Anda di halaman 1dari 20

Diagnosis Hingga Penatalaksanaan Pada Pasien Dengan Diabetes Melitus

Tipe 2
Abstrak

Diabetes mellitus merupakan penyakit endokrin yang prevalensinya paling sering terjadi. Diabetes
mellitus merupakan salah satu penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Menurut data WHO, Indonesia merupakan negara
kelima dengan jumlah penderita diabetes terbanyak di seluruh dunia. Diabetes mellitus yang paling sering
menyerang penduduk usia dewasa adalah DM tipe 2 yang berkaitan erat dengan gaya hidup pada
masyarakat. DM tipe 2 ditandai dengan peningkatan kadar gula sewaktu maupun kadar gula darah puasa
dan gula darah setelah pembebanan. DM tipe 2 ini sendiri dapat mengakibatkan berbagai komplikasi jika
kadar gula darah sampai tidak terkontrol dengan baik.

Kata Kunci : diabetes mellitus, insulin, komplikasi

Abstract

Diabetes mellitus is an endocrine disease that often occurs. Diabetes mellitus is one of the
metabolic diseases characterized by hyperglycemia that occurs due to abnormal insulin
secretion, work of insulin, or both. According to WHO data, Indonesia is the country with the
highest number of diabetics in the world. Diabetes mellitus which most often attacks adult
population is type 2 DM which discusses lifestyle in society. Type 2 DM is characterized by an
increase in sugar levels or fasting blood sugar and sugar levels after loading. Type 2 DM can be
done in various variations if the blood sugar level is not well controlled.

Keywords: diabetes mellitus, insulin, complications

Pendahuluan
American Diabetes Association (ADA) mendefinisikan diabetes mellitus sebagai suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya.Diabetes mellitus merupakan penyakit endokrin
yang paling lazim terjadi. Penyakit ini ditandai oleh kelainan metabolik dan komplikasi jangka
panjang yang melibatkan mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah. Berdasarkan data yang
dikeluarkan oleh WHO, pada tahun 1995 Indonesia menduduki urutan ketujuh dalam urutan 10
negara dengan jumlah penduduk diabetes terbanyak pada penduduk dewasa di seluruh dunia

1
yakni berjumlah 4,5 juta jiwa namun dalam perkiraan yang juga dikemukakan WHO
menyebutkan bahwa pada tahun 2025 Indonesia akan naik menduduki peringkat kelima.
Diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi Diabetes Melitus Tipe 1, Diabetes Melitus Tipe 2, dan
Diabetes Melitus yang disebabkan oleh hal lain. Dalam tinjauan pustaka ini akan dibahas
mengenai diabetes mellitus tipe 2 yang biasanya menyerang orang dengan usia lebih dari 30
tahun yang ditandai dengan gejala klinis polifagi, poliuri, polidipsi dan penurunan berat badan.
Untuk menegakkan diagnosis maka perlu dilakukan beberapa test untuk mengetahui kadar
glukosa seseorang yaitu glukosa darah puasa, glukosa darah sewaktu, dan test toleransi glukosa.
Untuk mengetahui mengenai diabetes mellitus tipe 2 lebih jauh maka penulis akan membahas
mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, kriteria diagnosis, diagnosis
banding, sampai pada pengobatan dan komplikasi yang dapat ditimbulkan.1
Anamnesis
Beberapa hal yang perlu ditanyakan berhubungan dengan kasus diabetes mellitus adalah sebagai
berikut:
1. Identitas pasien
2. Keluhan utama
3. Riwayat penyakit sekarang
 Apakah pasien merasa volume urinnya meningkat? Bagaimana dengan
karakteristik urinnya, warna dan baunya? Apakah ada kencing pada malam hari
yang sampai membangunkan pasien ketika tidur?
 Apakah pasien sering merasa haus?
 Apakah pasien sering merasa lapar?
 Apakah pasien mengalami penurunan berat badan?
 Apakah pasien memiliki keluhan lain seperti kesemutan dan impotensi? Apakah
pasien merasa hilang rasa pada bagian distal tubuh seperti kaki? Apakah ada
bengkak pada kaki?
 Bagaimana dengan penyembuhan luka pada pasien? Apakah lukanya sukar
sembuh?
 Apakah pasien mengalami gangguan penglihatan?
 Apakah pasien sedang menjalani pengobatan tertentu?
4. Riwayat penyakit dahulu
Karena pasien datang dengan riwayat DM, dalam riwayat penyakit dahulu dapat
ditanyakan apakah pasien pernah dirawat dengan penurunan kesadaran karena lupa

2
makan setelah minum obat, apakah pernah dirawat dengan penurunan kesadaran karena
diare berlebihan, apakah pernah dirawat dengan penurunan kesadaran karena suatu
keadaan stress (infeksi), apakah ada riwayat sakit jantung dan hipertensi.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Bisa ditanyakan apakah ada keluhan yang sama pada keluarga atau apakah ada keturunan
pada keluarga seperti diabetes mellitus
6. Riwayat Pribadi Sosial
Dapat ditanyakan tentang pekerjaan pasien, diet pasien (misalkan intake makanan dan
cairan, minum minuman bersoda), sanitasi pasien, tempat tinggal serta lingkungan tempat
tinggal pasien. Juga ditanyakan mengenai aktivitas sehari-hari pasien tersebut, apakah dia
rutin melakukan olahraga atau senam untuk diabetesnya.

Dari hasil anamnesis didapati seorang laki-laki berusia 35 tahun merasa semakin lemas
sejak 2 minggu yang lalu. Pasien memiliki riwayat diabetes sejak 5 tahun yang lalu dan minum
metformin dan glibenklamid secara teratur.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan melihat keadaan umum pasien, kesadaran, tanda-tanda vital
(TTV). Pemeriksaan fisik dilakukan dengan inspeksi dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Dimulai dengan kepala, melihat apakah ada trauma atau luka. Selanjutnya,periksa mata apakah
ada kelainan pada mata seperti mata menonjol, adanya sekret, ikterus, atau tanda radang. Mata
perlu diperiksa karena pada penderita diabetes keluhan pandangan kabur sering didapatkan. Lalu
pemeriksaan dilanjutkan dengan memeriksa telinga, hidung, mulut guna mencari adanya
kelainan yang mungkin tampak. Pada pemeriksaan mulut mungkin dapat diperiksa bagaimana
keadaan bibir apakah kering, diperiksa gusi dan sekitar mulut untuk melihat apakah ada kelainan
seperti stomatotitis, serta perlu juga diperiksa keadaan lidah. Kemudian periksa leher untuk
mencari apakah ada kelainan seperti benjolan, periksa ekstremitas, terutama kaki untuk melihat
apakah ada pembengkakan atau luka. Pemeriksaan kaki berguna untuk mencari kemungkinan
komplikasi dari diabetes yaitu kaki diabetik. Pemeriksaan kulit secara keseluruhan diperlukan,
untuk mencari apakah ada luka di kulit pasien. Biasanya penderita diabetes keadaan kulitnya
kering, dan jika ada luka di kulit akan sulit sembuh.

3
Pada semua pasien yang dicurigai diabetes, pemeriksaan kaki adalah yang paling penting untuk
mencari apakah ada tanda kaki diabetik. Yang pertama dengan inspeksi, melihat bagaimana
warna kulitnya, apakah ada atrofi kulit, atrofi otot, dan lesi kulit (seperti infiltrat, abses, ulkus,
gangren/borok).
Selanjutnya adalah palpasi. Yang pertama yaitu pemeriksaan suhu raba. Selanjutnya pemeriksaan
pulsasi dari arteri dorsalis pedis dan tibialis posterior. Dan yang terakhir adalah pemeriksaan
refleks, meliputi sensibilitas dengan monofilamen, KPR, APR, dan Babinsky refleks.
Pada skenario ini didapatkan hasil pemeriksaan fisik antara lain : keadaan umum nampak sakit
sedang, kesadaran compos mentis, tekanan darah 120/80, denyut nadi 80x/menit, pernapasan
20x/menit, suhu 36,5°C, serta ditemukan hiperpigmentasi pada lipatan leher dan ketiak.2

Pemeriksaan Penunjang
Melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, diketahui bahwa kasus ini adalah diabetes melitus tipe
2. Untuk menegakkan diagnosis terhadap penyakit tersebut, pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan antara lain:

Pemeriksaan Glukosa Darah


Bagi kelompok risiko dengan pemeriksaan penyaring yang negative maka diperlukan untuk
mengulang pemeriksaan setiap tahunnya. Berikut adalah nilai rujukan hasil pemeriksaan
penyaring DM:
1. Kadar glukosa darah sewaktu (GDS)
a. Bukan DM: < 110 mg/dL
b. Belum pasti DM: 110-199 mg/dL
c. DM: ≥ 200 mg/dL
2. Kadar glukosa darah puasa (GDP)
a. Bukan DM: < 110 mg/dL
b. Belum pasti DM: 110-125 mg/dL
c. DM: ≥ 126 mg/dL

Diagnosis diabetes mellitus harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik (glucose-
oxidase & hexokinase) dengan bahan darah plasma vena. Namun pada kondisi tertentu dimana

4
sulit mendapatkan darah vena, dapat juga dipakai darah utuh (whole blood) vena atau kapiler
dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnosis yang berbeda sesuai dengan pembakuan
oleh WHO. Hasil pemeriksaan glukosa darah dengan menggunakan darah vena dapat berbeda
dengan darah kapiler disebabkan kadar glukosa darah kapiler lebih tinggi 7-10% daripada kadar
glukosa darah vena. Pemeriksaan dengan menggunakan serum sama baiknya dengan plasma bila
serum dipisahkan dari darah lengkap dalam waktu kurang dari 1 jam. Glukosa dalam serum atau
plasma yang disimpan pada suhu 4°C dapat bertahan sampai 48 jam. Bila pemeriksaan dilakukan
setelah 48 jam, akan diperoleh kadar glukosa yang lebih rendah secara bermakna. Hal ini
dikarenakan glukosa tersebut digunakan untuk metabolisme sel-sel darah dan juga kuman. Oleh
karena itulah jika pemeriksaan terpaksa ditunda maka darah utuh harus diberikan pengawet NaF
sebanyak 2 mg/mL. Dengan penambahan NaF, pemeriksaan dapat ditunda sampai 48 jam. Nilai
rujukan kadar glukosa darah dengan menggunakan plasma vena pengambilan sewaktu (gula
darah sewaktu) dan pada pengambilan setelah 8 jam berpuasa (gula darah puasa) adalah < 110
mg/dL. Pemeriksaan gula darah 2 jam setelah makan (post prandial) juga dapat dilakukan namun
lebih sulit karena harus distandarisasi berdasarkan jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi
harus distandarisasi terlebih dahulu. Walaupun begitu pemeriksaan ini masih dapat digunakan
untuk memantau hasil pengobatan dan pengendalian DM.
Bila berdasarkan pemeriksaan gula darah sewaktu maupun puasa belum dapat dipastikan
diabetes mellitus maka dilakukanlah pemeriksaan kadar glukosa darah jam ke-2 tes toleransi
glukosa oral (TTGO) untuk menegakkan diagnosis diabetes mellitus. Penilaian hasil
pemeriksaan jam ke-2 TTGo adalah sebagai berikut:
- Kadar glukosa darah < 140 mg/dL: TTGO normal
- Kadar glukosa darah 140-199 mg/dL: Toleransi glukosa terganggu
- Kadar glkosa darah > 200 mg/dL: Diabetes mellitus

Selain pada penderita DM kelainan pemeriksaan TTGO dapat pula dijumpai pada penyakit lain
seperti hipertiroidisme dan renal glukosuria.2

Pemeriksaan HbA1C
HbA1C merupakan hemoglobin terglikosilasi dan dikenal juga sebagai gliko-hemoglobin yang
terbentuk secara perlahan melalui reaksi non-enzimatik dari hemoglobin dan glukosa. Reaksi
non-enzimatik ini berlangsung terus-menerus sepanjang umur eritrosit sehingga eritrosit tua

5
mengandung A1C lebih banyak daripada eritrosit muda. Proses glikosilasi non-enzimatik ini
dipengaruhi oleh kadar glukosa di dalam darah. Berdasarkan waktu paruhnya yaitu sekitar
setengah dari usia eritrosit maka pemeriksaan kadar A1C digunakan untuk memantau keadaan
glikemik untuk kurun waktu 2-3 bulan yang lalu. Nilai normal kadar A1C adalah 5-8% dari
kadar Hb total. Pemeriksaan A1C digunakan untuk menilai efek pengobatan 8-12 minggu
sebelumnya tetapi tidak dapat dipakai untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek.
Pemeriksaan ini dianjurkan sedikitnya dilakukan 2 kali dalam setahun.2

Pemeriksaan Glukosa Urin


Pemeriksaan ini dianggap kurang akurat karena peningkatan kadar glukosa di dalam darah belum
tentu diikuti dengan terjadi glukosuria. Oleh karena itu pemeriksaan ini hanya dilakukan pada
penderita yang tidak dapat atau tidak mau memeriksa kadar glukosa darahnya.2

Pemeriksaan Benda Keton


Pemeriksaan benda keton darah maupun urin sangat penting untuk dilakukan terutama pada
penderita DM tipe 2 yang terkendali buruk, misalnya kadar glukosa darahnya > 300mg/dL, DM
dengan penyulit akut, serta terdapat gejala ketoasidosis diabetic (KAD) seperti mual, muntah,
atau nyeri abdomen. Selain itu pemeriksaan ini juga penting dilakukan pada penderita DM tipe 2
yang sedang hamil. Pemeriksaan benda keton urin dapat dilakukan dengan cara Rothera,
Gerhardt, dan carik celup. Dengan metode Rothera dapat mendeteksi adanya asam aseto-asetat
dan aseton, sedangkan dengan metode Gerhardt hanya data mendetksi asam aseto-asetat. Pada
pemeriksaan carik celup yang dapat terdeteksi kuat adalah asam aseto-asetat dan bereaksi lemah
dengan aseton tetapi tidak dapat mendeteksi asam hidroksi butirat. Kadar benda keton di dalam
darah normal adalah < 0.6 mmol/L, dianggap ketosis jika kadarnya > 1mmol/L, dan indikasi
adanya KAD jika kadarnya > 3mmol/L.2

Working Diagnosis
Berdasarkan gejala-gejala yang timbul dan hasil dari pemeriksaan fisik serta penunjang, dapat
ditarik kesimpulan kalau pasien tersebut menderita diabetes melitus tipe 2.
Berikut adalah kriteria diagnosis diabetes melitus:
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)

6
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir.
2. Atau
Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa >126 mg/dl (7,0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan
75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.3

Diagnosis Diferensial

Diabetes Melitus Tipe I


Diabetes tipe 1 secara tradisional dianggap terjadi primer pada usia di bawah 18 tahun tetapi kini
diketahui bahwa diabetes tipe 1 dapat terjadi pada segala usia. Pada 1 hingga 2 tahun pertama
sesudah manifestasi klinis yang nyata, maka kebutuhan insulin eksogen mungkin minimal atau
belum dibutuhkan karena sekresi insulin endogen masih terjadi (keadaan ini disebut periode
bulan madu). Namun setelah itu setiap cadangan sel ß akan kelelahan dan kebutuhan insulin
meningkat secara drastic. Diabetes tipe 1 didominasi oleh tanda-tanda berubahnya metabolisme
yaitu poliuria, polidipsia, dan polifagia. Meskipun selera makan meningkat, efek katabolic terus
terjadi sehingga timbul penurunan berat badan dan kelemahan otot. Tanda-tanda kimiawinya
meliputi ketoasidosis, insulin plasma yang rendah atau tidka ada, dan kenaikan kadar glukosa
plasma. Gangguan metabolisme dan kebutuhan akan insulin berhubungan langsung dengan stress
fisiologik yang meliputi penyimpangan dari pola asupan makanan yang normal, peningkatan
aktivitas fisik, infeksi, dan pembedahan.4

Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY)


MODY merupakan defek primer pada fungsi sel ß yang mengenai transkripsi insulin atau massa
sel ß. MODY ditandai dengan pewarisan autosomal dominan sebagai defek monogenic dengan
penetransi yang tinggi. Onset yang dini biasanya sebelum usia 25 tahun sehingga berbeda dengan
onset sesudah usia 40 tahun pada sebagian besar pasien diabetes mellitus tipe 2.
Beberapa bentuk Mody menghasilkan hiperglikemia signifikan dan tanda-tanda dan gejala khas
diabetes: meningkatnya rasa haus dan buang air kecil (polidipsia dan poliuria). Sebaliknya,

7
banyak orang dengan Mody tidak memiliki tanda-tanda atau gejala dan didiagnosis secara tidak
sengaja, ketika glukosa yang tinggi ditemukan selama pengujian karena penyebab lain, atau
pemeriksaan penyaring yang positif pada kerabat dari orang yang ditemukan memiliki diabetes.
Penemuan hiperglikemia ringan selama tes toleransi glukosa rutin untuk kehamilan juga menjadi
sangat khas. Di bawah ini merupakan pembagian tipe-tipe MODY, yaitu:
- MODY 1
o Pada kromosom 20, HNF4-alfa
o Produksi insulin menurun
o Insulin / Sulfonil urea
- MODY 2
o Pada kromosom 7, glukokinase
o Hiperglikemia puasa ringan sepanjang hidup (peningkatan sedikit kadar glukosa)
o Olahraga dan pengaturan diet
- MODY 3
o Kromosom 12, HNF1-alfa
o Ambang ginjal rendah terhadap glukosa
o Sulfonil urea
- MODY 4
o Kromosom 13, IPF-1
o Terkait dengan agenesis pancreas
o Insulin
- MODY 5
o Kromosom 17, HNF1-beta
o Atrofi pankreas dan beberapa bentuk penyakit ginjal
o Insulin / sulfonil urea
- MODY 6
o Kromosom 2, Neuro D1-beta 2
o Mutasi dari gen untuk faktor transkripsi disebut sebagai neurogenik diferensiasi 1
o Insulin
- MODY 7-11

8
o KLF 11, CEL, PAX4, INS, BLK (B-lymphocyte tyrosine kinase)
o Mutasi faktor transkripsi, insufisiensi eksokrin pancreas & DM, mutasi faktor
transkripsi, neonatal diabetes, pancreatic islet cells

Karakteristik seseorang dapat didiagnosis menderita MODY adalah hiperglikemia ringan-sedang


(130-250 mg / dL) ditemukan sebelum usia 30 tahun, riwayat keluarga menderita MODY, tidak
ada riwayat menderita penyakit autoimun pada pasien maupun keluarga, tidak adanya obesitas
atau masalah lain yang terkait dengan diabetes tipe 2 atau sindrom metabolik (misalnya,
hipertensi, hiperlipidemia, sindrom ovarium polikistik), riwayat penyakit ginjal kistik pada
kerabat pasien atau pasien sendiri, diabetes neonatal non-transien / jelas diabetes tipe 1 dengan
onset sebelum usia enam bulan, riwayat adenoma hati atau hepatocellular carcinoma pada Mody
tipe 3. Diagnosis Mody dikonfirmasi dengan tes gen tertentu yang tersedia melalui laboratorium
komersial.4

Latent Autoimmune Diabetes of the Adult (LADA)


LADA adalah sebuah konsep yang diperkenalkan pada tahun 1993 untuk menggambarkan onset
lambat dari diabetes tipe 1 autoimun pada orang dewasa. Orang dewasa dengan LADA sering
awalnya salah didiagnosis sebagai diabetes tipe 2 berdasarkan usia mereka, bukan etiologi.
Diperkirakan bahwa lebih dari 50% orang didiagnosis diabetes non-obesitas yang berhubungan
dengan DM tipe 2 sebenarnya mungkin menderita LADA. Asam glutamat dekarboksilase
autoantibodi (GADA), sel islet autoantibodi (ICA), insulinoma terkait (IA-2) autoantibody, dan
seng transporter autoantibodi (ZnT8) harus diperiksakan pada semua orang dewasa yang tidak
obesitas yang didiagnosis dengan diabetes. Tidak semua orang yang memiliki LADA kurus,
namun ada individu kelebihan berat badan dengan LADA tetapi salah didiagnosis karena berat
badan mereka. Selain itu, sekarang menjadi jelas bahwa diabetes autoimun mungkin sangat
kurang terdiagnosis pada banyak individu yang memiliki diabetes, dan bahwa indeks massa
tubuh mungkin memiliki penggunaan agak terbatas dalam hubungan dengan diabetes autoimun
laten. LADA tidak membutuhkan insulin karena dapat dikelola dengan perubahan gaya hidup
dalam tahap awal seperti olahraga dan pola makan yang tepat. Awalnya, orang dengan LADA
dapat merespon obat diabetes oral, pola makan yang tepat dan perubahan gaya hidup, meskipun
sel beta terus dihancurkan dan pasien LADA harus dimonitor secara seksama. Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa penggunaan sulfonilurea dan metformin obat sensitisasi
9
insulin, dapat meningkatkan risiko gangguan metabolik berat pada orang dengan LADA. Ketika
glukosa darah tidak lagi dapat dikelola melalui gaya hidup dan obat-obatan, suntikan insulin
setiap hari akan diperlukan.4

Manifestasi Klinis
PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) membagi diagnosis DM menjadi 2 bagian
besar berdasarkan ada dan tidaknya tanda / gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri dari:
1. Poliuria
2. Polidipsia
3. Polifagia
4. berat badan yang menurun tanpa sebab yang jelas

Sedangkan gejala yang tidak khas DM adalah lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal,
mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, pruritus vulva pada wanita.3

Patofisiologi
Diabetes mellitus tipe 2 tampaknya terjadi karena sekumpulan cacat genetic yang masing-masing
menimbulkan risiko predisposisinya sendiri dan dimodifikasi oleh faktor-faktor lingkungan.
Berbeda dengan tipe 1, pada diabetes tipe 2 tidak ada bukti yang menunjukkan dasar autoimun.
Dua defek metabolic utama yang menandai diabetes tipe 2 adalah resistensi inslin dan disfungsi
sel ß.
Resistensi Insulin
Resistensi insulin merupakan keadaan berkurangnya kemampuan jaringan perifer untuk
berespons terhadap hormone insulin. Sejumlah penelitian fungsional pada orang-orang dengan
resistensi insulin memperlihatkan sejumlah kelainan kuantitatif dan kualitatif pada lintasan
penyampaian sinyal insulin yang meliputi penurunan jumlah reseptor insulin, penurunan
fosforilasi reseptor insulin serta aktivitas tirosin kinase, dan berkurangnya kadar zat-zat antara
yang aktif dalam lintasan penyampaian sinyal insulin. Resistensi insulin diakui sebagai sebuah
fenomena yang kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor genetic serta lingkungan.
Sebagian besar faktor genetic yang berkaitan dengan resistensi insulin masih menjadi misteri
karena mutasi pada resptor insulin itu sendiri sangat sedikit menyebabkan seseorang mengidap
diabetes tipe 2. Diantara faktor-faktor lingkungan, obesitas memiliki korelasi yang paling kuat.

10
Korelasi obesitas dengan DM tipe 2 telah dikenali selama beberapa decade dan resistensi insulin
menjadi kelainan yang mendasarinya. Risiko terjadinya diabetes meningkat seiring indeks massa
tubuh yang meningkat, dan keadaan ini mennunjukkan korelasi dosis-respons antara lemak tubuh
dan resistensi insulin. Faktor-faktor yang mempengaruhi resistensi insulin pada obesitas meliputi
kadar asam lemak bebas yang tinggi di dalam darah yang beredar dan intrasel. Kadar asam lemak
bebas yang tinggi di dalam darah dan sel ini dapat mempengaruhi fungsi insulin (lipotoksisitas)
dan sejumlah sitokin yang dilepaskan oleh jaringan adipose (adipokin); sitokin ini meliputi
leptin, adiponektin dan resistin, PPAR-ɣ (suatu reseptor nukleusadiposit yang diaktifkan oleh
kelas preparat antidiabetik baru yang dinamakan thiazolidinedion dapat memodulasi ekspresi gen
dalam adiposity dan hal ini akhirnya akan mengurangi resistensi insulin.
Disfungsi sel ß
Disfungsi sel ß bermanifestasi sebagai sekresi insulin yang tidak adekuat dalam menghadapi
resistensi insulin dan hiperglikemia. Disfungsi sel ß bersifat kualitatif (hilangnya pola sekresi
insulin normal yang berayun/osilasi dan pulsatil serta pelemaan fase pertama sekresi insulin
cepat yang dipicu oleh peningkatan glukosa plasma) maupun kuantitatif (berkurangnya massa sel
ß, degenerasi pulau Langerhans, dan pengendapan amiloid dalam pulau Langerhans).4

Epidemiologi
Pada tahun 2000 menurut WHO diperkirakan sedikitnya 171 juta orang di seluruh dunia
menderita Diabetes Mellitus, atau sekitar 2,8% dari total populasi. Insidensnya terus meningkat
dengan cepat, dan diperkirakan pada tahun 2030, angka ini akan bertambah menjadi 366 juta
atau sekitar 4,4% dari populasi dunia. DM terdapat di seluruh dunia, namun lebih sering
(terutama tipe 2) terjadi di negara berkembang. Peningkatan prevalens terbesar terjadi di Asia
dan Afrika, sebagai akibat dari tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup, seperti pola makan
“Western-style” yang tidak sehat. Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007, dari 24417 responden berusia >15 tahun, 10,2% mengalami Toleransi
Glukosa Terganggu (kadar glukosa 140-200 mg/dl setelah puasa selama 14 jam dan diberi
glukosa oral 75 gram). Sebanyak 1,5% mengalami Diabetes Melitus yang terdiagnosis dan 4,2%
mengalami Diabetes Melitus yang tidak terdiagnosis. Baik DM maupun TGT lebih banyak
ditemukan pada wanita dibandingkan pria, dan lebih sering pada golongan dengan tingkat
pendidikan dan status sosial rendah. Daerah dengan angka penderita DM paling tinggi yaitu

11
Kalimantan Barat dan Maluku Utara yaitu 11,1 %, sedangkan kelompok usia penderita DM
terbanyak adalah 55-64 tahun yaitu 13,5%. Beberapa hal yang dihubungkan dengan risiko
terkena DM adalah obesitas (sentral), hipertensi, kurangnya aktivitas fisik dan konsumsi sayur-
buah kurang dari 5 porsi perhari.5

Tata Laksana
Tata laksana DM secara adekuat bertujuan
 Menghilangkan keluhan dan tanda DM
 Mempertahankan rasa nyaman dan mencapai target glukosa darah (jangka pendek)
 Mencegah serta menghambat progresivitas penyulit mikroagiopati, makroangiopati, dan
neuropati (jangka panjang)

Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu dilakukan upaya pengendalian menyeluruh terhadap
glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid. Agar tujuan tersebut dapat tercapai,
perlu dilakukan pengelolaan secara holistic dengan mengajarkan perubahan gaya hidup dan
perawatan mandiri.1,3
Berikut ringkasan tata laksana holistic DM
a. Evaluasi medis terarah, meliputi riwayat penyakit, pemerikssaan fisis, evaluasi
laboratoris/penunjang lain (GDP dan GD 2PP, HbA1c, profil lipid pada keadaan puasa,
kreatinin serum, albuminuria, keton, sedimen, dan protein urin, EKG, rontgen dada serta
rujukan apabila diperlukan (mata, gizi, perawatan khusus kaki, psikolog)
b. Evaluasi medis berkala/pemantauan, meliputi pemeriksaan GDP, GD 2PP, HbA1c setiap
3-6 bulan, dan pemeriksaan fisis serta penunjang lainnya
c. Pilar penatalaksaan DM

1. Edukasi
Edukasi mengenai pengertian DM, promosi perilaku hidup sehat, pemantauan glukosa darah
mandiri, serta tanda dan gejala hipoglikemia beserta cara mengatasinya perlu dipahami oleh
pasien
2. Terapi nutrisi medis
Terapi nutrisi medis merupakan aspek penting dari penatalaksanaan DM secara menyerluruh,
yang membutuhkan keterlibatan multidisiplin (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan, pasien,

12
serta keluarga pasien). Prinsip pengaturan diet pada penyandang DM adalah menu seimbang
sesuai kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing pasien, serta perlu ditekankan pentingnya
keteraturan jadwal, jenis dan jumlah makanan.
Kebutuhan kalori dilakukan dengan memperhitungkan kalori basal. Kebutuhan kalori ini
besarnya 25 (perempuan) dan 30 kalori (laki-laki)/KgBB ideal, ditambah atau dikurangi
tergantung dari beberapa faktorseperti jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll.
Perhitungan berat badan ideal dilakukan dengan rumus Broca yang dimodifikasi yaitu:
- BBI =90% x (tinggi badan dalam cm – 100) x 1 kg
- Bagi pria dengan tinggi badan <160 cm dan perempuan <150 cm, rumus
dimodifikasi menjadi: BBI= (tinggi badan dalam cm – 100) x 1 kg
- BB normal: BBI ± 10%, kurus: <BBI-10%, gemuk >BBI+10%

Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:


- Karbohidrat: 45-65%total asupan eneergi (karbohidrat non olahan berserat tinggi,
dibagi dalam 3x makan/hari)
- Lemak: 20-25% kebutuhan kalori (batasi asupan lemak jenuh dan lemak trans,
seperti daging berlemak dan whole milk, konsumsi kolesterol <200mg/hari)
- Protein: 10-20% total asupan energy (seafood, daging tanpa lemak, ayam tanpa
kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan tempe)
- Natrium: <3 g atau 1 sdt garam dapur (pada hipertensi, natrium dibatasi 2,4 g)
- Serat: ±25 g/hari (kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta karbohidrat tinggi
serat)
- Pemanis alternative tetap perlu diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai bagian
dari kebutuhan kalori sehari.
3. Aktivitas fisik
Kegiatan jasmani yang dianjurkan adalah intensitas sedang (50-70% denyut nadi maksimal)
minimal 150 menit/minggu atau aerobic 75 menit/minggu.Aktivitas dibagi dalam tiga hari per
minggu dan tidak ada dua hari berturutan tanpa aktivitas fisik.Jika tidak ada kontraindikasi,
pasien DMT2 dieudukasi melakukan latihan resistensi sekurangnya 2x/minggu.Untuk
penyandang DM dengan penyakit kardiovaskular, altihan jasmani dimulai dengan intensitas

13
rendah dan durasi singkat lalu secara perlahan ditingkatkan.aktivitas fisik sehari-hari juga
dapat dilakukan, misalnya berjalan kaki ke tempat kerja, menggunakan tangga.
4. Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diterapkan bersama-sama dengan pengaturan diet dan latihan jasmani.
Terapi farmakologis dapat berupa ADO atau insulin. Berdasarkan cara kerjanya, ADO dibagi
menjadi 5 golongan:
a. Pemicu sekresi insulin: sulfonylurea (dikonsumsi 15-30 menit sebelum
makan) dan glinid (sesaat sebelum makan).
Golongan obat ini merangsang sel beta pancreas untuk melepaskan insulin yang
tersimpan, sehingga hanya bermanfaat pada pasien yang masih mampu mensekresi insulin.
Golongan obat ini tidak dapat dipakai pada diabetes mellitus tipe 1.

Sulfonilure Generik Nama Mg/tab Dosis Lama Frek/hari


a Dagang arian kerja
Glibenklamid Daonil 2,5-5 2,5-15 12-24 1-2
Euglakon
Glipizid Minidiab 5-10 5-20 10-16 1-2
Gliklazid Diamicron 80 80-240 10-20 1-2
Glimepirid Amaryl 1,2,3,4 0,5-6 24 1

b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin (dikonsumsi sebelum/saat/sesudah makan)


dan tiazolidindion (tidak bergantung jadwal makan)
Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada
tingkat selular, distal reseptor insulin dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin
meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan juga
diduga menghambat absorpsi glukosa di usus sesudah asupan makanan.
Thiazolidinediones merupakan agonist peroxisome proliferator activated receptor gamma
(PPARƴ) yang sangat selektif dan poten. Reseptor gamma PPARƴ terdapat di jaringan target
kerja insulin seperti jaringan adipose, otot skelet, dan hati. Thiozolidinediones merupakan
regulator homeostasis lipid, diferensiasi adiposit dan kerja insulin.Thiozolidinediones dapat
merangsang ekspresi beberapa protein yang dapat memperbaiki sensitivitas insulin dan
memperbaiki glikemia seperti glucose transporter (GLUT 1, GLUT 4).

14
Biguanid Generik Nama Mg/tab Dosis Lama Frek/hari
Dagang arian kerja
Metformin Glucophage 500-850 250- 6-8 1-3
3000
Glumin 500 500- 6-8 2-3
3000
Thiazolidinedione Rosglitazo Avandia 4 4-8 24 1
s n
Pioglitazon Actos 15,30 15-30 24 1
c. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat alfa glukosidase (bersama makanan suapan
pertama)
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa glukosidase di dalam saluran
cerna sehingga dengan demikian dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan
hiperglikemia postprandial. Hasil akhirnya adalah penurunan glukosa darah postprandial.
Sebagai monoterapi tidak akan merangsang sekresi insulin sehingga tidak dapat menyebabkan
hipoglikemia.

Penghamba Generik Nama Mg/tab Dosis Lama Frek/hari


t alfa Dagang arian Kerja
Acarbose Glucobay 50-100 100-300 3
glukosidase
d. DPP-IV inhibitor (bersama makanan atau sebelum makan)
GLP-1 endogen memiliki waktu paruh yang sangat pendek (<1 menit) akibat proses inaktivasi
oleh enzim DPP-IV. Penghambatan enzim DPP-IV diharapkan dapat memperpanjang masa
kerja GLP-1 sehingga membantu menurunkan hiperglikemia. Terdapat dua macam
penghambat DPP-IV yang ada saat ini yaitu sitaglipin dan vildaglipin.
Penggunaan ADO dilakukan secara bertahap. Terapi farmakologi bertahap juga dapat
dikelompokkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c, antara lain:
- Tahap I: HbAc1 7-8%
- Tahap II: HbA1c 8-9%
- Tahap III: HbA1c >9%

Selain OHO, terapi farmakologi lainnya adalah insulin. Terapi insulin diindikasikan pada:

- DM Tipe I

15
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat disertai ketosis
- Ketosidosis diabetic
- Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
- Hiperglikemia dengan asidosis laktat
- Gagal dengan ADO dosis optimal
 Stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
 Kehamilan dengan DM/DM gestasional yang tidak terkendali dengan
pengaturan diet
 Kontraindikasi ADO

Selain pengaturan diet dan latihan jasmani, jika perlu dapat diberikan ADO tunggal atau
kombinasi sejak dini. Terapi dengan ADO kombinasi harus dipilih dua atau lebih macam obat
dengan mekanisme kerja berbeda. Untuk kombinasi ADO dengan insulin, banyak digunakan
kombinasi ADO dan insulin basal yang diberikan malam hari menjelang tidur.1,3

Komplikasi

Ketoasidosis metabolic

Terjadi peningkatan absolute atau relative kadar glucagon yang menyebabkan pelepasan asam-
asam lemak bebas yang berlebihan dari jaringan adipose dan oksidasi hepatic yang menghasilkan
benda keton. Ketonemia dan ketonuria dengan dehidrasi dapat menimbulkan ketoasidosis
metabolic sistemik yang dapat berakibat pada kematian.

Koma hiperosmolar nonketotik

Biasanya terjadi dalam keadaan dehidrasi berat yang dikarenakan dieresis hiperglikemik yang
terus-menerus dan ketidakmampuan untuk minum air yang cukup.

Penyakit mikrovaskular diabetic

Aterosklerotik dipercepat pada aorta dan pembuluh arteri berukuran besar serta sedang,
meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, stroke serebri, aneurisma aorta dan gangrene
pada ekstremitas bawah.

Mikroangiopati diabetic
16
Diabetes mellitus menyebabkan penebalan difus membrane basalis. Penebalan ini terlihat nyata
pada pembuluh kapiler dalam kulit, otot skeletal, retina, glomerulus ginjal, dan medulla ginjal.
Keadaan tersebut dapat mengenai struktur non-vaskuler seperti tubulus ginjal, kapsula Bowman,
saraf perifer dan plasenta. Walaupun terjadi penebalan pada membrane basalis, namun pada
pasien DM pembuluh kapilernya lebih permeable (mudah bocor) terhadap protein plasma
dibandingkan dengan pembuluh kapiler orang normal. Mikroangiopati mendasar terjadinya
nefropati diabetic dan beberapa bentuk neuropati lainnya.

Nefropati diabetic

Ginjal merupakan organ yang mengalami kerusakan paling berat pada pasien DM dan salah satu
penyebab kematian diabetes yang utama adalah gagal ginjal. Dimana terjadi kelainan pada
glomerulusnya (sklerosis mesangial yang difus, glomerulosklerosis noduler yang disebut lesi
Kimmerlstiel-Wilson, lesi eksudatif yang mengakibatkan proteinuria progresif dan gagal ginjal
kronik.

Komplikasi Okular Diabetik

Retinopati nonproliferatif terdiri dari perdarahan intra-retina serta pre-retina, eksudasi, edema,
penebalan kapiler retina dan mikroaneurisma. Retinopati proliferative merupakan proses
neovaskularisasi dan fibrosis pada retina dengan kecenderungan yang tinggi untuk menimbulkan
kebutaan.

Neuropati Diabetik

Neuropati perifer simetrik yang mengenai saraf motorik dan sensorik ekstremitas bawah
disebabkan oleh jejas sel Schwann, degenerasi myelin, dan kerusakan akson saraf. Neuropati
otonom dapat menimbulkan impotensi seksual dan disfungsi usus serta kandung kemih. Kelainan
neurologic yang bersifat fokal (mononeuropati diabetic) paling besar kemungkinannya
disebabkan oleh mikroangiopati.6

Prognosis

Sasaran pengelolaan diabetes mellitus bukan hanya glukosa darah saja tetapi juga profil lipid,
berat badan, tekanan darah, dan sebagainya seperti dibawah ini yang telah ditetapkan oleh
PERKENI :

17
1. DM Terkendali Baik
a. GDP 80-100 mg/dL
b. GD2jPP 80-144 mg/dL
c. HbA1C < 6.5%
d. Kolesterol Total < 200 mg/dL
e. K-LDL < 100 mg/dL
f. K-HDL > 45 mg/dL
g. Trigliserida < 150 mg/dL
h. IMT 18.5-23 kg/m2
i. Tekanan darah ≤ 130/80 mmHg
2. DM Terkendali Sedang
a. GDP 100-125 mg/dL
b. GD2jPP 145-179 mg/dL
c. HbA1C < 6.5-8%
d. Kolesterol Total 200-239 mg/dL
e. K-LDL 100-129 mg/dL
f. Trigliserida 150-199 mg/dL
g. IMT 23-25 kg/m2
h. Tekanan darah 130-140/80-90 mmHg
3. DM Terkendali Buruk
a. GDP ≥ 126 mg/dL
b. GD2jPP ≥ 180 mg/dL
c. HbA1C ≥ 8%
d. Kolesterol Total ≥ 240 mg/dL
e. K-LDL ≥ 130 mg/dL
f. Trigliserida ≥ 200 mg/dL
g. IMT > 25 kg/m2
h. Tekanan darah > 140/90 mmHg

Tentu saja yang diharapkan dengan penatalaksanaan non-farmakologis seperti diet dan latihan
fisik yang dipatuhi dan dijalankan secara teratur, serta patuh mengkonsumsi obat yang telah
diberikan oleh dokter maka status DM pasien haruslah terkendali baik.3

18
Pencegahan

Pencegahan primer memiliki sasaran yaitu masyarakat yang masih sehat. Semua pihak di dalam
masyarakat harus mengembangkan dan membudayakan pola hidup sehat dan menghindari pola
hidup yang meningkatkan risiko DM. Mengkampanyekan makanan sehat yang mengandung
lemak dengan kadar yang rendah atau pola makan seimbang harus ditanamkan sejak usia dini.
Juga menganjurkan olahraga agar tetap dapat menjaga berat badan agak tidak berlebihan.
Pencegahan sekunder adalah ditujukan kepada para penderita Dm untuk mencegah terjadinya
komplikasi dengan mengingatkan pentingnya kepatuhan minum obat dan latihan fisik secara
teratur serta menjaga pola makan. Penyuluhan tentang diabetes dan cara mencegah
komplikasinya perlu diberikan bagi para penderita DM dan keluarga ataupun kerabat dekatnya.
Terakhir pencegahan tersier dengan sasaran pada penderita DM yang sudha maupun belum
mengalami komplikasi dengan tujuan mencegah terjadinya komplikasi ataupun kecacatan yang
diakibatkannya. Upaya ini terdiri dari 3 tahap.7

1. Pencegahan komplikasi diabetes yang pada konsensus dimasukkan sebagai pencegahan


sekunder
2. Mencegah berlanjutnya progresi komplikasi untuk tidak menjurus kepada penyakit organ
3. Mencegah terjadinya kecacatan disebabkan oleh karena kegagalan organ tubuh atau
jaringan.7

Kesimpulan

Diabetes mellitus sebagai suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Diabetes mellitus tipe 2
biasanya terjadi pada pertengahan umur atau lebih. Diagnosis diabetes mellitus ditegakkan
berdasarkan gejala klinis yaitu adanya poliuri, polidipsi, dan polifagi serta hasil laboratorium
glukosa darah, baik glukosa darah sewaktu, glukosa darah puasa, glukosa darah 2 jam post
prandial, dan test toleransi glukosa oral yang menunjukkan peningkatan dari kadar normal.
Terdapat empat pilar utama dalam tata laksana diabetes mellitus yaitu pengaturan menu diet,
aktivitas fisik, obat hipoglikemik oral dan pemberian insulin. Semua terapi bertujuan untuk
menjaga kadar gula darah agar tetap normal sehingga tidak menimbulkan komplikasi seperti

19
hipoglikemi, ketoasidosis diabetic dan koma hiperosmolar diabetic non ketotic yang dapat
membahayakan jiwa.

Daftar Pustaka

1. Gleadle J. At a glance: anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2007.h.138-


9.
2. Halim SL, Iskandar I, Edward H, Kosasih R, Sudiono H. Patologi klinik: Kimia klinik.
Edisi ketiga. Jakarta: Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Ukrida; 2013.h.51-62.
3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S. Buku ajar penyakit dalam
jilid II. Edisi keenam. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.1880-3.
4. Mitchell RN. Buku saku dasar patologis penyakit Robbin & Cotran. Edisi ketujuh.
Jakarta: RGC; 2009.h.669-78.
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S. Buku ajar penyakit dalam
jilid II. Edisi keenam. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.1874-6.
6. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S. Buku ajar penyakit dalam
jilid II. Edisi keenam. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.1891-5.
7. Suherman SK. Insulin dan antidiabetika oral. Dalam: Farmakologi dan terapi. Edisi
kelima. Jakarta: Badan penerbit FKUI; 2011.h.481-95.

20

Anda mungkin juga menyukai