Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
OLEH :
(KELOMPOK I)
Riwayat pengobatan :
Insulin 3 X 4 U
Metformin 3 X 500 mg
Amlodipin 1 X 5 mg
Furosemid 2 X 40 mg
Fenofibrat 1 X 100 mg
Ranitidin 2 X 300 mg
Kalitake (kalsium polistirena sulfonat) 3 X 15 g
CaCO3 3 X 500 mg
Suplemen Fe 1 X 1 tablet
Asam folat 1 X 1 tablet
Vitamin B kompleks 1 X 1 tablet
Allopurinol 3 X 100 mg
Meloxicam 1 X 15 mg (jika perlu)
Injeksi triamsinolon asetat 1 X 40 mg (tiap bulan)
Tanda vital :
BB : 80 kg
TB : 168 cm
TD : 143 / 90 mmHg (Normal 120/90 mmHg)
1. Patofisiologi Penyakit
a. Hipertensi
Patofisiologi terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II
dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE memegang
peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung
angiotensinogen yang diproduksi di hati. Selanjutnya oleh hormon renin akan diubah
menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah
menjadi angiotensin II. (Anggraini, 2009).
Renin disintesis dan disimpan dalam bentuk inaktif yang disebut prorenin
dalam sel-sel jukstaglomerular (sel JG) pada ginjal. Sel JG merupakan modifikasi
dari sel-sel otot polos yang terletak pada dinding arteriol aferen tepat di proksimal
glomeruli. Bila tekanan arteri menurun, reaksi intrinsik dalam ginjal itu sendiri
menyebabkan banyak molekul protein dalam sel JG terurai dan melepaskan renin.
Angiotensin II adalah vasokonstriktor yang sangat kuat dan memiliki efek-efek lain
yang juga mempengaruhi sirkulasi. Selama angiotensin II ada dalam darah, maka
angiotensin II mempunyai dua pengaruh utama yang dapat meningkatkan tekanan
arteri. Pengaruh pertama, yaitu vasokonstriksi, timbul dengan cepat. Vasokonstriksi
terjadi terutama pada arteriol dan sedikit lemah pada vena. Cara kedua dimana
angiotensin II meningkatkan tekanan arteri adalah dengan bekerja pada ginjal untuk
menurunkan ekskresi garam dan air.
Vasopresin, disebut juga antidiuretic hormone (ADH), bahkan lebih kuat
daripada angiotensin sebagai vasokonstriktor, jadi kemungkinan merupakan bahan
vasokonstriktor yang paling kuat dari ubuh. Bahan ini dibentuk di hipotalamus tetapi
diangkut menuruni pusat akson saraf ke glandula hipofise posterior, dimana akhirnya
disekresi ke dalam darah. Aldosteron, yang disekresikan oleh sel-sel zona
glomerulosa pada korteks adrenal, adalah suatu regulator penting bagi reabsorpsi
natrium (Na+) dan sekresi kalium (K+) oleh tubulus ginjal. Tempat kerja utama
aldosteron adalah pada sel-sel prinsipal di tubulus koligentes kortikalis. Mekanisme
dimana aldosteron meningkatkan reabsorbsi natrium sementara pada saat yang sama
meningkatkan sekresi kalium adalah dengan merangsang pompa natriumkalium
ATPase pada sisi basolateral dari membran tubulus koligentes kortikalis. Aldosteron
juga meningkatkan permeabilitas natrium pada sisi luminal membran. (Guyton,
1997).
b. Diabetes Melitus (DM)
Diabetes melitus yang merupakan penyakit dengan gangguan pada
metabolisme karbohidrat, protein dan lemak karena insulin tidak dapat bekerja secara
optimal, jumlah insulin yang tidak memenuhi kebutuhan atau keduanya. Gangguan
metabolisme tersebut dapat terjadi karena 3 hal yaitu pertama karena kerusakan pada
sel-sel beta pankreas karena pengaruh dari luar seperti zat kimia, virus dan bakteri.
Penyebab yang kedua adalah penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas dan
yang ketiga karena kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer (Fatimah, 2015).
Insulin yang disekresi oleh sel beta pankreas berfungsi untuk mengatur kadar
glukosa darah dalam tubuh. Kadar glukosa darah yang tinggi akan menstimulasi sel
beta pankreas untuk mengsekresi insulin (Hanum, 2013). Sel beta pankreas yang
tidak berfungsi secara optimal sehingga berakibat pada kurangnya sekresi insulin
menjadi penyebab kadar glukosa darah tinggi. Penyebab dari kerusakan sel beta
pankreas sangat banyak seperti contoh penyakit autoimun dan idiopatik (NIDDK,
2014).
Gangguan respons metabolik terhadap kerja insulin disebut dengan resistensi
insulin. Keadaan ini dapat disebabkan oleh gangguan reseptor, pre reseptor dan post
reseptor sehingga dibutuhkan insulin yang lebih banyak dari biasanya untuk
mempertahankan kadar glukosa darah agar tetap normal. Sensitivitas insulin untuk
menurunkan glukosa darah dengan cara menstimulasi pemakaian glukosa di jaringan
otot dan lemak serta menekan produksi glukosa oleh hati menurun. Penurunan
sensitivitas tersebut juga menyebabkan resistensi insulin sehingga kadar glukosa
dalam darah tinggi (Prabawati, 2012).
Kadar glukosa darah yang tinggi selanjutnya berakibat pada proses filtrasi
yang melebihi transpor maksimum. Keadaan ini mengakibatkan glukosa dalam darah
masuk ke dalam urin (glukosuria) sehingga terjadi diuresis osmotik yang ditandai
dengan pengeluaran urin yang berlebihan (poliuria). Banyaknya cairan yang keluar
menimbulkan sensasi rasa haus (polidipsia). Glukosa yang hilang melalui urin dan
resistensi insulin menyebabkan kurangnya glukosa yang akan diubah menjadi energi
sehingga menimbulkan rasa lapar yang meningkat (polifagia) sebagai kompensasi
terhadap kebutuhan energi. Penderita akan merasa mudah lelah dan mengantuk jika
tidak ada kompensasi terhadap kebutuhan energi tersebut (Hanum, 2013).
c. Osteoarthritis
Osteoarthritis berkembang dengan pengaruh dari interaksi beberapa faktor
dan hal ini merupakan hasil dari interaksi antara sistemik dan faktor lokal. Penyakit
ini merupakan hasil dari beberapa kominasi faktor resiko, diantaranya yaitu usia
lanjut, mal alignmen lutut, obesitas, trauma, genetik, ketidak seimbangan proses
fisiologis dan peningkatan kepadatan tulang. Bukti bahwa obesitas itu sindrom yang
komplek yaitu adannya ketidak normalan aktivasi jalur endokrin dan jalur pro
inflamasi yang mengakibatkan perubahan kontrol makanan,ekspansi lemak, dan
perubahan metabolik (Heidari, 2011).
Selain itu kasus Osteoarthritis juga disebabkan oleh faktor kelainan struktural
yang ada di sekitar persendian. Pada kartilago, terdapat kerusakan yang diakibatkan
oleh cacat kolagen tipe 2 dan beberapa kondropati lainnya, dimana mutasi akan
mempengaruhi protein pada kartilago yang terkait, sehingga menyebabkan
osteoarthritis berkembang semakin cepat. Pada struktur ligamen, terdapat kerusakan
pada ACL atau cedera gabungan yang melibatkan ligamen ko lateral, sehingga
ndapat meningkatkan resiko kehilangan tulang rawan. Kemudian pada struktur
meniskus, terdapat ekskrusi meniskus, yaitu kondisi hilangnya tulang rawan yang
diakibatkan oleh penyempitan ruang sendi dalam waktu yang lama dan terabaikan,
hal tersebut juga merupakan penyebab utama OA. Kemudian pada struktur tulang,
terdapat trauma tulang atau predispoisisi yang menyebabkan tekanan menjadi
abnormal (Mcgonagle et al, 2010).
2. Terapi Penyakit
a. Hipertensi
Penatalaksanaan hipertensi meliputi modifikasi gaya hidup namun terapi
antihipertensi dapat langsung dimulai untuk hipertensi derajat 1 dengan penyerta dan
hipertensi derajat 2. Penggunaan antihipertensi harus tetap disertai dengan modifikasi
gaya hidup.4 Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah:
1) Target tekanan darah <150/90, untuk individu dengan diabetes, gagal ginjal, dan
individu dengan usia > 60 tahun <140/90
2) Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler
Selain pengobatan hipertensi, pengobatan terhadap faktor resiko atau kondisi
penyerta lainnya seperti diabetes mellitus atau dislipidemia juga harus dilaksanakan
hingga mencaoai target terapi masing-masing kondisi.
Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi nonfakmakologis dan farmakologis.
Terpai nonfarmakologis harus dilaksanakan oleh semua pasien hipertensi dengan
tujuan menurunkan tekanan darah dan mengendalikan faktor-faktor resiko penyakit
penyerta lainnya.
Modifikasi gaya hidup berupa penurunan berat badan (target indeks massa
tubuh dalam batas normal untuk Asia-Pasifik yaitu 18,5-22,9 kg/m2), kontrol diet
berdasarkan DASH mencakup konsumsi buah-buahan, sayur-sayuran, serta produk
susu rendah lemak jenuh/lemak total, penurunan asupan garam dimana konsumsi
NaCl yang disarankan adalah < 6 g/hari. Beberapa hal lain yang disarankan adalah
target aktivitas fisik minimal 30 menit/hari dilakukan paling tidak 3 hari dalam
seminggu serta pembatasan konsumsi alkohol. Terapi farmakologi bertujuan untuk
mengontrol tekanan darah hingga mencapai tujuan terapi pengobatan. Berdasarkan
JNC VIII pilihan antihipertensi didasarkan pada ada atau tidaknya usia, ras, serta ada
atau tidaknya gagal ginjal kronik. Apabila terapi antihipertensi sudah dimulai, pasien
harus rutin kontrol dan mendapat pengaturan dosis setiap bulan hingga target tekanan
darah tercapai. Perlu dilakukan pemantauan tekanan darah, LFG dan elektrolit.1,4
Jenis obat antihipertensi:4
1) Diuretik
Obat-obatan jenis diuretic bekerja dengan mengeluarkan cairan tubuh
(lewat kencing), sehingga volume cairan tubuh berkurang mengakibatkan daya
pompa jantung menjadi lebih ringan dan berefek pada turunnya tekanan darah.
Contoh obat-obatan ini adalah: Bendroflumethiazide, chlorthizlidone,
hydrochlorothiazide, dan indapamide.
2) ACE-Inhibitor
Kerja obat golongan ini menghambat pembentukan zat angiotensin II (zat
yang dapat meningkatkan tekanan darah). Efek samping yang sering timbul
adalah batuk kering, pusing sakit kepala dan lemas. Contoh obat yang tergolong
jenis ini adalah Catopril, enalapril, dan lisinopril.
3) Calsium channel blocker
Golongan obat ini berkerja menurunkan menurunkan daya pompa jantung
dengan menghambat kontraksi otot jantung (kontraktilitas). Contoh obat yang
tergolong jenis obat ini adalah amlodipine, diltiazem dan nitrendipine.
4) ARB
Kerja obat ini adalah dengan menghalangi penempelan zat angiotensin II
pada reseptornya yang mengakibatkan ringannya daya pompa jantung. Obat-
obatan yang termasuk golongan ini adalah eprosartan, candesartan, dan losartan.
5) Beta blocker
Mekanisme obat antihipertensi ini adalah melalui penurunan daya pompa
jantung. Jenis obat ini tidak dianjurkan pada penderita yang telah diketahui
mengidap gangguan pernafasan seperti asma bronchial. Contoh obat yang
tergolong ke dalam beta blocker adalah atenolol, bisoprolol, dan beta metoprolol.
c. Osteoarthritis
Terapi utama adalah mengelola gejala, mengurangi nyeri dan disabilitas,
meningkatkan fungsi sendi dan kestabilan sendi (Anwer S., 2014). Pilihan terapi
terdiri dari terapi farmakologi dan non-farmakologi yang dapat dikombinasi.
1) Tatalaksana Non-farmakologi
a) Latihan dan terapi manual
Latihan dan aktivitas fisik sangat direkomendasikan untuk mengurangi
nyeri dan memperbaiki fungsi sendi. Latihan Latihan fisik dapat berupa latihan
aerobik dan bisa dilakukan di air (water based exercise) dan di darat (land
based exercise). Latihan di darat dapat berupa bersepeda dan berjalan.
Sedangkan untuk di air bisa berupa berenang dan berjalan di dalam air. Latihan
di air biasa digunakan pada pasien OA yang sulit melakukan latihan di darat
(Rahmann A.E., 2010)
Latihan fisik sering dikombinasi dengan terapi manual yang terdiri dari
mobilisasi aktif dan pasif sendi, peregangan (stretching), dan masase jaringan
lunak. Tujuan terapi manual adalah mengurangi nyeri, menormalisasi
biomekanik sendi dan jaringan, dan meningkatkan fungsi sendi (Jones B,
Covey C dan Sineath MJ, 2015)
b) Penurunan berat badan
Pasien dengan indeks massa tubuh lebih dari 25 kg/m2 harus didorong
untuk menurunkan berat badannya. Hal ini dilakukan dengan membatasi diet
tinggi kalori yang dikombinasikan dengan latihan fisik (Jones B, Covey C dan
Sineath MJ, 2015).
c) Braces dan orthosis
Dapat digunakan untuk memperbaiki gait dan membantu meringankan
beban lutut sehingga mengurangi nyeri. Namun brace dan orthosis tidak dapat
menggantikan fungsi latihan fisik. Jenis yang sering digunakan adalah valgus
brace dan lateral wedge insoles. Penggunaan valgus knee brace dan lateral
wedge insoles sama-sama dapat mengurangi nyeri dan memperbaiki gambaran
radiologis pada pasien OA, di mana valgus knee brace hasilnya lebih baik
(Lespasio MJ, dkk., 2017).
d) Elektroterapi
Modalitas eletroterapi meliputi TENS (transcutaneous electrical nerve
stimulation) dan neuromuscular electrical stimulation (NEMS). Pada OA lutut,
modalitas ini dapat menstimulasi otot quadriceps, sehingga meredakan nyeri
dan memperkuat otot tersebut (Lespasio MJ, dkk., 2017).
e) Pembedahan
Tindakan pembedahan dapat dipertimbangkan jika pasien tidak
membaik dengan tatalaksana konservatif dan modalitas nonfarmakologi.
Pertimbangan kualitas hidup pasien yang makin menurun juga dapat menjadi
indikasi. Pilihan operasi pada OA lutut meliputi artroskopi, perbaikan
kartilago, dan artroplasti (Lespasio MJ, dkk., 2017).
2) Tatalaksana Farmakologi
Mengurangi rasa nyeri sangat penting dalam penanganan OA. Obat
analgesik berbagai jenis seperti obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS), opiat,
dan analgesik lain non-opiat. OAINS menghambat biosintesis prostaglandin yang
terbentuk saat proses radang. Biosintesis prostaglandin dibantu oleh enzim
siklooksigenase, yaitu siklooksigenase-I (COX-1) dan siklooksigenase-II (COX-
II). Dosis terapeutik OAINS mengurangi biosintesis prostaglandin dengan
menghambat kerja enzim siklooksigenase. Terapi OAINS terdiri dari penghambat
COX nonspesifik dan penghambat COX-II spesifik. Contoh penghambat COX
nonspesifik adalah ibuprofen, diklofenak, meloxicam, dan aspirin, serta
penghambat COX-II selektif contohnya celecoxib (Vaishya R, dkk., 2016).
Analgesik lain bukan turunan opiat dan sering digunakan adalah
acetaminophen/ paracetamol. Obat ini efektif meredakan nyeri OA lutut tetapi
masih kurang efisien dibandingkan OAINS.10 Namun, efek sampingnya lebih
sedikit dibandingkan OAINS (Vaishya R, dkk., 2016).
Opiat merupakan turunan opium yang memiliki kemampuan analgesik
dengan menghambat langsung transmisi nosiseptif. Opiat efektif meredakan nyeri
OA lutut, namun tidak ada perbedaan signifikan antara efikasi opiat- parasetamol
dan OAINS. Kombinasi OAINS dengan opiat- parasetamol terbukti efektif jika
terapi tunggal OAINS tidak berhasil. Jika pasien menunjukkan respons positif,
terapi kombinasi opiat–parasetamol dan OAINS dapat digunakan untuk
mempertahankan kondisi tanpa nyeri (Vaishya R, dkk., 2016).
Selain ketiga golongan analgesik di atas, terdapat golongan nutraceutical,
yang merujuk pada makanan atau suplemen makanan yang memiliki keuntungan
kesehatan. Contoh untuk OA yang paling sering adalah glucosamine dan
chondroitin (Vaishya R, dkk., 2016).
a) Injeksi Intraartikular
Injeksi intraartikular dibagi dalam tiga jenis, yaitu:
1) Viskosuplementasi dengan hyaluronic acid (HA)
HA adalah glikosaminoglikan alami dan merupakan komponen
cairan sinovial dan matriks kartilago. Cairan sinovial dengan HA normal
berfungsi pelumas dan peredam kejut (shock absorber). Injeksi HA
diperkirakan bisa mengembalikan viskoelastisitas cairan sendi lutut,
sehingga dapat memperbaiki fungsi sendi lutut yang terkena OA. Selain itu,
HA juga dipercaya dapat mengurangi keradangan sinovial, melindungi erosi
kartilago, dan meningkatkan produksi HA (Ayhan E, dkk., 2014).
Pemberian viskosuplemen ini juga paling efektif jika diberikan pada
OA tahap awal (mild-moderate). Pasien merasakan perbaikan gejala pada
viskosuplementasi.
2) Kortikosteroid intra-artikular
Terapi ini sudah lama digunakan sebagai salah satu pilihan untuk
meredakan nyeri dan memperbaiki fungsi sendi dalam jangka pendek
(Ayhan E, dkk., 2014).
3) Platelet-rich plasma
Injeksi platelet-rich plasma (PRP) sering disebut sebagai injeksi
regeneratif. Konsentrat platelet diaktivasi dengan penambahan kalsium
klorida dan menghasilkan pembentukan gel platelet dan mengeluarkan
growth factors (GF) dan molekul bioaktif. Dengan demikian, platelet secara
aktif berpartisipasi dalam proses penyembuhan dengan memberikan
spektrum GF yang luas ke lokasi cedera dan merangsang kondrogenesis,
bone remodelling, proliferasi, angiogenesis, dan antiinflamasi (Ayhan E,
dkk., 2014).
2) Problem 2
Rekomendasikan ke dokter mengenai pemberian obat furosemide yang
seharusnya tidak boleh diberikan kepada pasien penderita DM. Alternatifnya,
tetap menggunakan amlodipin sebagai pengobatan pertama untuk obat
hipertensinya.
3) Problem 3
Rekomendasikan ke dokter mengenai pemberian obat Ranitidine yang
melebihi dosis maksimum yaitu 2x300 mg seharusnya pemberiannya yaitu
2x150 mg atau 1x300 mg.
4. Kategori DRP
Dilanjutkan/
No. Terapi Indikasi DRP Alasan
Dihentikan
Karena riwayat pasien bukan
DM tipe 1 serta tidak ada hasil
Penggunaan lab. yang menunjukkan kadar
1. Insulin DM Tipe 1 obat kurang Dihentikan gula pasien. Insulin dengan
tepat beberapa obat seperti allopurinol
dapat menyebabkan
hiperglikemia (Asyrorsh, 2018)
Karena metformin meruapakan
pilihan pertama untuk
2. Metformin DM Tipe 2 - Dilanjutkan
pengobatan DM tipe 2 (Rida
Fradifta, 2019).
Karena amlodipin dijadikan
pilihan yang tepat dan
TD : 143 / 90
3. Amlodipin - Dilanjutkan terjangkau oleh pasien hipertensi
mmHg
(Koda-Kimble dan Young,
2001).
Pasien mengalami DM tidak
ccocok diberikan obat golongan
Reaksi obat
diuretic hemat kalium. Karena
4. Furosemid Hipertensi yang tidak Dihentikan
dapat mempengaruhi kadar gula
dikehendaki
pasien (Koda-Kimble dan
Young, 2001)
Obat yang ada dalam resep tidak
Penggunaan
Kolesterol/ sesuai dengan indikasi keluhan
5. Fenofibrat obat tanpa Dihentikan
Trigliserida penyakit pasien (Elisa Mayasari,
indikasi
2015).
Dosis obat yang diberikan terlalu
besar, diatas dosis maksimum
hal ini dapat berakibat fatal.
Mual dan Dosis Interaksi antara metformin dan
6. Ranitidin Dihentikan
Muntah terlalu besar Ranitidin dapat menyebabkan
peningkatan Efek dari
Metformin (Rida Fradifta,
2019).
Kalitake
Penggunaan
(kalsium Gangguan Pasien tidak menderita gangguan
7. obat tanpa Dihentikan
polistirena gagal ginjal ginjal (Elisa Mayasari, 2015).
indikasi
sulfonat)
8. CaCO3 Maaq/Asam Gagal Dihentikan Karena tablet CaCo3 sudah tidak
lambung menerima diperjualkan dipasaran dan
sudah tidak tersedia di pasaran.
CaCO3 berinteraksi dengan
Obat Allopurinol yaitu mengakibatkan
perubahan pada kondisi klinis
(Tria Novia, 2016).
Untuk mengatasi anemia karena
Suplemen
9. Mudah capek - Dilanjutkan mudah capek (Koda-Kimble dan
Fe
Young, 2001).
Penggunaan Obat yang ada dalam resep tidak
Suplemen Ibu
10. Asam Folat obat tanpa Dihentikan sesuai dengan indikasi keluhan
Hamil
indikasi pasien (Yardi Sibi, dkk., 2018).
Karena pasien mengalami
riwayat DM 8 th yang dimana
Vitamin B
11. Vitamin Saraf - Dilanjutkan Vit.B Kompleks berfungsi untuk
Kompleks
saraf pada pasien penderita DM
(Tria Novia, 2016).
Membantu kecepatan terapi utuk
12. Allopurinol Osteoarthritis - Dilanjutkan
pasien OA (Tria Novia, 2016)..
Obat golongan NSAID yang
menunjukkan kemampuan
13. Meloxicam Osteoarthritis - Dilanjutkan secara signifikan untuk
penderita OA (Tria Novia,
2016).
Injeksi Penggunaan Pasien tidak mengalami alergi
14. triamsinolon Radang/Alergi obat tanpa Dihentikan (Koda-Kimble dan Young,
asetat indikasi 2001).
5. Tujuan Terapi
a. Edukasi kepada pasien dan perawat/keluarga.
b. Meringankan nyeri dan kekakuan.
c. Memelihara dan meningkatkan mobilitas (pegerakan) sendi.
d. Membatasi gangguan fungsional.
e. Memelihara dan meningkatkan kualitas hidup.
Erlisa Mayasari. 2015. Analisis Potensi Interaksi Antidiabetik Injeksi Insulin Pada
Peresepan Pasien Rawat Jalan Peserta Askes Rumah Sakit Dokter Soedarso
Pontianak Periode April – Juni 2013. Universitas Tanjung Pura : Pontianak.
Koda-Kimble dan Young. 2001. Appleid Therapeutics The Clinical Use Of Drugs. Wolters
Kluwer, Universitas San Fransisco : California.
Rida Pradifta, Ilham Alifiar Dan Maritsa Nur Fatwa. 2019. Kajian Interaksi Obat
Antidiabetik Dengan Obat Lain Pada Pasien Diabetes Mellitus Rawat Inap Di
Rsud Dr. Soekardjo Tasikmalaya . Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bakti Tunas
Husada : Tasikmalaya.
Sleh Asyrorsh. 2018. Analisis Potensi Interaksi Antidiabetik Injeksi Insulin Pada
Peresepan Pasien Rawat Jalan Peserta Askes Rumah Sakit Dokter Soedarso
Pontianak. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim : Malang.
Tria Novia. 2016. Evaluasi Interaksi Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien Rawat
Inap Di Bangsal Cempaka RSUD Panembahan Senopati Bantul Periode Agustus
2015. Universitas Sanata Dharma : Yogyakarta.
Yardi Saibi, Delina Hasan Dan Verona Shaqila. 2018. Potensi Interaksi Obat Pada Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2 Di Rumah Sakit X Tangerang Selatan. UIN Syarif
Hadayatullah : Jakarta.