itu dapat tepat mengukur apa
yang hendak diukur.
2. Reliabilitas, sebuah tes disebut reliabel apabila tes itu dapat dipercaya.
3. Objektivitas, sebuah tes disebut objektif apabila tidak dipengaruhi oleh
masalah pribadi.
4. Praktikabilitas, sebuah tes dikatakan memiliki praktikailitas yang tinggi
apabila tes tersebut bersifat prakis, mudah pengadministrasiannya.
5. Ekonomis, apabila tes tersebut tidak membutuhkan biaya yang mahal,
tenaga yang banyak, dan waktu yang lama.
Dari beberapa pendapat di atas jelas, bahwa penilaian pendidikan yang baik berpijak
pada ciri dan prinsip kontinuitas, validitas, reliabilitas, objektivitas, praktikabilitas,
komprehensif, kooperatif, dan ekonomis. Dengan berpatokan kepada prinsip-prinsip tersebut
diharapkan penilaian dapat menjadi alat ukur tingkat keberhasilan program pendidikan
sebagai bahan pertimbangan pengambilan keputusan dan pertanggungjawaban kepada para
steakholders pendidikan.
Sistem Penilaian Unas dan Permasalahannya
Pasal 2 Keputusan Mendiknas No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran
2003/2004, menyatakan bahwa:
Ujian Nasional bertujuan untuk:
a. mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik;
b. mengukur mutu pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota,
dan sekolah/madrasah;
c. mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan secara nasional,
provinsi, kabupaten/kota, sekolah/madrasah; kepada masyarakat (2003:2).
Dari tujuan ujian nasional di atas jelas, bahwa ujian nasional memegang peranan yang sangat
penting dalam sistem pendidikan nasional, karena selain untuk mengukur pencapaian hasil belajar dan
mengukur mutu pendidikan, juga untuk mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan
kepada masyarakat. Selanjutnya pasal 3 menyatakan, bahwa:
Ujian Nasional berfungsi sebagai:
a. alat pengendali mutu pendidikan secara nasional;
b. pendorong peningkatan mutu pendidikan;
c. bahan dalam menentukan kelulusan peserta didik;
d. bahan pertimbangan dalam seleksi penerimaan peserta didik baru pada jenjang
pendidikan yang lebih tinggi (2003:3).
Dengan memperhatikan fungsi ujian nasional di atas, betapa strategisnya ujian nasional
sebagai alat pengendali dan pendorong mutu pendidikan, menentukan kelulusan, serta bahan
pertimbangan seleksi penerimaan peserta didik baru pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Ujian nasional dapat melaksanakan fungsinya dengan baik dalam rangka mencapai tujuan
ujian nasional khususnya dan tujuan pendidikan nasional pada umumnya, apabila ujian nasional
tersebut dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip penilaian. Sebaliknya akan menjadi
kontraproduktif apabila pelaksanaannya bertentangan dengan prinsip-prinsip penilaian yang berlaku.
Sementara pasal 5 ayat (1) Keputusan Mendiknas No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir
Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004, dinyatakan bahwa: “Ujian Nasional meliputi seluruh mata
pelajaran yang diajarkan pada kelas akhir sesuai dengan kurikulum nasional dan dilaksanakan dalam
bentuk ujian tertulis dan ujian praktik” (2003:3). Selanjutnya dalam pasal 6 ayat (1) Keputusan
Mendiknas No. 153/U/2003, dinyatakan bahwa: “Soal ujian nasional mengacu pada materi pelajaran
dan bahan kajian yang ditetapkan berdasarkan kurikulum nasional” (2003:3).
Soal ujian nasional terbagi dua kelompok, yaitu yang disiapkan oleh pusat dan yang disiapkan
oleh sekolah/madrasah. Dalam lampiran Keputusan Mendiknas No. 153/U/2003, mata pelajaran yang
soalnya disiapkan oleh pusat adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika, sedangkan
sisanya disiapkan oleh sekolah. Pemeriksaan hasil ujian nasional yang soalnya disiapkan oleh pusat
dilakukan dengan menggunakan komputer oleh Tim Komputerisasi Provinsi, sedangkan pemeriksaan
yang soalnya disiapkan oleh sekolah dilakukan secara manual oleh sekolah atau silang antara sekolah
dalam satu subrayon.
Adapun mengenai kriteria kelulusan menurut lampiran Keputusan Mendiknas No.
153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004, yaitu sebagai berikut:
a. Memiliki nilai seluruh mata pelajaran yang diujikan secara nasional;
b. Tidak terdapat nilai < 4.00;
c. Semua peserta Ujian Nasional yang dinyatakan lulus menerima Surat
Tanda Lulus dan Ijazah;
d. Peserta Ujian Nasional yang tidak lulus tidak dapat melanjutkan
pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi;
e. Peserta Ujian Nasional yang tidak lulus dapat mengikuti Ujian Nasional
tahun berikutnya dan wajib mengulang di kelas terakhir.
Dengan kriteria kelulusan minimal 4,01 menimbulkan kekhawatiran bagi para pelaksana di
lapangan, terutama para guru, kepala sekolah, dan para aparat/birokrat pendidikan. Kekhawatiran ini
cukup beralasan karena banyak masyarakat/orang tua siswa yang belum mengerti terutama di daerah
terpencil. Apalagi bagi yang tidak lulus tidak dapat mengulang secara langsung, ia dapat mengulang
pada tahun berikutnya dan wajib mengulang di kelas terakhir. Persyaratan ini menjadikan beban moral
dan psikologis yang berat bagi peserta didik yang tidak lulus. Tetapi setelah mendapat reaksi yang
keras dari publik, maka Mendiknas mengeluarkan Keputusan No. 037/U/2004 tentang Ujian Akhir
Nasional Ulangan Tahun Pelajaran 2003/2004, yang intinya menyatakan bahwa peserta ujian nasional
yang tidak lulus dapat mengikuti ujian nasional ulang secara langsung, selang beberapa hari setelah
pengumuman kelulusan.
Kekhawatiran akan ketidaklulusan peserta didik, membuat pihak sekolah melakukan
perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip penilaian khususnya dan
prinsip-prinsip pendidikan pada umumnya. Di antaranya dalam bentuk membantu siswa
dalam menjawab soal dengan cara memberi kunci jawaban. Ini dilakukan atas perintah kepala
sekolah yang merupakan hasil koordinasi dan konsultasi dengan kepala sekolah lain dan
secara operasional setiap sekolah memiliki tim sukses. Hal ini jelas tidak sesuai dengan
prinsip objektivitas dalam penilaian dan tidak mendidik, sehingga siswa beranggapan tidak
perlu belajar dengan sungguh-sungguh karena pada waktu menjawab soal ujian diberitahu
oleh guru.
Cara lain untuk membantu siswa agar lulus yang agak halus adalah dengan cara
memeriksa jawaban siswa oleh panitia dan tim sukses, kemudian dibetulkan sesuai dengan
batas kelulusan sebelum amplop lembar jawaban komputer (LJK) direkat. Melihat keadaan
tersebut, pengawasan silang antarsekolah dalam rangka melaksanakan ujian yang objektif dan
mendidik menjadi tidak berguna.
Walaupun kenyataannya tidak semua sekolah melakukan hal seperti itu, karena ada
beberapa guru yang menolak melakukan perbuatan yang tidak mendidik tersebut. Hal ini
menimbulkan ketimpangan angka ketidaklulusan antara sekolah yang membantu siswa dalam
menjawab soal dengan sekolah yang berpegang teguh kepada aturan dan prinsip-prinsip
penilaian.
Permasalahan di atas dilakukan terhadap mata pelajaran yang diperiksa dengan sistem
komputerisasi oleh tim provinsi, yaitu Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris.
Sedangkan untuk mata pelajaran lain yang pemeriksaannya dilakukan secara silang oleh
sekolah dalam satu subrayon, masalah skor/nilai diatur berdasarkan kesepakatan antarsekolah
dengan ketentuan yang penting siswa bisa lulus.
Sebagai bahan perbandingan, kita lihat kriteria kelulusan Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran
2002/2003 menurut lampiran Keputusan Mendiknas No. 017/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional
Tahun Pelajaran 2002/2003, yaitu sebagai berikut:
a. Memiliki nilai seluruh mata pelajaran yang diujikan secara nasional;
b. Tidak terdapat nilai < 3.00;
c. Nilai rata-rata seluruh mata pelajaran paling rendah 6.00;
d. Semua peserta Ujian Nasional menerima Surat Tanda Lulus dan STTB;
e. Bagi peserta Ujian Nasional yang tidak lulus, tidak dapat melanjutkan pendidikan
ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Dari kriteria kelulusan di atas, tampak bahwa Unas 2002/2003 lebih longgar dibandingkan
dengan kriteria kelulusan Unas 2003/2004, hanya pada Unas 2002/2003 ada syarat nilai rata-rata
paling rendah 6.00, sementara pada Unas 2003/2004 syarat tersebut tidak ada.
Dibandingkan dengan sistem Unas, kriteria kelulusan sistem Ebta/Ebtanas lebih fleksibel.
Dalam sistem Ebta/Ebtanas kelulusan siswa selain ditentukan oleh nilai Ebta/Ebtanas, nilai Raport
kelas terakhir, juga hal-hal lain yang dipertimbangkan oleh sekolah. Hal ini sebagaimana tercantum
dalam ketentuan pasa 10 ayat (1) Keputusan Bersama Dirjen Dikdasmen Depdiknas dan Dirjen
Bimbaga Islam Depag No. 36/C/Kep/PP/2000 dan No. E/25A/2000 tentang Penyelenggaraan Ebtanas
Tahun Pelajaran 1999/2000, bahwa: “Penentuan siswa yang tamat belajar dilaksanakan oleh sekolah
penyelenggara dalam suatu rapat bersama dewan guru dengan mempertimbangkan nilai Ebta dan
Ebtanas”.
Dengan kriteria tersebut pihak sekolah tidak terlalu direpotkan dengan kriteria nilai kelulusan
siswa, karena nilai kelulusan siswa tidak hanya ditentukan oleh nilai Ebta/Ebtanas saja, walaupun nilai
STTB minimal rata-rata 6.00, karena untuk mencapai nilai rata-rata 6.00 selain nilai Ebta/Ebtanas juga
nilai raport kelas terakhir. Berbeda dengan sistem Unas di mana nilai raport tidak mempengaruhi sama
sekali, artinya walaupun siswa itu nilai raportnya bagus, tetapi nilai Unas kurang dari 4.01, maka siswa
tersebut tidak lulus.
Berdasarkan uraian di atas, karena namanya ujian nasional sebagai alat pengendali mutu
pendidikan secara nasional, maka semua soalnya harus disiapkan secara nasional termasuk mata
pelajaran IPS, kecuali mata pelajaan muatan lokal.
Sementara dalam penentuan kelulusan bukan hanya dari nilai UAN, tetapi juga harus
dipertimbangkan berbagai aspek dari pembelajaran sehari-hari baik proses maupun hasil. Hal
tersebut karena selama ini dengan sistem UAN, kelulusan hanya ditentukan oleh nilai UAN
tanpa memperhatikan aspek lain. Jadi penentuan kelulusan dalam sistem KBK, selain nilai
hasil UAN juga harus memperhatikan nilai hasil dari penilaian berbasis kelas (PBK).
Rancangan evaluasi KBK yang terbaik.
Menurut Mulyasa (2002:103-105) evaluasi hasil belajar dalam implementasi
kurikulum berbasis kompetensi dilakukan dengan penilaian kelas, tes kemampuan dasar,
penilaian akhir satuan pendidikan dan sertifikasi, benchmarking, dan penilaian program.
Penilaian kelas dilakukan dengan ulangan harian, ulangan umum, dan ujian akhir. Tes
kemampuan dasar dilakukan untuk mengetahui kemampuan membaca, menulis, dan
berhitung yang diperlukan dalam rangka memperbaiki program pembelajaran (program
remedial).
Penilaian akhir satuan pendidikan dan sertifikasi dilakukan pada setiap akhir semester
dan akhir tahun pelajaran untuk mendapatkan gambaran secara utuh dan menyeluruh
mengenai ketuntasan belajar peserta didik dalam satuan waktu tertentu. Benchmarking
merupakan suatu standar untuk mengukur kinerja yang sedang berjalan, proses, dan hasil
untuk mencapai suatu keunggulan yang memuaskan. Penilaian program dilakukan oleh
Departemen Pendidikan Nasional dan Dinas Pendidikan secara kontinu dan
berkesinambungan. Penilaian program dilakukan untuk mengetahui kesesuaian kurikulum
dengan dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional, serta kesesuaiannya dengan tuntutan
perkembangan masyarakat, dan kemajuan jaman.
Dari uraian di atas saya berpendapat, bahwa penilaian berbasis kelas (PBK) dengan
penekanan pada penilaian proses dan hasil belajar merupakan bentuk penilaian terbaik dalam
KBK. Sementara untuk ujian akhir yang sifatnya nasional (seperti UAN dan Penilaian
Program) perangkat penilaiannya termasuk soal disiapkan secara nasional. Hal ini karena
salah satu fungsi ujian nasional adalah sebagai alat pengendali mutu pendidikan secara
nasional. Dengan demikian melalui ujian nasional kita dapat mengetahui mutu pendidikan
secara nasional.
Adapun langkah-langkah penilaian berbasis kompetensi menurut Suderadjat
(2004:124) adalah sebagai berikut:
a. Identifikasi semua langkah-langkah penting yang diperlukan atau yang akan
mempengauhi hasil akhir (output) yang terbaik.
b. Tuliskan perilaku kemampuan-kemampuan spesifik (operasional) yang penting
dilakukan untuk menyelesaikan tugas dan menghasilkan hasil akhir yang terbaik.
c. Usahakan untuk membuat kriteria kemampuan yang diukur tidak terlalu banyak
sehingga semua kriteria tersebut dapat diobservasi selama siswa melaksanakan tugas.
d. Definisikan dengan jelas kriteria kemampuan yang akan diukur berdasarkan
kemampuan siswa yang harus dapat diamati (oservable) atau karakteristik produk yang
dihasilkan.
e. Urutkan kriteria-kriteria kemampuan yang akan diukur berdasarkan urutan yang dapat
diamati.
f. Periksa kembali apa yang telah dibuat dan kalau mungkin bandingkan dengan kriteria
kemampuan yang sudah ada, yang dibuat sebelumnya oleh orang lain di lapangan.
Dengan memperhatikan langkah-langkah tersebut diharapkan penilaian dalam KBK
dapat dilaksanakan secara menyeluruh, berkelanjutan, berorientasi pada indikator
ketercapaian hasil belajar, dan sesuai dengan pengalaman belajar. Sehingga penilaian benar-
benar dapat dijadikan ukuran bagi keberhasilan KBK khususnya dan pendidikan pada
umumnya baik pada tingkat sekolah, lokal maupun nasional.
Realitas tersebut dapat disimak dari konsep siswa tentang desa/kelurahan yang tidak
hanya dipandang dari aspek geografis (dalam dan luar kota), tetapi juga memunculkan
aspek ekonomi (keadaan dan kekayaan alam, matapencaharian penduduk
desa/kelurahan), dan aspek sosiologis (status dan peran interaktif penduduk
desa/kelurahan). Juga dapat disimak dari konsep siswa tentang matapencaharian yang
memunculkan aspek ekonomis (penghasilan, pemenuhan kebutuhan hidup keseharian),
dan aspek geografis (hubungan interaktif antara jenis pekerjaan dengan keadaan alam).
Mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif dan reflektif di sini, tidak harus
dimaknakan sebagai kemampuan berpikir sebagaimana layaknya seorang ilmuwan sosial
melihat realitas dan persoalan dalam keketatan paradigma metode ilmiah. Tetapi, pada
pengembangan kemampuan keterampilan dasar siswa melihat secara inderawi (merasa,
merumuskan kesimpulan dengan bantuan peta atau gambar, memahami, mengumpulkan
fakta, menafsirkan, dll) hubungan relasional antara manusia (dirinya) dengan lingkungan
sekitarnya, melihat adanya variansi antara yang ideal dengan realistis berdasarkan kiteria-
kriteria yang ada.
Blosser, Patricia E. & Helgenson, Stanley L. (1990). Selecting Procedures for Improving the Science
Curriculum. Columbus, OH: ERIC Clearinghouse for Science, Mathematics, and
Environment Education. (ED325303)
Bobbi DePorter, Mark Reardon, dan SarahSinger-Nourie. 2006. QuantumTeaching. Bandung : Penerbit Kaifa.
Brooks, Jacqueline Grennon and Brooks, Martin G. (1993). The case for constructivist classrooms. Alexandria,
VA: ASCD
Brown, J.S., Collins, A. & Duguid, S. (1989). Situated cognition and the culture of learning. Educational
Researcher, 18(1), 32-42.
Buzan. Tony dan Barry. 2004. Memahami Peta Pikiran : The Mind Map Book. Interaksa: Batam
Buzan. Tony. 2004. Mind Map: Untukmeningkatkan Kreativitas. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Budiningsih, Asri, C. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta, Penerbit Rineka Cipta.
Departemen Pendidikan Nasional, (2003), Kurikulum 2004, Jakarta, Depdiknas. (2003), Kumpulan Pedoman
Kurikulum 2004, Jakarta. (2003), Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran
Pengetahuan Sosial SMP dan MTS, Jakarta. (2004), Contoh Silabus Berdiversifikasi dan
Penilaian Berbasis Kelas, Jakarta.
Departemen Pendidikan Nasional, (2003), Kurikulum 2004, Jakarta, Depdiknas. (2003), Kumpulan Pedoman
Kurikulum 2004, Jakarta. (2003), Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran
Pengetahuan Sosial SMP dan MTS, Jakarta. (2004), Contoh Silabus Berdiversifikasi dan
Penilaian Berbasis Kelas, Jakarta
DePorter, Bobbi dan Mike Hernacki. 1999. Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan
Menyenangkan. Bandung: Penerbit KAIFA.
DePorter, Bobbi, Mark Reardon, dan Sarah Singer-Nourie. 2001. Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum
Learning di Ruang-ruang Kelas. Bandung: Penerbit KAIFA.
Dewey, John (1964) John Dewey on education: Selected writings. Chicago: University of Chicago Press.
Djahiri, A.K. (1978). Pengajaran Studi Sosial/IPS. Bandung: LPPP-IPS; FKIS-IKIP Bandung.
Dryden, Gordon dan Jeanette Vos. 1999. The Learning Revolution: To Change the Way the World Learns.
Selandia Baru: The Learning Web.
Ernest, P. (1995). The one and the many. In L. Steffe & J. Gale (Eds.). Constructivism in education (pp.459-
486). New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates,Inc.
Gage, N.L. & Berliner, David, C. (1984). Educational Psychology 3rd Ed. Boston, Houghton Mifflin Company.
Gagne, Ellen, D., 1985. The Cognitive Psychology of School Learning. Boston, Little, Brown and Company
Garton, Janetta., 2005. Inquiry-Based Learning. Willard R-II School District, Technology Integration Acade
Gergen, K. (1995). Social construction and the educational process. In L. Steffe & J. Gale (Eds.).
Constructivism in education, (pp.17-39). New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates,Inc
Giddens, Anthony. 2001. Runway World. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Harahap, N. (1982). Teknik Penilaian Hasil Belajar. Jakarta: Bulan Bintang.
Hasan S. Hamid, (1996), Pendidikan Ilmu Sosial, Jakarta, P2TA. (2002), Pendidikan IPS dan Ilmu Sosial di
Masa Mendatang, JPIS, No. 19, Bandung.
Hidayah, Zulyani (2001) Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta: LP3ES.
Haury, L. David. (1993). Teaching Science Through Inquiry. Columbus, OH: ERIC Clearinghouse for Science,
Mathematics, and Environment Education. (ED359048)
Hidayat. Nandang. Meningkatkan Energi Belajar Melalui Belajar kuantum (Quantum Learning): Bogor.
Huitt, W. (1997). Socioemotional development. Educational Psychology Interactive. Valdosta, GA: Valdosta
State University
Jarolimek, John, (1993), Social Studies in Elementary Education, New York: Macmillan Publishing Co. Ltd
Jensen. Eric dan Karen Makowitz. 2002. Otak Sejuta Gygabite: Buku Pintar Membangun Ingatan Super. Kaifa :
Bandung.
Lie, L. (2002). Cooperative Learning. Jakarta: Grasindo.
Leonard, Nancy, H., Beauvais, Laura Lynn., & Scholl Richard, W., 1995. "A Self Concept-Based Model of
Work Motivation". In The Annual Meeting of the Academy of Management (URL:
http://chiron.valdosta.edu/wh...).
Makmun. Abin Syamsudin. 2000. Psikologi Kependidikan Remaja Rosda Karya.Bandung.
Mansour Fakih dan Robert Chamber. 2002. Anak-anak Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta:Read Book.
Meier, Dave. 2000. The Accelerated Learning Handbook. New York: McGraw-Hill.
Mulyasa, E. (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementasi. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Mulyasa. 2005. Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan.
Bandung:Rosda.
Nakita Cetakan Pertama. 2004. Panduan Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : PT Sarana Kinasih Satya Sejati.
Nasution, S. 1989. Berbagai Pendekatan Proses Belajar Mengajar, Jakarta,:Bina Aksara.
Nursid Sumaatmadja dan Kuswaya Mardi, (1999), Perspektif Global, Jakarta: Penerbit UT.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional
Pendidikan. 2005. Jakarta : Tanpa Penerbit.
Palmer, Joy A. 2003. 50 Pemikir Pendidikan, dari Piaget sampai masa
sekarang. Yogyakarta: Jendela
Roem Topatimasang,dkk. 2005. Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran
Kritis. Yogyakarta:Insist Press.
Sagala, Syaiful., 2004. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung, Penerbit Alfabeta.
Silberman, Melvin L. 1996. Active Learning: 101 Step to Teach Any Subject.Massachusetts: A Simon and
Schuster Company.
Somantri, M.N. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sugiarto. Iwan. 2004 Mengoptimalkan Daya Kerja Otak Dengan Berfikir Holistik dan Kreatif. Gramedia
Pustaka Utama: Jakarta.
Supriatna, Nana, (2002), Mengajarkan Keterampilan Sosisal yang Diperlukan Siswa Memasuki Era Global,
JPIS No. 19
Suwarma Al Muchtar, (1999). Epistimologi Dasar Konseptual Strategi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial.
Forum Pendidikan IKIP Bandung. (2003). Otonomi Daerah dan Multikulturalisme. Bandung:
FPIPS UPI Bandung. (2004), Pengembangan Berpikir dan Nilai Dalam pendidikan IPS,
Bandung, Gelar Pustaka Mandiri (----) Strategi Pembelajaran Pendidikan IPS. Sekolah
Pascasarjana UPI
Steffe, Leslie P. & and D'Ambrosio, Beatriz S. (1995). Toward a working model of constructivist teaching: A
reaction to Simon. Journal for Research in Mathematics Education, 26, 146-159.
Sumaatmadja, N. (1998). Manusia dalam Konteks Sosial Budaya dan Lingkungan Hidup. Bandung: Alfabeta.
Sumaatmadja, N. Dan Wihardi, K. (1999). Perspektif Global. Jakarta: Universitas Terbuka.
Tilaar, H.A.R. (1999). Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Universitas Negeri Malang (UM). 2000. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Edisi
Keempat). Malang : Biro Administrasi Akademik, Perencanaan dan Sistem Informasi .
Winataputra, U.S., et al. (2004). Kedudukan, Fungsi, Peran Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial dan
Pendidikan Kewarganegaraan dalam Sistem Pendidikan Nasional. Yogyakarta: HISPISI.
Wiriaatmadja, R. (2002). Pendidikan Sejarah di Indonesia. Bandung: Historia Utama Press.
Wortman, Camille., Loftus, Elizabeth. & Weaver, Charles., 2004. Psychology, 5th Ed. Boston, McGraw-Hill.
Yerkes, R.M. & Dodson, J.D. (1908) The Relation of Strength of Stimulus to Rapidity of Habit-Formation.
Journal of Comparative Neurology and Psychology, 18
____. (2004). Observational (social) learning: An overview. Educational Psychology Interactive. Valdosta, GA:
Valdosta State University.
____. 2001. Motivation to Learn: An Overview. Educational Psychology Interactive. Valdosta, Valdosta State
University
_____. (2003). UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas. Jakarta: Depdiknas.
_____. (2000). Himpunan Peraturan Ebta/Ebtanas Tahun Pelajaran 1999/2000. Bandung: Kanwil Depdiknas
Propinsi Jawa Barat.
_____. (2003). Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003, tentang Ujian Akhir Nasional Tahun
Pelajaran 2003/2004. Bandung: Disdik Provinsi Jawa Barat.
_____. (2004). Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 037/U/2004, tentang Ujian Akhir Nasional
Ulangan Tahun Pelajaran 2003/2004. Jakarta: Depdiknas.
http://www.waspada.co.id/opini/artikel/artikel.php?article_id=45053
http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/35/mengubah_wawasan_peran.htm
http://tiger.coe.missouri.edu/~jonassen/courses/CLE/
http://www.kn.pacbell.com/wired/fil/pages/listconstrucsa1.html .
http://www.waspada.co.id/opini/artikel/artikel.php?article_id=45053
http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/35/mengubah_wawasan_peran.htm
http://tiger.coe.missouri.edu/~jonassen/courses/CLE/
http://www.kn.pacbell.com/wired/fil/pages/listconstrucsa1.html .
http://www.ctheory.com/
http://202.159.18.43/jp/22farisi.htm
http://www.deliveri.org