Anda di halaman 1dari 9

TUGAS MANAJEMEN PASCA PANEN

STANDARDISASI DAN INSPEKSI PRODUK PERTANIAN

Oleh

Agus Hermansyah
No. BP. 1921122003

JURUSAN TEKNIK PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2019
STANDARDISASI DAN INSPEKSI PRODUK PERTANIAN

1. Pendahuluan
Menjelang pelaksanaan liberalisasi di sektor industri dan perdagangan,
Menteri Perindustrian dan Perdagangan pernah mengisyaratkan bahwa di masa
mendatang industri pangan nasional akan menghadapi tantangan persaingan yang
makin berat dan kendala yang dihadapi pun semakin besar. Globalisasi ekonomi
negara, industri, penguasaan teknologi canggih, persaingan terbuka dan proteksi
ekonomi dalam blok-blok perdagangan internasional mengharuskan reorientasi dalam
strategi pembinaan dan pengembangan industri pangan nasional. Oleh karena itu,
wajar juga apabila industri pangan nasional berusaha mencari upaya-upaya terobosan
dan inovasi-inovasi baru dengan tujuan agar industri pangan nasional tersebut
sanggup bertahan dan mandiri sehingga mampu bersaing untuk menghadapi
kemungkinan perubahan serta mampu memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh
konsumen internasional. Salah satu tantangan dan kendala utama yang dihadapi oleh
industri pangan nasional tersebut adalah selain produk pangan yang dihasilkan harus
bermutu juga ”aman” untuk dikonsumsi serta tidak mengandung bahan-bahan yang
membahayakan terhadap kesehatan manusia.
Dewasa ini masalah jaminan mutu dan keamanan pangan terus berkembang
sesuai dengan tuntutan dan persyaratan konsumen serta dengan tingkat kehidupan dan
kesejahteraan manusia. Bahkan pada beberapa tahun terakhir ini, konsumen telah
menyadari bahwa mutu dan keamanan pangan tidak hanya bisa dijamin dengan hasil
uji pada produk akhir di laboratorium saja. Mereka berkeyakinan bahwa dengan
pemakaian bahan baku yang baik, ditangani atau di ”manage” dengan baik, diolah dan
didistribusikan dengan baik akan menghasilkan produk akhir pangan yang baik pula.
Oleh karena itu, berkembanglah berbagai sistem yang dapat memberikan jaminan
mutu dan keamanan pangan sejak proses produksi hingga ke tangan konsumen serta
ISO-9000, QMP (Quality Management Program), HACCP (Hazard Analysis Critical
Control Point) dan lain-lain.

2. Standardisasi Komoditas Pertanian


Standardisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan dan
merevisi standar, yang dilaksanakan secara tertib melalui kerjasama dengan semua
pihak yang berkepentingan. Standardisasi mutu produk berkaitan dengan appeareance
atau kenampakan, seperti : ukuran besar atau volume, warna, kandungan air dan
sebagainya yang ditentukan oleh penjual dan pembeli. Selain itu, mutu produk juga
dikaitkan dengan masalah keamanan pangan, keamanan bagi manusia, hewan dan
tumbuhan serta lingkungan. Standar - standar produksi dan pengolahan produk
pertanian semuanya disusun sebagai alat yang membantu mencegah tersingkirnya
sebuah produk dari pasar.
Ada 6 hal penting dalam menyusun suatu standar kualitas untuk komoditi
pertanian, yaitu :
a. Penentuan grade
b. Spesifikasi untuk kriteria
c. Definisi Istilah
d. Toleransi
e. Kelas ukuran dan batas kelas ukuran
f. Instruksi untuk pelabelan, pengepakan, dan pengambilan sampel selama
pemeriksaan.
Pada negara – negara maju, ada beberapa karakteristik standar komoditas pertanian
yang harus dipenuhi, yaitu :
a. Seragam, standar yang diterapkan untuk satu jenis komoditas harus sama di
seluruh industry
b. Dapat diterima, tidak memberatkan produsen dan mempertimbangkan kesukaan
konsumen
c. Mudah dimengerti, menggunakan bahasa dan istilah yang mudah dimengerti oleh
semua orang
d. Tepat atau sesuai, dapat diterapkan secara umum baik pada komoditi komersil
maupun komoditi dengan karakteristik yang khas.
Sesuai Permentan No. 58 / Permentan / OT.140 / 8 / 2007 tentang Sistem
Standardisasi Nasional di Bidang Pertanian bahwa untuk mendapatkan sertifikat
sistem mutu, pelaku usaha di bidang pertanian wajib memenuhi persyaratan sistem
manajemen mutu produk pangan segar atau non pangan yang ditetapkan pada standar
di bidang pertanian :
- Menteri Negara Riset dan Teknologi / Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi selaku Badan Standardisasi Nasional (BSN) telah menyetujui beberapa
Standar Komoditi Hasil Pertanian menjadi Standar Nasional Indonesia.
- Jaminan mutu pangan produk pertanian harus memenuhi sistem mutu berdasar
konsepsi HACCP atau SNI 01-4852-1998, atau Sistem Pangan Organik atau SNI
01-6729 - 2002; atau Sistem Mutu ISO 22000:2005 tentang sistem mutu
keamanan pangan.
- Jaminan mutu non pangan produk pertanian memenuhi ISO 9001 - 2000 atau SNI
19-9001 – 2000.
Sebagai konsekwensi logis, strategi pembinaan dan pengawasan mutu pada
industri pangan nasional harus bergeser ke strategi yang juga wajib memperhatikan
aspek keamanan pangan tersebut, disamping aspek sumber daya manusia,
peningkatan keterampilan serta penguasaaan dan pengembangan teknologi. Salah satu
konsep dan strategi untuk menjamin keamanan dan mutu pangan yang dianggap lebih
efektif dan ”safe” serta telah diakui keandalannya secara internasional adalah sistem
manajemen keamanan pangan HACCP (Hazard Analysis & Critical Control Points).
Filosofi sistem HACCP ini adalah pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan
pangan berdasarkan pencegahan preventif (preventive measure) yang dipercayai lebih
unggul dibanding dengan cara-cara tradisional (conventional) yang terlalu
menekankan pada sampling dan pengujian produk akhir di laboratorium. Sistem
HACCP lebih menekankan pada upaya pencegahan preventif untuk memberi jaminan
keamanan produk pangan.
HACCP merupakan suatu konsepsi manajemen mutu yang diterapkan untuk
memberikan jaminan keamanan produk pangan. Metode HACCP merupakan suatu
metode untuk melakukan risk analysis / analisa resiko terhadap bahaya yang
disebabkan oleh makanan dalam proses penyediaannya dan setiap organisasi yang
menjual produknya diwajibkan memenuhi persyaratan tersebut. HACCP merupakan
suatu sistem jaminan mutu yang berdasarkan kepada kesadaran bahwa hazard
(bahaya) dapat timbul pada berbagai titik atau tahap produksi tertentu, tetapi dapat
dilakukan pengendaliannya untuk mengontrol bahaya bahaya tersebut. Sistem
HACCP adalah alat manajemen yang digunakan untuk memproteksi rantai pasokan
pangan dan proses produksi terhadap kontaminasi bahaya-bahaya mikrobiologis,
kimia dan fisik. Walaupun saat ini aplikasi HACCP baru dilaksanakan oleh industri-
industri besar, tapi prinsip-prinsip dasarnya dapat diterapkan untuk industri kecil
sebagai penopang industri pangan tradisional di tanah air.
3. Sistem Manajemen Mutu
Sistem manajemen mutu terdiri dari praktik-praktik yang diterapkan untuk
dapat menghasilkan suatu produk pangan hasil pertanian yang memiliki kualitas atau
mutu terjamin. Praktik-praktik tersebut adalah :
a. Good Agriculture Practices (GAP)
GAP adalah untuk menjadi panduan umum dalam melaksanakan budidaya
tanaman buah, sayur, biofarmaka, dan tanaman hias secara benar dan tepat,
sehingga diperoleh produktivitas tinggi, mutu produk yang baik, keuntungan
optimum, ramah lingkungan dan memperhatikan aspek keamanan, keselamatan
dan kesejahteraan petani, serta usaha produksi yang berkelanjutan.
Tahapan kegiatan pelaksanaan penerapan GAP adalah sebagai berikut : (1)
sosialisasi GAP, (2) penyusunan dan perbanyakan SOP budidaya, (3) penerapan
GAP/SOP budidaya, (4) identifikasi kebun/lahan usaha, (5) penilaian kebun/lahan
usaha, (6) kebun/lahan usaha tercatat/teregister, (7) penghargaan kebun/lahan
usaha GAP kategori Prima-3, Prima-2 dan Prima-1, dan (8) labelisasi produk
prima.
Mahalnya biaya yang harus dikeluarkan tentu menjadi kendala besar untuk dapat
diterapkan oleh para petani di Indonesia yang mayoritas masih berkutat dengan
masalah kemiskinan dan lemah dalam SDM terutama dilihat dari tingkat
pendidikan para petani di Indonesia. Untuk menerapkan GAP di Indonesia saat
ini dioptimalkan untuk dilaksanakan oleh perusahaan agribisnis yang berskala
besar dan berorientasi ekspor.
b. Good Handling Practices (GHP)
GHP merupakan prosedur sanitasi untuk distribusi buah dan sayuran dari ladang
hingga ke meja makan. Penerapan GHP dapat membantu mengurangi resiko
kontaminasi terhadap produk segar selama penanganan, pengemasan,
penyimpanan dan transportasi. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk
meningkatkan penerapan penanganan pascapanen di tingkat petani/gapoktan,
asosiasi dan pengusaha, telah dikeluarkan Peraturan Menteri Pertanian No.
44/Permentan/OT.140/10/2009 tentang Pedoman Penanganan Pascapanen yang
Baik (Good Handling Practices/GHP) Hasil Pertanian Asal Tanaman. Program
jaminan keamanan pangan meliputi program persyaratan (GAP, GMP, GHP,
SOP) dan penerapan sistem HACCP serta ISO. Permentan No. 44 tahun 2009
tentang Good Handling Practices diterbitkan dengan tujuan menekan
kehilangan/kerusakan hasil, memperpanjang daya simpan, mempertahankan
kesegaran, meningkatkan daya guna, meningkatkan nilai tambah dan daya saing,
meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya dan sarana dan memberikan
keuntungan yang optimun dan/atau mengembangkan usaha pascapanen yang
berkelanjutan.
c. Good Manufacturing Process (GMP)
GMP atau Good Manufacturing Practices Adalah Cara / teknik berproduksi yang
baik dan benar untuk menghasilkan produk yang benar memenuhi persyaratan
mutu dan keamanan. GMP merupakan sistem pengendalian kualitas produk
makanan, kosmetik dan obat-obatan yang pertama kali dikembangkan oleh FDA,
sama seperti HACCP. GMP berisi kebijakan, prosedur dan metode yang
digunakan sebagai pedoman untuk menghasilkan produk yang memenuhi standar
kualitas dan higiene yang ditetapkan. Good Manufacturing Practices lebih
berperan dalam proses produksi karena elemen-elemen dalam GMP merupakan
elemen-elemen dalam sistem produksi.
d. Good Distrtibution Practices (GDP)
Good Distribution Practice (GDP) adalah bagian dari fungsi pemastian kualitas
(quality assurance), untuk memastikan produk, agar secara konsisten disimpan,
dikirim, dan ditangani sesuai kondisi yang dipersyaratkan oleh spesifikasi produk.
Distributor pangan umumnya juga belum memahami Good Distribution Practice
(GDP). Pemeriksaan terhadap sarana distribusi produk pangan dalam hal sanitasi,
bangunan dan fasilitas yang digunakan, serta produk yang dijual menemukan
sekitar 41,60% – 44,29% sarana yang tidak memenuhi syarat sebagai distributor
makanan.
Secara khusus GDP diterapkan didalam industri farmasi/obat-obatan dengan
nama lokal yaitu CDOB (Cara Distribusi Obat yang Baik) dan dikontrol secara
langsung oleh BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Namun ternyata
tidak ada yang salah saat prinsip-prinsip GDP ini diterapkan disemua jenis
industri selain industri farmasi. Good Distribution Practice atau GDP adalah
sistem jaminan kualitas yang berhubungan dengan persyaratan : pengadaan,
penerimaan, penyimpanan da pengiriman obat-obatan.
e. Good Retailing Practices (GRP)
Sebagai rantai pangan terakhir yang langsung berhubungan dengan konsumen
yang akan mengkonsumsi produk pangan, ritel memainkan peranan penting
sebagai katup pengaman terakhir yang harus dapat memastikan bahwa produk
yang nantinya akan dikonsumsi masyarakat adalah benar-benar aman. Untuk
memberikan jaminan keamanan terhadap produk pangan yang dijualnya
supermarket perlu menerapkan cara-cara yang baik dan benar (best practices)
dalam sistem usahanya. Hal ini telah diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah no
28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, secara tegas
menyebutkan bahwa setiap orang yang bertanggung jawab dalam
penyelenggaraan kegiatan pada rantai pangan yang meliputi proses produksi,
penyimpanan, pengangkutan, dan peredaran pangan wajib memenuhi persyaratan
sanitasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemenuhan persyaratan sanitasi tersebut dilakukan dengan cara menerapkan
pedoman cara yang baik dan untuk bisnis ritel adalah dengan menerapkan Cara
Ritel Pangan yang Baik atau Good Retailing Practices (GRP). Agar pangan yang
dijual benar-benar terjamin aman, selain dengan menerapkan GRP, pengusaha
ritel harus dapat mensyaratkan kepada pemasoknya untuk menerapkan cara –cara
yang baik dalam produksi, maupun distribusinya termasuk dapat meminta kepada
pemasok untuk menunjukkan sertifikat yang membuktikan bahwa pemasok atau
petani telah menerapkan pedoman cara-cara yang baik tersebut.
Peraturan Pemerintah no 28 tahun 2004 pasal 8 menyebutkan bahwa pedoman
cara ritel pangan yang baik atau Good Retailing Practices adalah cara ritel yang
memperhatikan aspek keamanan pangan. Secara lebih jelas GRP dalam bidang
pangan dapat didefinisikan sebagai praktek-praktek yang dianjurkan dalam usaha
ritel untuk menjamin bahwa produk pangan yang dijual di ritel tersebut adalah
aman, bebas dari risiko yang dapat mengganggu kesehatan manusia sambil juga
memperhatikan kesehatan dan keselamatan pekerja dan meminimalkan dampak
negatif terhadap lingkungan.
Secara umum penerapan GRP dalam Penanganan Pangan mempunyai tujuan dan
manfaat yang lebih luas dari sekedar keamanan pangan, diantaranya:
- Menjaga dan meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap usaha ritel.
- Meningkatkan daya saing usaha ritel.
- Memenuhi persyaratan undang-undang dan peraturan.
- Mengurangi klaim kasus keracunan/kerugian yang diajukan konsumen.
4. Grading Produk Pertanian
Grading merupakan proses mengelompokkan dan mengklasifikasikan produk
berdasarkan spesifikasi tertentu, misalnya : grade A, B dan C atau grade 1, 2, 3. Hal
ini perlu dilakukan karena dapat mengontrol kualitas produk yang akan
dikomersilkan, disamping itu dengan melakukan grading, produsen bisa menentukan
harga yang tepat untuk menjual produk mereka sesuai grade. Grading produk
pertanian memerlukan sortasi berdasarkan warna, bentuk, ukuran, cacat dan lain
sebagainya.
Untuk melakukan grading sebuah produk, perlu diketahui terlebih dahulu
standar grade yag akan dilakukan. Beberapa keuntungan melakukan grading adalah :
a. Memudahkan konsumen memilih barang yang akan dibeli sesuai dengan
kebutuhannya.
b. Mencegah kerusakan apabila ada komoditi akan diangkut ke suatu daerah.
c. Memudahkan dalam menentukan harga
d. Memudahkan dalam mengetahui nilai mutu suatu komoditi.
Beberapa langkah untuk melakukan grading :
a. Ketahui karakteristik bahan pangan yang akan di grade
b. Jika sudah ditetapkan toleransi menurut peraturan, misalnya grade ukuran, maka
selanjutnya digunakan alat sortasi untuk memilah berdasarkan ukuran.
c. Melakukan pemeriksaan terhadap komoditi secara efektif
d. Penanganan di dalam packing house harus cukup baik
e. Memberi jeda istirahat yang cukup agar hasil kerja efisien
Grading sebaiknya dilakukan pada saat produk masih di lapangan sebelum
dibawa ke packing house, hal ini bertujuan untuk mengurangi biaya transportasi dan
mengurangi tenaga kerja untuk repacking.

5. Inspeksi Produk
Inspeksi merupakan suatu prosedur untuk menetapkan apakah suatu standar
grade produk sudah ditafsirkan dan dilaksanakan dengan baik. Proses ini biasanya
dilakukan pada terminal pengiriman dan pasar induk sebelum dijual langsung ke
konsumen. Jumlah pengambilan sampel inspeksi harus sesuai dengan instruksi pada
standar, umumnya 1 kontainer untuk setiap 10 kontainer atau kurang, atau dapat
dilihat pada table di bawah :

Jumlah Kontainer yang sama dalam 1 Jumlah Kontainer untuk pengambilan


Lot sampel
1-10 1
11-30 2
31-60 3
61-100 5
101-300 7
301-500 9
501-1000 10
Diatas 1000 15 (minimal)

Inspeksi dilakukan dengan cara mencatat jumlah sampel yang memiliki


kerusakan yang disebutkan pada daftar standar, kemudian dihitung berapa persentase
sampel tersebut terhadap keseluruhan sampel dan apabila diperlukan, pemeriksaan
kualitas internal dari sampel dapat dilakukan. Kemudian mengisi sertifikat inspeksi
atau laporan pemeriksaan sampel yang meliputi :
a. Jenis produk dan kultivar
b. Penerima produk
c. Tempat dan tanggal pengiriman dan penerimaan
d. Nama dan alamat pengirim produk
e. Tempat, lama dan kondisi penyimpanan produk
f. Sarana pengangkutan
g. Hari dan waktu pemeriksaan sampel
h. Kondisi atmosfer selama pemeriksaan sampel (suhu, RH dan lain-lain)
i. Nama sampel (jenis dan ragamnya
j. Ukuran lot dan jumlah serta tipe container
k. Proporsi masing-masing kerusakan yang ditetapkan standar
l. Kebersihan lot.

Anda mungkin juga menyukai