--
1
Hampa, bagai bukan manusia,
Ia berjalan tanpa menapak,
Tak bergeming mesti ditiup badai,
Jelas kusaksikan angina itu melaluinya
Seolah ia tak ada, tak mampu diraba, tak mampu dirasa
Menuju tak mampu dilihat
2
Manusia
--
3
Racun yang menodai peradaban,
Ingin aku memusnahkannya,
Walau tak jarang hanya dengan bergumam,
Mengutuk dalam kalbu, tak sempat diutarakan
4
Dengan mencoba menjadi manusia
Setidaknya ilahi menyaksikan dan mengangguk setuju
Kala ku katakan dengan lantang
--
5
Kemarau yang beralih menjadi penghujan pun tak mampu puaskan dahaga,
Karena sumur telah tertutup papan,
Jangankan air,
Cahaya pun tak mampu menembusnya
Tetapi,
Biarkanlah kebaikan menjadi sungai,
Mengalir dengan lembut,
Memenuhi dan menyesakkan samudera lautan bebas,
Dan,
Biarkanlah kejahatan,
Menjadi sampah kecil yang mengapung diatasnya,
Yang kan lenyap dibakar surya atau merasuk ke busuknya lautan
6
--
Nihilisme
Gott is Tot!
Tegasnya penuh keyakinan
Lagaknya tak ubahnya tuhan
Tentu versi yang mahir bertutur Jerman
Bak nihilis tanpa pegangan
Jeritan penderitaan dan kekecawaan
Bergema,
7
Seantero dunia terpongah,
Kadang melahirkan tuhan,
Kadang mencaci tuhan,
Kadang justru menguatkan tuhan,
Tahukah engkau ?
Di tempatku tinggal tak ada beton menjulang,
Ditumpuk hingga menyentuh awan,
Kufikir hanya gunung yang mampu melakukannya
8
Disini kami harus menjemput air,
Kudengar di tempatmu sana,
Justru Air yang mendatangimu,
Di tanah kami,
Bersuara dilarang,
9
Memakan aspal yang membelah gunung-gunung kami
--
Bumi Bercerita di Kota
Ya,
10
Tangisan pilu cucu adam yang saling bersahut-sahutan
Kemampuan untuk merasakan,
Getaran penderitaan seluruh yang bersemayam di alam raya
--
Kontemplasi
11
Raga terasa begitu lesu
Sejalan dengan suasana kalbu,
Yang sendu membiru tak menentu,
Sebab,
Tak mampu lagi ia temukan jawaban
Atas kegelisahannya, atas keresahannya, atas kepiluannya,
dan atas kebingungannya
12
Biarkan waktu berhenti sejenak,
Biarkan manusia duduk diam saling tatap
Percuma fikirku
Meskipun kutemukan tuhan itu, tetap ia akan salahkan setan
--
13
Apalah Aku
Apalah aku,
Yang selalu mencoba lari dan bersembunyi,
Tetapi selalu diketahui
Apalah aku,
14
Yang mengubur diri dalam lautan memori
Tetapi semakin kehilangan jati diri
Apalah aku,
Tak mampu batasi mimpi indahku,
Tertipu oleh kalutnya kalbu
Yang tak pernah berhenti memikirkanmu
Pengantar Tidur
15
Rasa tiada pernah berubah
Tetap setia beramah tamah
Walau kini telah berbeda
Hanya cinta penghapus logika
16
Hujan
17
Dipinggir trotoar nyaris hancur khas perkotaan,
Harus basah tersiram percikan
para pengendara yang enggan memperdulikan
Tapi,
Tiada pernah keliru rasanya untuk sekedar menyimpan rindu,
Meski Guntur dan Kilat bersikeras menghalangi,
--
18
Pertemuan
19
Melekat,
Enggan dipisahkan,
Disinari cahaya lampu redup,
--
20
Kelalaian
Lalai memanusiakan,
Kemudian sibuk,
Membinasakan
21
Hidup dalam kelalaian,
Aku,
Sungguh tak tega turut membiarkan,
Kebodohan dan kebanalan
diatas bumi manusia yang tak mampu terelakkan
--
Keheningan
22
Percayalah,
Bahwa selalu ada keheningan yang berisik,
Bahwa selalu ada yang beradu argument dalam sunyi,
Bahwa selalu ada teriakan perlawanan tanpa bunyi,
Takkan telingamu,
Mampu tangkap itu,
Biarkanlah,
Biarkan,
Ia mengalir,
Diantara selat dan sekat
Yang penuh dengan tanya,
Tanpa dihadiri oleh
23
Jawab.
--
Sabar
Bukankah melelahkan ?
Menyaksikan sekuntum mawar,
Dua puluh empat jam tanpa henti.
24
Tanpa kau saksikan pun,
Ia kan mekar,
Dan,
Mekarnya
Pastilah menjanjikan
Keindahan
25
Menyentuh cacing penuh lendir,
Atau bahkan untuk sekedar melihatnya,
Kau tak sudi.
Tapi kelak,
Akan kau kagumi dia,
Kala keluar dengan perlahan dari kepompong
Kau terpongah tak percaya
Hening,
tak ada suara, tak ada derap langkah,
tak ada rima, tak ada irama
Kosong
Tak ada isi, tak ada padat,
tak ada cair, tak ada gas
26
Letih,
Tak ada tindak, tak ada keringat
Tak ada upaya, tak ada waktu
Marah,
Tak ada sebab, tak ada penyebab
Tak ada nusabab, tak ada jalan keluar
Sepi,
Tak ada aku, Tak ada kamu
Tak ada kita
Tanpa Harap
Disini,
Hanya ada kemunafikan penguasa,
Baiknya ku tidur saja,
27
Berusaha tegar melihat kezolimannya,
Aku ya aku!
Aku tidak seperti kalian
Aku tidak seperti orang-orang itu
Tapi,
28
Aku juga bukan lagi aku
--
Pustaka
29
Tak ingin ia sekedar menjadi beban peradaban.
--
Buku
30
Membaca dan menikmatinya.
Takut
Sewaktu-waktu akan tertangkap basah,
Tersandera oleh suara-suara sumbang wakil rakyat,
31
Fikirmu kami senang dengan apa yang kau bangun ?
Demokrasi TAI KUCING
Ya! T-A-I!
Kau tidak buta huruf kan ?
Seperti jutaan kami yang lain!
32
Tentang demokrasi yang memihak pada kami!
Bukan pada pejabat berpakaian rapi,
Lengkap dengan dasi,
Ya, mati dalam gubuk reot dibawah jalan layang megah yang kau bangun!
Demi Bangsa dan Negara
Demi Indonesia Raya
--
Palmerah
Di stasiun palmerah,
33
Tua bangka hingga remaja tanggung terus melangkah
Ada yang membawa barang baru di kantung plastik daur ulang di tangannya,
Ada yang kesulitan membawa tas kerjanya dengan isi beban yang berat,
Atau barangkali beban di hati dan fikirannya yang terlampau berat dan
menyakitkan
Pelan tapi pasti, menggerus jati dirinya
--
Palmerah (Bag.2)
Setibanya ia dibawah,
Disambutlah ia dngan ojek pangkalan,
Dengan mata berbinar penuh harap,
Kan ada yang duduk di bangku belakangnya
35
Dengan suara seakan membentak,
Sempitnya ruang diperebutkan,
Segala celah tak pernah sia-sia
Anak kecil dan ibunya juga adik kecilnya dalam gendongan sang ibu,
Tak sedikitpun perduli dengan keributan itu,
Mereka sibuk memungut plastik, Styrofoam makanan setengah habis,
juga bungkus kopi instan
yang berserakan di tepi jalan
36
Menanti kematian
Kebanalan palsu yang kau berikan tak kunjung mengisi perut kosong kami,
Drama yang kalian tampilkan membuat kami muak,
Jas, dasi, safari, hanya alat untuk membodohi,
Debat tentang kekuasaamu merusak sel-sel otak kami,
37
Setelah terpilih, kami dicampakkan,
Dikubur realita, dipupuk penderitaan, yang kian subur di tanah tanpa harapan
Bernama
INDONESIA
--
Pancasilam
38
Sebelum kegagahanmu diperalat
Untuk menghukum para bangsat,
Yang tidak sesuai denganmu kata mereka,
OMONG KOSONG!
Tak perlu kau undang burung garuda untuk melanggengkan kuasa.
Satu,
Kekuasaan yang maha esa
Dua,
Kemanusiaan yang batil dan biadab
Tiga,
Persatuan penguasa
Empat,
Kerakyatan yang dipimpin oleh khidmat kekuasaan dalam pencurian uang rakyat
yang diwakilkan
Lima
Kebatilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
39
--
Tetapi kini,
Kau permainkan demokrasi
Demi hasrat memimpin lagi
40
Kompetisi kau hindarai
Oposisi kau lucuti
Demi kemenangan yang hakiki
--
Jiwasrakah
41
Bancakan macam apalagi ini ?
Gunakanlah plat hitam, jangan plat merah
Jutaan rakyat berharap,
Menggantungkan hidupnya padamu,
Ada yang berharap segera mati agar mampu uang itu membiayai yang hidup
Ada yang bertaruh sedemikian besar untuk memastikan senyum anaknya tetap
terjaga,
Ada yang sekedar ingin tambah kaya, entah caranya tak masuk logika
Ada yang percaya hingga kepercayaan itu membunuhnya,
Luar biasa,
Kau janjikan mereka padi, bahkan bijinya pun enggan kau beri
Tak mampu lunasi janji, kau berhutang lagi,
“Kelak kau kan menikmati” katanya,
Atau “Kelak kau kan segera mati” kataku.
--
Refleksi Kebangsaan
43
Hari ini aku menjadi saksi
Negeri ini masih kokoh berdiri
Walau tak jarang di caci maki
Oleh bangsanya sendiri
44
Negeriku punya segudang masalah
tetapi aku percaya kekuatan sejarah
Kita pernah hadapi yang lebih parah
Bahkan banyak yang berdarah darah
Kita kan bangkit
bersama-sama merangkai rakit
walau itu pasti sakit
Bangsaku bangsa pemberani
Penjajah saja diusir pergi
Kini tinggal menikmati reformasi
tuk mencapai kesejahteraan yang hakiki
Ah sudahlah,
Kampusku memang membosankan,
Bosan dengan birokrat yang selalu arogan,
Tak kenal belas kasihan,
Menegakkan aturan hanya untuk kewibawaan,
Bukan dan jelas bukan untuk keadilan,
Ada yang tak mampu bayar semesteran,
Harus Taat Aturan Katanya!
45
Ada yang dilanda kesusahan
Harus Taat Aturan Katanya!
Berlindunglah kau dibalik aturan,
Sebab tak mampu kau temukan kebijaksanaan
Ah sudahlah,
Kampusku memang seperti kebun binatang,
Seluruhnya tunduk pada yang memberi makan,
Tak pernah terfikir tuk melawan
Selamanya menjadi peliharaan,
Senantiasa disaksikan rakyat yang tertawa melihat dagelan
Meski tetap setia menitip harapan
Asal lulus genap delapan, maka semakin dekat dengan impian,
Tak perduli ada yang kelaparan, tak perduli ada yang kesusahan
Ah sudahlah,
Mereka yang jadi perwakilan tidak perduli dengan kenyataan
Atau mungkin memang tidak berpersaan,
Yang eksekutif sibuk dengan titipan,
Tertawa Bersama birokrat atas segala permasalahan,
Memamerkan prestasi untuk mengaburkan persoalan
Mengaku pimpinan mahasiswa,
Tapi hobinya menutup mata,
46
Bahkan tak sempat ucap bela sungkawa,
Pada mereka yang menderita,
Barangkali mereka disibukkan dengan program kerja,
Keluar kota, keluar provinsi, keluar negeri, keluar benua, hingga keluar dari akal
sehat.
Ah sudahlah,
Yang diam dituduh apatis,
Yang melawan dituduh arogan
Aktivis dituduh pragmatis,
Mahasiswa ‘lain’ dianggap hilang idealis,
Kritik dituduh tanpa solusi
Kuberi solusi tak ada realisasi
Ah sudahlah,
Tulisanku sudah lama mati, dilahap nalar yang keji
--
47
Kesempurnaan Nihil
48