Anda di halaman 1dari 19

BAB III

SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)


Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang
sumber-sumber Hukum Internasional.
SASARAN BELAJAR (SB)
Setelah mempelajari Bab ini, Anda diharapkan mampu:
1. Menjelaskan pengertian sumber hukum;
2. Memaparkan gambaran umum tentang perjanjian
internasional;
3. Menjelaskan pengertian kebiasaan internasional;
4. Menjelaskan maksud dari prinsip-prinsip hukum umum;
5. Menjelaskan kedudukan putusan pengadilan dan doktrin
sebagai sumber tambahan Hukum Internasional;
POKOK BAHASAN

PENGERTIAN SUMBER HUKUM


Sumber hukum mempunyai beberapa pengertian yang dapat digunakan dalam
beberapa arti dan fungsi. Arti sumber hukum yang pertama adalah sebagai dasar
berlakunya hukum (arti materiil). Dalam hal ini yang menjadi permasalahan adalah
kekuatan mengikat hukum itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dalam bagian pembahasan
mengenai hakikat dan dasar berlakunya hukum internasional.
Arti sumber hukum yang kedua adalah sumber hukum berdasarkan kepada
permasalahan untuk mendapatkan ketentuan hukum mana yang akan diterapkan
sebagai kaidah dalam hukum internasional (arti formil). Dalam hukum tertulis ada dua
tempat yang mencantumkan sumber hukum dalam arti formal yaitu Pasal 7 Konvensi
Den Haag XII (18 Oktober 1907) yang mendirikan Mahkamah Internasional Perampasan
Kapal di Laut (International Prize Court) serta dalam Pasal 38 Piagam Mahkamah
Internasional Permanen (16 Desember 1920) yang kini telah tercantum dalam Pasal 38
Piagam Mahkamah Internasional (Piagam PBB) tertanggal 26 Juni 1945. Untuk
Mahkamah Internasional mengenai Perampasan Kapal tidak pernah dapat dibentuk
karena tidak mencukupi jumlah ratifikasi yang diperlukan.
Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional menyatakan bahwa dalam
mengadili perkara yang diajukan kepada Mahkamah Internasional akan digunakan:
i. Perjanjian Internasional;
ii. Kebiasaan Internasional;
iii. Prinsip Hukum Umum;
iv. Keputusan Pengadilan dan Doktrin;
Dari sumber-sumber di atas dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis sumber yaitu
sumber utama atau primer dan sumber tambahan atau subsider. Untuk itu ada baiknya
kita bahas satu per satu sumber hukum internasional pada bagian selanjutnya.
PERJANJIAN INTERNASIONAL

1. Pengertian Umum Dan Istilah Perjanjian Internasional


Perjanjian internasional yang pada hakekatnya merupakan sumber hukum
internasional yang utama adalah instrumen-instrumen yuridis yang menampung
kehendak dan persetujuan negara atau subjek hukum internasional lainnya untuk
mencapai tujuan bersama. Persetujuan bersama yang dirumuskan dalam perjanjian
tersebut merupakan dasar hukum internasional untuk mengatur kegiatan negara-
negara atau subjek hukum internasional lainnya di dunia ini. Perjanjian
internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-
bangsa dan bertujuan untuk memberikan akibat hukum tertentu.
Dalam Pasal 2 Konvensi Wina 1969, perjanjian internasional (treaty)
dirumuskan sebagai:
Suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis dan diatur
oleh hukum internasional, baik dalam bentuk instrumen tunggal, dua instrumen
atau lebih yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan kepadanya.
Definisi ini kemudian dikembangkan dalam oleh Pasal 1 ayat (3) Undang-undang
No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, yaitu:
Perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun,
yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah
Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau
subjek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban
kepada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik.
Sedangkan menurut undang-undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional yang dibuat dengan merujuk kepada Konvensi Wina tersebut,
menyatakan bahwa perjanjian internasional yang dimaksud dalam undang-undang
No. 24 Tahun 2000 adalah:
Setiap perjanjian di bidang hukum publik, yang diatur oleh hukum internasional,
dan dibuat oleh pemerintah dengan negara, organisasi internasional, atau
subjek hukum internasional lain.

Dari pengertian atau definisi yang sudah diberikan di atas dapat dilihat ada dua
unsur pokok yang terdapat dalam suatu perjanjian internasional, yaitu:
i. Adanya subjek hukum internasional;
Artinya suatu perjanjian adalah dianggap perjanjian internasional jika pelaksana
perjanjian internasional tersebut adalah subjek hukum internasional yaitu
antara negara, negara dengan subjek hukum lain, dan antara subjek hukum satu
sama lainnya.
ii. Adanya rejim hukum internasional;
Artinya suatu perjanjian adalah dianggap perjanjian internasional apabila
perjanjian tersebut diatur oleh rejim hukum internasional. Perjanjian yang
tunduk dan diatur oleh rejim hukum nasional suatu negara tidak termasuk
dalam perjanjian internasional (treaty), walaupun salah satu atau semua
pihaknya adalah subjek hukum internasional
Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian dan Konvensi Wina 1986
mengenai Hukum Perjanjian antara Negara dan Organisasi Internasional atau antara
Organisasi-organisasi Internasional tidak memberikan pembedaan terhadap
berbagai bentuk perjanjian internasional. Pada umumnya bentuk dan nama
perjanjian menunjukkan bahwa materi yang diatur oleh perjanjian tersebut memiliki
bobot kerja sama yang berbeda tingkatannya. Namun demikian, secara hukum
perbedaan tersebut tidak mengurangi hak dan kewajiban para pihak yang tertuang
dalam suatu perjanjian internasional. Penggunaan suatu bentuk dan nama tertentu
bagi perjanjian internasional pada dasarnya menunjukkan keinginan dan maksud
para pihak terkait serta dampak politik dan hukum bagi para pihak tersebut.
Adapun bentuk-bentuk perjanjian internasional yang sering dipraktekkan di
Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Traktat (Treaty)
Bentuk perjanjian internasional yang mengatur hal-hal yang sangat penting
yang mengikat negara secara menyeluruh, yang umumnya bersifat
multilateral.
b. Konvensi (Convention)
Suatu perjanjian penting dan resmi yang bersifat multilateral. Konvensi
biasanya bersifat “Law Making Treaty” dengan pengertian yang meletakkan
kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional.

c. Persetujuan (Agreement)
Suatu bentuk perjanjian internasional yang isinya tidak termasuk materi
seperti yang dikategorikan dalam treaty atau convention. Umumnya
bersifat bilateral.
d. Memorandum Saling Pengertian (Memorandum of Understanding)
Bentuk lain dari perjanjian internasional yang memiliki sifat khas. Dalam
prakteknya, kerjasama melalui MoU lebih disukai karena dianggap
sederhana dan dapat dibuat sebagai persetujuan induk atau sebagai
pelaksanaan perjanjian yang mengatur hal-hal teknis. Karena dianggap
sederhana maka umumnya MoU tidak perlu diratifikasi.
e. Pengaturan (Arrangement)
Bentuk perjanjian yang dibuat sebagai pelaksana teknis dari suatu perjanjian
internasional yang telah ada, atau sering disebut implementing
arrangement.
f. Agreed Minutes/Summary Records/Records of Discussion
Suatu kesepakatan antara wakil-wakil lembaga pemerintahan tentang hasil
akhir atau hasil sementara dari suatu pertemuan teknis. Bentuk ini banyak
dipakai untuk merekam pembicaraan pada acara-acara kunjungan resmi
atau tidak resmi, atau untuk mencapai kesepakatan sementara sebagai
bagian dari rangkaian putaran perundingan mengenai suatu masalah.
g. Pertukaran Nota Politik (Exchange of Notes)
Instrumen diplomatic yang berisi pertukaran penyampaian atau
pemberitahuan resmi posisi Pemerintah masing-masing yang telah disetujui
bersama mengenai suatu masalah tertentu. Exchange of Note dapat berupa
sekedar pelaksanaan tindak lanjut dari suatu persetujuan yang telah dicapai;
konfirmasi dari kesepakatan lisan yang telah dicapai sebelumnya;
kesepakatan tentang perbaikan dari suatu perjanjian yang telah berlaku;
atau suatu perjanjian yang ditandatangani di tempat yang berbeda dan
dalam waktu yang tidak sama.
h. Atau istilah lain seperti Joint Statement, Modus Vivendi, Protocol, Charter,
Joint Declaration, Final Act, Process Verbal, Memorandum of Cooperation,
Side Letter, Reciprocal Agreement, Letter of Intent, Aide Memoire, atau
Demarche.
2. Kekuasaan Membuat Perjanjian Internasional
Konstitusi masing-masing negara umumnya mengatur dengan jelas badan yang
berwenang untuk melakukan pembuatan perjanjian internasional. Dalam hal ini,
ada tiga bentuk kewenangan dalam memmbuat perjanjian internasional, yaitu:
a. Kewenangan Mutlak Eksklusif;
Kewenangan ini biasanya terdapat pada system monokrasi dengan
kekuasaan terfokus kepada kepala negara sebaga kepala eksekutif. Sistem
ini biasanya dipakai pada system monarki absolut.
b. Kewenangan Mutlak Legislatif;
Kewenangan ini biasanya berkembang pada saat lembaga legislative suatu
negara memegang seluruh kekuasaan termasuk kekuasaan pembuatan
perjanjian.
c. Pembagian Kewenangan antara Eksekutif dengan Legislatif;
Sistem ini dianut oleh banyak negara di dunia, dimana kewenangan untuk
membuat perjanjian berada di tangan lembaga eksekutif, namun untuk
melaksanakannya lembaga eksekutif harus meminta persetujuan dari pihak
legislative. Ini merupakan pembagian kerjasama antara rejim presidential
dengan rejim parlementer.
Pada umumnya, negara bagian dari suatu negara federal tidak mempunyai
wewenang mengadakan perjanjian internasional. Namun, terkadang ada juga yang
diberikan wewenang oleh konstitusi federal negara yang bersangkutan untuk
mengadakan perjanjian internasional. Artinya, wewenang umum untuk
mengadakan perjanjian internasional (treaty making power) dalam suatu negara
federal lazimnya berada pada pemerintah federal.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 11 telah menetapkan bahwa yang menjadi
pemegang kekuasaan membuat perjanjian internasional adalah Presiden.
Kemudian dalam peraturan operasional untuk melaksanakan pembuatan dan
pengesahan perjanjian internasional, Pemerintah Republik Indonesia telah
mengeluarkan Undang-undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 13 dan 14 Undang-undang No. 37 Tahun 1999
tentang Hubungan Luar Negeri. Jelas bahwa dalam konteks pembuatan perjanjian
internasional pemegang treaty making power di Indonesia adalah Presiden yang
memberikan wewenangnya kepada Menteri Luar Negeri. Atas dasar KEPPRES No.
102/2001, ditentukan bahwa Departemen Luar Negeri merupakan bagian dari
pemerintah negara dipimpin oleh seorang Menteri yang bertanggung jawab
langsung kepada Presiden. Tugas pokok DEPLU adalah menyelenggarakan sebagian
tugas umum pemerintahan dan pembangunan di bidang politik dan hubungan di
luar negeri.
Dalam melakukan hubungan luar negeri, Indonesia mengacu kepada ketentuan
dalam Konvensi Wina 1969 mengenai Hukum Perjanjian yang telah menjadi hukum
positif internasional dan dasar hukum pembuatan perjanjian internasional.
Konvensi ini menentukan bahwa yang dapat mewakili negara dalam pembuatan
perjanjian adalah:
a. Kepala Negara (Presiden) atau Kepala Pemerintahan (Perdana Menteri);
b. Menteri Luar Negeri;
c. Kepala Perwakilan atau Misi Diplomatik;
d. Pejabat Pemerintah yang diberi kuasa (full power) oleh Presiden atau
Menteri Luar Negeri.
Selanjutnya dalam pelaksanaan treaty making power, Presiden dibantu oleh
Menteri Luar Negeri, yang selanjutnya Deplu c.q. Dit. Perjanjian Polkamwil dan Dit.
Perjanjian Ekososbud tidak saja bertugas menyiapkan naskah perjanjian, tetapi juga
merundingkan dengan pihak-pihak lainnya dalam perjanjian.
3. Tahap-Tahap Pembuatan Perjanjian
Pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu
tahap penjajakan, perundingan, perumusan naskah, penerimaan dan
penandatanganan, sebagaimana dijelaskan di bawah ini.
a. Tahap Penjajakan
Pada tahap ini para pihak yang ingin membuat perjanjian menjajaki
kemungkinan-kemungkinan untuk dibuatnya perjanjian internasional.
Penjajakan dapat dilakukan melalui inisiatif instansi atau lembaga
pemerintahan (negara) di Indonesia ataupun inisiatif dari calon mitra.
b. Tahap Perundingan
Tahap perundingan merupakan suatu upaya yang ditempuh oleh para pihak
untuk mencapai kesepakatan atas materi yang masih belum dapat disetujui
dalam tahap penjajakan. Tahap ini juga berfungsi sebagai wahana
memperjelas pemahaman setiap pihak tentang ketentuan-ketentuan yang
ada dalam perjanjian internasional.
c. Tahap Perumusan Naskah
Rumusan naskah adalah hasil kesepakatan dalam perundingan oleh para
pihak atas materi perjanjian internasional. Pada tahap ini diberikan tanda
paraf terhadap materi yang telah disetujui, dan dihasilkan juga Agreed
Minutes, atau Minutes of Meeting, atau Records of Discussion atau
Summary Records yang berisi hal-hal yang sudah disepakati, belum
disepakati, serta agenda perundingan berikutnya.
d. Tahap Penerimaan
Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil
perundingan dapat disebut sebagai penerimaan yang ditandai dengan
pemberian tanda paraf pada naskah perjanjian oleh masing-masing ketua
delegasi. Terhadap perjanjian multilateral, proses penerimaan biasanya
merupakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian
internasional.
e. Tahap Penandatanganan
Tahap ini merupakan tahap terakhir dari sebuah perundingan untuk
melegalisasi kesepakatan yang dituangkan dalam naskah perjanjian
internasional. Namun penandatanganan tidak selalu berarti pemberlakuan
perjanjian internasional. Pemberlakuan tergantung dari klausula
pemberlakuan yang telah disepakati dalam perjanjian internasional.
Setelah suatu perjanjian internasional ditandatangani, maka naskah tersebut
disimpan oleh Menteri Luar Negeri c.q. Direktorat Perjanjian Ekososbud sebagai
pelaksana tugas Menteri Luar Negeri sebagai Pejabat Pemelihara naskah asli
perjanjian internasional.

4. Proses Ratifikasi
Penandatanganan suatu perjanjian belum memberikan ikatan hukum bagi para
pihak untuk jenis perjanjian internasional tertentu. Penandatanganan perjanjian
seperti itu harus disertai dengan proses pengesahan yang dilakukan oleh badan
yang berwenang di negaranya. Pengesahan ini disebut dengan “Ratifikasi”.
Pasal 14 Konvensi Wina 1969 menyatakan bahwa persetujuan suatu negara
untuk diikat suatu perjanjian dinyatakan dalam bentuk ratifikasi bila:
a. Perjanjian itu sendiri mengharuskan supaya persetujuan diberikan dalam
bentuk ratifikasi;
b. Bila terbukti bahwa negara-negara yang ikut berunding setuju untuk
mengadakan ratifikasi;
c. Bila utusan-utusan negara menandatangani perjanjian tersebut dengan
syarat utnuk meratifikasinya kemudian, atau;
d. Penerima Kuasa delegasi itu sendiri menyatakan bahwa ratifikasi diharuskan
kemudian.
Adapun kewenangan dan proses ratifikasi suatu perjanjian di Indonesia
dicantumkan dalam Pasal 9, 10 dan 11 ayat (1) Undang-undang No. 24 Tahun 2000.
Pasal 9 menyatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah
Republik Indonesia dilakukan sepanjang disyaratkan oleh perjanjian internasional
tersebut, dan dilaksanakan dengan undang-undang atau keputusan presiden.
Pengesahan atau ratifikasi perjanjian internasional yang dilakukan dengan
undang-undang (Pasal 10), apabila berhubungan dengan:
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik
Indonesia;
c. Kedaulatan atau hak berdaulat negara;
d. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e. Pembentukan kaidah hukum baru;
f. Pinjaman atau hibah luar negeri.
Pasal 11 ayat (1) menyebutkan bahwa untuk ratifikasi perjanjian internasional
yang dilakukan melalui keputusan presiden, apabila materi perjanjian tersebut tidak
termasuk seperti yang dicantumkan dalam Pasal 10. Materi perjanjian ini bersifat
prosedural dan memerlukan penerapan dalam jangka waktu singkat tanpa
mempengaruhi peraturan perundang-undangan nasional. Jenis-jenis perjanjian ini
diantaranya adalah perjanjian induk yang menyangkut kerja sama di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, ekonomi, teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran
niaga, penghindaran pajak berganda, dan penanaman modal serta perjanjian yang
bersifat teknis.
Proses ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia baik bilateral maupun
multilateral melalui Keppres ataupun undang-undang, oleh lembaga pemrakarsa
atau instansi terkait dalam perjanjian tersebut mengadakan rapat interdepartemen
dengan tujuan:
a. Menyiapkan salinan naskah perjanjian, terjemahan, rancangan undang-
undang atau rancangan keputusan presiden tentang pengesahan
perjanjian internasional dimaksud serta dokumen-dokumen yang
dibutuhkan lainnya.
b. Mengkoordinasikan pembahasan rancangan atau materi permasalahan
dimaksud bersama dengan pihak-pihak terkait lainnya.
c. Prosedur pengajuan pengesahan perjanjian internasional dilakukan
melalui Menteri untuk disampaikan kepada Presiden.
5. Mulai Berlakunya Perjanjian Internasional
Pasal 2 Konvensi Wina menyebutkan bahwa suatu perjanjian internasional
mulai berlaku dengan mengikuti cara dan tanggal yang ditetapkan dalam perjanjian
atau sesuai dengan persetujuan antara negara-negara yang berunding, dan
mungkin juga suatu perjanjian berlaku segera setelah semua negara yang
berunding setuju untuk diikat dalam perjanjian.
Pasal 25 Konvensi Wina juga menyebutkan bahwa suatu perjanjian atau
sebagian dari perjanjian diberlakukan sementara waktu sambil menunggu saat
mulai berlakunya, jika memang ditentukan demikian dalam perjanjian atau
berdasarkan persetujuan negara-negara yang berunding.
Pada dasarnya, dalam pelaksanaan hukum perjanjian internasional, kata
sepakat para pihak dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu perjanjian yang langsung
dapat berlaku segera setelah perjanjian ditandatangani tanpa perlu menunggu
diratifikasi, dan jenis yang kedua adalah perjanjian internasional yang memerlukan
ratifikasi sesuai dengan prosedur konstitusional yang berlaku di negara masing-
masing pihak.
a. Mulai berlakunya segera sesudah tanggal penandatanganan
Bagi perjanjian-perjanjian bilateral tertentu yang materinya tidak begitu
penting, dan biasanya merupakan perjanjian pelaksanaan, maka umumnya
berlaku segera setelah tanggal penandatanganan. Sedangkan dalam
perjanjian multilateral hal ini jarang terjadi karena banyaknya para pihak
dalam perjanjian tersebut.
Berdasarkan praktek yang berlaku, perjanjian yang memakai klausula ini
dibuat dalam bentuk arrangement, exchange of notes, memorandum of
understanding, dll.
b. Pemberitahuan tentang telah dipenuhinya persyaratan konstitusional
Bagi perjanjian yang tidak langsung berlaku sejak tanggal penandatanganan
harus disahkan terlebih dulu sesuai dengan prosedur konstitusional yang
berlaku di negara masing-masing. Untuk dapat diberlakukannya perjanjian
tersebut diperlukan adanya notifikasi atau pemberitahuan kepada pihak lain
dan demikian juga sebaliknya. Tanggal pemberlakuan efektif perjanjian
biasanya adalah tanggal notifikasi terakhir.
c. Pertukaran Piagam Pengesahan
Suatu perjanjian dapat mensyaratkan para pihak dalam perjanjian tersebut
untuk membuat piagam pengesahan. Piagam pengesahan ini dibuat oleh
masing-masing negara pihak setelah mereka mengesahkan perjanjian
tersebut sesuai dengan ketentuan prosedur konstitusional yang berlaku di
negara masing-masing pihak. Bagi perjanjian bilateral, kedua piagam
tersebut harus dipertukarkan untuk mengefektifkan berlakunya perjanjian
tersebut. Tanggal berlakunya perjanjian biasanya ditentukan berdasarkan
tanggal pertukaran piagam dan disebutkan dalam klausula penutup
perjanjian tersebut.
d. Penyimpanan Piagam Pengesahan
Bagi perjanjian multilateral yang memerlukan piagam pengesahan, karena
banyaknya negara-negara yang menjadi pihak dalam perjanjian, maka
piagam pengesahannya tidaklah dipertukarkan, melainkan cukup disimpan
dan didepositkan di suatu tempat atau negara tertentu. Pada umumnya
tempat tersebut merupakan Sekretariat suatu Badan Internasional atau
negara tertentu yang telah disepakati oleh para pihak perjanjian tersebut.
Pemberlakuan perjanjian biasanya dilakukan apabila sejumlah tertentu
piagam pengesahan telah didepositkan dari negara-negara yang
menandatangani perjanjian. Setelah jumlah yang ditentukan terpenuhi,
maka perjanjian tersebut mulai berlaku efektif dan dapat dilaksanakan oleh
negara yang telah mendepositkan piagam pengesahannya. Khusus bagi
negara yang mendepositkan piagam setelah mulai berlakunya perjanjian,
maka perjanjian tersebut mulai berlaku bagi mereka sejak tanggal
piagamnya didepositkan.
e. Aksesi
Bagi perjanjian yang bersifat terbuka maka negara yang tidak ikut membuat
atau menandatangani suatu perjanjian dapat menjadi pihak pada perjanjian
di kemudian hari dengan mendepositkan piagam aksesi. Piagam tersebut
dapat didepositkan apabila sudah dilakukan prosedur konstitusional
negaranya.
6. Akibat-Akibat Perjanjian
Suatu perjanjian internasional akan mengikat para pihaknya sesuai dengan asas
pacta sunt servanda. Selain itu akan ada akibat-akibat yang timbul karena suatu
perjanjian internasional. Perjanjian internasional akan memberikan akibat kepada
pihak-pihak, yaitu:
a. Akibat terhadap negara-negara pihak;
Pasal 26 Konvensi Wina menyatakan bahwa tiap-tiap perjanjian yang
berlaku akan mengikat negara-negara pihak dan harus dilaksanakan dengan
itikad baik (good faith). Prinsip ini merupakan asas pokok hukum perjanjian
dan telah diakui secara universal dan merupakan bagian dari prinsip-prinsip
hukum umum (general principles of law).
b. Akibat terhadap negara lainnya;
Pada dasarnya tidak ada perjanjian yang mengikat bagi pihak ketiga yang
tidak ikut terlibat dalam perjanjian tersebut. Asas in dikenal dengan asas
pacta tertiis nex nocent nec prosunt yang artinya bahwa perjanjian tidak
dapat menimbulkan kewajiban-kewajiban dan memberikan hak pada
negara ketiga. Namun demikian, ada beberapa pengecualian untuk prinsip
tersebut, jika :
- Perjanjian yang dibuat mempunyai akibat kepada negara ketiga atas
persetujuan mereka sendiri;
- Perjanjian yang memang memberikan hak-hak kepada negara ketiga;
- Perjanjian yang dapat mempunyai akibat kepada negara ketiga tanpa
persetujuan mereka.
c. Implementasi terhadap peraturan perundang-undangan nasional;
Dengan adanya perjanjian internasional yang telah disahkan oleh suatu
negara, maka akan dibutuhkan ketentuan-ketentuan yang menampung isi
perjanjian tersebut. Artinya diperlukan perundang-undangan nasional yang
menjadi sarana ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian
internasional, bila hal ini tidak dilakukan maka perjanjian tersebut menjadi
tidak dapat dilaksanakan dan tidak bermanfaat bagi negara para pihak.
7. Batal dan Berakhirnya Perjanjian
Batalnya suatu perjanjian karena adanya :
a. Bentuk perjanjian yang salah atau bertentangan dengan ketentuan hukum
nasional (irregularitas formal);
Termasuk dalam jenis irregularitas formal ini adalah adanya ratifikasi yang
tidak sempurna, yaitu apabila negara meratifikasi suatu perjanjian tanpa
meminta atau memperoleh otorisasi parlemen terlebih dahulu, sedangkan
menurut konstitusi hal tersebut harus dilakukan.
b. Kekeliruan mengenai unsur pokok atau dasar perjanjian (irregularitas
substantial).
Yang termasuk dalam jenis irregularitas substantial ini adalah kekeliruan,
penipuan, korupsi wakil negara, dan kekerasan.
Apabila ada perjanjian yang bertentangan dengan perjanjian sebelumnya, maka
hal ini tidak dapat membatalkan suatu perjanjian yang sudah dibuat. Hal ini hanya
berkaitan dengan persoalan prioritas pelaksanaan saja. Sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 103 Piagam PBB bahwa apabila ada pertentangan kewajiban antara
anggota PBB yang berdasarkan Piagam dengan kewajiban terhadap suatu
perjanjian internasional lainnya, maka kewajiban terhadap Piagam PBB yang harus
diutamakan.
Pembatalan suatu perjanjian internasional memberikan akibat bahwa
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian tersebut menjadi tidak
mempunyai kekuatan hukum lagi. Apabila kegiatan telah dilakukan maka para pihak
harus mengembalikan kepada keadaan semula, dan menganggap bahwa perjanjian
tersebut tidak pernah ada sama sekali. Bila batalnya perjanjian karena adanya
pelanggaran terhadap norma imperatif, negara-negara para pihak hanya
diharuskan untuk menyesuaikan diri dengan norma tersebut.
Bila lahirnya suatu perjanjian internasional didasarkan kepada persetujuan
bersama negara pihak, maka perjanjian tersebut juga berakhir harus dengan
persetujuan bersama. Tetapi, ada juga perjanjian yang berakhir tanpa persetujuan
bersama negara pihak karena adanya peristiwa-peristiwa tertentu yang tidak
terduga sebelumnya. Perjanjian dapat berakhir karena adanya perjanjian atas
persetujuan negara-negara pihak, adanya klausula pembubaran diri, penarikan diri,
dan penangguhan berlakunya konvensi. Selain itu perjanjian juga dapat berakhir
karena persetujuan kemudian dan akibat terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu.

KEBIASAAN INTERNASIONAL
Hukum kebiasaan muncul dari praktek negara-negara melalui sikap dan tindakan
yang diambil terhadap suatu persoalan. Bila suatu negara mengambil suatu
kebijaksanaan dan kemudian diikuti oleh negara-negara lain dan dilakukan berkali-kali
serta tanpa adanya protes dari pihak lain, maka secara berangsur-angsur akan
terbentuk suatu kebiasaan. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah setiap
kebiasaan internasional itu merupakan kaidah hukum yang akan menjadi sumber
hukum internasional atau hanya merupakan kesopanan internasional.
Pasal 38 ayat (1) sub (b) menyebutkan bahwa international custom, as evidence of
a general practice accepted as law, artinya bahwa hukum kebiasaan internasional
adalah kebiasaan internasional yang merupakan kebiasaan umum yang diterima
sebagai hukum. Dari pengertian di atas dapat kita ketahui ada dua unsur yaitu harus
terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum dan kebiasaan tersebut harus diterima
sebagai hukum. Unsur ini disebut dengan unsur material dan unsur psikologis.
Contoh ketentuan hukum internasional yang timbul dari proses kebiasaan
internasional adalah penggunaan bendera putih sebagai bendera parlementer, yaitu
bendera yang digunakan untuk memberi perlindungan kepada utusan yang dikirim
untuk mengadakan hubungan dengan pihak musuh. Kini bendera putih dijadikan
sebagai simbol perdamaian atau menyerah kalah.
Sebaliknya, dalam hukum perang ada juga kebiasaan yang tidak pernah menjelma
menjadi ketentuan hukum internasional, karena tidak memenuhi rasa keadilan dan
perikemanusiaan. Contohnya dalam Perang Dunia I dan Perang Dunia II, kapal selam
Jerman biasa menenggelamkan kapal dagang pihak lawan tanpa pemberitahuan
terlebih dulu, dan tanpa memberi kesempatan kepada awak kapal untuk
menyelamatkan dirinya. Hal ini berlawanan dengan hukum perang di laut yang
mensyaratkan adanya pemberitahuan dan memberi kesempatan untuk
menyelamatkan diri sebelum menenggelamkan kapal musuh.

PRINSIP-PRINSIP HUKUM UMUM

Menurut Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional, yang dimaksud dengan
prinsip-prinsip hukum umum adalah asas hukum umum yang diakui oleh bangsa-
bangsa yang beradab (general principles of law recognized by civilized nation). Asas
hukum umum ini harus berdasarkan system hukum modern yaitu system hukum positif
yang didasarkan atas asas dan lembaga hukum negara barat yang sebagian besar
merupakan asas dan lembaga hukum Romawi.
Walaupun hukum nasional suatu negara berbeda satu sama lain, namun prinsip-
prinsip pokoknya tetap sama. Prinsip-prinsip tersebut diantaranya adalah asas pacta
sunt servanda, bona fides, dan asas abus de droit. Prinsip-prinsip hukum umum ini juga
termasuk didalamnya asas dalam hukum perdata, pidana, maupun hukum
internasional itu sendiri, seperti asas non intervensi, penghormatan kemerdekaan, dan
sebagainya.
Adanya prinsip hukum umum ini memberikan arti penting dalam perkembangan
hukum internasional karena dengan adanya prinsip-prinsip hukum umum maka
mahkamah tidak akan dapat menolak mengadili perkara dengan alasan tidak ada
hukum yang mengatur persoalan tersebut, sehingga mahkamah kemudian akan dapat
menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya prinsip-prinsip hukum baru dalam hukum
internasional.

PUTUSAN PENGADILAN DAN DOKTRIN

Berbeda dengan sumber hukum yang telah dibahas di atas, putusan pengadilan dan
doktrin merupakan sumber hukum tambahan dalam hukum internasional. Maksudnya
putusan pengadilan dan doktrin dapat digunakan untuk memperkuat atau
membuktikan tentang kaidah hukum internasional yang didasarkan pada sumber
utama di atas, yaitu perjanjian internasional, kebiasaan dan asas hukum umum.
Putusan pengadilan dan doktrin itu sendiri tidak mengikat atau tidak dapat
menimbulkan suatu kaidah hukum.
Putusan pengadilan yang dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) sub (d) adalah semua
pengadilan dalam arti luas dan meliputi segala macam peradilan internasional maupun
nasional, termasuk didalamnya mahkamah dan komisi arbitrase.
Sedangkan yang dimaksud dengan doktrin yaitu ajaran sarjana hukum terkemuka
merupakan hasil karya mereka yang dapat dipakai untuk pegangan dan pedoman untuk
menemukan hukum internasional, walaupun ajaran itu sendiri tidak menimbulkan
hukum. Selain yang telah disebutkan di atas, ada juga sumber hukum yang berasal dari
keputusan badan perlengkapan organisasi dan lembaga internasional. Keputusan
badan ini dapat melahirkan berbagai kaidah yang mengatur pergaulan antar anggota
lembaga itu sendiri.

RINGKASAN

1. Pengertian sumber hukum;


Arti sumber hukum yang pertama adalah sebagai dasar berlakunya hukum (arti
materiil). Arti sumber hukum yang kedua adalah sumber hukum berdasarkan
kepada permasalahan untuk mendapatkan ketentuan hukum mana yang akan
diterapkan sebagai kaidah dalam hukum internasional (arti formal).
2. Gambaran umum tentang perjanjian internasional;
Setiap perjanjian di bidang hukum publik, yang diatur oleh hukum internasional,
dan dibuat oleh pemerintah dengan negara, organisasi internasional, atau subjek
hukum internasional lain.

3. Pengertian kebiasaan internasional;


Hukum kebiasaan internasional adalah kebiasaan internasional yang merupakan
kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum.
4. Maksud dari prinsip-prinsip hukum umum;
Prinsip-prinsip hukum umum adalah asas hukum umum yang diakui oleh bangsa-
bangsa yang beradab (general principles of law recognized by civilized nation).
5. Kedudukan putusan pengadilan dan doktrin sebagai sumber tambahan Hukum
Internasional;
Putusan pengadilan dan doktrin merupakan sumber hukum tambahan dalam
hukum internasional. Maksudnya putusan pengadilan dan doktrin dapat digunakan
untuk memperkuat atau membuktikan tentang kaidah hukum internasional yang
didasarkan pada sumber utama di atas, yaitu perjanjian internasional, kebiasaan
dan asas hukum umum. Putusan pengadilan dan doktrin itu sendiri tidak mengikat
atau tidak dapat menimbulkan suatu kaidah hukum.

LATIHAN

1. Apakah pengertian sumber hukum dalam arti materiil dan arti formil?

2. Apakah dasar terdapat beberapa macam sumber hukum internasional?

3. Apakah isi Pasal 38 (1) Piagam Mahkamah Internasional?

4. Jelaskan peran penting perjanjian internasional dalam perkembangan hukum


internasional!

5. Apakah yang dimaksud perjanjian internasional?

6. Dalam praktik negara-negara, tahapan pembentukan perjanjian internasional


dibedakan menjadi 2 (dua) golongan. Sebutkan!

7. Apakah arti istilah reservasi dalam perjanjian internasional?

8. Apakah maksud treaty contract?

9. Apakah maksud law making treaty?

10. Apakah yang dimaksud putusan pengadilan dalam Pasal 38 (1) sub (d) Piagam
Mahkamah Internasional?

DAFTAR PUSTAKA

Akehurst, Michael, A Modern Introduction to International Law, 7th edition, Peter


Malanczuk, Routledge, New York, 1997

Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, 2003, Alumni, Bandung
Brierly, J.L, The Law of Nations, 6th Edition, Edited by Sir Humpherly Waldock,
Oxford, London, 1985

Brownly, Ian. Principles of Publik International Law, Fourth edition, Oxford


University Press, 1990

Chairul Anwar, Hukum Internasional: Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa,


Penerbit Djambatan, Jakarta, 1989

Dunoff, Jeffrey L. International Law: Norm, Actors, Process: A Problem Oriented


Approach, 2nd edition. Aspen Publishers, NY. 2006

Kusumaatmadja. Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung,


2003.

Schwarzenberger, Georg, and Brown, A Manual of International Law, 6th edition,


Professional Books Limiter, London and Cardiff, 1976.

Soekotjo Hardiwinoto, Pengantar Hukum Internasional, Badan Penerbit Undip,


Semarang, 1995.

Starke, An Introduction to International Law, 9th edition, Butterworths, London,


1987

Vienna Convention on Succession of States in Respect of Treaties


http://treaties.un.org/doc/Treaties/1996/11/19961106%2005-
51%20AM/Ch_XXIII_02p.pdf.

Anda mungkin juga menyukai