Anda di halaman 1dari 8

PENGARUH PENGETAHUAN IBU TENTANG PERAWATAN PAYUDARA DENGAN

PELAKSANAAN ASI EKSKLUSIF

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Rendahnya pengetahuan ibu tentang perawatan payudara dapat menyebabkan


terganggunya pelaksanaan ASI ekslusif. Menurut Feti (2016) ibu yang pertama kali
melahirkan belum memiliki pengalaman dalam hal perawatan payudara sehingga
memungkinkan ibu tidak mengetahui hal-hal yang terkait dengan produksi ASI. Pada bayi 6
bulan pertama yang tidak minum ASI, akan mengalami kekurangan gizi dan rentan terhadap
penyakit. (Saryono dan Pramitasari, 2016). Dengan demikian, perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut menyangkut fakto-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan ibu tentang
perawatan payudara untuk melihat lebih jauh lagi penyebab terganggunya pelaksanaan ASI
eksklusif sehingga kedepan intervensi yang diberikan dapat lebih tepat mengatasi penyebab.

Di dunia, pemberian ASI pada bayi masih dalam kategori rendah. Hasil studi yang
dilakukan di Ghana menunjukkan bahwa menyusui bayi pada jam pertama kelahiran dapat
mencegah 22% kematian neonatal dan dapat mencegah 13% kematian balita. Pemberian ASI
eksklusif mampu mengurangi risiko Sindrom Kematian Bayi Mendadak (Sudden Infant
Death Syndrome/SIDS) hingga 73%. Sebuah studi di Amerika Serikat terhadap 1743
pasangan ibu dan anak menunjukkan bayi yang sama sekali tidak mendapatkan ASI lebih
sering mengalami diare dibandingkan kelompok yang mendapatkan ASI eksklusif (Edmond,
2020). Dengan demikian, sebanyak 73% pemberian ASI eksklusif mampu menguragi resiko
syndrome kematian mendadak.

Di Asia, pemberian ASI eksklusif pada bayi masih tergolong rendah, Capaian ASI
eksklusif di Asia Tenggara menunjukan angka yang cukup tinggi. Sebagai perbandingan,
cakupan ASI Eksklusif di India sudah mencapai 46%, di Philippines 34%, di Vietnam 27%,
di Myanmar 24% dan di Indonesia 27,1% (Depkes RI, 2017). Hal ini menunjukan, cakupan
ASI eksklusif di asia sudah menujukan angka < 50%

Di Indonesia, Berdasarkan Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016
cakupan ASI Eksklusif meningkat menjadi 55,4 % , namun data dari Dinkes DIY tahun 2016
angka cakupan ASI Eksklusif sebesar 73,7%. Hal ini jauh dibawah target nasional sebesar
80%. (Luthfiyati dan Widaryanti 2020). Di indonesia rata-rata ibu memberikan ASI eksklusif
hanya 2 bulan. Pada saat bersamaan, pemberian susu formula meningkat 3 kali lipat. Saat ini
jumlah ibu yang memberikan ASI eksklusif kepada bayinya sampai berusia 6 bulan masih
rendah, yaitu kurang dari 2 % dari jumlah total ibu melahirkan (Yuliarti Nurheti, 2018).
Dengan demikian menunjukan, cakupan ASI eksklusif di Indonesia sudah menujukan angka
73,7%.

Di Sulawesi Utara, Cakupan pemberian ASI Eksklusif untuk Provinsi Sulawesi Utara
sebesar 38,5% dimana belum mencapai target program tahun 2014 sebesar 80%, di Kota
Manado tahun 2015 sebesar 24,22%, di Puskesmas Tuminting sebesar 4,37% dengan
cakupan sebesar 41 bayi. (Hani & Astuti,2018) hal ini menunjukan bahwa masih rendahnya
pncapaian cakupan pemberian ASI eksklusif di Provinsi Sulawesi Utara.

Rendahnya implementasi pemberian ASI, membuat pemerintah melakukan beberapa


upaya. Menurut Haryono dan Setianingsih. (2017) Rendahnya cakupan pemberian ASI
eksklusif di Indonesia juga mendapatkan perhatian dari pemerintah. Salah satunya adalah
program peningkatan penggunaan Air susu ibu (PP-ASI) khususnya ASI eksklusif. Sejumlah
kepedulian juga lahir dari masyarakat yang menyadari pentingnya pemberian ASI eksklusif
pada bayi yang tergabung dalam Kelompok Pendukung ASI (KP ASI). Berdasarkan hal
tersebut pemerintah telah melakukan program seperti program peningkatan penggunaan Air
susu ibu (PP-ASI) dan Kelompok Pendukung ASI (KP ASI)

Walaupun upaya-upaya diatas telah dilakukan, tetapi berdasarkan hasil penelitian


menunjukkan bahwa pengetahuan dasar responden tentang ASI eksklusif sudah cukup baik.
Namun walaupun demikian tidak membuat seluruh responden dapat memberikan ASI
eksklusif, terbukti dengan responden yang yang berpengetahuan baik namun tidak
memberikan ASI eksklusif terdapat 15 (26,8%) responden. (Chritianto & Yonata, 2017).
Lebih lanjut penelitian ini menyatakan bahwa responden yang berpengetahuan baik namun
tidak memberikan asi eksklusif terdapat 27%.

1.2 Pertanyaan Penelitian


1. Bagaimanakah gambaran karakteristik demografi ibu menyusui di RS LASALLIAN ?
2. Bagaimanakah implementasi pemberian ASI pada bati di RS LASALLIAN ?
3. Bagaimanakah pelaksanaan ASI eksklusif di RS LASALLIAN ?
4. Apakah ada hubungan yang signifikan antara implementasi pemberian ASI dan
perawatan payudara pada ibu di RS LASALLIAN ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Diketahui hubungan implementasi pemberian ASI eksklusif pada bayi dengan perawatan
payudara pada ibu di RS LASALLIAN
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Diketahui karakteristik demografi ibu menyusui di RS LASALLIAN ?
2. Diketahui implementasi pemberian ASI pada bati di RS LASALLIAN ?
3. Diketahui pelaksanaan ASI eksklusif di RS LASALLIAN ?
4. Diketahui hubungan yang signifikan antara implementasi pemberian ASI dan
perawatan payudara pada ibu di RS LASALLIAN ?

1.4 Manfaat Penelitian


1. Toritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman tentang pelaksanaan ASI
eksklusif dan perawatan payudara terhadap kualitas hidup ibu dan bayi.
2. Praktik
Hasil penelitian ini bisa menjadi salah satu sumber informasi yang bermanfaat
bagi masyarakat, khususnya para ibu yang menyusui di RS LASSALIAN
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 PELAKSANAAN ASI EKSLUSIF

ASI Ekslusif adalah pemberian ASI saja pada bayi sampai usia 6 bulan tanpa tambahan
cairan ataupun makanan lain. ASI dapat diberikan sampai bayi berusia 2 tahun (Rini &
Kumala 2016). Menurut penelitian, anak- anak yang tidak diberi ASI mempunyai IQ
(intellectual quotient) lebih rendah 7-8 poin di bandingkan dengan anak-anak yang diberi
ASI secara eksklusif. Meskipun khasiat ASI begitu besar, namun tidak banyak ibu yang mau
atau bersedia memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan seperti disarankan organisasi
kesehatan dunia (WHO).

Tidak sedikit ibu yang kecewa karena keinginanya untuk memberikan ASI eksklusif
tidak berhasil dikarenakan mempunyai masalah dalam pemberian ASI ekslusif. Masalah
yang timbul bahkan terjadi pada masa antenatal karena kesalahan dan kurangnya informasi
yang didapat oleh ibu (Astutik, 2016). ASI eksklusif berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 33 Tahun 2012 adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama enam
bulan, tanpa menambahkan atau mengganti dengan makanan atau minuman lain (kecuali
obat, vitamin dan mineral) (Kemenkes RI, 2016)

2.2 PENGETAHUAN IBU DALAM PERAWATAN PAYUDARA

Faktor yang mempengaruhi kelancaran produksi ASI diantaranya adalah perawatan


payudara. Perawatan payudara merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar dan
teratur untuk memelihara kesehatan payudara. Perawatan payudara sangat penting bagi para
ibu karena merupakan tindakan perawatan yang dilakukan oleh pasien maupun dibantu oleh
orang lain biasanya dilakukan mulai dari hari pertama atau kedua setelah melahirkan
(Rosanah, 2016). Tujuan dari perawatan payudara adalah untuk melancarkan sirkulasi darah
dan mencegah tersumbatnya saluran susu, sehingga pengeluaran ASI lancar. Produksi ASI
dan pengeluaran ASI dipengaruhi oleh dua hormon, yaitu prolaktin dan oksitosin. Prolaktin
mempengaruhi jumlah produksi ASI, sedangkan oksitosin mempengaruhi proses pengeluaran
ASI (Maritalia, 2012). Salah satu faktor yang mempengaruhi perawatan payudara adalah
pengetahuan ibu. Semakin tinggi tingkat pengetahuan ibu tentang perawatan payudara maka
akan mempengaruhi pola pikir dan sikap ibu sehingga menumbuhkan perilaku positif untuk
melakukan perawatan payudara. Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan penulis di
RSUD Liun Kendaghe Tahuna, didapatkan data pasien post partum selama tahun 2017 dari
bulan Januari - Oktober sebanyak 585. Wawancara yang dilakukan dengan 8 ibu post partum,
2 diantaranya mengetahui tentang perawatan payudara, namun perawatannya tidak rutin.
Oleh sebab itu kedua ibu tersebut hanya membersihkan payudara pada saat mandi dan tidak
melakukan pemijatan seperti menarik puting dan dipijat. Kemudian, biasanya seorang ibu
baru melakukan perawatan payudara setelah melahirkan ketika mendapat kendala hendak
menyusui. Terdapat 6 ibu yang mengetahui tentang perawatan payudara dan rutin melakukan
perawatan payudara sehingga mendapatkan produksi ASI yang cukup bagi kebutuhan bayi.
Sebagian besar ibu sudah pernah menerima penyuluhan dari tenaga kesehatan tentang
perawatan payudara. Sehingga dari pengetahuan tersebut mempengaruhi sikap ibu sehingga
muncul kesadaran untuk melakukan perawatan payudara.

2.3 PROGRAM YANG AKAN DILAKUKAN

Menurut Haryono dan Setianingsih. (2017) Rendahnya cakupan pemberian ASI eksklusif
di Indonesia juga mendapatkan perhatian dari pemerintah. Salah satunya adalah program
peningkatan penggunaan Air susu ibu (PP-ASI) khususnya ASI eksklusif. Sejumlah
kepedulian juga lahir dari masyarakat yang menyadari pentingnya pemberian ASI eksklusif
pada bayi yang tergabung dalam Kelompok Pendukung ASI (KP ASI). Berdasarkan hal
tersebut pemerintah telah melakukan program seperti program peningkatan penggunaan Air
susu ibu (PP-ASI) dan Kelompok Pendukung ASI (KP ASI)

2.4 APLIKASI TEORI KEPERAWATAN


2.4.1 ASUMSI UTAMA
Salah satu perilaku yang menjadi ciri khas dan citra seorang perawat adalah caring.
Menurut Christerisen, P.J & Kenney J. (2018), Keperawatan adalah penerapan art dan human
science melalui transaksi transpersonal caring untuk membantu manusia mencapai
keharmonisan pikiran, jiwa dan raga yang menimbulkan selfknowlegde, self-control, self-
care, dan selfhealing.Keperawatan adalah “human science and humancare”,keperawatan
harus berperan dan meningkatkan status kesehatan, mencegah terjadinya penyakit, mengobati
berbagai penyakit dan penyembuhan kesehatan dan fokusnya pada peningkatan kesehatan
dan pencegahan penyakit (Hidayat, A,2018). Oleh karena itu, perawat perlu mengembangkan
filososfi humanistic dan system nilai serta seni yang kuat.
Manusia tidak luput dari berbagai macam ragam perbedaan, sehingga dalam upaya
mencapai kesehatan, manusia seharusnya dalam keadaan sejahtera baik fisik, mental dan
spiritual. Menurut Julia B. (2018) mengatakan Watson mengadopsi pandangan manusia
sebagai: "orang yang berharga dalam dirinya tentang dirinya untuk dirawat, dihormati,
dipelihara, dipahami dan dibantu. Manusia adalah individu atau kelompok yang mengalami
ketidakharmonisan pikiran, jiwa dan raga, yang membutuhkan bantuan
terhadap pengambilan keputusan tentang kondisi sehat-sakitnya untuk meningkatkan
harmonisasi, self-control, pilihan dan selfdetermination(Filzpatrick,J.J,2018).Dengan
demikian,manusia dapat disebut anggota keluarga yang unik sebagai satu kesatuan yang utuh
dari aspek biologi,psikologi,sosial dan spiritual.
Tidak dipungkiri lagi setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan
harus dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat.Kesehatan adalah kesatuan dan
keharmonisan didalam pikiran, jiwa dan raga antara diri dengan orang lain dan antara diri
dengan lingkungan (Tutiyani.,2018). Menurut Tomey, A. (2018),bahwa Watson percaya
bahwa ada faktor lain yang perlu dimasukkan dalam definisikesehatan WHO. Dia
menambahkan tiga elemen berikut;Tingkat keseluruhan fungsi fisik, mental dan sosial yang
tinggi,Tingkat pemeliharaan adaptif umum dari fungsi sehari-hari, Tidak adanya penyakit
(atau adanya upaya yang menyebabkan tidak adanya penyakit). Jadi, kesehatan sangat
penting untuk memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Lingkungan sangat penting bagi kehidupan makhluk hidup karena lingkungan merupakan
daya dukung kehidupan. Menurut Asmadi,(2018), Watson mengemukakan kepedulian dan
keperawatan telah ada di setiap masyarakat, yaitu sikap peduli tidak ditransmisikan dari
generasi ke generasi,namun ini ditularkan oleh budaya profesi sebagai cara unik untuk
mengatasi lingkungannya.Lingkungan adalah dimana interaksi transpersonal caring terjadi
antara klien dan perawat (Meleis, A.I.,2018). Hal ini menjelaskan bahwa,lingkungan
termasuk salah satu pembentuk karakter atau sifat manusia yang berada di lingkungan
tersebut.

2.4.2 KONSEP DASAR KEPERAWATAN JEAN WATSON


Jean Watson mengemukakan 10 faktor carrative dalam caring,yang menawarkan
pandangan yang lebih terbuka.Menurut Bondas, T. (2018), faktor carrative yang pertama
yaitu menerapkan perilaku yang penuh kasih sayang dan kebaikan dan ketenangan dalam
konteks kesadaran terhadap caring.Membentuk sistem nilai humanistik-altruistik. The
formation of a humanistic- altruistic system of values (Kozier, B.,2018). Jadi,untuk
membentuk nilai humanistic harus menerapkan perilaku yang penuh kasih sayang dan
kebaikan serta ketenangan.
Faktor carrative yang kedua. Menanamkan keyakinan dan harapan (faith-hope),The
installation of faith-hope (George, 2018). Menurut Ekebergh M. (2018),Caring terdiri dari
carative factors yang menghasilkan kepuasan terhadap kebutuhan manusia tertentu. Hal ini
menjelaskan bahwa, memberikan kepercayaan-harapan dengan cara memfasilitasi dan
meningkatkan asuhan keperawatan yang holistik.
Faktor carrative yang ketiga. Menurut Meleis, A.I.,(2018),Mengembangkan sensitivitas
untuk diri sendiri dan oranglain.The cultivation of sensitivity to one’s self and to others.
Efektif caring meningkatkan kesehatan dan pertumbuhan individu dan
keluarga(Tutiyani.,2018). Dengan demikian, faktor carrative yang ketiga ini menjelaskan
bahwa Carring lebih efektif untuk meningkatkan kesehatan dan pertumbuhan yang bertujuan
untuk kesejahteraan individu dan keluarga.
Faktor carrative yang keempat. Menurut Dwidiyanti, M. (2018) mengatakan bahwa
respon caring menerima seseorang tidak hanya sebagai dia saat ini, tetapi juga menerima
akan jadi apa dia kemudian. Membina hubungan saling percaya dan saling bantu (helping-
trust) The development of a helping-trust relationship (Hidayat, A,2018). Jadi, untuk
membangun Carring antara perawat dan klien diutamakan dengan membina hubungan saling
percaya.
Faktor carrative yang kelima. Menurut Julia B. (2018), Lingkungan caring adalah sesuatu
yang menawarkan perkembangan dari potensi yang ada, dan di saat yang sama membiarkan
sesorang untuk memilih tindakan yang terbaik bagi dirinya saat itu. Meningkatkan dan
menerima ekspresi perasaan positf dan negatif,The promotion and acceptance of the
expression of positive and negative feelings(Meleis, A.I.,2018). Dengan demikian, Carring
merujuk pada perkembangan dari potensi yang ada dimana membiarkan seseorang untuk
memilih tindakan yang terbaik untuk dirinya.
Faktor carrative yang keenam. Menurut Asmadi,(2018), faktor carrative yang keenam
menjelaskan bahwa hadir untuk menampung dan mendukung ekspresi perasaan positif dan
negative sebagai suatu hubungan dengan semangat yang dalam dari diri sendiri dan orang
yang dirawat.Menggunakan metode pemecahan masalah yang sistematis dalam pengambilan
keputusan.The systematic use of the scientific problem-solving method for decision making
(Johansson, I.,,2018).
Faktor carrative yang ketuju. Menurut Dedi, B., & Afiyanti, Y. (2018), mengatakan untuk
menggunakan diri sendiri dan semua cara yang diketahui secara kreatif sebagai bagian dari
proses caring, untuk terlibat dalam penerapan caring-healing yang artistik. Dengan demikian,
faktor ini berfokus pada meningkatkan proses belajar-mengajar interpersonal.
Faktor carrative yang kedelapan. Menurut Potter, Patricia & Perry, A. (2018), Terlibat
dalam pengalaman belajar mengajar yang sebenarnya yang mengakui keutuhan diri orang
lain dan berusaha untuk memahami sudut pandang orang lain. Hal ini menjelaskan bahwa
sebuah pengalaman menjadi suatu pembelajaran untuk mengakui keutuhan diri sendiri
maupun orang lain.
Faktor carrative yang kesembilan. Menurut Dedi, B., & Afiyanti, Y. (2018), Menciptakan
lingkungan healing pada seluruh tingkatan, baik fisik maupun non fisik, lingkungan yang
kompleks dari energi dan kesadaran, yang memiliki keholistikan, keindahan, kenyamanan,
martabat, dan kedamaian.
Faktor carrative yang kesepuluh. Menurut Potter, Patricia & Perry, A. (2018), Membantu
terpenuhinya kebutuhan dasar, dengan kesadaran caring yang penuh, memberikan “human
care essentials”, yang memunculkan penyesuaian jiwa, raga dan pikiran, keholistikan, dan
kesatuan diri dalam seluruh aspek care; dengan melibatkan jiwa dan keberadaan secara
spiritual. Dengan demikian, Kesadaran Carring yang penuh harus menyesuaikan dengan jiwa
raga dan pikiran serta memberikan sisi kemanusiaan yang essensial.

DAFTAR PUSTAKA

Rini, Susilo & Kumala, Feti. (2016). Panduan Asuhan Nifas & Evidence Based
Practice. Yogyakarta : Deepublish. Agustus 2016

Tyfani, B.M., Utami, N.W., & Susmini. (2017). Hubungan Perawatan Payudara Terhadap

https://jikm.upnvj.ac.id/index.php/home/article/view/83

http://eprints.ums.ac.id/51192/24/Naskah%20Publikasi.pdf

https://r.search.yahoo.com/_ylt=Awr4xJxUsqxf8NwALUpXNyoA;_ylu=Y29sbwNncTEEcG
9zAzEEdnRpZANBMDYxNV8xBHNlYwNzcg--/RV=2/RE=1605182164/RO=10/RU=https
%3a%2f%2fwww.researchgate.net%2fpublication
%2f327054399_PENGARUH_PERAWATAN_PAYUDARA_PADA_IBU_HAMIL_TERH
ADAP_PENINGKATAN_PRODUKSI_ASI_DI_WILAYAH_KERJA_PUSKESMAS_KOT
A_KECAMATAN_KOTA_TERNATE_TENGAH_TAHUN_2016/RK=2/RS=ajVOIYt5DS
MpkMUuVIJ7cY6Apjs-

Anda mungkin juga menyukai