Anda di halaman 1dari 48

Roh

Roh-roh itu berjalan gemulai menyusuri jembatan kecil.


Berhimpitan mencari celah
Kasat Mata tapi tak berjiwa, terasa tapi bukan perasa

Ditubuh roh itu terpasang mesin


Menggerakkannya, mengulangnya, hingga dijemput ajal
Mustahil mesin itu kan rusak
Resepnya sederhana, cabut hatinya maka ia akan hidup fana selamanya

Yang hidup mencari penghidupan,


yang mati mengkhianati peradaban
Kelak kan dirindukannya segala romansa
Yang menjauhkannya dari realita

--

Apakah Aku Manusia ?

1
Hampa, bagai bukan manusia,
Ia berjalan tanpa menapak,
Tak bergeming mesti ditiup badai,
Jelas kusaksikan angina itu melaluinya
Seolah ia tak ada, tak mampu diraba, tak mampu dirasa
Menuju tak mampu dilihat

Mungkin ia memang bukan manusia,


Atau memang ia lah manusia

Bumi dan seisinya jelas sudah gila,


Banyak yang mencoba menjadi manusia,
Banyak pula yang mencoba untuk tidak menjadi manusia

Akal hanya ilusi, sebatas dongeng fiksi


Ia hanya ada di utopia,

Sebab itu yang menjadikan kita manusia bukan,


Atau manusia memang sudah punah,
Memang aku tak pernah percaya Darwin!
Bagaimana mungkin kera berevolusi,
Puluhan Ribu tahun lamanya,
Hanya untuk menjadi,

2
Manusia

Sungguh kemunduran yang memalukan


Maafkan aku kera,
Bukan maksud dan inginku,
Menghianati evolusimu

--

Sepertinya Aku Manusia

Jantungku masih mampu berdetak,


Pun hati ini masih mampu menawar racun,
Detaknya kadang stabil, lebih sering tidak
Apalagi kalau dihadapkan pada ketidakadilan,

3
Racun yang menodai peradaban,
Ingin aku memusnahkannya,
Walau tak jarang hanya dengan bergumam,
Mengutuk dalam kalbu, tak sempat diutarakan

Aku tak tau


Apakah aku yang sudah gila ?
Atau bumi dan seisinya yang sudah hilang rasa,
Menguap ke udara,
Mengembun entah kemana,
Kejahatan bagai tontonan, tak jarang jadi tuntunan
Memanusiakan manusia pun bagai tugas terberat
Sementara malaikat tertawa kecil,
Bersyukur tidak terlahir sebagai manusia

Aku mungkin bukan manusia


Atau mereka yang mungkin belum manusia

Aku bukan ubermensch


Apalagi Insan Kamil,

Tapi aku yakin dan percaya

4
Dengan mencoba menjadi manusia
Setidaknya ilahi menyaksikan dan mengangguk setuju
Kala ku katakan dengan lantang

“Sepertinya Aku Manusia”

Tidak Kurang, Tidak Lebih


Hina dan Terhormat di saat yang bersamaan
Tenggelam dan mengapung sekaligus
Dalam rencana semesta

--

Alam dan Keseimbangan

Belum pernah kulihat burung menangis kehilangan sangkarnya,


Tak akan ia berhenti melanglangbuana,

Tapi jangan sampai ia kehilangan sayapnya,


Sebab hidupnya tak akan lagi berarti

Yang hidup tanpa hati tak ubahnya burung kehilangan sayap


Tak lagi indah meski bernyawa

5
Kemarau yang beralih menjadi penghujan pun tak mampu puaskan dahaga,
Karena sumur telah tertutup papan,
Jangankan air,
Cahaya pun tak mampu menembusnya

Kebaikan tak melulu butuh niat,


Tetapi mengapa tanya tak Lelah singgah pada kejahatan ?

Cinta tak butuh alasan,


Lalu mengapa benci membutuhkannya ?
Fikirmu padang pasir tak butuh air ?
Tentu dia membutuhkannya selayaknya hitam yang ada karena putih

Tetapi,
Biarkanlah kebaikan menjadi sungai,
Mengalir dengan lembut,
Memenuhi dan menyesakkan samudera lautan bebas,

Dan,
Biarkanlah kejahatan,
Menjadi sampah kecil yang mengapung diatasnya,
Yang kan lenyap dibakar surya atau merasuk ke busuknya lautan

6
--

Nihilisme

Nietzche tak pernah membunuh tuhan


Sebab ia takkan sanggup kawan,
Membunuh apa yang hanya ada dalam angan,
Bukan dan bukan dalam laku dan perbuatan

Gott is Tot!
Tegasnya penuh keyakinan
Lagaknya tak ubahnya tuhan
Tentu versi yang mahir bertutur Jerman
Bak nihilis tanpa pegangan
Jeritan penderitaan dan kekecawaan
Bergema,

7
Seantero dunia terpongah,
Kadang melahirkan tuhan,
Kadang mencaci tuhan,
Kadang justru menguatkan tuhan,

Fikirnya ia bunuh tuhan


Sedang yang terbunuh adalah egonya.
Tanah Cenderawasih

Kulitku hitam legam,


Tak seperti kebanyakan kamu,
Rambutku keriting dan tak beraturan,
Tak selurus jalanmu yang merdeka itu,

Tapi aku ya tetap aku

Tahukah engkau ?
Di tempatku tinggal tak ada beton menjulang,
Ditumpuk hingga menyentuh awan,
Kufikir hanya gunung yang mampu melakukannya

Tapi tempatku ya tempatku,


Tidak sama dengan tempatmu,

8
Disini kami harus menjemput air,
Kudengar di tempatmu sana,
Justru Air yang mendatangimu,

Tanah Cenderawasih (Bag.2)

Di tanah kami,
Bersuara dilarang,

Bagiku merdeka itu mengerikan,


Pamanku mati ditembus bedil,
Persis setelah mengucap kata itu,

Sama halnya dengan lapar,


Aku selalu dituduh pembual,
Setiap kuteriakkan kata itu,
Di pulau yang kaya raya ini

“Tak mampukah kau lihat pembangunan itu?”


Ujar orang berpendidikan itu,
Mereka sangat pintar
Meski tak pernah mengajariku cara,,,

9
Memakan aspal yang membelah gunung-gunung kami

--
Bumi Bercerita di Kota

Menanam beton, melukis jalanan


Besi-besi raksasa itu ditancapkan ke bumi,
Air-air tanah itu dikuras habis,
Diantarkannya air-air itu persis ke lubang pantat manusia
Yang sedang duduk dalam beton kokoh Gedung pencakar langit
Membalas air dengan tai

Kadang langit menangis tak henti-henti,


Begitupun bumi,
Ingin ia menangis,
Sebab ia dikaruniai kemampuan

Ya,

Kemampuan untuk menyaksikan


Peradaban yang di bumi lenyapkan

Kemampuan untuk mendengarkan

10
Tangisan pilu cucu adam yang saling bersahut-sahutan
Kemampuan untuk merasakan,
Getaran penderitaan seluruh yang bersemayam di alam raya

Pepohonan yang menari bahagia tertiup angin,


Kini berganti beton penuh kaca,
Memantulkan panas,
Memantulkan potret,
Mahluk Bengis tak tau terimakasih.

--

Kontemplasi

11
Raga terasa begitu lesu
Sejalan dengan suasana kalbu,
Yang sendu membiru tak menentu,

Batok kepala ini seakan ingin meledak


Memuntakan gumpalan halus lembut otak,
Membiarkannya berserakan di jalanan,
Dilindas hingga tak beraturan

Sebab,
Tak mampu lagi ia temukan jawaban
Atas kegelisahannya, atas keresahannya, atas kepiluannya,
dan atas kebingungannya

Bumi berputar perlahan,


Nyaris tak terasa,
Sebagian tak mampu bertahan dalam putarannya,
Hingga ditarik tidur kedalam perut bumi
Sebagian lagi begitu bahagia menari diatas putarannya
Kelak ia pun ditarik tidur kedalam perut bumi

Ingin aku berteriak, “Berhentilah berputar”

12
Biarkan waktu berhenti sejenak,
Biarkan manusia duduk diam saling tatap

Atas segala kejahatan yang dilakukannya pada sesama,


Atas segala kebengisannya pada sesama,
Atas segala kebanalan yang disebarkannya pada dunia
Atas segala kepalsuan yang mana ia tertawa diatasnya,

Andai memang itu semua kuasa tuhan,


Maka izinkanlah aku,
Mencari dan membunuh tuhan itu,

Percuma fikirku
Meskipun kutemukan tuhan itu, tetap ia akan salahkan setan

Atas kematian si miskin diatas bumi,


Atas kelaparan yang diderita akibat kerakusan cucu adam,
Atas setiap tetes air mata yang jatuh kala ia beribadah penuh harap
Atas setiap rasa sakit,
Atas setiap rasa kecewa,
Dan atas setiap rasa yang tak mampu lagi ia rasa

--

13
Apalah Aku

Apalah aku,
Yang selalu mencoba lari dan bersembunyi,
Tetapi selalu diketahui

Apalah aku,

14
Yang mengubur diri dalam lautan memori
Tetapi semakin kehilangan jati diri

Apalah aku,
Tak mampu batasi mimpi indahku,
Tertipu oleh kalutnya kalbu
Yang tak pernah berhenti memikirkanmu

Aku adalah aku


Kau tetaplah kau
Meski aku menyimpan rindu
Kau akan tetap termakan candu,
Candu untuk menghindariku

Pengantar Tidur

Temaram senja tiada pernah berdusta,


Memanggil rindu yang sempat hilang entah kemana,
Kurebahkan tubuh melepas dahaga

Menanti malam lekas berlalu,


Kuaduk bubuk susu digelasku,
Mengantarkanku lewati malam sendu,

15
Rasa tiada pernah berubah
Tetap setia beramah tamah
Walau kini telah berbeda
Hanya cinta penghapus logika

Salahkah hati tiada bergeming,


Menakar perasaan fana ini,

Salahkah mata tiada terpejam


Bukti terbatasnya hati menghapus dendam

Salahkah logika menerjemahkan cinta


Tak mampu tutupi rasa kecewa

Kuharap itu hanya sekedar rindu


Pengantar tidur.

16
Hujan

Angin menusuk tajam tubuhku,


Tembus hingga memilukan tulangku,
Seiring dengan gemuruh langit yang memekakkan telingaku

Sudah tiba waktunya,


Air hujan membasahi bumi,
Memberikan kehidupan kepada mereka yang nyaris mati,
Tak jarang pula membunuh mereka yang nyaris hidup

Genangan demi genangan memenuhi jalanan.


Tidak jarang sang hamba yang tengah berjalan tanpa harapan,

17
Dipinggir trotoar nyaris hancur khas perkotaan,
Harus basah tersiram percikan
para pengendara yang enggan memperdulikan

Demikian berlaku pada kenangan,


Juga rasa yang membara namun harus mati dipadamkan penolakan,
Riuh redam nyaris musnah dilahap kenyataan

Tapi,
Tiada pernah keliru rasanya untuk sekedar menyimpan rindu,
Meski Guntur dan Kilat bersikeras menghalangi,

Percayalah tuhan tidak pernah berkhianat


Tentang pelangi setelah hujan,
Yang senantiasa,
Menghapus sendu dalam batinmu.

--

18
Pertemuan

Udara sejuk ini tampak malu,


Dihadapkannya ia pada hangatnya hadirmu,
Dengan senyum yang mampu mencairkan salju abadi di puncak Himalaya,

Bagaimana mungkin dapat kulupakan air wajah itu,


Yang membahasahi tenggorokan anak adam di tandusnya gurun sahara,
Sekejap, Mendekap,

Menghilangkan segala nestapa


Lembut ia merangkai kata,
Mengusap daun telingaku,
Meresap kedalam,
Sejenak melemaskan seluruh syaraf

Jari jemari kita beradu,

19
Melekat,
Enggan dipisahkan,
Disinari cahaya lampu redup,

Entah apa yang terjadi esok tak lagi berarti,


sebab hidup pastilah tentang hari ini

--

20
Kelalaian

Seonggok daging berlalulalang,


Lengkap dengan tulang rawan,
Tengah hilir mudik,
Mencari
Penghidupan

Tegak dan tegap,


Berdiri tuk jadi yang terdepan,
Sedangkan jelas,
Ia sedang hidup
Dalam
Kelalaian.

Lalai memanusiakan,
Kemudian sibuk,
Membinasakan

Kemudian hari lagi,


Mulai membiasakan,

21
Hidup dalam kelalaian,

Aku,
Sungguh tak tega turut membiarkan,
Kebodohan dan kebanalan
diatas bumi manusia yang tak mampu terelakkan

Andai saja mereka sadar,


Bahwa kelalaian mereka terjadi di atas,
Ya,
Di atas,
Di atas kain kafan yang sedang ditenun,
Mengantarkannya pada
Kefanaan

--

Keheningan

22
Percayalah,
Bahwa selalu ada keheningan yang berisik,
Bahwa selalu ada yang beradu argument dalam sunyi,
Bahwa selalu ada teriakan perlawanan tanpa bunyi,

Ruang dan waktu,


Tak pernah punya kuasa,
Untuk menghambat laju suara,

Suara tak mesti berjalan lalui udara,


Layaknya telepati,
Bahasa berpindah.
Lewati ruang abstraksi,

Takkan telingamu,
Mampu tangkap itu,

Biarkanlah,
Biarkan,
Ia mengalir,
Diantara selat dan sekat
Yang penuh dengan tanya,
Tanpa dihadiri oleh

23
Jawab.

--

Sabar

Bukankah melelahkan ?
Menyaksikan sekuntum mawar,
Dua puluh empat jam tanpa henti.

24
Tanpa kau saksikan pun,
Ia kan mekar,
Dan,
Mekarnya
Pastilah menjanjikan
Keindahan

Buah daripada kesabaran,


Mungkin tak selalu manis,
Tapi tak apa,
Meski butuh waktu sewindu
Tak apa,
Nikmati saja perjalanannya
Kelak kan dihadirkannya keindahan

Kau yang terpesona dengan piramida,


Takkan kau sanggup,
Memanggul batu demi batu,
Menyusun dengan presisi,
Mempertontonkan keajaiban
Hingga generasi hari ini,

Sudikah engkau kawan ?

25
Menyentuh cacing penuh lendir,
Atau bahkan untuk sekedar melihatnya,
Kau tak sudi.

Tapi kelak,
Akan kau kagumi dia,
Kala keluar dengan perlahan dari kepompong
Kau terpongah tak percaya

Sungguh lucu sandiwara dunia,


Tak ada yang sanggup menebaknya
Tapi kita selalu diizinkan untuk,
Menikmatinya.
Hilang

Hening,
tak ada suara, tak ada derap langkah,
tak ada rima, tak ada irama

Kosong
Tak ada isi, tak ada padat,
tak ada cair, tak ada gas

26
Letih,
Tak ada tindak, tak ada keringat
Tak ada upaya, tak ada waktu

Marah,
Tak ada sebab, tak ada penyebab
Tak ada nusabab, tak ada jalan keluar

Sepi,
Tak ada aku, Tak ada kamu
Tak ada kita
Tanpa Harap

Rasa-rasanya kantukku tak tertahan


Ingin segera beristirahat
Tinggalkan semua

Disini,
Hanya ada kemunafikan penguasa,
Baiknya ku tidur saja,

Naif apabila aku tetap berusaha,


Ya,

27
Berusaha tegar melihat kezolimannya,

Ingin rasanya ku runtuhkan,


Segala sandiwara nan penuh kepicikan,
Tapi aku terlalu Lelah,

Kini suaraku keras menggema,


Dalam
Alam fana impi indahku
Aku

Aku bukan aku


Aku bukan dia
Aku bukan mereka

Aku ya aku!
Aku tidak seperti kalian
Aku tidak seperti orang-orang itu

Aku bukan kita


Aku bukan kami

Tapi,

28
Aku juga bukan lagi aku

--

Pustaka

Rak-rak buku modern itu tertata rapi,


Sesekali memanggil lembut,
“Hampiri aku wahai pujangga”

Sekumpulan pustaka itu sungguh menggoda


Andai mencuri itu diizinkan,
Kan kurengkuh deretan buku itu tanpa ragu,
Kutelan ia hingga merasuk ke dalam sel-sel otakku,
Kemudian kumuntahkan ia dalam bentuk kata,
Kuperintahkan pena untuk bergerak semaunya,

Aku percaya arahan dari otakku takkan mengkhianati


Seluruh rasa dalam kalbuku yang memberontak untuk diungkapkan,
Sebab,

29
Tak ingin ia sekedar menjadi beban peradaban.

--

Buku

Ia adalah buku yang tak pernah tuntas kau baca,


Bukan karena ia terlalu tebal,
Bukan juga karena ia sudah tak layak baca,

Memang sudah terlalu banyak halaman yang hilang,


Tertutupi noda-noda kotor yang mengusik,
Pandangan jernih mata indahmu,

Buku itu bukan novel, Bukan karangan, Bukan rekayasa imajinasi


Buku itu nyata, dibungkus berbagai realitam
Pahit, Manis, Suka, Duka
Berganti tinta hitam pekat, Melekat erat lembar demi lembar

Tuangkanlah tinta pada buku itu sebisamu,


Kau takkan mampu membaca halaman selanjutnya
Biar tuhan yang membimbingmu,

30
Membaca dan menikmatinya.

Demokrasi Tai Kucing

Aroma kebengisan liar menyengat,


Menusuk-nusuk ke jantung rakyat
Merasuk ke dalam aliran darah
Menebarkan rasa gelisah

Takut
Sewaktu-waktu akan tertangkap basah,
Tersandera oleh suara-suara sumbang wakil rakyat,

Demi pertumbuhan ekonomi jawab penguasa,


KEPARAT!

Ekonomi apa yang tumbuh sedang kami terus melarat!


Data-datamu tak mengisi perut kami,
Rapat-rapatmu tak selesaikan masalah kami,

Kau yang katanya tukang kayu,


Yang dulunya wong cilik,

31
Fikirmu kami senang dengan apa yang kau bangun ?
Demokrasi TAI KUCING
Ya! T-A-I!
Kau tidak buta huruf kan ?
Seperti jutaan kami yang lain!

Kau pertontonkan kami daging nikmat itu,


Tapi bahkan tulangnya saja enggan kau beri,
Ampas atas segalanya,
Segala yang kami keluarkan
Kelak kan hanya jadi kotoran

Yang cepat atau lambat dibunuh kemiskinan


Yang cepat atau lambat dirasuki mimpi demokrasi

Sebab kau alergi dengan kami,


Hidungmu enggan mencium aroma kami,
Kakimu enggan menginjak tempat tinggal kami,
Yang penuh sampah, penuh kotoran,
Kau alergi dengan kami

Kami yang setia,


Ya, setia berhalusinasi

32
Tentang demokrasi yang memihak pada kami!
Bukan pada pejabat berpakaian rapi,
Lengkap dengan dasi,

Tapi, itu semua kan hanya jadi mimpi


Bahkan hingga kami mati,

Ya, mati dalam gubuk reot dibawah jalan layang megah yang kau bangun!
Demi Bangsa dan Negara
Demi Indonesia Raya

--

Palmerah

Di stasiun palmerah,

33
Tua bangka hingga remaja tanggung terus melangkah

Dengan cepat dan penuh semangat


Dengan lambat tapi penuh semangat,
Dengan cepat tanpa harapan
Dengan lambat dan tanpa harapan

Ada yang membawa barang baru di kantung plastik daur ulang di tangannya,
Ada yang kesulitan membawa tas kerjanya dengan isi beban yang berat,
Atau barangkali beban di hati dan fikirannya yang terlampau berat dan
menyakitkan
Pelan tapi pasti, menggerus jati dirinya

Sebagian dating dari tanah abang hingga pasar senen,


Ada juga yang baru saja pulang dari Gedung parlemen
Mereka pulang dengan keluhan, menggerutu sepanjang kaki berjalan,
Menyesali berbagai pilihan
Meratapi penderitaan,
Penuh dengan resah,
Persis setelah turun dari kereta penuh sesak dengan manusia
Berlomba-lomba menghirup O2
Yang tak mampu berlomba, bersiaplah tutup usia

Sebagian lagi menabung kebahagiaan


34
Dengan wallpaper anak kesayangan
Ia sunggingkan senyum di bibirnya,
Tanpa pernah memperdebatkan realita

--

Palmerah (Bag.2)

Setibanya ia dibawah,
Disambutlah ia dngan ojek pangkalan,
Dengan mata berbinar penuh harap,
Kan ada yang duduk di bangku belakangnya

Ada yang melakukannya demi pahala,


Ada pula yang sekedar untuk melepas dahaga
Para pedagang makanan kian merenung,
Sulit baginya temukan jawaban atas peliknya kehidupan,
Ia yang menjual makanan tapi tak jarang sulit makan,

Disaksikan para pengendara yang tidak sesenti pun bergerak,


Melepaskan jeritan-jeritan dari kuda besi mereka,
Mewarnai senja,
Menodai semesta,

35
Dengan suara seakan membentak,
Sempitnya ruang diperebutkan,
Segala celah tak pernah sia-sia

Anak kecil dan ibunya juga adik kecilnya dalam gendongan sang ibu,
Tak sedikitpun perduli dengan keributan itu,
Mereka sibuk memungut plastik, Styrofoam makanan setengah habis,
juga bungkus kopi instan
yang berserakan di tepi jalan

Dari palmerah, mereka menggenggam cita-cita


Berharap gemanya mampu menggedor
Gedung nusantara hingga Gedung kura-kura
Renungan Indonesia

Andai kalian mengerti,


Entah bagaimana mengungkapkannya,
Bagai berjalan terus tanpa henti,
Seperti menghisap mariyuana,
Tapi tak kunjung kehilangan kendali,
Seperti tersesat di tengah hutan,
Tanpa bala bantuan,
Tanpa Harapan,

36
Menanti kematian

Entah aku yang sudah mulai depresi, atau


Memang negeri ini sudah kehilangan empati

Pertumbuhan ekonomi kita sedang lesu,


Ujar presiden kita,
Dengan kemeja putih yang menjadi khasnya
Disaksikan jutaan pasang mata penuh pengharapan
Ya, harapan hadirnya keberpihakan
Yang mampu secepat kilat melepaskan mereka dari jeratan,
Kemiskinan

Tapi omong kosong apa itu!?


Kau yang berdasi tak pernah tau sulitnya mencari sebutir nasi
Kau yang berdasi hanya sibuk berdandan didepan televisi,
Merasa paling peduli

Kebanalan palsu yang kau berikan tak kunjung mengisi perut kosong kami,
Drama yang kalian tampilkan membuat kami muak,
Jas, dasi, safari, hanya alat untuk membodohi,
Debat tentang kekuasaamu merusak sel-sel otak kami,

37
Setelah terpilih, kami dicampakkan,
Dikubur realita, dipupuk penderitaan, yang kian subur di tanah tanpa harapan
Bernama
INDONESIA

--

Pancasilam

Butirmu ada lima,


Mengandung realita,
Mewakili cita-cita bangsa

Dulu kau gagah perkasa,


Membius pejuang muda,
Untuk memekikkan.
Serta mempertahankan kemerdekaan

Indonesia ada di dalam dada,


Bukan ada di Indahnya kata-kata

Tapi itu dulu,

38
Sebelum kegagahanmu diperalat
Untuk menghukum para bangsat,
Yang tidak sesuai denganmu kata mereka,

OMONG KOSONG!
Tak perlu kau undang burung garuda untuk melanggengkan kuasa.
Satu,
Kekuasaan yang maha esa

Dua,
Kemanusiaan yang batil dan biadab

Tiga,
Persatuan penguasa

Empat,
Kerakyatan yang dipimpin oleh khidmat kekuasaan dalam pencurian uang rakyat
yang diwakilkan

Lima
Kebatilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Kini kau menjadi pancasilam, tenggelam dalam kepalsuan pemimpinmu.

39
--

Untuk Bangsa(t) Indonesia

Demokrasi telah memfasilitasi,


Para pemimpin yang haus kursi,
Asal tidak lupa dengan janji
Pada mereka yang mempercayai

Tidak perlu manipulasi,


Rakyat Cuma minta bukti,
Pasti akan terpilih lagi

Tetapi jangan sesekali,


Kau coba khianati suara kami,

Tetapi kini,
Kau permainkan demokrasi
Demi hasrat memimpin lagi

Kekuasaan menutup mata hati


Berserikat kau halangi

40
Kompetisi kau hindarai
Oposisi kau lucuti
Demi kemenangan yang hakiki

Nawacita hanya mimpi


Pancasila hanya alat
Untuk merengkuh citra suci
Seakan pro rakyat

Kau ibarat bendi tanpa kuda,


Terlihat indah tapi tak terarah
Terperosok di jurang kepalsuan
Berdiri lantang bak pahlawan

Demi bangsa katamu, Demi bangsat kataku.

--

Jiwasrakah

41
Bancakan macam apalagi ini ?
Gunakanlah plat hitam, jangan plat merah
Jutaan rakyat berharap,
Menggantungkan hidupnya padamu,

Ada yang berharap segera mati agar mampu uang itu membiayai yang hidup
Ada yang bertaruh sedemikian besar untuk memastikan senyum anaknya tetap
terjaga,
Ada yang sekedar ingin tambah kaya, entah caranya tak masuk logika
Ada yang percaya hingga kepercayaan itu membunuhnya,

Tapi apa daya ketika jiwasrakah sudah bekerja,


Uang nasabah dianggap hibah,
Hingga ia leluasa berinvestasi,
Mempertebal kantong sendiri,
Tak perduli apa yang kan terjadi nanti,

Demi dan hanya demi membiayai segala ambisi


Melunaskan segala birahi
Menghadirkan senyum kepedulian palsu di bibir politisi,

Penuh percaya diri ia yakinkan dirinya,


Takkan ada yang perduli, toh negeri ini kaya,
42
Salahkah kami mengurasnya untuk kantong kami ?

Luar biasa,
Kau janjikan mereka padi, bahkan bijinya pun enggan kau beri
Tak mampu lunasi janji, kau berhutang lagi,
“Kelak kau kan menikmati” katanya,
Atau “Kelak kau kan segera mati” kataku.

--

Refleksi Kebangsaan

Adidaya orde baru telah diruntuhkan


Memaksa bangsa berbenah diri
Tak sedikit yang jadi korban
Ada yang kehilangan istri, suami, hingga si buah hati

43
Hari ini aku menjadi saksi
Negeri ini masih kokoh berdiri
Walau tak jarang di caci maki
Oleh bangsanya sendiri

Aku termenung di atas kebebasan demokrasi


inikah cita cita reformasi ?

Kulihat pembangunan semakin merajalela


Setiap gedung berlomba-lomba menyentuh cakrawala
Di tepi kali si miskin tak punya cita-cita
Direnggut kejamnya realita

Pencuri coklat mendekam di dalam teralis besi berkarat


Para Pejabat tertawa bahagia dengan jas ketat
Uang Rakyat terus menerus disikat
Yang kaya semakin kaya, yang miskin makin melarat

Media menjadi agen pecah belah


Merusak keberagaman yang indah
Demi mencari lembaran rupiah

44
Negeriku punya segudang masalah
tetapi aku percaya kekuatan sejarah
Kita pernah hadapi yang lebih parah
Bahkan banyak yang berdarah darah
Kita kan bangkit
bersama-sama merangkai rakit
walau itu pasti sakit
Bangsaku bangsa pemberani
Penjajah saja diusir pergi
Kini tinggal menikmati reformasi
tuk mencapai kesejahteraan yang hakiki

Inilah Realita, inilah Indonesia


Ah sudahlah

Ah sudahlah,
Kampusku memang membosankan,
Bosan dengan birokrat yang selalu arogan,
Tak kenal belas kasihan,
Menegakkan aturan hanya untuk kewibawaan,
Bukan dan jelas bukan untuk keadilan,
Ada yang tak mampu bayar semesteran,
Harus Taat Aturan Katanya!

45
Ada yang dilanda kesusahan
Harus Taat Aturan Katanya!
Berlindunglah kau dibalik aturan,
Sebab tak mampu kau temukan kebijaksanaan

Ah sudahlah,
Kampusku memang seperti kebun binatang,
Seluruhnya tunduk pada yang memberi makan,
Tak pernah terfikir tuk melawan
Selamanya menjadi peliharaan,
Senantiasa disaksikan rakyat yang tertawa melihat dagelan
Meski tetap setia menitip harapan
Asal lulus genap delapan, maka semakin dekat dengan impian,
Tak perduli ada yang kelaparan, tak perduli ada yang kesusahan

Ah sudahlah,
Mereka yang jadi perwakilan tidak perduli dengan kenyataan
Atau mungkin memang tidak berpersaan,
Yang eksekutif sibuk dengan titipan,
Tertawa Bersama birokrat atas segala permasalahan,
Memamerkan prestasi untuk mengaburkan persoalan
Mengaku pimpinan mahasiswa,
Tapi hobinya menutup mata,

46
Bahkan tak sempat ucap bela sungkawa,
Pada mereka yang menderita,
Barangkali mereka disibukkan dengan program kerja,
Keluar kota, keluar provinsi, keluar negeri, keluar benua, hingga keluar dari akal
sehat.

Ah sudahlah,
Yang diam dituduh apatis,
Yang melawan dituduh arogan
Aktivis dituduh pragmatis,
Mahasiswa ‘lain’ dianggap hilang idealis,
Kritik dituduh tanpa solusi
Kuberi solusi tak ada realisasi

Ada yang bertempur demi tujuan politis


Tak perduli keinginan populis,

Ah sudahlah,
Tulisanku sudah lama mati, dilahap nalar yang keji

--

47
Kesempurnaan Nihil

Gelap, tapi tidak hampa


Hitam, tapi tidak buruk rupa
Sebab putih tiada selamanya indah pula
Pun cahaya rasa-rasanya bukanlah pelipur lara

Sulit melangkah di kegelapan


Tapi nihilkah cahaya di gelapnya malam
Apakah absennya cahaya merupakan pertanda kehampaan ?
Tidak, Tidak, Tidak, Bukan itu yang kupercaya selama ini

Tiada eksistensi kesempurnaan di dunia yang fana ini


Tiada pula yang absolut
Selalu ada celah menembus ketidakpastian

48

Anda mungkin juga menyukai