Fasilitator :
drg. Diah Indriastuti, Sp. RKG (K)
2020/2021
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis mengucapkan puji dan syukur atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkah dan rahmat-Nya, pada akhirnya makalah ini dapat kami selesaikan tepat pada
waktunya. Makalah ini memuat tentang “ Gambaran Histologi, Pastologi, dan Diagnosis
Banding”.
Tema yang akan dibahas di makalah ini sengaja dosen pembimbing kami pilih untuk dipelajari
lebih dalam. Makalah ini disusun berdasarkan proses pembelajaran yang telah disampaikan
kepada kami. Kami berharap, dengan adanya makalah ini, agar isi serta penjelasan yang tertera
dapat mempermudah siapapun yang sedang mempelajarinya dengan membaca apa yang tertuang
didalam makalah ini.
Demikianlah yang dapat penulis sampaikan. Penulis mengucapkan permohonan maaf apabila
terjadi kesalahan maupun kekurangan dalam penulisan karya tulis ini. Kami berharap makalah
ini dapat menambah wawasan para pembaca, untuk mengetahui lebih lanjut seputar materi ini,
kami sudah memaparkan di dalam bagian pembahasan pada materi ini.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................................II
DAFTAR ISI................................................................................................................................III
BAB I...............................................................................................................................................5
PENDAHULUAN..........................................................................................................................5
BAB II.............................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.............................................................................................................................6
BAB III.........................................................................................................................................42
PENUTUP....................................................................................................................................42
iii
3.1 KESIMPULAN.................................................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................43
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Neoplasma merupakan kumpulan sel abnormal yang terbentuk oleh sel-sel abnormal yang
tumbuh terus menerus secara tidak terbatas, tidak berkoordinasi dengan sel di sekitarnya dan
tidak ada manfaatnya bagi tubuh. Neoplasia ataupun neoplasma sering disebut dengan tumor.
Sebagaimana definisi tumor pada peradangan, maka tumor pada neoplasia juga berarti
pembengkakan. Tetapi tidak semua pembengkakan adalah tumor. Banyak kebengkakan
misalnya : abses, radang kronis, benjolan parasit, dan nekrosa lemak intra abdominal bukan
termasuk tumor. Sebaliknya tumor akan terus bertambah karena pertambahan sel-sel baru17.
Histologi adalah ilmu yang mempelajari tentang struktur jaringan secara detail menggunakan
mikroskop pada sediaan jaringan yang dipotong tipis, salah satu dari cabang- cabang biologi.
Histologi dapat juga disebut sebagai ilmu anatomi mikroskopis. Histologi amat berguna
dalam mempelajari fungsi fisiologi sel-sel dalam tubuh, baik manusia, hewan, serta
tumbuhan, dan dalam bentuk histopatologi ia berguna dalam penegakan diagnosis penyakit
yang melibatkan perubahan fungsi fisiologi dan deformasi organ
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tumors Of Neural Tissues
1. Neuroblastoma
Secara histologis, sel neuroblastoma berbentuk bulat, kecil, dan berwarna biru yang
dapat disamakan dengan sel lain baik yang berasal dari tumor primer maupun metastase.
Diagnosis banding lain adalah rhabdomyosarcoma, Ewing’s sarcoma, leukemia, dan
limfoma. Pemeriksaan sitologi kelenjar regio colli sinistra ditemukan sel-sel
mengelompok sebagian tersusun roset, sebagian menyebar. Sel-sel umumnya cukup
kecil, cukup polimorfi, bentuk inti bulat, oval, spindel, hiperkromatis, dan anak inti
tampak jelas mendukung ke arah neuroblastoma.1
Pemeriksaan penunjang pada abdomen dapat ditemukan adanya kalsifikasi yang khas
terdapat pada neuroblastoma, meskipun bukan sebagai faktor penentu
diagnostik.Pemeriksaan rontgen atau CT scan dada dapat memperlihatkan metastase
kelenjar limfe atau tumor primer di mediastinum sementara metastase pada paru jarang
ditemukan pada neuroblastoma.1
6
Stadium penyakit dan usia terdiagnosis merupakan faktor prognosis yang penting pada
pasien.1 Penentuan stadium dilakukan berdasarkan The International Neuroblastoma
Staging System. Terapi yang diberikan tergantung dari stadium penyakit yang meliputi
tindakan operasi reseksi tumor primer dengan atau tanpa kemoterapi. Protokol
kemoterapi yang dipakai adalah OPEC/OJEC, yang terdiri dari kombinasi vincristine,
cisplatin, carboplatin, etoposide, dan cyclophosphamide.2
Data deskriptif disajikan dalam bentuk teks dan tabel. Analisis kesintasan dilakukan
terhadap seluruh populasi penelitian. Titik awal analisis kesintasan dihitung dari saat
ditegakkannya diagnosis. Outcome didefinisikan sebagai overall survival (OS). Kurva
OS dihitung menggunakan Metode Kaplan-Meier. Kemaknaan secara statistik pada
setiap variabel diuji terlebih dahulu menggunakan uji log-rank (prosedur univariat).
Untuk uji hipotesis nilai kemaknaan p<0,05 dan interval kepercayaan 95%. Seluruh
perhitungan stastistik dikerjakan dengan piranti lunak SPSS version13.0 for windows
tahun 2004, SPSS mc, Chicago-Illinois, USA kemudian disajikan dalam bentuk narasi,
table serta gambar.2
Pada penelitian kohort berskala besar oleh Adkins dkk, terhadap 539 pasien
neuroblastoma risiko tinggi. Pada mereka dilakukan tindakan operasi reseksi segera
setelah diagnosis ditegakkan maupun setelah kemoterapi induksi. Diperoleh hasil
perkiraan 5-year EFS (event free survival) (30±3)% untuk pasien yang mengalami
remisi (n=210) dibandingkan dengan (25±3)% (p=0,1010) yang tidak mendapat remisi
(n=258). Tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik baik terhadap EFS
7
maupun OS pada mereka yang mendapatkan reseksi komplit, meskipun terdapat
kecenderungan peningkatan kesintasan pada kelompok yang mendapat remisi komplit.
Tindakan operasi reseksi yang ditunda setelah kemoterapi cenderung mengalami reseksi
dibandingkan tindakan operasi reseksi yang dilakukan di awal terapi.2
Faktor-faktor prognostik secara klinis dan biologis yang penting yang saat ini digunakan
untuk menentukan pengobatan adalah usia pada saat pasien didiagnosis, stadium
penyakit, status MYCN, dan histologi menurut Shimada. Selain itu adanya peningkatan
kadar LDH terbukti merupakan indikator prognostik yang kuat terhadap outcome yang
buruk dan berkorelasi dengan histopatologi unfavorable.2
8
Gambar 1. Sitologi sel regio colli sinistra, sel-sel mengelompok sebagian tersusun roset,
sebagian menyebar mendukung ke arah neuroblastoma.1
Gambar 2. CT scan abdomen. Dijumpai kalsifikasi supra renal, penekanan masa dari atas yang
mendesak ginjal ke bawah, disimpulkan terdapat neuroblastoma.1
2. Neurofibrosarcoma
Gambaran umum MPNST adalah satu dari fasikula seluler yang padat di antara daerah
miksoid. Susunan membentuk putaran area intermiks yang padat dan miksoid
membentuk pola menyerupai marmer. Sel-sel bisa berbentuk spindel dengan kontur yang
sangat irregular, bisa juga bentuk bulat atau fusiform. Nukleus sel membentuk pagar
ditemukan < 10% kasus dan bahkan hanya fokal. Sugestif malignansi, bila terdapat
9
gambaran invasi jaringan sekitarnya, invasi struktur vaskular, nukleus pleomorfik,
nekrosis, dan aktivitas mitotic.3
Kriteria sugestif suatu MPNST adalah suatu massa yang besar dengan diameter lebih dari
5 cm, dengan kompresi struktur sekitarnya, gambaran lebih nonhomogen disebabkan
adanya perdarahan maupun nekrosis, invasi ke struktur fat sekitarnya, keterlibatan
limfonodi, destruksi tulang sekitarnya dan edema perilesi.3
Modalitas pencitraan MPNST pilihan adalah MRI untuk melihat lesi primer dan CT scan
toraks untuk menyingkirkan pulmonal metastasis. Pemeriksaan pencitraan toraks
merupakan bagian penting dari setiap evaluasi sarkoma stadium awal. MPNST paling
mungkin metastasis ke paruparu, kemudian tulang dan pleura. CT scan toraks merupakan
modalitas pencitraan yang lebih disukai untuk menilai metastasis jauh. Pemindaian tulang
bisa diperoleh untuk membantu mengidentifikasi metastasis ke tulang. Pada beberapa
kasus, MPNST memiliki karakteristik pencitraan dasar dengan tumor-tumor jinak seperti
neurofibroma dan schwannoma. Bentuknya fusiform dan orientasi lesi longitudinal ke
arah saraf. Perbedaan yang penting adalah ukuran tumor besar (> 5 cm), invasi ke
jaringan fat sekitarnya, heterogen, batas tumor tidak jelas, dan edema sekitarnya lesi lebih
sugestif MPNST (Gambar 3).
Gambar 3. Wanita usia 23 tahun dengan riwayat NF1 sebelumnya dengan keluhan
massa yang membesar dan nyeri di kaki kiri bawah dan ukuran mssa membesar dengan
10
cepat dalam dua bulan. Gambar MRI menujukkan tumor tibia kiri dengan hasil histologi
menunjukkan tumor selubung saraf perifer maligna pleksiform.3
Positron Emission Tomography (PET-CT) merupakan modalitas untuk monitor lesi yang
memiliki potensial transformasi maligna pada NF1. Disebabkan kasus yang jarang dan
derajat keparahan MPNST berhubungan dengan NF1, PET-CT scan dilakukan pada
keadaan berikut: (a) jika pertumbuhan tumor pleksiform tidak sesuai dengan
pertumbuhan pada anak-anak; (b) adanya defisit neurologis; (c) perubahan tekstur tumor;
dan d) pasien dengan keluhan nyeri progresif. PET scan dengan F-18 fluorodeoxyglucose
(FDG) dapat digunakan untuk stadium tahap dan follow-up MPNSTs sebelum, selama,
dan setelah terapi (Gambar 4). Peningkatan ambilan FDG pada PET-CT dengan
Standardized uptake values (SUV) > 1.8 (sensitivitas 100%, spesifisitas of 83%) dapat
membantu membedakannya dengan tumor jinak.3
Gambar 4. PET scan potongan aksial (kanan) dan korespondensi CT scan (kiri). Massa pada CT
(A) menunjukkan pola uptake 18FDG yang hetergen (B), region yang terang menunjukkan
aktivitas metabolic tinggi.3
11
Radiasi neoadjuvan atau adjuvan merupakan terapi yang direkomendasikan pada high
grade soft tissue sarcoma, bertujuan untuk kontrol lokal, menunda timbulnya
kekambuhan, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup jangka panjang. Sensitivitas
radiasi pada tumor ini relatif rendah, pendekatan dosis 70 Gy diberikan pada terapi foton
fraksinasi konvensional bertujuan sebagai kontrol lokal jangka panjang pada kasus tumor
residual makroskopik.3
Sebelum memberikan terapi radiasi dan menentukan perluasan volume radiasi awal, ahli
onkologi radiasi harus mengevaluasi perluasan tumor di dalam kompartemen dan mampu
menilai volume resiko keterlibatan ekstrakompartemen dari hasil pemeriksaan CT scan
atau MRI. Pada kasus pre-operatif, batas ini ditentukan dengan pemeriksaan fisik,
radiologis maupun anatomis. Pada kasus post-operatif, informasi secara detail dari dokter
bedah mengenai perluasan diseksi atau observasi reseksi harus dipertimbangkan dengan
baik.3
12
Gambar 4. Definisi volume target menurut ICRU Report No.50 IM=Internal margin, SM
= set up margin.3
Sarkoma biasanya memerlukan dosis tinggi, bahkan untuk terapi adjuvan. Pada terapi
post-operatif, volume awal biasanya diberikan 45 Gy dan dosis akhir 63-65 Gy, dengan
fraksi 1,8 Gy, 5 fraksi setiap minggu. Dosis total kurang dari 63 Gy telah disepakati oleh
beberapa ahli untuk membatasi toksisitas lambat (fibrosis, fraktur tulang), namun hal ini
masih kontroversial. Terapi pre-operatif sering diberikan dosis 45 - 55,8 Gy diberikan
dalam 2-3 minggu sebelum reseksi tumor dengan tambahan dosis boster diberikan
intraoperatif atau post-operatif. Pada kasus sarkoma yang tidak bisa direseksi diberikan
dosis lebih dari 75 Gy, meskipun volume yang bisa diterima lebih dari 60 Gy, dibatasi
pada tumor ditambah batas tumor minimal.3
13
Terapi radiasi merupakan faktor prognostik untuk kontrol lokal atau survival. Terapi
radiasi MPNST cukup efektif untuk kontrol lokal dan bisa diberikan pre-operatif,
intraoperatif, dan post-operatif. Terapi radiasi adjuvant memberikan hasil penurunan
angka rekurensi lokal penyakit yang signifikan secara statistik. Radioterapi juga
bermanfaat untuk menurunkan angka metastasis jauh atau angka kelangsungan hidup
secara keseluruhan.3
1. Leiomyosarcoma
14
merupakan kanker yang paling sering ditemukan pada wanita setelah
menopause. Karsinoma endometrium dapat memiliki gejala berupa
perdarahan setelah menopause, jika terjadi pada wanita usia reproduktif,
gejala dapat berupa gangguan siklus menstruasi.6
d) Gastrointestinal Stromal Tumors (GIST)
Gastrointestinal stromal tumors (GIST) merupakan keganasan yang berasal
dari jaringan mesenkim. Secara patologis, GIST menyerupai leiomioma dan
leiomyosarcoma, namun pada patofisiologi nya melibatkan mutasi gen yang
berbeda sehingga membutuhkan regimen tata laksana yang berbeda.9
Gejala GIST pada umumnya asimtomatik atau tidak spesifik. Sering kali
GIST terdiagnosis saat pemeriksaan radiologi atau endoskopi dilakukan untuk
mendeteksi penyakit saluran pencernaan dengan gejala perdarahan, ileus
obstruktif, dan ulkus pada dinding saluran cerna. Gejala lain dapat berupa
nyeri perut, cepat merasa kenyang dan kembung, dan teraba massa di perut.5
e) Kanker Gaster
Kanker gaster stadium awal tidak memberikan gejala yang khas. Pada stadium
lanjut, kanker gaster memiliki manifestasi klinis seperti mual-muntah,
gangguan pencernaan, rasa kembung dan cepat kenyang, perdarahan saluran
cerna, penurunan berat badan drastis, teraba pembesaran gaster dan kelenjar
getah bening, obstruksi saluran pencernaan, hepatomegali, dan ikterik.10
f) Kanker Kolorektal
Kanker kolorektal adalah penyakit multifaktorial. Faktor genetik, lingkungan,
diet, dan inflamasi saluran pencernaan dapat mendasari patofisiologi kanker
kolorektal. Gejala kanker kolorektal adalah nyeri perut, perubahan pola
defekasi, perdarahan saluran cerna bawah, anemia, teraba massa di perut
kanan bawah dan rektum.11
Diagnosis definitif leiomyosarcoma ditegakkan dengan pemeriksaan
mikroskopis histopatologi. Pemeriksaan radiologi tidak dapat mendiagnosis
leiomyosarcoma secara spesifik, namun dapat membantu mengidentifikasi
masa dan mendeteksi metastasis. Pemeriksaan hematologi berupa penanda
tumor dapat membantu menyingkirkan diagnosis banding.
15
a) Pencitraan
Beberapa modalitas pencitraan dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis
leiomyosarcoma, seperti MRI dan CT scan. Pemeriksaan MRI biasanya lebih dipilih
sebagai modalitas karena lebih jelas menunjukkan gambaran pembuluh darah, ukuran dan
ekstensi tumor, penyebaran lokal, serta perbedaan fibrosis setelah radiasi atau tumor yang
rekuren. Sedangkan CT scan biasa digunakan untuk menilai metastasis dan follow-
up pasien.4
b) Pemeriksaan Mikroskopis
Leiomyosarcoma biasanya terdiri dari oleh sel-sel spindel eosinofilik yang tersusun
dalam fasikel yang saling berinterseksi pada sudut 90° dan berhubungan dengan berbagai
derajat nekrosis dan aktivitas mitosis sesuai derajat lesi. Pada pemeriksaan
imunohistokimia, leiomyosarcoma memberikan hasil positif pada desmin, aktin otot
polos, dan kaldesmon.13
Gambaran histologi di bawah mikroskop dapat menentukan sejauh apa kanker sudah
bertumbuh dan menyebar, proses ini dapat disebut dengan penentuan stadium. Stadium
leiomyosarcoma merupakan faktor signifikan untuk menentukan pilihan tata laksana dan
prognosis pasien. American Joint Committee of Cancer (AJCC) membagi stadium
sarkoma jaringan lunak menjadi stadium I-IV berdasarkan Tumor Nodul Metastasis
(TNM) dan derajat/grade (G).
c) Pemeriksaan Hematologi
Beberapa pemeriksaan hematologi seperti darah lengkap, penanda tumor, dan sitokin
serum dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis dan menentukan
prognosis. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa perubahan hematologi terjadi pada
lebih dari 40% kasus sarkoma jaringan lunak dan lebih sering ditemukan pada pasien
dengan stadium lanjut.
Perubahan tersebut berupa neutrofilia (28,3% kasus), leukositosis (27,6% kasus),
penurunan jumlah hemoglobin (25,5% kasus), monositosis (19,3% kasus), dan
trombositosis (14,5% kasus).11 Pemeriksaan penanda tumor seperti CA-125 dapat
membantu menyingkirkan diagnosis karsinoma uterus dan ovarium, serum
carcinoembryonic antigen (CEA) dapat membantu menyingkirkan diagnosis karsinoma
kolorektal.12
16
Gambar 5. Presented case report at diagnosis of STUMP. a Sonographic view of the uterine
tumor. b Intraoperative view of the retrouterine tumor. c Histopathologic examination revealed
muscle cell proliferations with focal tumor cell necrosis (100×, HE). d High-grade nuclear
atypias (100×, HE).14
Gambar 6. Presented case report with recurrent pelvic tumor and diagnosis of uterine
leimyosarcoma (uLMS). a MRI with retrouterine pelvic mass (uLMS), 11 months after removal
of STUMP. b , c Histopathologic examination now definitely showed uLMS with spindle cells,
high mitotic activity >15/10 HPF and large areas of tumor cell necrosis ( b 100×, c 400×, HE).14
2. Rhabdomyosarcoma
17
a) Embryonal
Lokasi sering pada kuadran superonasal orbita, 57% dari semua tipe RMS orbita.
Merupakan tipe yang paling sering ditemukan. Terdiri dari fasikulus-fasikulus jaringan
ikat longgar, sel-sel tumor yang pleomorfik yang mengalami elongasi, dengan nukleus
hiperkromatis dikelilingi oleh sitoplasma eosinofilik. Sel-sel tumor berdifferensiasi di
sepanjang rhabomyoblastic lines sehingga membentuk sel-sel spindle yang mengalami
elongasi. Tipe ini mempunyai survival rate yang baik (94%).15
Gambar 7. . Embryonal orbital RMS. Terdiri dari sel-sel spindle yang bulat dan
mengalami elongasi dengan gambaran otot lurik pada berbagai stadium embriogenesis.
Sitoplasma eosinofilik dan nukleolus yang hiperkromatik.15
b) Alveolar
Lokasi yang paling sering pada kuadran inferior orbita. Kira-kira 19 % dari RMS
orbita. Terdiri dari jaringan fibrovaskular dikelilingi oleh rhabdomyoblast yang terdapat
di sepanjang jaringan ikat atau terdapat mengambang bebas pada ruang alveolar. Tipe ini
merupakan tipe yang paling ganas dengan 10-year survival rate nya 10%.15
18
Gambar 8. Alveolar orbital RMS terdiri dari sel-sel yang besar, dengan sel-sel
yang besar dengan sitoplasma eosinofilik , sel-sel berbentuk bulat dan poligonal ,
nukleolus vesicular.15
c) Pleomorphic
Merupakan bentuk yang paling jarang ditemukan dan tipe yang paling berdifferensiasi.
Terjadi pada 6% dari kasus RMS orbita. Terdiri dari sel-sel berbentuk seperti tali atau
bulat. Mempunyai prognosis yang baik dengan survival rate 97%.15
d) Botryoid
Tipe Botryoid merupakan varian dari embryonal RMS yang jarang ditemukan. Gambaran
histopatologis berupa kelompok sel-sel yang berbentuk anggur , tidak ditemukan pada
orbita sebagai tumor primer, tetapi merupakan invasi sekunder RMS pada sinus paranasal
dan konyungtiva.15
19
c) Myoglobin
d) Myogenin
Myogenin lebih sering ditemukan pada tipe alveolar dari pada tipe embryonal.
e) Vimentin
Tumor marker ini selalu positif pada RMS tetapi, marker ini tidak spesifik untuk
RMS karena dapat juga ditemukan pada tumor lain yang berasal dari differensiasi otot
lurik.
f) Caveolin-3
Merupakan tumor marker baru yang sensitivitas dan spesifisitasnya tinggi pada RMS
yang berdifferensiasi dan marker ini dapat membantu mendeteksi sisa tumor setelah
dilakukan kemoterapi.15
Terapi awal RMS orbita dengan pengangkatan massa tumor semaksimal mungkin dengan
tetap mempertahankan struktur yang vital. Pasien ini dilakukan craniotomy yang
dilakukan oleh bagian Bedah Syaraf. RMS orbita menunjukkan kecenderungan untuk
terjadi invasi lokal , rekurensi lokal dan penyebaran secara hematogen dan limfatik.
Terapi pembedahan pada RMS orbita dengan tetap menyisakan periosteum dimana
periosteum sebagai barier terhadap penyebaran tumor secara local. Metastasis RMS dapat
terjadi hematogen ke paru-paru dan tulang sehingga memerlukan konsultasi dengan
Konsultan Pediatrik Onkologi.15
Pasien ini setelah dilakukan pengangkatan massa tumor retroorbita dan direncanakan
untuk dilakukan kemoterapi dan radioterapi. Saat ini sejak ditemukannya kemoterapi dan
radioterapi, manajemen utama dari RMS adalah kombinasi kemoterapi,radioterapi dan
pembedahan. Beberapa klinisi di pusat terapi RMS, melakukan terapi pembedahan hanya
dengan biopsi eksisi saja, sedangkan beberapa pusat terapi lainnya dengan melakukan
pengangkatan tumor secara debulking. Manajemen standar RMS orbita sebelumnya
adalah eksenterasi, namun dengan terapi ini prognosis pasien apalagi pada anak-anak
cukup buruk sehingga pada awal tahun 1970, North American Intergroup RMS study
Group and European Cooperative Groups memperkenalkan kombinasi terapi dengan
kemoterapi dan radioterapi , dengan kombinasi terapi ini survival rate penderita RMS
meningkat menjadi 90%.15
20
Kemoterapi dan radioterapi dapat diberikan setelah eksisi lokal atau biopsi. Kemoterapi
diberikan biasanya 2-3 siklus sebelum diberikan terapi inisiasi radioterapi. 12 Regimen
dasar kemoterapi terdiri dari:15
a) Vincristine (V)
b) Actinomycin (A)
c) Cyclophosphamide (C)
Pemberian regimen ini 3 years survival rate pasien RMS dengan metastasis dapat
mencapai 55%.12 Setelah dilakukan biopsi, seharusnya dilakukan staging berdasarkan sistem
klassifikasi menurut Intergroup Rhabdomyosarcoma Study (IRS) post surgical staging system :15
a) Grup I: Tumor terlokalisir, dan telah dilakukan reseksi komplit (Biopsi Eksisi).
b) Grup II: Terdapat sisa tumor secara mikroskopis setelah dilakukan biopsy.
c) Grup III: Terdapat sisa tumor yang besar setelah dilakukan biopsy.
d) Grup IV: ditemukan adanya metastasis.15
Berdasarkan staging ini dapat diputuskan rencana terapi selanjutnya. Berdasarkan IRS
post surgical staging system, manajemen dari RMS orbita yaitu:15
a) Grup I: hanya dengan kemoterapi saja, terdiri dari Vincristine dan Actinomycin (VA)
tanpa radioterapi atau dapat juga diberikan radioterapi.
b) Grup II: Kombinasi kemoterapi Vincristine , Actinomycin, dan Cyclophosphamide
(VAC) dengan radioterapi 36 Gy.
c) Grup III: Kombinasi kemoterapi VAC dengan radioterapi 45 Gy.
d) Grup IV: Kombinasi kemoterapi Intensif dengan radioterapi.15
Radioterapi efektif untuk mencapai kontrol lokal tumor pada pasien dengan adanya
residual tumor setelah dilakukan biopsi, reseksi tumor, atau kemoterapi. Dosis radioterapi
tergantung luasnya tumor setelah dilakukan reseksi. Pasien dengan reseksi komplit (grup I) pada
21
tipe embryonal dapat berhasil tanpa radioterapi, tetapi pada tipe alveolar radioterapi sangat
bermamnfaat.15
I. Superior prognosis
a) Botryoid RMS
b) Spindle cell RMS
II. Intermediate prognosis
a) Embryonal RMS
III. Poor prognosis
a) Alveolar RMS
b) Tipe anaplastic difus
IV. Subtipe dengan prognosis yang tidak dapat dievaluasi
Kebanyakan kasus dari RMS orbita mempunyai prognosis dengan 10-year survival rate
77% pada kasus disertai dengan metastasis dan 87 % pada kasus non-metastasis. Tipe alveolar
mempunyai prognosis paling buruk dan mempunyai survival rate paling rendah, sehingga 5 year
survival rate pada anak-anak dengan rhabdomyosarcoma alveolar adalah 74 %. 5 year survival
rate pada pasien dengan tipe embryonal rhabdomyosarcoma adalah 67 %.15
22
Karakteristik khas dari tumor ini adalah keseragamannya. Trabekula jaringan ikat fibrous
yang padat membagi tumor menjadi kelompokkelompok padat dengan ukuran yang tidak
beraturan yang kemudian terbagi-bagi lagi menjadi sarang atau kelompokan sel tumor yang
berbatas tegas. Sarang-sarang cenderung uniform meskipun ukuran dan bentuknya dapat
bervariasi. Sarang-sarang ini dipisahkan oleh partisi-partisi jaringan ikat tipis yang mengandung
pembuluh darah sinusoidal. Hilangnya kohesi sel dan nekrosis pada sel-sel yang terletak
dibagian tengah sarang-sarang biasanya ditemukan pada pola pseudoalveolar. Pola
pseudoalveolar tidak terlalu sering ditemukan, lebih banyak ditemukan pola difus pada tumor ini.
Terkadang pola sarang-sarang tidak jelas atau bahkan sama sekali tidak ada, dan tumor hanya
terdiri dari lembaran-lembaran seragam dari sel-sel granular yang besar dengan saluran
pembuluh darah yang sedikit atau bahkan tidak terlihat. Tipe yang lebih padat atau solid ini pada
umumnya terjadi pada bayi atau anak-anak.16
Sel-sel tumor pada umumnya berukuran seragam, bulat atau poligonal dengan membran
sel yang ireguler yang menyerupai gambaran epiteloid. Nukleus berada di tengah dengan anak
inti menonjol. Multinukleasi dan atipia inti dapat dijumpai meskipun jarang. Sitopasma banyak,
eosinofilik kadang bergranul, namun kadang sitoplasma jernih menyerupai renal cell
carcinoma.16
Mitosis jarang dijumpai, namun invasi ke pembuluh darah sering dijumpai. Sel-sel tumor sering
mengandung kristal rhomboid atau yang berbentuk kerucut, yang samar-samar terlihat pada
pewarnaan hematoksilin eosin, namun jelas terlihat pada pewarnaan PAS. Kristal ini kadang
mudah dijumpai, kadang jarang bahkan tidak ada sama sekali. Masson merupakan orang pertama
yang mendeskripsikan kristal ini sebagai ciri diagnostik dari ASPS. Kristal ini ditemukan pada
80% ASPS, granul-granul dengan PAS positif mungkin merupakan prekursor dari kristal ini.
Kristal ini merupakan ciri dari ASPS primer maupun metastasis.16
23
Gambar 9. A. Sel-sel tumor yang tersusun atas sarang-sarang B. Pada anak dan bayi sel-sel
tumor tersusun seperti lembaran C&D. Pada pola pseudoalveolar tampak sel-sel tumor pada
bagian tengah sarang yang memiliki kohesi yang jelek (panah) E&F. Pada pewarnaan PAS
tampak material kristal intraselular G. Sel-sel dengan inti multinuklear dan atipik. H. Sel-sel
tumor yang telah menginvasi pembuluh darah.16
Diagnosis banding dari ASPS antara lain metastasis renal cell carcinoma,
paraganglioma dan granular cell tumor.16
24
Gambar 10. Diagnosis banding dari ASPS.16
Renal cell carcinoma, baik yang primer maupun metastasis mirip dengan ASPS , namun
dapat dibedakan dengan adanya material kristal yang terwarnai positif dengan PAS yang hanya
dijumpai pada ASPS.16
25
yang sangat besar dengan ukuran diameter sekitar 15 sampai dengan 45 mikrometer, berinti
besar multilobuler dengan banyak anak inti yang menonjol dan sitoplasma yang sedikit
eusinofilik. Karakteristik utama dari sel Reed Sternberg adalah adanya dua buah inti yang saling
bersisian yang di dalamnya masing-masing berisi sebuah anak inti asidofilik yang besar dan
mirip dengan inklusi yang dikelilingi oleh daerah sel yang jernih. Gambaran morfologi tersebut
membuat sel Reed Sternberg tampak seperti mata burung hantu (owl-eye).20
Penyebab pasti dari limfoma Hodgkin (LH) hingga saat ini masih belum jelas diketahui
namun beberapa faktor, seperti paparan infeksi virus, faktor keluarga dan keadaan imunosupresi
diduga memiliki keterkaitan dengan terjadinya LH.21 Pada 70% atau sepertiga dari kasus LH
yang pernah dilaporkan di seluruh dunia menunjukkan adanya keterlibatan infeksi virus Epstein
Barr (EBV) pada sel Reed-Sternberg.20 Ekspresi gen dari EBV diduga memicu terjadinya
transformasi dan pemrograman ulang dari sel-B limfosit menuju salah satu fenotif LH. Pada saat
terjadinya infeksi primer, EBV akan masuk dalam fase laten di dalam memori sel-B limfosit
sehingga EBV mampu bertahan sepanjang masa hidup sel-B limfosit. EBV kemudian mengkode
produk gen EBNA-1 dan LMP-1 yang diduga berperan dalam proses transformasi memori sel-B
lim-fosit. Produk-produk gen ini bekerja pada jalur sinyal intraseluler di mana EBNA-1 bekerja
secara langsung dengan memberikan umpan negatif pada ek-spresi gen penekan tumor dan
meningkatkan perkembangan tumor melalui umpan positif pada CCL22 yang kemudian
memromosikan aktivasi sel-B limfosit. Pada saat yang bersamaan, produk gen LMP-1 meniru
sinyal yang dihasilkan oleh CD40 yang bekerja untuk mengaktifkan jalur sinyal NF-kB, p38,
PI3K, AP1 dan JAK-STAT dalam memromosikan kelangsungan hidup sel-B limfosit. Infeksi
EBV juga diduga menjadi penyebab dari terjadinya mutasi genetik pada gen Ig yang mengkode
reseptor sel-B limfosit di mana EBV kemudian mengkode gen LMP-2 yang mampu memrogram
ulang sel-B limfosit matur menuju salah satu fenotif LH dan mencegah terjadinya proses
apoptosis melalui aktivasi sinyal penyelamatan pada pusat germinal sel-B limfosit.22 Akibat dari
adanya serangkaian proses tersebut di atas menyebabkan terjadinya ekspansi klonal yang tidak
terkontrol dari sel-B limfosit yang kemudian akan mensekresikan berbagai sitokin, seperti IL-5
yang akan menarik dan mengakti-vasi eosinofil dan IL-13 yang dapat menstimulasi sel Reed-
Sternberg lebih lanjut untuk mengekspresikan CD30 (Ki-1) dan CD15 (Leu-M1). CD30
26
merupakan penanda aktivasi limfosit yang diekspresikan oleh sel-sel jaringan limfoid yang
reaktif dan ganas, sedangkan CD15 merupakan penanda dari granulosit, monosit dan sel-T
limfosit yang teraktivasi yang dalam keadaan normal tidak diekspresikan oleh sel-B limfosit.5,9
Orang dengan riwayat keluarga pernah menderita LH, terutama saudara kembar dan orang
dengan gangguan sistem imun, seperti penderita HIV/AIDS juga memiliki resiko yang tinggi
untuk menderita LH.22
Limfoma Non Hodkin (LNH) esktranodal adalah keganasan limfatik yang terjadi diluar rantai
limfonodus, dapat berupa ekstranodal limfatik dan ekstranodal ekstralimfatik.Area ekstranodal
merupakan tempat berkembangnya limfoma yang secara normal kaya akan jaringan limfoid
seperti cincin waldeyer, dimana tonsil palatina sebagai tempat tersering (penyakit ekstranodal
limfatik). Yang termasuk ekstranodal ekstra limfatik antara lain orbita, cavum nasi, sinus
paranasalis, dan kelenjar tiroid.25,26,27
Hingga saat ini, proses terjadinya neoplasma seperti halnya pada limfoma belum diketahui pasti;
hanya merupakan suatu hipotesis dan adanya faktor penyokong atau resiko terjadinya
kanker.23,24,25
Patogenesis
B cell lymphoma (BCL), termasuk BL, berasal dari berbagai stadium diferensiasi sel B, karena
itu pada umumnya, kebanyakan gambaran BCL mewakili stadium diferensiasi sel-sel B. 41,42 Sel-
sel B pada GC mengalami ekspansi klonal melalui modifikasi DNA yang meliputi somatic
hypermutation (SHM), class switch recombination (CSR), dan receptor editing. Jika dalam
proses tersebut terjadi masalah misalnya terjadi translokasi kromosom maka akan berlanjut
dengan limfomagenesis.43
Pada BCL, translokasi kromosom merupakan mekanisme yang terbanyak mempengaruhi aktivasi
dan deregulasi protooncogenes.41 Translokasi kromosom pada BCL paling banyak melibatkan
MYC dan lokus Ig.44,45 Pada GC, activation-induced cytidine deaminase (AID) memfasilitasi
proses chromosomal breaks pada lokus MYC selama proses SHM dan CSR. 46 Karena ko-
ekspresi AID dan c-Myc pada subset dari c-Myc+ sel-sel B pada GC, maka aktivasi abnormal
dari AID selama transkripsi MYC dapat menyebabkan translokasi sel-sel B pada GC.45,47 Baik
MYC dan BCL6 (transcriptional repressor) berperan penting pada pembentukan dan
pemeliharaan selsel pada GC.46 Translokasi menyandingkan transcriptional control elements
pada lokus Ig ke MYCpromoter. Hal ini dapat menghilangkan binding sitesBCL6 ke region
28
MYC 5′ pada beberapa situasi dan kondisi. Karena kuatnya aktifitas enhancer gen Ig melebihi
kemampuan represi BCL6, akan menghalangi penekanan transkripsi MYC oleh BCL6 pada zona
gelap dari GC.47
Istilah tumor mucoepidermoid diperkenalkan pada tahun 1945 oleh Stewart, Foote dan Becker.
Ini menyumbang 6 sampai 9% dari tumor kelenjar ludah dan sekitar 1/3 dari semua tumor ganas
kelenjar ludah. Ini terdiri dari, keduanya, lendir yang mengeluarkan serta jenis sel epidermoid
seperti namanya.18
Penyakit ini terutama terdiri dari dua jenis, yaitu jinak dan ganas, berdasarkan sifat klinis dan
gambaran histologis lesi.18
Gambaran Klinis
• Usia dan jenis kelamin: Terjadi dalam distribusi yang setara pada pria dan wanita dan
terjadi pada dekade ke-3 dan ke-5
• Tempat: Sekitar 60% terjadi pada kelenjar parotis dan 30% pada kelenjar liur minor,
terutama pada palatum. Dapat terlihat pada mukosa bukal, lidah dan daerah retromolar
• Onset: Tampak sebagai massa tanpa rasa sakit yang membesar secara perlahan, yang
menyerupai adenoma pleomorfik (Gambar 23.54A dan B)
• Gejala: Nyeri dan kelumpuhan saraf wajah bisa terlihat pada beberapa
29
pasien. Temuan lain seperti lakrimasi, trismus, nasal
keluarnya cairan, dan air liur yang diwarnai darah juga bisa terlihat
• Tumor derajat rendah: Tumor keganasan derajat rendah biasanya muncul sebagai massa
tanpa rasa sakit yang membesar secara perlahan, yang merangsang adenoma pleomorfik.
Jarang melebihi 5 cm
dengan diameter (Gbr. 23.55)
• Keganasan derajat tinggi: Tumor keganasan derajat tinggi
tumbuh dengan cepat dan menghasilkan nyeri sebagai gejala awal. Ini cenderung
menyusup ke jaringan sekitarnya; dan pada persentase kasus yang tinggi, metastasis ke
kelenjar getah bening regional. Metastasis jauh ke paru-paru, tulang, otak, dan jaringan
subkutan sering terjadi. Dalam beberapa kasus, ulserasi ekstraoral juga dapat dilihat (Gbr.
23.56)
• Tumor kelenjar minor: Tampak sebagai tumor asimtomatik yang berwarna biru atau
merah.18
Diagnosa
Pengelolaan
• Parotidektomi subtotal: Tumor stadium awal ditangani dengan parotidektomi subtotal dan
pengawetan saraf wajah
• Pengangkatan total: Kasus lanjut membutuhkan pengangkatan total kelenjar parotis18
• Diseksi leher radikal: Diindikasikan untuk orang yang memiliki bukti klinis metastasis
30
• Radioterapi: Dapat diberikan pada beberapa kasus karsinoma mukoepidermoid tipe
perantara.18
Asal
• Jebakan kelenjar mukus retromolar: Bisa berasal dari jebakan kelenjar mukus retromolar
di dalam mandibula, yang kemudian mengalami transformasi neoplastik
• Sisa embrionik kelenjar submaxillary: Bisa juga terbentuk dari sisa-sisa embrio kelenjar
submaxillary yang tertinggal secara perkembangan di dalam mandibula, dan transformasi
neoplastik dari sel-sel yang mensekresi lendir yang biasa ditemukan pada lapisan epitel
kista dentigerous. 18
Gambaran Klinis
• Distribusi usia dan jenis kelamin: Paling sering terlihat pada individu paruh baya. Ini
lebih sering terjadi pada wanita daripada pria
• Tempat: Terjadi di mandibula di area premolar-molar. Itu tidak meluas ke anterior di luar
regio premolar
• Gejala: Pasien mengeluh bengkak tidak nyeri. Mungkin ada paresthesia saraf alveolar
inferior
• Tanda: Pembengkakan bisa menyebabkan asimetri wajah. Ada kelembutan. Kelenjar
getah bening regional membesar. 18
Fitur Radiologis
31
• Tampilan gelembung sabun atau sarang lebah: Lesi mungkin memiliki struktur internal
gelembung sabun atau sarang lebah
• Efek pada struktur sekitarnya: Plat kortikal bukal dan lingual, batas inferior mandibula,
puncak alveolar mungkin menipis dan bergeser secara drastis. Kanalis mandibula
tertekan atau didorong ke lateral atau medial. Lamina dura gigi bisa hilang. 18
Diagnosa
Perbedaan diagnosa
32
• garis tengah.
• Pengelolaan
• Eksisi bedah: Diobati dengan eksisi tumor secara bedah • Diseksi leher: Diseksi leher
harus dilakukan di
• kasus metastasis
• Radioterapi tambahan: Ada radiasi pasca operasi18
Pengelolaan
• Eksisi bedah: Diobati dengan eksisi tumor secara bedah • Diseksi leher: Diseksi leher
harus dilakukan di
• kasus metastasis
• Radioterapi tambahan: Terapi radiasi pasca operasi
• mungkin diperlukan untuk mengendalikan penyakit metastasis. 18
Gambaran Klinis
• Usia dan jenis kelamin: Ini terjadi pada usia paruh baya, dan dua kali lebih sering terjadi
pada wanita
• Situs: Tumbuh secara eksklusif di lobus superfisial dan ekor kelenjar parotid. Situs
intraoral yang paling umum adalah mukosa bukal dan bibir
• Gejala: Tidak nyeri dan tumbuh perlahan
• Tanda: Sulit untuk menggambarkan lesi secara tepat dan
• keterikatan pada kulit dan otot di atasnya dapat terjadi
• Perkembangan: Beberapa lesi ini berjalan cepat dengan metastasis hematogen dan
limfatik, sementara yang lain progresif lebih lambat. Pertumbuhan invasif lokal mungkin
• ditemui di beberapa lesi. 18
33
Diagnosa
Pengelolaan
• Lobektomi: lobus superfisial dari kelenjar parotis harus dipotong, merupakan pengobatan
pilihan. Tingkat kekambuhan bervariasi dari 8 hingga 59%.
• Eksisi bedah: Eksisi bedah adalah pengobatan pilihan. Tingkat kekambuhan sekitar 60
hingga 92%. Oleh karena itu, tindak lanjut jangka panjang sangat penting
• Radioterapi tambahan: Pembedahan harus disertai dengan terapi radiasi. 18
Gambaran Klinis
34
• temuan termasuk obstruksi hidung, proptosis, sinusitis, infeksi telinga, epistaksis, tanda-
tanda keterlibatan saraf kranial dan gangguan penglihatan.
• Metastasis: Insiden metastasis lebih banyak dan organ yang terlibat antara lain kelenjar
getah bening serviks, paru-paru, otak, hati dan ginjal. 18
Fitur Radiologis
Diagnosa
35
2.12 ADENOKARSINOMA
Adenokarsinoma derajat rendah polimorfosa (PLGA), tumor kelenjar ludah yang ganas dan
langka, pertama kali dijelaskan pada tahun 1984. Ia telah disebut sebagai karsinoma lobular dari
kelenjar ludah minor, karsinoma papiler derajat rendah pada langit-langit mulut, adenokarsinoma
derajat rendah polimorfus minor kelenjar ludah, dan karsinoma saluran terminal dari kelenjar
ludah minor. PLGA meniru banyak tumor kelenjar ludah jinak dan ganas dan mungkin salah
didiagnosis sebagai karsinoma kistik adenoid. Ini adalah tumor epitel ganas yang menunjukkan
tubulus atau pembentukan kelenjar papiler. Semua adenokarsinoma sangat ganas dan
bermetastasis ke kelenjar getah bening regional dan visera umum. 18
Gambaran Klinis
• Preferensi usia dan jenis kelamin: PLGA adalah neoplasma kelenjar ludah minor yang
sebagian besar dilaporkan pada kelompok usia lanjut dengan usia rata-rata kejadiannya
adalah 59 tahun. PLGA menunjukkan dominasi wanita secara umum
• Lokasi: Paling sering terlihat di regio palatal (Gbr. 23.60)
• Tanda dan gejala: Pasien mengeluhkan pembengkakan yang keras, tidak teratur, dan
biasanya tidak nyeri tekan. Penderita mungkin mengeluhkan hidung tersumbat, sinusitis18
36
Fitur Radiografi
CT menunjukkan massa yang terdefinisi dengan baik. Kadang-kadang, mungkin ada keterlibatan
dasar sinus maksilaris (Gambar 23.61 sampai 23.63). 18
Pengelolaan
37
• Eksisi massa tumor harus dilakukan.
• Tanda: Seringkali terdapat fiksasi tumor ke struktur di bawahnya serta pada kulit atau
mukosa di atasnya.
• Tanda: Seringkali terdapat fiksasi tumor ke struktur di bawahnya serta pada kulit atau
mukosa di atasnya. 18
Gambaran Klinis
• Usia: Tumor terjadi dari dekade ke-2 sampai ke-9, tetapi paling sering pada dekade ke-5
dan ke-6. Usia rata-rata pasien dengan adenoma pleomorfik ganas adalah sekitar sepuluh
tahun lebih tua daripada pasien dengan bentuk penyakit jinak.
• Gejala: Nyeri lebih sering menjadi gambaran keganasan daripada adenoma pleomorfik
jinak
• Ukuran: Tumor biasanya lebih besar dari tumor jinak18
Fitur Radiologis
38
Diagnosa
Pengelolaan
• Bedah: Eksisi bedah dengan diseksi simpul lokal harus dilakukan. Neoplasma ini
menunjukkan tingkat kekambuhan yang tinggi setelah operasi pengangkatan serta
tingginya insiden keterlibatan kelenjar getah bening regional. 18
2.14 Karsinoma Epidermoid
Ini juga disebut sebagai 'karsinoma sel skuamosa kelenjar ludah'. Diperkirakan berasal dari
duktal, karena duktus dapat mengalami metaplasia skuamosa dengan mudah. Ini menunjukkan
sifat infiltratif dan metastasis awal. Itu berulang dengan mudah. Ini bukan lesi yang umum dan
muncul lebih sering di kelenjar ludah mayor. Penggunaan gabungan antara pembedahan dan
radioterapi lebih menguntungkan. 18
39
2.15 Karsinoma Tidak Terdiferensiasi
Tumor terdiri dari sel bulat atau spindel yang berdiferensiasi buruk. Karsinoma yang tidak
berdiferensiasi menyusup ke struktur sekitarnya dan dengan mudah bermetastasis ke kelenjar
getah bening serviks. 18
• Iskemia lokal: Bisa disebabkan oleh vaskulitis fisik, kimiawi, infektif, atau lokal
• Trauma: Trauma dari berbagai faktor seperti pemakaian gigi palsu dan pembedahan baru-
baru ini dapat menjadi faktor penyebab
• Faktor lain: Dalam beberapa kasus, merokok dan konsumsi alkohol dapat menyebabkan
kondisi ini. Bisa juga terjadi pada infeksi saluran pernafasan bagian atas. 18
40
Gambaran Klinis
• Usia dan jenis kelamin: Ini lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Terjadi pada
dekade ke-4 dan ke-5
• Lokasi: Sebagian besar kasus terjadi di langit-langit, meskipun kasus bantalan bibir atau
retromolar juga telah dilaporkan
• Onset: Mungkin ada pembengkakan ringan awal yang tampak sebagai pembengkakan
non-ulserasi (Gbr. 23.65)
• Gejala: Biasanya tidak menimbulkan rasa sakit atau hanya menyebabkan sedikit nyeri.
Pasien mungkin mengalami mati rasa di langit-langit, atau area 'kelonggaran' di langit-
langit. Potongan jaringan mungkin jatuh dari langit-langit. Mungkin ada nyeri yang
dirujuk ke telinga atau faring
• Tanda: Lesi dimulai sebagai ulkus yang lebih besar atau nodul yang mengalami ulserasi,
yang bisa unilateral atau bilateral. Ulkus berbatas tegas dari jaringan normal di
sekitarnya, dan sering memiliki reaksi inflamasi di sekitar tepi lesi. Margin ulkus dalam
beberapa kasus, mungkin membesar dan meradang. Lesi ditutupi oleh eksudat inflamasi
dan debris nekrotik, namun tepi ulkus biasanya bersih, tajam dan jaringan granulasi
sering terlihat pada aspek superfisial.
• Ukuran: Lesi itu sendiri paling sering berupa ulkus yang dalam, seperti kawah, dan tidak
mengeluarkan cairan dengan diameter 1 sampai 3 cm. 18
41
Diagnosa
Perbedaan diagnosa
Pengelolaan
42
• Self-limiting: Ini adalah kondisi yang membatasi diri. Tidak membutuhkan perawatan
apapun. Penyembuhan terjadi dalam enam hingga dua belas minggu melalui niat
sekunder
• Debridemen: Debridemen dan bilasan garam dapat membantu dalam proses
penyembuhan. 18
Ada frekuensi yang lebih tinggi pada wanita dengan usia 30 hingga 39 tahun untuk tumor jinak
dan 40 hingga 49 tahun untuk tumor ganas. Mucoepidermoid dan adenokarsinoma adalah
varietas yang umum. Paru-paru adalah tempat umum dari metastasis yang berbeda.
Secara radiologis, ini mungkin menunjukkan depresi seperti piring yang terdefinisi
dengan baik pada tulang di bawahnya berbeda dengan tumor ganas yang menyerang tulang dan
menghasilkan cacat radiolusen yang tidak rata.
Pada sialografi, area di bawah pengisian di dalam kelenjar, karena kompresi duktus oleh tumor
terlihat. Duktus yang berdekatan dengan tumor biasanya meregang, ini dikenal sebagai
penampilan 'bola di tangan'. Retensi media kontras di saluran yang dipindahkan selama fase
pengosongan terlihat. 18
43
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Histologi adalah ilmu yang mempelajari tentang struktur jaringan secara detail
menggunakan mikroskop pada sediaan jaringan yang dipotong tipis, salah satu dari
cabang- cabang biologi. Histologi dapat juga disebut sebagai ilmu anatomi mikroskopis.
Masing-masing penyakit atau kelainan memiliki berbagai macam histologi yang berbeda
serta asal yang berbeda juga. Banyak kebengkakan misalnya : abses, radang kronis,
benjolan parasit, dan nekrosa lemak intra abdominal bukan termasuk tumor. Sebaliknya
tumor akan terus bertambah karena pertambahan sel-sel yang baru
44
DAFTAR PUSTAKA
1. Mulatsih, Sri, and Vicka Farah Diba. "Neuroblastoma pada Anak Usia 7 Tahun Laporan
Kasus." Sari Pediatri 10.5 (2016): 292-5.
2. Garniasih, R. Dina, Endang Windiastuti, and Djajadiman Gatot. "Karakteristik dan
Kesintasan Neuroblastoma pada Anak di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo." Sari
Pediatri 11.1 (2016): 39-46.
3. Dhamiyati W, Dwidanarti S. Peranan Radiologi dan Radioterapi pada Penatalaksanaan
Malignant Peripheral Nerve Sheath Tumor. Jurnal Radiologi Indonesia [Internet]. 2018
[cited 8 December 2020];3(2):68-72. Available from:
http://jurnalradiologiindonesia.org/index.php/jri/article/download/69/63
4. Cherian R. Magnetic resonance imaging in endometrial cancer. Springer. 2015;: p. 81-88.
5. Tien Y, Lee C, Huang C, Hu R, Lee P. Surgery for gastrointestinal stromal tumors of the
duodenum. Ann Surg Oncol. 2010 Jan; 17(1): p. 109-14.
6. Chi D. National Organization for Rare Disorders. [Online].; 2018. Available from:
https://rarediseases.org/rare-diseases/uterine-leiomyosarcoma/..
7. Kristian Y, Sekarutami S. Radioterapi pada Sarkoma Uterus. Radioterapi dan Onkologi
Indonesia. 2018; 9(1): p. 5-12.
8. Cantrell L, Blank S, Duska L. Uterine carcinosarcoma: A review of the literature.
Gynecol Oncol. 2015.
9. Kastomo D. Deteksi Dini Gastrointestinal Stromal Tumor. Indonesian Journal of Cancer.
2008; 2: p. 74-77.
10. Cabebe E. Medscape. [Online].; 2019. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/278744-clinical#b1.
11. Ballinger A. Colorectal Cancer. BMJ. 2007 Oct; 335(7622): p. 715-718.
12. AJCC. Soft Tissue Sarcoma. In AJCC Cancer Staging Manual. 8th ed. New York:
Springer; 2015.
13. Ramnani D. WebPathology. 2019. Available from:
https://www.webpathology.com/image.asp?case=536&n=4
45
14. Böss I, Gabriel L, Solomayer E, Breitbach G, Bohle R, Horn L. Uterine Leiomyosarcoma
[Internet]. Karger.com. 2018 [cited 8 December 2020]. Available from:
https://www.karger.com/Article/Pdf/494299
15. Puteri E, Rahman A. Rhabdomyosarcoma Orbita. Jurnal Kesehatan Andalas [Internet].
2019 [cited 8 December 2020];8(3):743. Available from:
http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/1064
16. Hutagalung S, Siahaan J. Alveolar Soft Part Sarcoma. Majalah Ilmiah Methoda
[Internet]. 2018 [cited 8 December 2020];(3):7-9. Available from:
http://file:///C:/Users/ASUS/Downloads/279-Article%20Text-975-1-10-20190226.pdf
17. Ruwaidah,Et Al. 2015. Gambaran Histopolgi Dan Klasifikasi Tumor Mamae Pada Anjing
Di Kota Denpasar:Indonesia Medicus Veterinus. 4(5) Hlm 1
18. textbook of oral medicine 3rd edition 2 hal:630-636
19. Bakta IM. Hematologi Klinik Ringkas. Edisi 1. Jakarta. EGC. 2006. 192-202- p.
20. Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Robbins Basic Pathology. Edisi 9. Philadelphia. W. B.
Saunders Company. 2013. 440-442p.
21. Ansell SM. Hodgkin Lymphoma: Diagnosis and Treatment. Mayo Clin Proc.
2015;90(11):1574-1583p.
22. McDade L. Classical Hodgkin’s Lymphoma: Pathogenesis and Future Treatment
Directions. Res Medica. 2015;23(1):47-57p.
23. Chandrasoma P, Taylor CR. Sistim Limfoid: Limfoma maligna. Alih bahasa. Dalam:
Chandrasoma P, Taylor CR. Patologi Anatomi. Edisi ke-2. Jakarta: EGC,1995:406-21.
24. Emmanouilides C, Casciato DA. Hodgkin and Non Hodgkin Lymphoma. In: Casciato
DA,ed. Manual of Clinical Oncology. 5thed. Philadelphia: Lippincot William &
Wilkins,2004:417-50.
25. Advani B, Jacobs CD. Lymphomas of the head and neck. In: Bailey BJ, Johnson JT,eds.
Head and Neck Surgery Otolaryngology.4thed. Philadelphia: Lippincot William &
Wilkins, 2006:1622-7.
26. Chan ACL, ChanJKC, Cheung MMC, Kapadia SB. Haematolymphoid tumours. In:
Barnes L, Eveson JW, Reichart P, Sidransky D, eds. WHO Pathology & Genetics of
Head and Neck Tumours. Lyon: International Agency for Research on Cancer
Press,2005:58,104,155,199,277,357.
46
27. Zucca E. Extranodal lymphoma. Annonc 2008; 19:77-80. Adapted
from:http://www.annonc.oxfordjournals .org/cgi/reprint/19/suppl_4/iv77. Acces Sept 28,
2008 12. Pameijer FA, Haas RL. Neck lymphoma. In: Hermans R,ed. Head and Neck
Cancer Imaging. Berlin:Springer,2006:311-27.
28. Kim ST, Sim HJ, Jeon YS, Lee JW, Roh HJ. Clinicopathological features and T-cell
receptor gene rearrangement findings of mycosis fungoides in patients younger than age
20 years. J Dermatol. 2009;36:392–402
29. Yazganoglu KD, Topkarci Z, Buyukbabani N, Baykal C. Childhood mycosis fungoides:
A report of 20 cases from Turkey. JEADV. 2013;27:295-300
30. Alsuwaidan SM. Childhood mycosis fungoides: New observations from the Middle East.
J Saudi Society Dermatol Surg. 2012;16:5-8.
31. Nazareth F, Quaresma MV, Bernades F, Castro CGC, Nahn EP, Nery JA, Rochael MC,
dkk. Hypopigmented mycosis fungoides in a 7-year-old boy. J Cosm Dermatol Sci App.
2012;2:64-7
32. Poppe H, Kerstan A, Bockers M, Goebeler M, Geissinger E, Rosenwald A, dkk.
Childhood mycosis fungoides with a CD8+ CD56+ cytotoxic immunophenotype. J Cutan
Pathol. 2015;42:258-64.
33. Gameiro A, Gouveia M, Tellechea O, Moreno A. Childhood hypopigmented mycosis
fungoides: A commonly delayed diagnosis. BMJ Case Rep. 2014:1-4.
34. Boulos S, Vaid R, Aladily TN, Ivan DS, Talpur S, Duvic M. Clinical presentation,
immunopathology, and treatment of juvenileonset mycosis fungoides: A case series of 34
patients. J Am Acad Dermatol. 2014;71(6):1117-26.
35. Ferry JA. Burkitt’s lymphoma: clinicopathologic features and differential diagnosis.
Oncologist 2006; 11: 375–383.
36. Dave SS, Fu K, Wright GW, Lam LT, Kluin P, Boerma EJ, et al. Molecular diagnosis of
Burkitt’s lymphoma. N Engl J Med 2006; 354: 2431-2442.
37. Zech L, Haglund U, Nilsson K, Klein G. Characteristic chromosomal abnormalities in
biopsies and lymphoid-cell lines frompatients with Burkitt and non-Burkitt lymphomas.
Int J Cancer 1976; 17: 47-56.
38. Jaffe ES, Pittaluga S. Aggressive B-cell lymphomas: a review of new and old entities in
the WHO Classification. Hematology. Am Soc Hematol Educ Program 2011; 506–514.
47
39. Molyneux EM, Rochford R, Griffin B, Newton R, Jackson G, Menon G, et al. Burkitt’s
lymphoma. Lancet 2012; 379: 1234–1244.
40. Tamaru J, Hummel M, Marafioti T, Kalvelage B, Leoncini L, Minacci C et al. Burkitt's
lymphomas express VH genes with a moderate number of antigenselected somatic
mutations. Am J Pathol 1995; 147: 1398-1407.
41. Evans LS, Hancock BW. Non-Hodgkin lymphoma. Lancet 2003; 362: 139–146.
42. Jaffe ES, Harris NL, Stein H, Campo E, Pileri SA, Swerdlow SH. Introduction and
overwiew of the classification of the neoplasms. In Swerdlow SH, Campo E, Harris NL,
Jaffe ES, Pileri SA, Stein H, et al., editors. WHO Classification of Tumours of
Hematopoietic and Lymphoid Tissue. 4th ed. Lyon: International Agency for Research
on Cancer, 2008: 158-166.
43. Küppers R, Klein U, Leohansmann M, Rajewsky K. Cellular origin of human Bcell
lymphomas. N Engl J Med 1999; 341: 1520-1529.
44. Küppers R. Mechanisms of B-cell lymphoma pathogenesis. Nat Rev Cancer 2005; 5:
251–262.
45. Nussenzweig AN, Nussenzweig MC. Origin of chromosomal translocations in lymphoid
cancer. Cell 2010; 141: 27–38.
46. Calado DP, Sasaki Y, Godinho SA. Pellerin A., Köchert K., Sleckman BP, et al. The cell-
cycle regulator c-Myc is essential for the formation and maintenance of germinal centers.
Nat Immunol 2012; 13: 1092-1101.
47. Dominguez-Sola D, Victora GD, Ying CY, Phan RT, Saito M, Nussenzweig MC, et al.
The proto-oncogene MYC is
48