Anda di halaman 1dari 64

 

 
 

RESPON ESTRUS SETELAH PENYUNTIKAN PGF2α


DAN STUDI PERKEMBANGAN FETUS MENGGUNAKAN
ULTRASONOGRAFI SEBAGAI DUGAAN KEBUNTINGAN
DINI PADA DOMBA GARUT (Ovis aries)

BAGUS SETIAWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
 

ABSTRACT

BAGUS SETIAWAN. The Responses of Estrous to PGF2α Injection and The


Study of Fetus Development through Ultrasonography used as a Diagnosis of
Early Pregnancy in Garut Sheep (Ovis aries). Under direction of Amrozi.

This study was done to observe estrous characteristic after PGF2α injection
and to determine the earliest day of pregnancy diagnosis in garut sheep (n=3)
using transrectal ultrasonography. The sheep were estrous induction was done by
injection of PGF2α on luteal phase. The onset and duration of estrous were
observed by using a teaser. Pregnancy was determined by isoechogenic or
hyperechogenic visualization surrounded by hypoechogenic which is fetus
implantation. Onset of estrous was 35±28.7 hours and duration of estrous was
33±13.6 hours. Early pregnancy was detected on days 22 (22.3±0.6 days).
Development of fetus was followed by increasing the diameter and thickness of
uterus. The Diameter of uterus increased from days 22 (1.8±0.7 cm) until days 42
(5.6±1.1 cm), and the thickness of uterus increased from days 22 (0.8±0.1 cm)
until days 42 (2.1±0.5 cm). The placentom appeared on days 34 (0.8±0.2 cm) and
developed significantly until days 56 (2.7±0.5 cm; P<0.05). It could be concluded
that the earliest pregnancy diagnosis showed positive sign on days 12 and the
fetus was observed on days 22.

Keywords: garut sheep, pregnancy, transrectal ultrasonography.

.
 

RINGKASAN
BAGUS SETIAWAN. Respon Estrus setelah Penyuntikan PGF2α dan Studi
Perkembangan Fetus menggunakan Ultrasonografi sebagai Dugaan Kebuntingan
Dini pada Domba Garut (Ovis aries). Dibimbing oleh AMROZI.

Domba garut merupakan ternak yang sangat potensial sebagai bagian dari
sektor usaha peternakan nasional. Domba ini mempunyai keunggulan dalam
kemampuan adaptasi, memiliki bobot badan rata-rata di atas domba lokal
Indonesia lainnya, dapat melahirkan anak lebih dari satu (prolific) dan tidak
mengenal musim kawin. Domba garut jantan yang baik performansinya
digunakan sebagai domba seni ketangkasan, sehingga mempunyai nilai ekonomis
yang lebih tinggi.
Manajemen peternakan domba di Indonesia masih dilakukan secara
tradisional khususnya pada pemeriksaan kebuntingan. Hal ini sering terjadi di
domba-domba betina yang diduga bunting tetapi ditunggu-tunggu sampai
beberapa bulan kebuntingan tidak juga melahirkan anak. Kehilangan waktu untuk
menghasilkan anak menunjukan potensi reproduksi domba tidak dapat
dimanfaatkan secara optimal. Pada negara-negara maju penghasil ternak domba,
penggunaan sarana diagnostik ultrasonografi sudah menjadi alternatif pilihan,
mengingat keuntungan ekonomi yang diperoleh dengan adanya diagnosa
kebuntingan yang sedini mungkin. Diharapkan dengan induksi estrus dan
pemeriksaan kebuntingan dini setelah perkawinan alami pada domba garut dengan
ultrasonografi dapat memberikan informasi yang lebih baik dan akurat dalam
penentuan status kebuntingan, sehingga mampu meningkatkan populasi domba di
Indonesia.
Penelitian menggunakan 3 ekor domba garut betina, umur produktif dengan
siklus estrus yang normal. Domba-domba dipelihara di dalam kandang yang
terpisah dengan domba jantan. Pakan rumput diberikan 3 kali sehari dan
konsentrat diberikan pagi dan sore serta air minum diberikan secara tidak terbatas.
Kegiatan penelitian terdiri atas: 1.) induksi estrus menggunakan PGF2α guna
mendapatkan domba betina dalam keadaan estrus pertama pada waktu yang relatif
bersamaan; 2.) pengamatan estrus dan perkawinan; dan 3.) pengamatan
kebuntingan dan pertumbuhan fetus dengan ultrasonografi. Induksi estrus
dilakukan dengan penyuntikan 5 mg PGF2α (Noroprost, Norbrook, UK) secara
intramuskuler pada fase luteal. Pengamatan estrus dilakukan dengan
menggunakan pejantan pengusik setiap hari setelah penyuntikan PGF2α.
Pengamatan estrus dilakukan dengan mempelajari tingkah laku estrus domba.
Estrus ditandai dengan karakteristik induk domba diam dan siap dinaiki ketika
pejantan pengusik didekatkan. Jika tanda tersebut telah nyata, induk domba
dikawinkan secara alami. Pengamatan ultrasonografi dilakukan pada domba yang
telah difiksasi dalam kandang jepit sehingga dapat diamati dengan tepat dan
aman. Feses yang dapat mengganggu pengamatan dikeluarkan dari rektum. Untuk
mengurangi iritasi mukosa rektum dan memperoleh gambaran ultrasonografi yang
baik probe dilumuri dengan gel. Gambaran vesika urinaria digunakan dalam
mengarahkan probe untuk mendapatkan kornua uteri. Setelah kornua uteri
teramati maka probe diarahkan untuk memperoleh gambaran yang baik dari fetus,
uterus dan plasentom dengan mengamati gradasi warnanya. Pada monitor
 

ultrasonografi, gambaran fetus, uterus dan plasentom menunjukkan warna abu-


abu atau putih (isoechogenic/hyperechogenic), sedangkan amnion dan lumen
uterus memberikan warna hitam (hypoechogenic). Panjang fetus diukur dari dahi
sampai ke pangkal ekor. Diameter dan ketebalan dinding uterus serta diameter
plasentom diukur pada sumbu terpanjangnya. Panjang fetus, diameter uterus, tebal
uterus dan diameter plasentom diuji dengan one sample t-test (SPSS 16.0).
Hasil pengamatan induksi estrus menunjukkan bahwa onset estrus berkisar
35±28,7 jam dari penyuntikan PGF2α dan  lamanya estrus berkisar antara 33±13,6
jam. Pada hasil pengamatan ultrasonografi kebuntingan domba garut, vesikel
embrionik terlihat dan terus berkembang dari hari ke-12 sampai hari ke-20.
Berdasarkan hasil pengamatan, awal ditemukannya fetus pada hari ke-22
kebuntingan (22,3±0,6 hari). Hasil pengamatan pertumbuhan fetus berdasarkan
interval waktu yang telah ditentukan selama periode kebuntingan, menunjukkan
pola yang cenderung meningkat pada panjang fetus, diameter uterus, dan tebal
uterus. Diameter uterus mengalami peningkatan yang signifikan, tetapi tidak
untuk tebal uterus dan panjang fetus. Dalam pengamatan kebuntingan terjadi
peningkatan panjang fetus dari hari ke-22 (0,6±0,2 cm) sampai hari ke-42
(3,6±0,4 cm). Hal ini menunjukkan terjadinya pertumbuhan fetus saat
kebuntingan. Pertambahan panjang fetus juga diikuti dengan bertambahnya
diameter uterus, dari hari ke-22 (1,8±0,7 cm) sampai hari ke-42 (5,6±1,1 cm), dan
tebal uterus hari ke-22 (0,8±0,1 cm) sampai hari ke-42 (2,1±0,5 cm). Plasentom
teramati pada kebuntingan ke-34, plasentom menunjukkan pola perkembangan
yang terus meningkat secara signifikan sampai akhirnya pertumbuhannya tidak
signifikan (relatif konstan) setelah hari ke-56. Diameter plasentom hari ke-34
sekitar 0,8±0,2 cm sampai hari ke-56 (2,7±0,5 cm) dan hari ke-77 (3,3±0,4 cm).
Induksi estrus dan pertumbuhan fetus selama kebuntingan dini pada domba
garut diperoleh hasil sebagai berikut: onset estrus berkisar antara 35±28 jam,
lamanya estrus berkisar antara 33±13,6 jam dan awal fetus terdeteksi pada umur
kebuntingan 22 hari dengan panjang 0,6±0,2 cm.

Kata kunci: domba garut, kebuntingan, transrektal ultrasonografi.


 

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011


Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
 

 
 

RESPON ESTRUS SETELAH PENYUNTIKAN PGF2α


DAN STUDI PERKEMBANGAN FETUS MENGGUNAKAN
ULTRASONOGRAFI SEBAGAI DUGAAN KEBUNTINGAN
DINI PADA DOMBA GARUT (Ovis aries)

BAGUS SETIAWAN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
 

Judul Skripsi : Respon Estrus Setelah Penyuntikan PGF2α dan Studi


Perkembangan Fetus Menggunakan Ultrasonografi Sebagai
Dugaan Kebuntingan Dini pada Domba Garut (Ovis aries)
Nama : Bagus Setiawan
NIM : B04070051

Disetujui

drh. Amrozi, Ph.D


Ketua

Diketahui

Dr. Nastiti Kusumorini


Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB

Tanggal Lulus:
 

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2010 ini ialah reproduksi,
dengan judul Respon Estrus setelah Penyuntikan PGF2α dan Studi Perkembangan
Fetus menggunakan Ultrasonografi sebagai Dugaan Kebuntingan Dini pada
Domba Garut (Ovis aries).
Terima kasih penulis ucapkan kepada drh. Amrozi, Ph.D selaku
pembimbing. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta
seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2011

Bagus Setiawan
 

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lampung pada tanggal 17 Agustus 1989 dari ayah


Sunarwoto dan ibu Isnaeni Wahyuningsih. Penulis merupakan putra pertama dari
dua bersaudara.
Tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Gadingrejo dan pada tahun
yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB.
Penulis memilih mayor Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi anggota UKM Uni
Konservasi Fauna IPB tahun 2007-2009, tahun 2008/2009 menjabat sebagai wakil
ketua UKM Bola Voli IPB, tahun 2009/2010 menjabat sebagai ketua umum
Himpunan Minat Profesi Ruminansia Fakultas Kedokteran Hewan, menjadi
asisten mata kuliah Ektoparasit tahun ajaran 2010/2011 dan menjabat sebagai
pengurus Sorcherry Riding Club tahun 2009/2010.
 

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………... xi
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………... xii
PENDAHULUAN ……………………………………………………... 1
Latar Belakang ……………………………………………….... 1
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………….. 4
Domba Garut …………………………………………………... 4
Induksi Estrus …………………………………………............. 6
Pemeriksaan Kebuntingan ……….…...………………………... 6
Ultrasonografi (USG) ………………………………………….. 8
BAHAN DAN METODE ……………………………………………… 10
Waktu dan Tempat Penelitian ………………………………….. 10
Hewan Percobaan …………………………………………….... 10
Peralatan ……………………………………………………….. 10
Induksi Estrus ………………………………………………….. 10
Pengamatan Estrus dan Perkawinan …………………………… 10
Pengamatan Kebuntingan dan Pertumbuhan Fetus ………….... 11
Analisis Data …………………………………………………… 12
HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………... 13
Pengamatan Estrus dan Perkawinan …………………………… 13
Pengamatan Kebuntingan dan Pertumbuhan Fetus ………….... 14
KESIMPULAN ……………....……………………………………...… 19
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….. 20
LAMPIRAN …………………………………………………………… 23
 

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Domba garut jantan dan domba garut betina ………………………….. 4
2 Tiga jenis echo yang digunakan sebagai prinsip dasar dalam mendes-
kripsikan gambar pada sonogram ……………………………………… 8
3 Metode pengamatan ultrasonografi ……………………………………. 12
4 Ultrasonografi korpus luteum ………………………………………….. 14
5 Hasil gambaran ultrasonografi kebuntingan domba …………………... 15
6 Rataan perkembangan dari panjang fetus, diameter uterus, dan tebal
uterus pada domba garut selama kebuntingan …………………………. 16
7 Rataan perkembangan dari diameter plasentom pada domba garut
selama kebuntingan ……………………………………………………. 17
 

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1 Tabel pengamatan gejala dan tingkah laku estrus …………………… 24
2 Hasil analisis statistik one sample t-test dengan SPSS …………….... 25
 

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Domba garut yang kita kenal sebenarnya adalah hasil persilangan antara
domba lokal, domba merino dari Australia dan domba kaapstad dari Afrika
(Setiadi 2010). Domba ini banyak dipelihara oleh masyarakat petani di pedesaan
Jawa Barat. Domba ini banyak dipelihara karena mempunyai kemampuan
adaptasi yang baik dalam berbagai kondisi lingkungan, sehingga domba ini cocok
untuk dikembangkan di tempat lain, termasuk di luar Pulau Jawa. Domba ini
merupakan domba yang memiliki tingkat produktifitas tinggi yaitu dapat
melahirkan anak lebih dari satu (prolific) setiap siklus kelahirannya, apalagi
domba ini juga tidak mengenal musim kawin sehingga dapat melakukan
perkawinan sepanjang tahun. Keunggulan lain dari domba ini adalah memiliki
bobot badan rata-rata di atas domba lokal Indonesia lainnya. Herman (1993)
menyebutkan bahwa domba garut dengan pakan baik bobotnya dapat mencapai 60
sampai 80 kg pada domba jantan dan 30 sampai 40 kg pada domba betina. Selain
itu, orientasi pasar domba garut juga mengarah ke pasar kesenangan atau hobi
yang memunculkan sebuah arena seni ketangkasan domba garut. Mulyono (2003)
menyatakan bahwa domba garut jantan yang baik performansinya digunakan
sebagai domba seni ketangkasan. Adanya seni ketangkasan ini menjadi ajang
kompetisi sekaligus untuk menyeleksi bibit domba unggulan, sehingga domba ini
mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi dibandingkan domba lokal lain.
Saat ini, situasi yang terjadi adalah semakin berkurangnya populasi domba
garut. Penurunan populasi ini merupakan akibat dari laju pemotongan yang tidak
terkendali, termasuk juga adanya pemotongan domba betina produktif (Setiadi
2010). Walaupun tidak ada data pasti mengenai jumlah domba garut, diperkirakan
seorang petani hanya memiliki 10 ekor domba garut (Priatna 2011). Dinas
Peternakan Jawa Barat juga mencatat populasi domba pada tahun 2008 sekitar
5.311.836 ekor dari 9.605.000 ekor total populasi domba di Indonesia (BPS
2009). Sutian (1990) menyebutkan bahwa aspek ekonomi dari usaha peternakan
domba sangat dipengaruhi oleh kehilangan waktu untuk menghasilkan anak. Hal
 

ini sering terjadi di domba-domba betina yang diduga bunting tetapi ditunggu-
tunggu sampai beberapa bulan kebuntingan tidak juga melahirkan anak.
Melihat potensi yang ada pada domba ini, pengembangan peternakan domba
tentunya dapat ditingkatkan. Peningkatan populasi domba ini diharapkan juga
dapat mengurangi impor daging sapi dan bisa membuka peluang untuk memenuhi
permintaan pasar luar negeri. Setiadi (2010) menyebutkan bahwa beberapa negara
tetangga seperti Malaysia, Brunei dan Thailand ingin mengimpor domba ini
karena banyak keunggulan yang dimiliki.
Efisiensi waktu perkawinan dan informasi sedini mungkin mengenai status
kebuntingan menjadi sangat penting dan bermanfaat bagi usaha pengelolaan dan
pengembangbiakan domba garut. Penelitian reproduksi domba garut di Indonesia
masih sangat terbatas khususnya mengenai pemeriksaan kebuntingan dini
menggunakan ultrasonografi. Haibel (1990) yang diacu dalam Ali dan Heyder
(2007) menyatakan bahwa estimasi dari diagnosa kebuntingan dan umur
kebuntingan penting dalam mencapai efisiensi reproduksi yang maksimal. Pada
negara-negara maju penghasil ternak domba, penggunaan sarana diagnostik
ultrasonografi sudah menjadi alternatif pilihan, mengingat keuntungan ekonomi
yang diperoleh dengan adanya diagnosa kebuntingan yang sedini mungkin (Sutian
1990). Kebuntingan dini adalah kebuntingan yang dimulai dari periode ovum
sampai terbentuknya embrio atau fetus (Hafez dan Hafez 2000) atau kebuntingan
yang terjadi kurang dari 60 hari (Manan 1981).
Dengan mengetahui kebuntingan sedini mungkin, maka domba yang tidak
bunting dapat segera dikawinkan kembali, sehingga potensi reproduksi domba
dapat dimanfaatkan secara optimal. Manfaat lain yang bisa diperoleh diantaranya
pemberian pakan terhadap domba bunting dapat tercukupi, sehingga tingkat
kelangsungan hidup anaknya lebih terjamin serta pemotongan terhadap domba
bunting dapat dihindari. Induksi estrus dan pemeriksaan kebuntingan dini
menggunakan ultrasonografi diharapkan mampu meningkatkan populasi domba
garut.
Melihat permasalahan dan potensi yang ada pada pengembangan reproduksi
domba garut, mengetahui manfaat penggunaan ultrasonografi dalam bidang
reproduksi dan belum tersedianya informasi-informasi yang cukup mengenai
 

pemeriksaan kebuntingan dini domba garut maka dilakukan penelitian untuk


mengamati respon estrus setelah penyuntikan PGF2α dan pemeriksaan
kebuntingan dini setelah perkawinan alami pada domba garut (Ovis aries) dengan
metode ultrasonografi.
 

TINJAUAN PUSTAKA

Domba Garut
Secara taksonomi domba termasuk ke dalam kingdom Animalia, filum
Chordata, kelas Mamalia, ordo Artiodactyla, family Bovidae, genus Ovis dan
spesies Ovis aries. Dari sisi genetik domba memiliki jumlah kromosom sebanyak
54 buah (Hafez dan Hafez 2000). Domba garut merupakan hasil persilangan
antara domba lokal, domba merino (Australia) dan domba kaapstad (Afrika)
(Setiadi 2010). Domba garut merupakan nama lain yang lebih populer dari domba
priangan (Mulyono 2003).

b
Gambar 1 Domba garut jantan (a) memiliki tanduk besar melingkar ke belakang dan
domba garut betina (b) tidak memiliki tanduk. Ciri khas domba ini terletak
pada pangkal ekornya yang terletak agak lebar dengan ujung runcing dan
pendek. Dahi domba ini lebar dengan kepala pendek dan profil sedikit
cembung serta memeliki mata yang kecil.

Bentuk umum tubuh domba ini relatif besar dengan badan berbentuk persegi
panjang. Ciri khas domba ini terletak pada pangkal ekornya yang terletak agak
lebar dengan ujung runcing dan pendek. Dahi domba ini lebar dengan kepala
pendek dan profil sedikit cembung, bermata kecil dan memiliki tanduk besar
melingkar ke belakang dengan bentuk bervariasi. Tanduk besar merupakan ciri
kegagahan domba jantan, sedangkan domba betina kalaupun memiliki tanduk
biasanya berukuran kecil. Warna rambut domba ini bervariasi, mulai dari putih,
 

cokelat, hitam atau campuran ketiganya. Domba ini memiliki daun telinga yang
pendek yang berbeda dibanding daun telinga jenis domba lokal lainnya. Kuping
pendek ini dalam tatanan bahasa Sunda disebut ngedaun hiris. Walaupun ada
domba garut yang berkuping panjang, sesuai standar sertifikasi nasional tidaklah
boleh lebih dari 8 cm dan disebut kuping rumpung (Setiadi 2010).
Secara umum, sistem beternak domba garut saat ini masih dilakukan secara
tradisional terutama dalam manajemen reproduksinya. Peternak masih banyak
kehilangkan waktu untuk menghasilkan anak. Hal pertama yang harus diperbaiki
adalah ketepatan waktu perkawinan. Syarat agar terjadi kebuntingan pada domba
betina yang dikawinkan adalah domba betina harus berada dalam kondisi estrus.
Sebenarnya sudah ada beberapa metode yang diterapkan dalam menentukan
waktu perkawinan yang dijelaskan oleh Setiadi (2010) seperti pengamatan siklus
estrus, penggunaan pejantan pengusik dan perkawinan koloni, tetapi metode ini
masih perlu di tingkatkan lagi efisiensinya. Estrus domba betina muncul pada pagi
hari dan mencapai puncaknya antara siang sampai malam hari. Oleh karena itu
metode pengamatan siklus estrus yang mengandalkan tampilan visual ini akan
kurang berhasil apabila peternak kurang teliti atau lalai dalam melakukan
pengamatan. Kemudian penggunaan metode pejantan pengusik mungkin jauh
lebih mudah dilakukan dibandingkan metode pengamatan siklus estrus. Metode
ini dilakukan dengan cara meliarkan sekelompok domba betina pada suatu lahan
penggembalaan setiap pagi dan sore hari yang diikutkan juga domba jantan.
Apabila terdapat domba betina yang sedang estrus, domba jantan akan mendekati
dan mengawani domba betina secara alami. Meskipun begitu metode ini masih
memiliki kelemahan mengingat puncak estrus domba betina berlangsung antara
siang sampai malam hari. Metode terakhir yang sering digunakan adalah metode
koloni. Metode ini dilakukan dengan memasukkan seekor domba jantan ke dalam
sekelompok induk domba betina yang berjumlah 10 sampai 15 ekor, sehingga bila
ada domba yang estrus bisa langsung dikawini oleh pejantan saat itu juga.
Kegiatan ini dilakukan minimal selama 1 bulan sampai terlewati 1 sampai 2 siklus
estrus, sehingga masih ada waktu yang terbuang dan hasilnya belum tentu
maksimal.
 

Dengan melihat permasalahan yang ada, dirasa perlu sebuah upaya


pengaturan siklus estrus guna memperbaiki efisiensi dalam perkawinan yaitu
dengan cara melakukan induksi estrus. Dengan induksi estrus dimungkinkan
untuk memprediksi waktu munculnya estrus sesuai dengan yang kita kehendaki.
Induksi Estrus
Induksi estrus dilakukan untuk meningkatkan efisiensi manajemen
perkawinan, sehingga angka kebuntingan dapat ditingkatkan. Dasar fisiologis
induksi estrus adalah hambatan pelepasan LH (Luteinizing Hormone) dari
adenohipofise yang menghambat pematangan folikel de graaf, atau penyingkiran
korpus luteum (CL) secara mekanik manual atau secara fisiologis dengan
pemberian preparat-preparat luteolitik. Preparat yang paling mutakhir dipakai
dalam induksi estrus adalah prostaglandin dalam bentuk Prostaglandin F2α
(PGF2α) karena sifat luteolitiknya. PGF2α dikenal sebagai suatu vasokonstriktor
dan pemberian PGF2α menyebabkan hambatan pengaliran darah secara drastis
melalui CL beberapa spesies. Pengurangan pengaliran darah yang lama dapat
menyebabkan lisisnya CL (Toliehere 1977). Plumb (1999) juga menjelaskan
bahwa PGF2α merupakan agen luteolisis yang digunakan dalam menginduksi
estrus. Hal ini juga dikuatkan oleh penelitian Wildeus (2000) yang menjelaskan
bahwa PGF2α berfungsi dalam pengaturan siklus estrus dengan mengakhiri fase
luteal melalui pelisisan CL. Penjelasan yang sama juga dinyatakan oleh
DeJarnette (2004) bahwa diproduksinya PGF2α berfungsi dalam melisikan CL.
Setelah domba berhasil dikawinkan, selanjutnya yang harus dilakukan
adalah pemeriksaan kebuntingan sedini mungkin. Hal ini dilakukan untuk
menentukan apakah domba betina yang sudah dikawinkan berhasil bunting atau
tidak.
Pemeriksaan Kebuntingan
Kebuntingan dini adalah kebuntingan yang dimulai dari periode ovum
sampai terbentuknya embrio atau fetus (Hafez & Hafez 2000) atau kebuntingan
yang terjadi kurang dari 60 hari (Manan 1981). Masa kebuntingan domba
normalnya berlangsung sekitar 150 hari, masa kebuntingan tersebut bervariasi
bergantung ras dan individunya. Herediter memberi pengaruh penting terhadap
masa kebuntingan (Hafez dan Hafez 2000). Toelihere (1977) juga menyatakan
 

bahwa masa kebuntingan ditentukan secara genetik walaupun dapat dipengaruhi


juga oleh faktor maternal, foetal dan lingkungan.
Pada saat awal kebuntingan domba, pertumbuhan folikel antral tertekan dan
CL terlihat jelas di ovarium (Bartlewski 2000). Pada saat bunting CL tetap
bertahan yang menghasilkan progesteron dalam memelihara kebuntingan. Hafez
dan Hafez (2000) juga menyatakan bahwa pada trimester pertama pemeliharaan
kebuntingan bergantung pada CL, yang selanjutnya dilanjutkan oleh plasenta.
Selama permulaan masa kebuntingan, plasenta juga bertambah besar melalui
proliferasi aktif dari sel-sel trofoblas. Kemudian pada pertengahan kebuntingan
plasenta mencapai ukuran yang hampir maksimal, yang bertepatan dengan
pertumbuhan cepat fetus dan sesudah itu akan menetap relatif konstan (Toelihere
1977).
Sampai saat ini metode pemeriksaan kebuntingan yang digunakan peternak
di Indonesia hanya sebatas mengamati adanya estrus ulang dan melakukan palpasi
per kutan. Metode ini terdapat kelemahan pada ketepatan dan kepekaan dalam
mendeteksi kebuntingan dini termasuk dalam menentukan jumlah fetus yang
dikandung. Beberapa metode lain yang sudah digunakan diantaranya adalah
melakukan pemeriksaan imunologi, palpasi uterus melalui laparotomi dan teknik
radiografi (x-ray). Semua ini memang telah berhasil digunakan dan memberi
keuntungan, tetapi di dalam penggunaannya masih sangat terbatas. Metode
pemeriksaan kebuntingan dini yang paling modern digunakan saat ini adalah
ultrasonografi (USG). Penggunaan USG sudah terbukti keakuratannya dan
kepraktisannya dalam mendeteksi kebuntingan dini. Sutian (1990) menyebutkan
beberapa keunggulan dari USG antara lain adalah alat ini bersifat non-invasif atau
tidak menimbulkan trauma fisik pada organ tubuh yang diperiksa, tidak
memberikan efek samping terhadap pasien ataupun pemeriksa, dapat digunakan
untuk memeriksa pada semua umur dan dalam kondisi apapun, tidak memerlukan
ruangan dan persiapan khusus sehingga cocok untuk digunakan di lapangan serta
mudah, cepat dan tepat dalam penggunaannya.
Manfaat langsung yang dapat diperoleh peternak dari pemeriksaan
kebuntingan dini antara lain: 1.) tingkat kesuburan ternak dapat dimonitor; 2.)
pemotongan terhadap ternak produktif atau bunting dapat dihindari; 3.) pemberian
 

pakan terhadap ternak yang bunting dapat tercukupi dan 4.) bagi domba yang
tidak produktif dapat segera dikawinkan kembali.
Ultrasonografi (USG)
Instrumen ultrasonografi (USG) modern merupakan sebuah peralatan yang
sangat canggih. USG memakai prinsip echo, sebuah gambar dapat dihasilkan dan
ditampilkan dari pengamatan yang berhubungan dengan impedensi akustik dari
jaringan sorotan USG dan kedalaman dari jaringan. Alat ini bekerja dengan efek
piezoelektrik, sebuah kristal di dalam transduser (probe) yang memberikan bentuk
atau gambar ketika diberikan voltase elektrik yang tinggi pada USG (Goddard
1995). Transduser yang sering digunakan memiliki frekuensi 3,5 sampai 7,5 MHz
dan untuk pemeriksaan transrektal pada domba biasanya menggunakan frekuensi
5,0 sampai 7,5 MHz (Hafez dan Hafez 2000). Penelitian yang pernah dilakukan
oleh Doize et al. (1997) dan Martinez et al. (1998) juga menggunakan transduser
dengan frekuensi 5,0 MHz. Sedangkan penelitian Schrick & Inskeep (1993) dan
Romano & Christians (2008) menggunakan transduser yng berfrekuensi lebih
tinggi yaitu 7,5 MHz. Pemilihan frekuensi pada transduser biasanya berdasarkan
kedalaman jaringan dan metode yang digunakan.
Teknik gambaran USG yang sekarang digunakan adalah real time B-mode,
yang biasa dipakai untuk ternak ruminansia kecil (Fowler & Wilkins 1980,
Tainturier et al. 1983 a dan b, diacu dalam Kahn 2004). Teknik ini memberikan
gambaran dua dimensi dari potongan melintang sebuah jaringan. Teknik ini
menampilkan gambaran berupa warna putih, abu-abu dan hitam serta
memunculkan adanya pergerakan dari beberapa jaringan (Hafez dan Hafez 2000).

Gambar 2  Tiga jenis echo yang digunakan sebagai prinsip dasar dalam
mendeskripsikan gambar pada sonogram (DesCoteaux et al. 2006), sistem B-
mode menghasilkan tampilan warna hitam dan putih (grey scale).

Dalam mendeskripsikan gambaran USG terdapat tiga istilah yaitu


hyperechogenic, isoechogenic dan hypoechogenic. Dennis et al. (2010)
 

menjelaskan bahwa hyperechogenic menghasilkan echo yang kuat dari jaringan


yang memunculkan gambaran yang terang (putih) seperti pada tulang dan mineral,
isoechogenic menghasilkan sedikit echo dari jaringan yang memunculkan
gambaran abu-abu (grey) seperti jaringan fibrosa atau lemak dan hypoechogenic
menghasilkan sangat sedikit echo atau tidak ada echo sama sekali yang
memunculkan gambaran gelap (hitam) seperti pada cairan. Gambaran atau warna
yang ditampilkan pada hasil ultrasonografi diukur berdasarkan jumlah gelombang
suara yang dapat diterima kembali oleh transduser, semakin banyak gelombang
suara yang diterima maka semakin terang pula (putih) gambaran yang
dimunculkan pada monitor USG, sebagai contoh jaringan yang keras seperti
tulang akan banyak memantulkan gelombang suara, sehingga gelombang suara
yang diterima kembali oleh transduser akan banyak pula.
 

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilaksanakan bulan November 2010 sampai dengan Januari 2011
di Unit Rehabilitasi Reproduksi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi,
Fakultas Kedokteran Hewan (FKH), Institut Pertanian Bogor (IPB).
Hewan Percobaan
Penelitian menggunakan 3 ekor domba garut betina, umur produktif dengan
siklus estrus yang normal. Domba-domba dipelihara di dalam kandang yang
terpisah dengan domba jantan. Pakan rumput diberikan 3 kali sehari dan
konsentrat diberikan pagi dan sore serta air minum diberikan secara tidak terbatas.
Peralatan
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah ultrasonografi (Aloka
SSD-500 real time, B-Mode, Japan) yang dilengkapi dengan linier probe 7,5 MHz
(Aloka, UST-588U-5, Japan). Probe dimodifikasi dengan menambahkan tangkai
sehingga dapat digunakan secara transrektal dan memungkinkan digerakkan dari
luar. Hasil pengamatan berupa foto dicetak dengan printer termal (Aloka, Tokyo,
Japan).
Induksi Estrus
Induksi estrus dilakukan dengan penyuntikan 5 mg PGF2α (Noroprost,
Norbrook, UK) secara intramuskuler pada fase luteal. Fase luteal ditentukan
melalui pengamatan USG pada ovarium domba yang ditandai dengan adanya CL.
Pengamatan Estrus dan Perkawinan
Pengamatan estrus dilakukan dengan menggunakan pejantan pengusik
setiap hari setelah penyuntikan PGF2α. Pengamatan estrus dilakukan dengan
mempelajari tingkah laku estrus domba. Hasil pengamatan dikuantitaskan dalam
skor, yaitu: skor 3 domba diam berdiri bila dinaiki pejantan; skor 2 domba
menggoyang-goyangkan ekornya dan atau domba mendekati serta memperhatikan
pejantan; dan skor 1 domba tidak menunjukkan ketertarikkan sama sekali
(Toliehere 1977). Onset estrus dimulai dari skor 2 sampai 3 dan lamanya estrus
dimulai dari onset estrus sampai hilangnya gejala-gejala estrus yang ditunjukkan
dengan skor 1. Pengamatan pertama dilakukan 14 jam setelah penyuntikan PGF2α.
 

Estrus ditandai dengan karakteristik induk domba diam dan siap dinaiki ketika
pejantan pengusik didekatkan. Jika tanda tersebut telah nyata, induk domba
dikawinkan secara alami.
Pengamatan Kebuntingan dan Pertumbuhan Fetus
Pengamatan USG dilakukan pada domba yang telah difiksasi dalam
kandang jepit sehingga dapat diamati dengan tepat dan aman. Feses yang dapat
mengganggu pengamatan dikeluarkan dari rektum. Untuk mengurangi iritasi
mukosa rektum dan memperoleh gambaran USG yang baik probe dilumuri
dengan gel. Gambaran vesika urinaria digunakan dalam mengarahkan probe untuk
mendapatkan kornua uteri. Setelah kornua uteri teramati maka probe diarahkan
untuk memperoleh gambaran yang baik dari fetus, uterus dan plasentom dengan
mengamati gradasi warnanya. Kebuntingan dini ditentukan berdasarkan waktu
paling awal fetus teramati menggunakan ultrasonografi yaitu pada saat fetus
menempel (implantasi) pada dinding uterus. fetus dikatakan menempel
(implantasi) apabila posisinya telah difiksir dan kontak fisik dengan organ induk
(uterus) telah terjadi (Toelihere 1977).
Pada monitor USG, gambaran fetus, uterus dan plasentom menunjukkan
warna abu-abu atau putih (isoechogenic/hyperechogenic), sedangkan amnion dan
lumen uterus memberikan warna hitam (hypoechogenic). DesCoteaux et al.
(2006) mendeskripsikan gambaran ultrasonografi menjadi tiga yaitu putih
(hyperechogenic), abu-abu (isoechogenic) dan hitam (hypoechogenic). Panjang
fetus diukur dari dahi sampai ke pangkal ekor, metode ini sama dengan yang
dilakukan Ali dan Hayder (2007). Diameter dan ketebalan dinding uterus serta
diameter plasentom diukur pada sumbu terpanjangnya. Penelitian Doize et al.
(1997) juga mengukur plasentom berdasarkan sumbu terpanjangnya.
Pengamatan USG pertumbuhan fetus dimulai pada hari ke-12 setelah
perkawinan. Motode ini dilakukan sesuai dengan pendapat Toelihere (1977) yang
menyatakan permulaan perkembangan serta pertautan blastosis domba terjadi
secepat-cepatnya pada hari ke-10 dan masih dapat digoyahkan ke luar dari uterus
16 sampai 17 hari sesudah perkawinan dan sekitar 11 sampai 16 hari (Hafez dan
Hafez 2000).
 

Gambar  3  Metode innduksi estruss dengan pennyuntikan PGF


F2α (H-5) paada fase luteaal,
pengamattan estrus dann perkawinan (H-4-H0) dann pemeriksaann ultrasonograafi
kebuntinggan dan pertum
mbuhan fetus mulai H+12 sampai
s H+77.

Penggamatan US
SG dilakukkan 2 hari sekali sampaai fetus teraamati dan waktu
w
dari kebunntingan dinii dapat ditentukan. Settelah itu penngamatan ddilakukan 10
0 hari
kemudian untuk mennghindari teerjadinya keematian fettus karena ppengaruh kontak
fisik dan stres saat pengamatan
p , selanjutny
ya pengamaatan dilakukkan 4 hari dan
d 7
hari sekalii.
Analisis Data
D
Panjjang fetus, diameter uterus,
u teball uterus dann diameter plasentom diuji
dengan onne sample t--test (SPSS 16.0).
 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan Estrus dan Perkawinan


Hasil pengamatan induksi estrus (Tabel 1) menunjukkan bahwa onset estrus
berkisar 35±28,7 jam dari penyuntikan PGF2α dan  lamanya estrus berkisar antara
33±13,6 jam. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa onset estrus terjadi
16,22±9,18 jam (Herdis 2005) dan pada hari ke-2 setelah penyuntikan PGF2α
menurut Partodihardjo (1979). Perbedaan onset estrus dapat terjadi karena
perbedaan bobot badan domba pada setiap penelitian. Penelitian Tambayong
(1993) yang diacu dalam Hastono dan Bintang (2008) didapatkan bahwa domba
garut dengan tubuh kurus onset estrusnya lebih singkat dibandingkan dengan
domba yang bertubuh sedang. Onset estrus pada domba dengan tubuh kurus yang
lebih singkat, diduga karena masa hidup korpus luteum tidak selama pada domba
yang bertubuh sedang. Bobot badan juga memberikan korelasi terhadap lamanya
estrus. Hasil penelitian Hastono dan Bintang (2008) menyatakan bahwa lama
estrus mengalami peningkatan sesuai dengan besarnya bobot badan. Sesuai
dugaan yang diambil dari penelitian Hastono dan Bintang (2008), hal ini dapat
terjadi karena pelepasan estrogen pada domba yang bertubuh sedang lebih lama
dibandingkan dengan domba yang bertubuh kurus. Hafez dan Hafez (2000)
menuliskan lamanya estrus normal pada domba sekitar 24-36 jam dan hasil
penelitian Herdis (2005) berkisar 24-31 jam.
Tabel 1 Induksi estrus pada domba garut

Domba Onset Estrus (jam) Lama Estrus (jam)

A 24 38

B 68 18

C 14 44

Waktu perkiraan 35±28 jam 33±13 jam

Pada penelitian ini dilakukan pengamatan USG terlebih dahulu pada


ovarium domba untuk memastikan fase luteal pada siklus estrus domba dengan
 

mengamati keberadaan CL. Dengan diketahuinya fase luteal, penyuntikan PGF2α


berhasil memunculkan estrus sehingga aplikasinya lebih efesien dari metode
sebelumnya yang melakukan dua kali penyuntikan PGF2α dalam induksi estrus
domba karena tidak diketahuinya fase dari siklus estrus (Wildeus 2000).

CL 

FL 

UT 

Gambar 4 Ultrasonografi korpus luteum (CL) pada


ovarium domba garut. CL memberikan
gambaran isoechogenic, folikel (FL)
hipoechogenic dan uterus (UT) isoechogenic.

Induksi estrus menggunakan PGF2α akan efektif apabila dilakukan pada fase
luteal siklus estrus domba, karena PGF2α menyebabkan regresi CL. DeJarnette
(2004) menyatakan bahwa penggunaan PGF2α dalam induksi estrus tidak efektif
jika bukan pada fase lutel.
Pengamatan Kebuntingan dan Pertumbuhan Fetus
Pada hasil pengamatan USG kebuntingan domba garut (gambar 5), vesikel
embrionik terlihat dan terus berkembang dari hari ke-12 sampai hari ke-20, serta
fetus baru terlihat pada hari ke-22. Tanda awal dari kebuntingan adalah adanya
cairan embrionik di dalam uterus. Buckrell (1988) menyatakan bahwa visualisasi
hipoechogenic mulai terlihat dalam vesikel embrionik pada kebuntingan 14-19
hari.
Berdasarkan hasil pengamatan, fetus ditemukannya pada hari ke-22
kebuntingan (22,3±0,6 hari). Romano & Christians (2008) menyatakan bahwa
diagnosa positif dari kebuntingan domba suffolk terlihat pada hari ke-16 dan
sensitifitas maksimal serta prediksi negatif terlihat pada kebuntingan 20 hari.
Penelitian Ali dan Hayder (2007) mendapatkan fetus dan vesikel amnion domba
ossimi pertama kali pada hari ke-25,38±1,2. Pada ultrasonografi deteksi
kebuntingan dini kambing boer dapat dipercaya saat umur 26 hari setelah
 

perkawinan (Rivas et al. 2005). Fetus pertama terlihat pada kebuntingan antara 25
hari sampai 30 hari kebuntingan, adakalanya lebih awal (Kahn 2004). Hasil ini
juga sesuai dengan penelitian Ishwar (1995) bahwa kebuntingan dini domba dan
kambing dapat dideteksi pada umur 25 hari. Fetus terdeteksi pada kebuntingan
domba 20 hari, tatapi lebih akurat pada hari ke-25 (Schrick dan Inskeep 1993).

V
V
V V
P

12 hari 14 hari 16 hari 18 hari

F
F A
V F

20 hari 22 hari 24 hari 34 hari

U PT
F F PT

38 hari 42 hari 49 hari 56 hari

Gambar 5 Ultrasonografi kebuntingan domba garut. Hari ke-12 sampai hari ke-20 hanya
terlihat cairan hypoechogenic dari vesikel embrionik (V). Keberadaan fetus (F)
baru terlihat pada hari ke-22 dari tampilan isoechogenic sampai
hyperechogenic dikelilingi oleh tampilan hypoechogenic cairan embrionik.
Uterus berada di atas hyperechogenic dasar pelvis (P). Hari ke-24 fetus masih
berkembang, hari ke-34 mulai terlihat amnion (A) mengelilingi fetus seperti
lapisan tipis isoechogenic, dan hari ke-38 umbilikal (U) hyperechogenic
terlihat seperti penggantung fetus. Hari ke-42 gambaran fetus tidak begitu jelas
karena posisinya semakin ke abdomen. Kemudian pada hari ke-49 dan hari ke-
56 plasentom (PT) mulai mendominasi lumen uterus, plasentom yang
berbentuk konkaf ditemukan menghadap ke fetus.
Dengan metode yang sama hasil diagnosa positif kebuntingan dini domba
garut lebih cepat beberapa hari dibandingkan dengan beberapa penelitian yang
dilakukan sebelumnya, hal ini diduga karena perbedaan waktu implantasi antar ras
atau spesies. Menurut Forrest et al. (1975) yang diacu dalam Sugana (1988)
disebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan fetus adalah sifat
keturunan, konsumsi nutrisi induk, umur kebuntingan atau umur fetus, hormon
yang dihasilkan oleh plasenta, serta faktor lingkungan lainnya seperti suhu dan
 

kelembaban nisbi. Pada metode yang berbeda yang dilakukan Haibel dan Perkins
(1989) yaitu menggunakan pengamatan transabdominal USG didapatkan hasil
bahwa fetus domba suffolk diketahui umur kebuntingannya pada hari ke-43
sampai hari ke-96. Hasil diagnosa positif kebuntingan dini menggunakan metode
ini jauh lebih lama, karena memang fetus baru akan menuju ke bagian bawah
abdomen sekitar umur kebuntingan 42 hari (gambar 5).
Pengamatan pertumbuhan fetus berdasarkan interval waktu yang telah
ditentukan selama periode kebuntingan (Gambar 6), menunjukkan pola yang
cenderung meningkat pada panjang fetus, diameter uterus dan tebal uterus. Pada
saat kebuntingan dini diameter uterus mengalami peningkatan yang signifikan,
tetapi tidak untuk tebal uterus dan panjang fetus.
Dalam pengamatan kebuntingan terjadi peningkatan panjang fetus dari hari
ke-22 (0,6±0,2 cm) sampai hari ke-42 (3,6±0,4 cm). Martinez et al. (1998)
mendapatkan bahwa panjang fetus kambing awal terdeteksi saat berukuran
0,53±0,3 cm dan mencapai 3,42 cm di hari ke-40 kebuntingan. Evans dan Sack
(1973) yang diacu dalam Kahn (2004) menyatakan bahwa panjang fetus domba
dan kambing mencapai 4 cm pada hari ke-40.

4
Ukuran (cm)

0
22 24 34 38 42
 ‐2
Waktu pengamatan setelah perkawinan (H0)

Gambar 6  Rataan perkembangan dari panjang fetus (bulat), diameter uterus (kotak)
dan tebal uterus (segitiga) pada domba garut (n=3) selama kebuntingan,
hari ke-22 merupakan awal fetus terdeteksi. Diameter uterus mengalami
perkembangan yang signifikan (P<0,05), sedangkan panjang fetus dan
tebal uterus perkembangannya tidak signifikan.

Pertambahan panjang fetus juga diikuti dengan bertambahnya diameter


uterus, dari hari ke-22 (1,8±0,7 cm) sampai hari ke-42 (5,6±1,1 cm) dan tebal
uterus hari ke-22 (0,8±0,1 cm) sampai hari ke-42 (2,1±0,5 cm). Kahn (2004)
menyatakan bahwa vesikel dari uterus terus meningkat dari hari ke-20 (1 cm)
 

hingga hari ke-30 (2 cm). Kemudian Toelihere (1977) menuliskan bahwa sesudah
implantasi massa jaringan uterus bertambah besar secara progresif dan selama
periode pemuaian uterus, pertumbuhan uterus berkurang sedangkan isinya
bertambah secara cepat.
Plasentom mulai teramati pada kebuntingan ke-34 (Gambar 7), plasentom
menunjukkan pola perkembangan yang terus meningkat secara signifikan sampai
umur kebuntingan ke-56 hari, selanjutnya pertumbuhannya tidak signifikan lagi
(relatif konstan) sampai hari ke-77 yang diduga bertujuan untuk memberikan
ruang yang cukup untuk pertumbuhan fetus pada pertengahan kebuntingan yang
ukurannya semakin membesar.

4
3.5
3
ukuran (cm)

2.5
2
1.5
1
0.5
0
34 38 42 49 56 63 70 77
Waktu Pengamatan (hari)
 
Gambar 7 Rataan perkembangan dari diameter plasentom pada domba garut  
(n=3) selama kebuntingan, hari ke-34 merupakan awal plasentom
terdeteksi. Plasentom berkembang signifikan dari hari ke-34 sampai
ke-56 (P<0,05) dibanding hari ke-56 sampai ke-77.
Diameter plasentom hari ke-34 sekitar 0,8±0,2 cm sampai hari ke-56
(2,7±0,5 cm) dan hari ke-77 (3,3±0,4 cm). USG transrektal dalam pengukuran
plasentom, ukurannya meningkat sangat cepat selama umur kebuntingan 70
sampai 90 hari pada domba dan kambing (Doize et al. 1997). Plasentom
ukurannya terus bertambah sampai hari 82.73 ± 7.7 (Ali dan Hayder 2007).
Fetus yang terus berkembang akan sulit teramati menggunakan metode
transrektal USG. Hal ini disebabkan letak fetus yang semakin ke bawah karena
pertambahan bobot fetus. Kahn (2004) menjelaskan bahwa selama pertengahan
kebuntingan plasentom menjauh dari fetus dan mendominasi pada gambaran
USG.
 

Pengamatan USG secara transrektal dapat digunakan hanya untuk


mendiagnosa umur kebuntingan dini, selanjutnya umur kebuntingan ditentukan
berdasarkan pengamatan pada diameter plasentom.
 

KESIMPULAN

Induksi estrus dan pertumbuhan fetus selama kebuntingan dini pada domba
garut diperoleh hasil sebagai berikut: onset estrus setelah penyuntikan PGF2α
berkisar antara 35±28 jam, lamanya estrus berkisar antara 33±13,6 jam dan awal
fetus terdeteksi pada umur kebuntingan 22 hari dengan panjang 0,6±0,2 cm.
 

DAFTAR PUSTAKA
Ali A, Hayder M. 2007. Ultrasonographic assessment of embryonic, fetal and
placental development in Ossimi sheep. Small Rumin Res 73: 227-282.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Populasi Ternak 2000-2008.


http://www.bps.go.id. (25 Juni 2011).

Bartlewski PM, Beard AP, Rawlings NC. 2000. Ultrasonographic study of ovarian
function during early pregnancy and after parturition in the ewe.
Theriogenology 53: 673-689.

Buckrell BC. 1988. Applications of ultrasonography in reproduction in sheep and


goats. Theriogenology 29: 71-84.

Dennis R et al. 2010. Handbook of Small Animal Radiology and Ultrasound:


Techniques and Differential Diagnoses. Edinburgh: Elsevier. hlm 341-347.

DeJarnette M. 2004. Estrus synchronization: a reproductive management tool.


http://www.selectsires.com (13 Agustus 2011).

DesCoteaux L, D Carriere P, Durocher J. 2006. Ultrasonography of the


reproductive system of the cow: basic principles, practical uses and
economic aspects of this diagnostic tool in dairy production.
http://www.ivis.org. (13 April 2006).

Doize F, Vaillancourt D, Carabin H, Belanger D. 1997. Determination of


gestational age in sheep and goat using transrectal ultrasonographic
measurement of placentomes. Theriogenology 48: 449-460.

Goddard PJ. 1995. Veterinary Ultrasonography. Wallingford: Cab International.


hlm 1-4.

Hafez B, Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animals Ed Ke-7. Philadelphia:


Lippincott Williams & Wilkins. hlm 110-111; 172-180; 395-404.

Haibel GK, Perkins NR. 1989. Real-time ultrasonic biparietal diameter of second
trimester Suffolk and Finn sheep fetuses and prediction of gestational age.
Theriogenology 32: 863-869.

Hastono, Bintang IAK. 2008. Hubungan antara bobot badan dengan onset berahi
dan lama berahi pada kambing kacang. Anim Prod 10: 147-150.

Herdis. 2005. Optimalisasi inseminasi buatan melalui aplikasi teknologi


laserpunktur pada domba garut (Ovis aries) [Disertasi]. Bogor: Fakultas
Pascasarjana, IPB. hlm 95-98.
 

Herman R. 1993. Perbandingan pertumbuhan, komposisi tubuh dan karkas antara


domba priangan dan ekor gemuk [Disertasi]. Bogor: Fakultas Pascasarjana,
IPB. hlm 4-9.

Ishwar AK. 1995. Pregnancy diagnosis in sheep and goats: a review. Small Rumin
Res 17: 37-44.

Kahn W. 2004. Veterinary Reproductive Ultrasonography. Hannover:


Schlutersche Verlacsgesellschaft mbH & Co. KG. hlm 187-266.

Manan D. 1981. Pengembangan metoda diagnosa kebuntingan dini pada domba


secara mini laparotomi dan palpasi intra abdominal [Tesis]. Bogor: Fakultas
Pascasarjana, IPB. hlm 1-2.

Martinez MF, Bosch P, Bosch RA. 1998. Determination of early pregnancy and
embryonic growth in goats by transrectal ultrasound scanning.
Theriogenology 49: 1555-1565.

Mulyono S. 2003. Teknik Pembibitan Kambing dan Domba. Bogor: Penebar


Swadaya. hlm 8-12.

Partodihardjo. 1979. Beberapa aspek penggunaan prostaglandin dalam penelitian


reproduksi domba priangan [abstrak]. Di dalam: Seminar Penelitian dan
Penunjang Pengembangan Peternakan; Bogor, 5-8 Nov 1979. Bogor:
Lembaga Penelitian Peternakan. hlm 5. Abstr no 260-269.

Plumb DC. 1999. Veterinary Drug Handbook Ed Ke-3. US: Iowa State University
Pr. hlm 261-264.

Priatna R. 25 April 2011. Domba garut plasma nutfah indonesia. Dalam: Kompas.

Rivas PGR, Sohnrey B, Holtz W. 2005. Early pregnancy detection by real-time


ultrasonography in Boer goat. Small Rumin Res 58: 87-92.

Romano JE, Christians CJ. 2008. Early pregnancy diagnosis by transrectal


ultrasonography in ewes. Small Rumin Res 77: 51-57.

Schrick FN, Inskeep EK. 1993. Determination of early pregnancy in ewes


utilizing transrectal ultrasonography. Theriogenology 40: 295-306.

Setiadi AR. 2010. Saya Untung Anda Untung. Yogyakarta: Lily Publisher. hlm 1-
8; 17-21.

Sugana N. 1988. Tumbuh kembang fetus dan organ reproduksi induk domba
priangan selama kebuntingan [Tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, IPB.
hlm 5-11.
 

Sutian W. 1990. Diagnosa kebuntingan dini dan perkiraan jumlah fetus pada
domba dengan ultrasonografi [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan,
IPB. hlm 1-3; 65-67.

Toelihere MR. 1977. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Jakarta: UI-Pr. hlm 184-
185; 187-191; 260-264; 266-267; 275-276.

Wildeus S. 2000. Current concepts in synchronization of estrus: sheep and goats.


J Anim Sci 77: 1-14.
 

LAMPIRAN
 

Lampiran 1 Tabel pengamatan gejala dan tingkah laku estrus


Domba A Waktu Pengamatan
(Hari Ke-) 6.30 12.30 16.30
1 1 1 3
2 3 3 3
3 3 1 1
4 1 1 1
Domba B Waktu Pengamatan
(Hari Ke-) 6.30 12.30 16.30
1 1 1 1
2 1 1 1
3 1 3 3
4 3 1 1
Domba C Waktu Pengamatan
(Hari Ke-) 6.30 12.30 16.30
1 3 3 3
2 3 3 1
3 1 1 1
4 1 1 1

Parameter pengamatan estrus: skor 3 domba diam berdiri bila dinaiki pejantan, skor 2 domba
menggoyang-goyangkan ekornya dan atau domba mendekati serta memperhatikan pejantan dan
skor 1 domba tidak menunjukkan ketertarikkan sama sekali (Toelihere 1977). Pengamatan
pertama dilakukan 14 jam setelah penyuntikan PGF2α.
 

Lampiran 2 Hasil analisis statistik one sample t-test dengan SPSS


Pertumbuhan Kotiledon hari ke-34 sampai hari ke-56
Test Value = 0
95% Confidence Interval of the
Sig. (2- Mean Difference
t df tailed) Difference Lower Upper
diameter
8.132 3 .004 38.00000 23.1297 52.8703
kotiledon
Pertumbuhan Kotiledon hari ke-56 sampai hari ke-77
Test Value = 0
95% Confidence Interval of the
Sig. (2- Mean Difference
t df tailed) Difference Lower Upper
diameter
3.413 2 .076 6.33333 -1.6521 14.3187
kotiledon
 

ABSTRACT

BAGUS SETIAWAN. The Responses of Estrous to PGF2α Injection and The


Study of Fetus Development through Ultrasonography used as a Diagnosis of
Early Pregnancy in Garut Sheep (Ovis aries). Under direction of Amrozi.

This study was done to observe estrous characteristic after PGF2α injection
and to determine the earliest day of pregnancy diagnosis in garut sheep (n=3)
using transrectal ultrasonography. The sheep were estrous induction was done by
injection of PGF2α on luteal phase. The onset and duration of estrous were
observed by using a teaser. Pregnancy was determined by isoechogenic or
hyperechogenic visualization surrounded by hypoechogenic which is fetus
implantation. Onset of estrous was 35±28.7 hours and duration of estrous was
33±13.6 hours. Early pregnancy was detected on days 22 (22.3±0.6 days).
Development of fetus was followed by increasing the diameter and thickness of
uterus. The Diameter of uterus increased from days 22 (1.8±0.7 cm) until days 42
(5.6±1.1 cm), and the thickness of uterus increased from days 22 (0.8±0.1 cm)
until days 42 (2.1±0.5 cm). The placentom appeared on days 34 (0.8±0.2 cm) and
developed significantly until days 56 (2.7±0.5 cm; P<0.05). It could be concluded
that the earliest pregnancy diagnosis showed positive sign on days 12 and the
fetus was observed on days 22.

Keywords: garut sheep, pregnancy, transrectal ultrasonography.

.
 

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Domba garut yang kita kenal sebenarnya adalah hasil persilangan antara
domba lokal, domba merino dari Australia dan domba kaapstad dari Afrika
(Setiadi 2010). Domba ini banyak dipelihara oleh masyarakat petani di pedesaan
Jawa Barat. Domba ini banyak dipelihara karena mempunyai kemampuan
adaptasi yang baik dalam berbagai kondisi lingkungan, sehingga domba ini cocok
untuk dikembangkan di tempat lain, termasuk di luar Pulau Jawa. Domba ini
merupakan domba yang memiliki tingkat produktifitas tinggi yaitu dapat
melahirkan anak lebih dari satu (prolific) setiap siklus kelahirannya, apalagi
domba ini juga tidak mengenal musim kawin sehingga dapat melakukan
perkawinan sepanjang tahun. Keunggulan lain dari domba ini adalah memiliki
bobot badan rata-rata di atas domba lokal Indonesia lainnya. Herman (1993)
menyebutkan bahwa domba garut dengan pakan baik bobotnya dapat mencapai 60
sampai 80 kg pada domba jantan dan 30 sampai 40 kg pada domba betina. Selain
itu, orientasi pasar domba garut juga mengarah ke pasar kesenangan atau hobi
yang memunculkan sebuah arena seni ketangkasan domba garut. Mulyono (2003)
menyatakan bahwa domba garut jantan yang baik performansinya digunakan
sebagai domba seni ketangkasan. Adanya seni ketangkasan ini menjadi ajang
kompetisi sekaligus untuk menyeleksi bibit domba unggulan, sehingga domba ini
mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi dibandingkan domba lokal lain.
Saat ini, situasi yang terjadi adalah semakin berkurangnya populasi domba
garut. Penurunan populasi ini merupakan akibat dari laju pemotongan yang tidak
terkendali, termasuk juga adanya pemotongan domba betina produktif (Setiadi
2010). Walaupun tidak ada data pasti mengenai jumlah domba garut, diperkirakan
seorang petani hanya memiliki 10 ekor domba garut (Priatna 2011). Dinas
Peternakan Jawa Barat juga mencatat populasi domba pada tahun 2008 sekitar
5.311.836 ekor dari 9.605.000 ekor total populasi domba di Indonesia (BPS
2009). Sutian (1990) menyebutkan bahwa aspek ekonomi dari usaha peternakan
domba sangat dipengaruhi oleh kehilangan waktu untuk menghasilkan anak. Hal
 

ini sering terjadi di domba-domba betina yang diduga bunting tetapi ditunggu-
tunggu sampai beberapa bulan kebuntingan tidak juga melahirkan anak.
Melihat potensi yang ada pada domba ini, pengembangan peternakan domba
tentunya dapat ditingkatkan. Peningkatan populasi domba ini diharapkan juga
dapat mengurangi impor daging sapi dan bisa membuka peluang untuk memenuhi
permintaan pasar luar negeri. Setiadi (2010) menyebutkan bahwa beberapa negara
tetangga seperti Malaysia, Brunei dan Thailand ingin mengimpor domba ini
karena banyak keunggulan yang dimiliki.
Efisiensi waktu perkawinan dan informasi sedini mungkin mengenai status
kebuntingan menjadi sangat penting dan bermanfaat bagi usaha pengelolaan dan
pengembangbiakan domba garut. Penelitian reproduksi domba garut di Indonesia
masih sangat terbatas khususnya mengenai pemeriksaan kebuntingan dini
menggunakan ultrasonografi. Haibel (1990) yang diacu dalam Ali dan Heyder
(2007) menyatakan bahwa estimasi dari diagnosa kebuntingan dan umur
kebuntingan penting dalam mencapai efisiensi reproduksi yang maksimal. Pada
negara-negara maju penghasil ternak domba, penggunaan sarana diagnostik
ultrasonografi sudah menjadi alternatif pilihan, mengingat keuntungan ekonomi
yang diperoleh dengan adanya diagnosa kebuntingan yang sedini mungkin (Sutian
1990). Kebuntingan dini adalah kebuntingan yang dimulai dari periode ovum
sampai terbentuknya embrio atau fetus (Hafez dan Hafez 2000) atau kebuntingan
yang terjadi kurang dari 60 hari (Manan 1981).
Dengan mengetahui kebuntingan sedini mungkin, maka domba yang tidak
bunting dapat segera dikawinkan kembali, sehingga potensi reproduksi domba
dapat dimanfaatkan secara optimal. Manfaat lain yang bisa diperoleh diantaranya
pemberian pakan terhadap domba bunting dapat tercukupi, sehingga tingkat
kelangsungan hidup anaknya lebih terjamin serta pemotongan terhadap domba
bunting dapat dihindari. Induksi estrus dan pemeriksaan kebuntingan dini
menggunakan ultrasonografi diharapkan mampu meningkatkan populasi domba
garut.
Melihat permasalahan dan potensi yang ada pada pengembangan reproduksi
domba garut, mengetahui manfaat penggunaan ultrasonografi dalam bidang
reproduksi dan belum tersedianya informasi-informasi yang cukup mengenai
 

pemeriksaan kebuntingan dini domba garut maka dilakukan penelitian untuk


mengamati respon estrus setelah penyuntikan PGF2α dan pemeriksaan
kebuntingan dini setelah perkawinan alami pada domba garut (Ovis aries) dengan
metode ultrasonografi.
 

TINJAUAN PUSTAKA

Domba Garut
Secara taksonomi domba termasuk ke dalam kingdom Animalia, filum
Chordata, kelas Mamalia, ordo Artiodactyla, family Bovidae, genus Ovis dan
spesies Ovis aries. Dari sisi genetik domba memiliki jumlah kromosom sebanyak
54 buah (Hafez dan Hafez 2000). Domba garut merupakan hasil persilangan
antara domba lokal, domba merino (Australia) dan domba kaapstad (Afrika)
(Setiadi 2010). Domba garut merupakan nama lain yang lebih populer dari domba
priangan (Mulyono 2003).

b
Gambar 1 Domba garut jantan (a) memiliki tanduk besar melingkar ke belakang dan
domba garut betina (b) tidak memiliki tanduk. Ciri khas domba ini terletak
pada pangkal ekornya yang terletak agak lebar dengan ujung runcing dan
pendek. Dahi domba ini lebar dengan kepala pendek dan profil sedikit
cembung serta memeliki mata yang kecil.

Bentuk umum tubuh domba ini relatif besar dengan badan berbentuk persegi
panjang. Ciri khas domba ini terletak pada pangkal ekornya yang terletak agak
lebar dengan ujung runcing dan pendek. Dahi domba ini lebar dengan kepala
pendek dan profil sedikit cembung, bermata kecil dan memiliki tanduk besar
melingkar ke belakang dengan bentuk bervariasi. Tanduk besar merupakan ciri
kegagahan domba jantan, sedangkan domba betina kalaupun memiliki tanduk
biasanya berukuran kecil. Warna rambut domba ini bervariasi, mulai dari putih,
 

cokelat, hitam atau campuran ketiganya. Domba ini memiliki daun telinga yang
pendek yang berbeda dibanding daun telinga jenis domba lokal lainnya. Kuping
pendek ini dalam tatanan bahasa Sunda disebut ngedaun hiris. Walaupun ada
domba garut yang berkuping panjang, sesuai standar sertifikasi nasional tidaklah
boleh lebih dari 8 cm dan disebut kuping rumpung (Setiadi 2010).
Secara umum, sistem beternak domba garut saat ini masih dilakukan secara
tradisional terutama dalam manajemen reproduksinya. Peternak masih banyak
kehilangkan waktu untuk menghasilkan anak. Hal pertama yang harus diperbaiki
adalah ketepatan waktu perkawinan. Syarat agar terjadi kebuntingan pada domba
betina yang dikawinkan adalah domba betina harus berada dalam kondisi estrus.
Sebenarnya sudah ada beberapa metode yang diterapkan dalam menentukan
waktu perkawinan yang dijelaskan oleh Setiadi (2010) seperti pengamatan siklus
estrus, penggunaan pejantan pengusik dan perkawinan koloni, tetapi metode ini
masih perlu di tingkatkan lagi efisiensinya. Estrus domba betina muncul pada pagi
hari dan mencapai puncaknya antara siang sampai malam hari. Oleh karena itu
metode pengamatan siklus estrus yang mengandalkan tampilan visual ini akan
kurang berhasil apabila peternak kurang teliti atau lalai dalam melakukan
pengamatan. Kemudian penggunaan metode pejantan pengusik mungkin jauh
lebih mudah dilakukan dibandingkan metode pengamatan siklus estrus. Metode
ini dilakukan dengan cara meliarkan sekelompok domba betina pada suatu lahan
penggembalaan setiap pagi dan sore hari yang diikutkan juga domba jantan.
Apabila terdapat domba betina yang sedang estrus, domba jantan akan mendekati
dan mengawani domba betina secara alami. Meskipun begitu metode ini masih
memiliki kelemahan mengingat puncak estrus domba betina berlangsung antara
siang sampai malam hari. Metode terakhir yang sering digunakan adalah metode
koloni. Metode ini dilakukan dengan memasukkan seekor domba jantan ke dalam
sekelompok induk domba betina yang berjumlah 10 sampai 15 ekor, sehingga bila
ada domba yang estrus bisa langsung dikawini oleh pejantan saat itu juga.
Kegiatan ini dilakukan minimal selama 1 bulan sampai terlewati 1 sampai 2 siklus
estrus, sehingga masih ada waktu yang terbuang dan hasilnya belum tentu
maksimal.
 

Dengan melihat permasalahan yang ada, dirasa perlu sebuah upaya


pengaturan siklus estrus guna memperbaiki efisiensi dalam perkawinan yaitu
dengan cara melakukan induksi estrus. Dengan induksi estrus dimungkinkan
untuk memprediksi waktu munculnya estrus sesuai dengan yang kita kehendaki.
Induksi Estrus
Induksi estrus dilakukan untuk meningkatkan efisiensi manajemen
perkawinan, sehingga angka kebuntingan dapat ditingkatkan. Dasar fisiologis
induksi estrus adalah hambatan pelepasan LH (Luteinizing Hormone) dari
adenohipofise yang menghambat pematangan folikel de graaf, atau penyingkiran
korpus luteum (CL) secara mekanik manual atau secara fisiologis dengan
pemberian preparat-preparat luteolitik. Preparat yang paling mutakhir dipakai
dalam induksi estrus adalah prostaglandin dalam bentuk Prostaglandin F2α
(PGF2α) karena sifat luteolitiknya. PGF2α dikenal sebagai suatu vasokonstriktor
dan pemberian PGF2α menyebabkan hambatan pengaliran darah secara drastis
melalui CL beberapa spesies. Pengurangan pengaliran darah yang lama dapat
menyebabkan lisisnya CL (Toliehere 1977). Plumb (1999) juga menjelaskan
bahwa PGF2α merupakan agen luteolisis yang digunakan dalam menginduksi
estrus. Hal ini juga dikuatkan oleh penelitian Wildeus (2000) yang menjelaskan
bahwa PGF2α berfungsi dalam pengaturan siklus estrus dengan mengakhiri fase
luteal melalui pelisisan CL. Penjelasan yang sama juga dinyatakan oleh
DeJarnette (2004) bahwa diproduksinya PGF2α berfungsi dalam melisikan CL.
Setelah domba berhasil dikawinkan, selanjutnya yang harus dilakukan
adalah pemeriksaan kebuntingan sedini mungkin. Hal ini dilakukan untuk
menentukan apakah domba betina yang sudah dikawinkan berhasil bunting atau
tidak.
Pemeriksaan Kebuntingan
Kebuntingan dini adalah kebuntingan yang dimulai dari periode ovum
sampai terbentuknya embrio atau fetus (Hafez & Hafez 2000) atau kebuntingan
yang terjadi kurang dari 60 hari (Manan 1981). Masa kebuntingan domba
normalnya berlangsung sekitar 150 hari, masa kebuntingan tersebut bervariasi
bergantung ras dan individunya. Herediter memberi pengaruh penting terhadap
masa kebuntingan (Hafez dan Hafez 2000). Toelihere (1977) juga menyatakan
 

bahwa masa kebuntingan ditentukan secara genetik walaupun dapat dipengaruhi


juga oleh faktor maternal, foetal dan lingkungan.
Pada saat awal kebuntingan domba, pertumbuhan folikel antral tertekan dan
CL terlihat jelas di ovarium (Bartlewski 2000). Pada saat bunting CL tetap
bertahan yang menghasilkan progesteron dalam memelihara kebuntingan. Hafez
dan Hafez (2000) juga menyatakan bahwa pada trimester pertama pemeliharaan
kebuntingan bergantung pada CL, yang selanjutnya dilanjutkan oleh plasenta.
Selama permulaan masa kebuntingan, plasenta juga bertambah besar melalui
proliferasi aktif dari sel-sel trofoblas. Kemudian pada pertengahan kebuntingan
plasenta mencapai ukuran yang hampir maksimal, yang bertepatan dengan
pertumbuhan cepat fetus dan sesudah itu akan menetap relatif konstan (Toelihere
1977).
Sampai saat ini metode pemeriksaan kebuntingan yang digunakan peternak
di Indonesia hanya sebatas mengamati adanya estrus ulang dan melakukan palpasi
per kutan. Metode ini terdapat kelemahan pada ketepatan dan kepekaan dalam
mendeteksi kebuntingan dini termasuk dalam menentukan jumlah fetus yang
dikandung. Beberapa metode lain yang sudah digunakan diantaranya adalah
melakukan pemeriksaan imunologi, palpasi uterus melalui laparotomi dan teknik
radiografi (x-ray). Semua ini memang telah berhasil digunakan dan memberi
keuntungan, tetapi di dalam penggunaannya masih sangat terbatas. Metode
pemeriksaan kebuntingan dini yang paling modern digunakan saat ini adalah
ultrasonografi (USG). Penggunaan USG sudah terbukti keakuratannya dan
kepraktisannya dalam mendeteksi kebuntingan dini. Sutian (1990) menyebutkan
beberapa keunggulan dari USG antara lain adalah alat ini bersifat non-invasif atau
tidak menimbulkan trauma fisik pada organ tubuh yang diperiksa, tidak
memberikan efek samping terhadap pasien ataupun pemeriksa, dapat digunakan
untuk memeriksa pada semua umur dan dalam kondisi apapun, tidak memerlukan
ruangan dan persiapan khusus sehingga cocok untuk digunakan di lapangan serta
mudah, cepat dan tepat dalam penggunaannya.
Manfaat langsung yang dapat diperoleh peternak dari pemeriksaan
kebuntingan dini antara lain: 1.) tingkat kesuburan ternak dapat dimonitor; 2.)
pemotongan terhadap ternak produktif atau bunting dapat dihindari; 3.) pemberian
 

pakan terhadap ternak yang bunting dapat tercukupi dan 4.) bagi domba yang
tidak produktif dapat segera dikawinkan kembali.
Ultrasonografi (USG)
Instrumen ultrasonografi (USG) modern merupakan sebuah peralatan yang
sangat canggih. USG memakai prinsip echo, sebuah gambar dapat dihasilkan dan
ditampilkan dari pengamatan yang berhubungan dengan impedensi akustik dari
jaringan sorotan USG dan kedalaman dari jaringan. Alat ini bekerja dengan efek
piezoelektrik, sebuah kristal di dalam transduser (probe) yang memberikan bentuk
atau gambar ketika diberikan voltase elektrik yang tinggi pada USG (Goddard
1995). Transduser yang sering digunakan memiliki frekuensi 3,5 sampai 7,5 MHz
dan untuk pemeriksaan transrektal pada domba biasanya menggunakan frekuensi
5,0 sampai 7,5 MHz (Hafez dan Hafez 2000). Penelitian yang pernah dilakukan
oleh Doize et al. (1997) dan Martinez et al. (1998) juga menggunakan transduser
dengan frekuensi 5,0 MHz. Sedangkan penelitian Schrick & Inskeep (1993) dan
Romano & Christians (2008) menggunakan transduser yng berfrekuensi lebih
tinggi yaitu 7,5 MHz. Pemilihan frekuensi pada transduser biasanya berdasarkan
kedalaman jaringan dan metode yang digunakan.
Teknik gambaran USG yang sekarang digunakan adalah real time B-mode,
yang biasa dipakai untuk ternak ruminansia kecil (Fowler & Wilkins 1980,
Tainturier et al. 1983 a dan b, diacu dalam Kahn 2004). Teknik ini memberikan
gambaran dua dimensi dari potongan melintang sebuah jaringan. Teknik ini
menampilkan gambaran berupa warna putih, abu-abu dan hitam serta
memunculkan adanya pergerakan dari beberapa jaringan (Hafez dan Hafez 2000).

Gambar 2  Tiga jenis echo yang digunakan sebagai prinsip dasar dalam
mendeskripsikan gambar pada sonogram (DesCoteaux et al. 2006), sistem B-
mode menghasilkan tampilan warna hitam dan putih (grey scale).

Dalam mendeskripsikan gambaran USG terdapat tiga istilah yaitu


hyperechogenic, isoechogenic dan hypoechogenic. Dennis et al. (2010)
 

menjelaskan bahwa hyperechogenic menghasilkan echo yang kuat dari jaringan


yang memunculkan gambaran yang terang (putih) seperti pada tulang dan mineral,
isoechogenic menghasilkan sedikit echo dari jaringan yang memunculkan
gambaran abu-abu (grey) seperti jaringan fibrosa atau lemak dan hypoechogenic
menghasilkan sangat sedikit echo atau tidak ada echo sama sekali yang
memunculkan gambaran gelap (hitam) seperti pada cairan. Gambaran atau warna
yang ditampilkan pada hasil ultrasonografi diukur berdasarkan jumlah gelombang
suara yang dapat diterima kembali oleh transduser, semakin banyak gelombang
suara yang diterima maka semakin terang pula (putih) gambaran yang
dimunculkan pada monitor USG, sebagai contoh jaringan yang keras seperti
tulang akan banyak memantulkan gelombang suara, sehingga gelombang suara
yang diterima kembali oleh transduser akan banyak pula.
 

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilaksanakan bulan November 2010 sampai dengan Januari 2011
di Unit Rehabilitasi Reproduksi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi,
Fakultas Kedokteran Hewan (FKH), Institut Pertanian Bogor (IPB).
Hewan Percobaan
Penelitian menggunakan 3 ekor domba garut betina, umur produktif dengan
siklus estrus yang normal. Domba-domba dipelihara di dalam kandang yang
terpisah dengan domba jantan. Pakan rumput diberikan 3 kali sehari dan
konsentrat diberikan pagi dan sore serta air minum diberikan secara tidak terbatas.
Peralatan
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah ultrasonografi (Aloka
SSD-500 real time, B-Mode, Japan) yang dilengkapi dengan linier probe 7,5 MHz
(Aloka, UST-588U-5, Japan). Probe dimodifikasi dengan menambahkan tangkai
sehingga dapat digunakan secara transrektal dan memungkinkan digerakkan dari
luar. Hasil pengamatan berupa foto dicetak dengan printer termal (Aloka, Tokyo,
Japan).
Induksi Estrus
Induksi estrus dilakukan dengan penyuntikan 5 mg PGF2α (Noroprost,
Norbrook, UK) secara intramuskuler pada fase luteal. Fase luteal ditentukan
melalui pengamatan USG pada ovarium domba yang ditandai dengan adanya CL.
Pengamatan Estrus dan Perkawinan
Pengamatan estrus dilakukan dengan menggunakan pejantan pengusik
setiap hari setelah penyuntikan PGF2α. Pengamatan estrus dilakukan dengan
mempelajari tingkah laku estrus domba. Hasil pengamatan dikuantitaskan dalam
skor, yaitu: skor 3 domba diam berdiri bila dinaiki pejantan; skor 2 domba
menggoyang-goyangkan ekornya dan atau domba mendekati serta memperhatikan
pejantan; dan skor 1 domba tidak menunjukkan ketertarikkan sama sekali
(Toliehere 1977). Onset estrus dimulai dari skor 2 sampai 3 dan lamanya estrus
dimulai dari onset estrus sampai hilangnya gejala-gejala estrus yang ditunjukkan
dengan skor 1. Pengamatan pertama dilakukan 14 jam setelah penyuntikan PGF2α.
 

Estrus ditandai dengan karakteristik induk domba diam dan siap dinaiki ketika
pejantan pengusik didekatkan. Jika tanda tersebut telah nyata, induk domba
dikawinkan secara alami.
Pengamatan Kebuntingan dan Pertumbuhan Fetus
Pengamatan USG dilakukan pada domba yang telah difiksasi dalam
kandang jepit sehingga dapat diamati dengan tepat dan aman. Feses yang dapat
mengganggu pengamatan dikeluarkan dari rektum. Untuk mengurangi iritasi
mukosa rektum dan memperoleh gambaran USG yang baik probe dilumuri
dengan gel. Gambaran vesika urinaria digunakan dalam mengarahkan probe untuk
mendapatkan kornua uteri. Setelah kornua uteri teramati maka probe diarahkan
untuk memperoleh gambaran yang baik dari fetus, uterus dan plasentom dengan
mengamati gradasi warnanya. Kebuntingan dini ditentukan berdasarkan waktu
paling awal fetus teramati menggunakan ultrasonografi yaitu pada saat fetus
menempel (implantasi) pada dinding uterus. fetus dikatakan menempel
(implantasi) apabila posisinya telah difiksir dan kontak fisik dengan organ induk
(uterus) telah terjadi (Toelihere 1977).
Pada monitor USG, gambaran fetus, uterus dan plasentom menunjukkan
warna abu-abu atau putih (isoechogenic/hyperechogenic), sedangkan amnion dan
lumen uterus memberikan warna hitam (hypoechogenic). DesCoteaux et al.
(2006) mendeskripsikan gambaran ultrasonografi menjadi tiga yaitu putih
(hyperechogenic), abu-abu (isoechogenic) dan hitam (hypoechogenic). Panjang
fetus diukur dari dahi sampai ke pangkal ekor, metode ini sama dengan yang
dilakukan Ali dan Hayder (2007). Diameter dan ketebalan dinding uterus serta
diameter plasentom diukur pada sumbu terpanjangnya. Penelitian Doize et al.
(1997) juga mengukur plasentom berdasarkan sumbu terpanjangnya.
Pengamatan USG pertumbuhan fetus dimulai pada hari ke-12 setelah
perkawinan. Motode ini dilakukan sesuai dengan pendapat Toelihere (1977) yang
menyatakan permulaan perkembangan serta pertautan blastosis domba terjadi
secepat-cepatnya pada hari ke-10 dan masih dapat digoyahkan ke luar dari uterus
16 sampai 17 hari sesudah perkawinan dan sekitar 11 sampai 16 hari (Hafez dan
Hafez 2000).
 

Gambar  3  Metode innduksi estruss dengan pennyuntikan PGF


F2α (H-5) paada fase luteaal,
pengamattan estrus dann perkawinan (H-4-H0) dann pemeriksaann ultrasonograafi
kebuntinggan dan pertum
mbuhan fetus mulai H+12 sampai
s H+77.

Penggamatan US
SG dilakukkan 2 hari sekali sampaai fetus teraamati dan waktu
w
dari kebunntingan dinii dapat ditentukan. Settelah itu penngamatan ddilakukan 10
0 hari
kemudian untuk mennghindari teerjadinya keematian fettus karena ppengaruh kontak
fisik dan stres saat pengamatan
p , selanjutny
ya pengamaatan dilakukkan 4 hari dan
d 7
hari sekalii.
Analisis Data
D
Panjjang fetus, diameter uterus,
u teball uterus dann diameter plasentom diuji
dengan onne sample t--test (SPSS 16.0).
 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan Estrus dan Perkawinan


Hasil pengamatan induksi estrus (Tabel 1) menunjukkan bahwa onset estrus
berkisar 35±28,7 jam dari penyuntikan PGF2α dan  lamanya estrus berkisar antara
33±13,6 jam. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa onset estrus terjadi
16,22±9,18 jam (Herdis 2005) dan pada hari ke-2 setelah penyuntikan PGF2α
menurut Partodihardjo (1979). Perbedaan onset estrus dapat terjadi karena
perbedaan bobot badan domba pada setiap penelitian. Penelitian Tambayong
(1993) yang diacu dalam Hastono dan Bintang (2008) didapatkan bahwa domba
garut dengan tubuh kurus onset estrusnya lebih singkat dibandingkan dengan
domba yang bertubuh sedang. Onset estrus pada domba dengan tubuh kurus yang
lebih singkat, diduga karena masa hidup korpus luteum tidak selama pada domba
yang bertubuh sedang. Bobot badan juga memberikan korelasi terhadap lamanya
estrus. Hasil penelitian Hastono dan Bintang (2008) menyatakan bahwa lama
estrus mengalami peningkatan sesuai dengan besarnya bobot badan. Sesuai
dugaan yang diambil dari penelitian Hastono dan Bintang (2008), hal ini dapat
terjadi karena pelepasan estrogen pada domba yang bertubuh sedang lebih lama
dibandingkan dengan domba yang bertubuh kurus. Hafez dan Hafez (2000)
menuliskan lamanya estrus normal pada domba sekitar 24-36 jam dan hasil
penelitian Herdis (2005) berkisar 24-31 jam.
Tabel 1 Induksi estrus pada domba garut

Domba Onset Estrus (jam) Lama Estrus (jam)

A 24 38

B 68 18

C 14 44

Waktu perkiraan 35±28 jam 33±13 jam

Pada penelitian ini dilakukan pengamatan USG terlebih dahulu pada


ovarium domba untuk memastikan fase luteal pada siklus estrus domba dengan
 

mengamati keberadaan CL. Dengan diketahuinya fase luteal, penyuntikan PGF2α


berhasil memunculkan estrus sehingga aplikasinya lebih efesien dari metode
sebelumnya yang melakukan dua kali penyuntikan PGF2α dalam induksi estrus
domba karena tidak diketahuinya fase dari siklus estrus (Wildeus 2000).

CL 

FL 

UT 

Gambar 4 Ultrasonografi korpus luteum (CL) pada


ovarium domba garut. CL memberikan
gambaran isoechogenic, folikel (FL)
hipoechogenic dan uterus (UT) isoechogenic.

Induksi estrus menggunakan PGF2α akan efektif apabila dilakukan pada fase
luteal siklus estrus domba, karena PGF2α menyebabkan regresi CL. DeJarnette
(2004) menyatakan bahwa penggunaan PGF2α dalam induksi estrus tidak efektif
jika bukan pada fase lutel.
Pengamatan Kebuntingan dan Pertumbuhan Fetus
Pada hasil pengamatan USG kebuntingan domba garut (gambar 5), vesikel
embrionik terlihat dan terus berkembang dari hari ke-12 sampai hari ke-20, serta
fetus baru terlihat pada hari ke-22. Tanda awal dari kebuntingan adalah adanya
cairan embrionik di dalam uterus. Buckrell (1988) menyatakan bahwa visualisasi
hipoechogenic mulai terlihat dalam vesikel embrionik pada kebuntingan 14-19
hari.
Berdasarkan hasil pengamatan, fetus ditemukannya pada hari ke-22
kebuntingan (22,3±0,6 hari). Romano & Christians (2008) menyatakan bahwa
diagnosa positif dari kebuntingan domba suffolk terlihat pada hari ke-16 dan
sensitifitas maksimal serta prediksi negatif terlihat pada kebuntingan 20 hari.
Penelitian Ali dan Hayder (2007) mendapatkan fetus dan vesikel amnion domba
ossimi pertama kali pada hari ke-25,38±1,2. Pada ultrasonografi deteksi
kebuntingan dini kambing boer dapat dipercaya saat umur 26 hari setelah
 

perkawinan (Rivas et al. 2005). Fetus pertama terlihat pada kebuntingan antara 25
hari sampai 30 hari kebuntingan, adakalanya lebih awal (Kahn 2004). Hasil ini
juga sesuai dengan penelitian Ishwar (1995) bahwa kebuntingan dini domba dan
kambing dapat dideteksi pada umur 25 hari. Fetus terdeteksi pada kebuntingan
domba 20 hari, tatapi lebih akurat pada hari ke-25 (Schrick dan Inskeep 1993).

V
V
V V
P

12 hari 14 hari 16 hari 18 hari

F
F A
V F

20 hari 22 hari 24 hari 34 hari

U PT
F F PT

38 hari 42 hari 49 hari 56 hari

Gambar 5 Ultrasonografi kebuntingan domba garut. Hari ke-12 sampai hari ke-20 hanya
terlihat cairan hypoechogenic dari vesikel embrionik (V). Keberadaan fetus (F)
baru terlihat pada hari ke-22 dari tampilan isoechogenic sampai
hyperechogenic dikelilingi oleh tampilan hypoechogenic cairan embrionik.
Uterus berada di atas hyperechogenic dasar pelvis (P). Hari ke-24 fetus masih
berkembang, hari ke-34 mulai terlihat amnion (A) mengelilingi fetus seperti
lapisan tipis isoechogenic, dan hari ke-38 umbilikal (U) hyperechogenic
terlihat seperti penggantung fetus. Hari ke-42 gambaran fetus tidak begitu jelas
karena posisinya semakin ke abdomen. Kemudian pada hari ke-49 dan hari ke-
56 plasentom (PT) mulai mendominasi lumen uterus, plasentom yang
berbentuk konkaf ditemukan menghadap ke fetus.
Dengan metode yang sama hasil diagnosa positif kebuntingan dini domba
garut lebih cepat beberapa hari dibandingkan dengan beberapa penelitian yang
dilakukan sebelumnya, hal ini diduga karena perbedaan waktu implantasi antar ras
atau spesies. Menurut Forrest et al. (1975) yang diacu dalam Sugana (1988)
disebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan fetus adalah sifat
keturunan, konsumsi nutrisi induk, umur kebuntingan atau umur fetus, hormon
yang dihasilkan oleh plasenta, serta faktor lingkungan lainnya seperti suhu dan
 

kelembaban nisbi. Pada metode yang berbeda yang dilakukan Haibel dan Perkins
(1989) yaitu menggunakan pengamatan transabdominal USG didapatkan hasil
bahwa fetus domba suffolk diketahui umur kebuntingannya pada hari ke-43
sampai hari ke-96. Hasil diagnosa positif kebuntingan dini menggunakan metode
ini jauh lebih lama, karena memang fetus baru akan menuju ke bagian bawah
abdomen sekitar umur kebuntingan 42 hari (gambar 5).
Pengamatan pertumbuhan fetus berdasarkan interval waktu yang telah
ditentukan selama periode kebuntingan (Gambar 6), menunjukkan pola yang
cenderung meningkat pada panjang fetus, diameter uterus dan tebal uterus. Pada
saat kebuntingan dini diameter uterus mengalami peningkatan yang signifikan,
tetapi tidak untuk tebal uterus dan panjang fetus.
Dalam pengamatan kebuntingan terjadi peningkatan panjang fetus dari hari
ke-22 (0,6±0,2 cm) sampai hari ke-42 (3,6±0,4 cm). Martinez et al. (1998)
mendapatkan bahwa panjang fetus kambing awal terdeteksi saat berukuran
0,53±0,3 cm dan mencapai 3,42 cm di hari ke-40 kebuntingan. Evans dan Sack
(1973) yang diacu dalam Kahn (2004) menyatakan bahwa panjang fetus domba
dan kambing mencapai 4 cm pada hari ke-40.

4
Ukuran (cm)

0
22 24 34 38 42
 ‐2
Waktu pengamatan setelah perkawinan (H0)

Gambar 6  Rataan perkembangan dari panjang fetus (bulat), diameter uterus (kotak)
dan tebal uterus (segitiga) pada domba garut (n=3) selama kebuntingan,
hari ke-22 merupakan awal fetus terdeteksi. Diameter uterus mengalami
perkembangan yang signifikan (P<0,05), sedangkan panjang fetus dan
tebal uterus perkembangannya tidak signifikan.

Pertambahan panjang fetus juga diikuti dengan bertambahnya diameter


uterus, dari hari ke-22 (1,8±0,7 cm) sampai hari ke-42 (5,6±1,1 cm) dan tebal
uterus hari ke-22 (0,8±0,1 cm) sampai hari ke-42 (2,1±0,5 cm). Kahn (2004)
menyatakan bahwa vesikel dari uterus terus meningkat dari hari ke-20 (1 cm)
 

hingga hari ke-30 (2 cm). Kemudian Toelihere (1977) menuliskan bahwa sesudah
implantasi massa jaringan uterus bertambah besar secara progresif dan selama
periode pemuaian uterus, pertumbuhan uterus berkurang sedangkan isinya
bertambah secara cepat.
Plasentom mulai teramati pada kebuntingan ke-34 (Gambar 7), plasentom
menunjukkan pola perkembangan yang terus meningkat secara signifikan sampai
umur kebuntingan ke-56 hari, selanjutnya pertumbuhannya tidak signifikan lagi
(relatif konstan) sampai hari ke-77 yang diduga bertujuan untuk memberikan
ruang yang cukup untuk pertumbuhan fetus pada pertengahan kebuntingan yang
ukurannya semakin membesar.

4
3.5
3
ukuran (cm)

2.5
2
1.5
1
0.5
0
34 38 42 49 56 63 70 77
Waktu Pengamatan (hari)
 
Gambar 7 Rataan perkembangan dari diameter plasentom pada domba garut  
(n=3) selama kebuntingan, hari ke-34 merupakan awal plasentom
terdeteksi. Plasentom berkembang signifikan dari hari ke-34 sampai
ke-56 (P<0,05) dibanding hari ke-56 sampai ke-77.
Diameter plasentom hari ke-34 sekitar 0,8±0,2 cm sampai hari ke-56
(2,7±0,5 cm) dan hari ke-77 (3,3±0,4 cm). USG transrektal dalam pengukuran
plasentom, ukurannya meningkat sangat cepat selama umur kebuntingan 70
sampai 90 hari pada domba dan kambing (Doize et al. 1997). Plasentom
ukurannya terus bertambah sampai hari 82.73 ± 7.7 (Ali dan Hayder 2007).
Fetus yang terus berkembang akan sulit teramati menggunakan metode
transrektal USG. Hal ini disebabkan letak fetus yang semakin ke bawah karena
pertambahan bobot fetus. Kahn (2004) menjelaskan bahwa selama pertengahan
kebuntingan plasentom menjauh dari fetus dan mendominasi pada gambaran
USG.
 

Pengamatan USG secara transrektal dapat digunakan hanya untuk


mendiagnosa umur kebuntingan dini, selanjutnya umur kebuntingan ditentukan
berdasarkan pengamatan pada diameter plasentom.
 

KESIMPULAN

Induksi estrus dan pertumbuhan fetus selama kebuntingan dini pada domba
garut diperoleh hasil sebagai berikut: onset estrus setelah penyuntikan PGF2α
berkisar antara 35±28 jam, lamanya estrus berkisar antara 33±13,6 jam dan awal
fetus terdeteksi pada umur kebuntingan 22 hari dengan panjang 0,6±0,2 cm.
 

 
 

RESPON ESTRUS SETELAH PENYUNTIKAN PGF2α


DAN STUDI PERKEMBANGAN FETUS MENGGUNAKAN
ULTRASONOGRAFI SEBAGAI DUGAAN KEBUNTINGAN
DINI PADA DOMBA GARUT (Ovis aries)

BAGUS SETIAWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
 

DAFTAR PUSTAKA
Ali A, Hayder M. 2007. Ultrasonographic assessment of embryonic, fetal and
placental development in Ossimi sheep. Small Rumin Res 73: 227-282.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Populasi Ternak 2000-2008.


http://www.bps.go.id. (25 Juni 2011).

Bartlewski PM, Beard AP, Rawlings NC. 2000. Ultrasonographic study of ovarian
function during early pregnancy and after parturition in the ewe.
Theriogenology 53: 673-689.

Buckrell BC. 1988. Applications of ultrasonography in reproduction in sheep and


goats. Theriogenology 29: 71-84.

Dennis R et al. 2010. Handbook of Small Animal Radiology and Ultrasound:


Techniques and Differential Diagnoses. Edinburgh: Elsevier. hlm 341-347.

DeJarnette M. 2004. Estrus synchronization: a reproductive management tool.


http://www.selectsires.com (13 Agustus 2011).

DesCoteaux L, D Carriere P, Durocher J. 2006. Ultrasonography of the


reproductive system of the cow: basic principles, practical uses and
economic aspects of this diagnostic tool in dairy production.
http://www.ivis.org. (13 April 2006).

Doize F, Vaillancourt D, Carabin H, Belanger D. 1997. Determination of


gestational age in sheep and goat using transrectal ultrasonographic
measurement of placentomes. Theriogenology 48: 449-460.

Goddard PJ. 1995. Veterinary Ultrasonography. Wallingford: Cab International.


hlm 1-4.

Hafez B, Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animals Ed Ke-7. Philadelphia:


Lippincott Williams & Wilkins. hlm 110-111; 172-180; 395-404.

Haibel GK, Perkins NR. 1989. Real-time ultrasonic biparietal diameter of second
trimester Suffolk and Finn sheep fetuses and prediction of gestational age.
Theriogenology 32: 863-869.

Hastono, Bintang IAK. 2008. Hubungan antara bobot badan dengan onset berahi
dan lama berahi pada kambing kacang. Anim Prod 10: 147-150.

Herdis. 2005. Optimalisasi inseminasi buatan melalui aplikasi teknologi


laserpunktur pada domba garut (Ovis aries) [Disertasi]. Bogor: Fakultas
Pascasarjana, IPB. hlm 95-98.
 

Herman R. 1993. Perbandingan pertumbuhan, komposisi tubuh dan karkas antara


domba priangan dan ekor gemuk [Disertasi]. Bogor: Fakultas Pascasarjana,
IPB. hlm 4-9.

Ishwar AK. 1995. Pregnancy diagnosis in sheep and goats: a review. Small Rumin
Res 17: 37-44.

Kahn W. 2004. Veterinary Reproductive Ultrasonography. Hannover:


Schlutersche Verlacsgesellschaft mbH & Co. KG. hlm 187-266.

Manan D. 1981. Pengembangan metoda diagnosa kebuntingan dini pada domba


secara mini laparotomi dan palpasi intra abdominal [Tesis]. Bogor: Fakultas
Pascasarjana, IPB. hlm 1-2.

Martinez MF, Bosch P, Bosch RA. 1998. Determination of early pregnancy and
embryonic growth in goats by transrectal ultrasound scanning.
Theriogenology 49: 1555-1565.

Mulyono S. 2003. Teknik Pembibitan Kambing dan Domba. Bogor: Penebar


Swadaya. hlm 8-12.

Partodihardjo. 1979. Beberapa aspek penggunaan prostaglandin dalam penelitian


reproduksi domba priangan [abstrak]. Di dalam: Seminar Penelitian dan
Penunjang Pengembangan Peternakan; Bogor, 5-8 Nov 1979. Bogor:
Lembaga Penelitian Peternakan. hlm 5. Abstr no 260-269.

Plumb DC. 1999. Veterinary Drug Handbook Ed Ke-3. US: Iowa State University
Pr. hlm 261-264.

Priatna R. 25 April 2011. Domba garut plasma nutfah indonesia. Dalam: Kompas.

Rivas PGR, Sohnrey B, Holtz W. 2005. Early pregnancy detection by real-time


ultrasonography in Boer goat. Small Rumin Res 58: 87-92.

Romano JE, Christians CJ. 2008. Early pregnancy diagnosis by transrectal


ultrasonography in ewes. Small Rumin Res 77: 51-57.

Schrick FN, Inskeep EK. 1993. Determination of early pregnancy in ewes


utilizing transrectal ultrasonography. Theriogenology 40: 295-306.

Setiadi AR. 2010. Saya Untung Anda Untung. Yogyakarta: Lily Publisher. hlm 1-
8; 17-21.

Sugana N. 1988. Tumbuh kembang fetus dan organ reproduksi induk domba
priangan selama kebuntingan [Tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, IPB.
hlm 5-11.
 

Sutian W. 1990. Diagnosa kebuntingan dini dan perkiraan jumlah fetus pada
domba dengan ultrasonografi [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan,
IPB. hlm 1-3; 65-67.

Toelihere MR. 1977. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Jakarta: UI-Pr. hlm 184-
185; 187-191; 260-264; 266-267; 275-276.

Wildeus S. 2000. Current concepts in synchronization of estrus: sheep and goats.


J Anim Sci 77: 1-14.
 

LAMPIRAN
 

Lampiran 1 Tabel pengamatan gejala dan tingkah laku estrus


Domba A Waktu Pengamatan
(Hari Ke-) 6.30 12.30 16.30
1 1 1 3
2 3 3 3
3 3 1 1
4 1 1 1
Domba B Waktu Pengamatan
(Hari Ke-) 6.30 12.30 16.30
1 1 1 1
2 1 1 1
3 1 3 3
4 3 1 1
Domba C Waktu Pengamatan
(Hari Ke-) 6.30 12.30 16.30
1 3 3 3
2 3 3 1
3 1 1 1
4 1 1 1

Parameter pengamatan estrus: skor 3 domba diam berdiri bila dinaiki pejantan, skor 2 domba
menggoyang-goyangkan ekornya dan atau domba mendekati serta memperhatikan pejantan dan
skor 1 domba tidak menunjukkan ketertarikkan sama sekali (Toelihere 1977). Pengamatan
pertama dilakukan 14 jam setelah penyuntikan PGF2α.
 

Lampiran 2 Hasil analisis statistik one sample t-test dengan SPSS


Pertumbuhan Kotiledon hari ke-34 sampai hari ke-56
Test Value = 0
95% Confidence Interval of the
Sig. (2- Mean Difference
t df tailed) Difference Lower Upper
diameter
8.132 3 .004 38.00000 23.1297 52.8703
kotiledon
Pertumbuhan Kotiledon hari ke-56 sampai hari ke-77
Test Value = 0
95% Confidence Interval of the
Sig. (2- Mean Difference
t df tailed) Difference Lower Upper
diameter
3.413 2 .076 6.33333 -1.6521 14.3187
kotiledon

Anda mungkin juga menyukai