Anda di halaman 1dari 39

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka

1. Konsep HIV/AIDS

a. Pengertian HIV/AIDS

HIV adalah sebuah virus yang menyerang sistem kekebalan

tubuh manusia.16 AIDS adalah kependekan dari Acquired Immune

Deficiency Syndrome. Acquired berarti didapat, bukan keturunan.

Immuno terkait dengan sistem kekebalan tubuh kita. Deficiency

berarti kekurangan. Syndrome atau sindrom berarti penyakit

dengan kumpulan gejala, bukan gejala tertentu. Jadi AIDS berarti

kumpulan gejala akibat kekurangan atau kelemahan sistem

kekebalan tubuh yang dibentuk setelah kita lahir.17

AIDS muncul setelah virus (HIV) menyerang sistem

kekebalan tubuh kita selama lima hingga sepuluh tahun atau

lebih.16 HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan virus

yang dapat menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah

putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem

kekebalan tubuh manusia. AIDS (Acquired Immuno Deficiency

Syndrome) atau kumpulan berbagai gejala penyakit akibat

turunnya kekebalan tubuh individu akibat HIV. Ketika individu

sudah tidak lagi memiliki sistem kekebalan tubuh maka semua


13

penyakit dapat dengan mudah masuk ke dalam tubuh. Karena

sistem kekebalan tubuhnya menjadi sangat lemah, penyakit yang

tadinya tidak berbahaya akan menjadi sangat berbahaya.

Orang yang baru terpapar HIV belum tentu menderita

AIDS. Hanya saja lama kelamaan sistem kekebalan tubuhnya

makin lama semakin lemah, sehingga semua penyakit dapat

masuk ke dalam tubuh. Pada tahapan itulah penderita disebut

sudah terkena AIDS.18

b. Penyebab HIV/AIDS

Virus masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui

perantara darah, semen, dan sekret vagina. Setelah memasuki

tubuh manusia, maka target utama HIV adalah limfosit CD 4

karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan

CD4. Virus ini akan mengubah informasi genetiknya ke dalam

bentuk yang terintegrasi di dalam informasi genetik dari sel yang

diserangnya, yaitu merubah bentuk RNA (ribonucleic acid)

menjadi DNA (deoxyribonucleic acid) menggunakan enzim

reverse transcriptase. DNA pro-virus tersebut kemudian

diintegrasikan ke dalam sel hospes dan selanjutnya diprogramkan

untuk membentuk gen virus. Setiap kali sel yang dimasuki

retrovirus membelah diri, informasi genetik virus juga ikut

diturunkan.
14

c. Tahapan perubahan HIV/AIDS

1) Fase 1

Umur infeksi 1-6 bulan (sejak terinfeksi HIV)

individu sudah terpapar dan terinfeksi. Tetapi ciri-ciri

terinfeksi belum terlihat meskipun ia melakukan tes darah.

Pada fase ini antibodi terhadap HIV belum terbentuk. Bisa

saja terlihat/mengalami gejala-gejala ringan, seperti flu

(biasanya 2-3 hari dan sembuh sendiri).

2) Fase 2

Umur infeksi : 2-10 tahun setelah terinfeksi HIV.

Pada fase kedua ini individu sudah positif HIV dan belum

menampakkan gejala sakit. Sudah dapat menularkan pada

orang lain. Bisa saja terlihat/mengalami gejala-gejala ringan,

seperti flu (biasanya 2-3 hari dan sembuh sendiri).

3) Fase 3

Mulai muncul gejala-gejala awal penyakit. Belum

disebut sebagai gejala AIDS. Gejala-gejala yang berkaitan

antara lain keringat yang berlebihan pada waktu malam, diare

terus menerus, pembengkakan kelenjar getah bening, flu yang

tidak sembuh-sembuh, nafsu makan berkurang dan badan

menjadi lemah, serta berat badan terus berkurang. Pada fase

ketiga ini sistem kekebalan tubuh mulai berkurang.


15

4) Fase 4

Sudah masuk pada fase AIDS. AIDS baru dapat

terdiagnosa setelah kekebalan tubuh sangat berkurang dilihat

dari jumlah sel-T nya. Timbul penyakit tertentu yang disebut

dengan infeksi oportunistik yaitu TBC, infeksi paru-paru

yang menyebabkan radang paru-paru dan kesulitan bernafas,

kanker, khususnya sariawan, kanker kulit atau sarcoma

kaposi, infeksi usus yang menyebabkan diare parah

berminggu-minggu, dan infeksi otak yang menyebabkan

kekacauan mental dan sakit kepala.19

WHO menetapkan empat stadium klinis HIV, sebagaimana

berikut:

1) Stadium 1 : tanpa gejala.

2) Stadium 2 : penyakit ringan. 3) Stadium 3 :

penyakit lanjut.

4) Stadium 4 : penyakit berat.17

d. Penularan HIV/AIDS

1) Media penularan HIV/AIDS

HIV dapat ditularkan melalui pertukaran berbagai

cairan tubuh dari individu yang terinfeksi, seperti darah, air

susu ibu, air mani dan cairan vagina. Individu tidak dapat

terinfeksi melalui kontak sehari-hari biasa seperti berciuman,


16

berpelukan, berjabat tangan, atau berbagi benda pribadi,

makanan atau air.20

2) Cara penularan HIV/AIDS

a) Hubungan seksual : hubungan seksual yang tidak aman

dengan orang yang telah terpapar HIV.

b) Transfusi darah : melalui transfusi darah yang tercemar

HIV.

c) Penggunaan jarum suntik : penggunaan jarum suntik,

tindik, tato, dan pisau cukur yang dapat menimbulkan

luka yang tidak disterilkan secara bersama-sama

dipergunakan dan sebelumnya telah dipakai orang yang

terinfeksi HIV. Cara-cara ini dapat menularkan HIV

karena terjadi kontak darah.

d) Ibu hamil kepada anak yang dikandungnya


(1) Antenatal : saat bayi masih berada di dalam
rahim, melalui plasenta.

(2)
Intranatal : saat proses persalinan, bayi
terpapar darah ibu atau cairan vagina.

(3) Postnatal : setelah proses persalinan, melalui


air susu ibu. Kenyataannya 25-35% dari

semua bayi yang dilahirkan oleh ibu yang

sudah terinfeksi di negara berkembang

tertular HIV, dan 90% bayi dan anak yang

tertular HIV tertular dari ibunya.


17

3) Perilaku berisiko yang menularkan HIV/AIDS

a) Melakukan seks anal atau vaginal tanpa kondom.

b) Memiliki infeksi menular seksual lainnya seperti sifilis,

herpes, klamidia, kencing nanah, dan vaginosis bakterial.

c) Berbagi jarum suntik yang terkontaminasi, alat suntik dan

peralatan suntik lainnya dan solusi obat ketika

menyuntikkan narkoba.

d) Menerima suntikan yang tidak aman, transfusi darah,

transplantasi jaringan, prosedur medis yang melibatkan

pemotongan atau tindakan yang tidak steril.

e) Mengalami luka tusuk jarum yang tidak disengaja,

termasuk diantara pekerja kesehatan.

f) Memiliki banyak pasangan seksual atau mempunyai

pasangan yang memiliki banyak pasangan lain.18

e. Gejala HIV/AIDS

Gejala-gejala HIV bervariasi tergantung pada tahap infeksi.

Meskipun orang yang hidup dengan HIV cenderung paling

menular dalam beberapa bulan pertama, banyak yang tidak

menyadari status mereka sampai tahap selanjutnya. Beberapa

minggu pertama setelah infeksi awal, individu mungkin tidak

mengalami gejala atau penyakit seperti influenza termasuk

demam, sakit kepala, ruam, atau sakit tenggorokan.


18

Ketika infeksi semakin memperlemah sistem kekebalan,

seorang individu dapat mengembangkan tanda dan gejala lain,

seperti kelenjar getah bening yang membengkak, penurunan berat

badan, demam, diare dan batuk. Tanpa pengobatan, mereka juga

bisa mengembangkan penyakit berat seperti tuberkulosis,

meningitis kriptokokus, infeksi bakteri berat dan kanker seperti

limfoma dan sarkoma kaposi.20

f. Tes infeksi HIV/AIDS

1) Pengertian

Tes HIV adalah tes yang dilakukan untuk memastikan

apakah individu yang bersangkutan telah dinyatakan terkena

HIV atau tidak. Tes HIV berfungsi untuk mengetahui adanya

antibodi terhadap HIV atau mengetes adanya antigen HIV

dalam darah. Ada beberapa jenis tes yang biasa dilakukan

diantaranya yaitu tes Elisa, tes Dipstik dan tes Western Blot.

Masing-masing alat tes memiliki sensitivitas atau kemampuan

untuk menemukan orang yang mengidap HIV dan spesifitas

atau kemampuan untuk menemukan individu yang tidak

mengidap HIV. Untuk tes antibodi HIV semacam Elisa

memiliki sensitivitas yang tinggi. Dengan kata lain persentase

pengidap HIV yang memberikan hasil negatif palsu sangat

kecil. Sedangkan spesifitasnya adalah antara 99,70%-99,90%

dalam arti 0,1%-0,3% dari semua orang yang tidak


19

berantibodi HIV akan dites positif untuk antibodi tersebut.

Untuk itu hasil Elisa positif perlu diperiksa ulang

(dikonfirmasi) dengan metode Western

Blot yang

mempunyai spesifitas yang lebih tinggi.

2) Syarat dan prosedur tes darah HIV/AIDS

Syarat tes darah untuk keperluan HIV:

a) Bersifat rahasia.

b) Harus dengan konseling pada pra tes.

c) Tidak ada unsur paksaan.

3) Tahapan tes HIV/AIDS

Pre tes konseling

a) Identifikasi risiko perilaku seksual (pengukuran tingkat

risiko perilaku).

b) Penjelasan arti hasil tes dan prosedurnya (positif/negatif).

c) Informasi HIV/AIDS sejelas-jelasnya.

d) Identifikasi kebutuhan pasien, setelah mengetahui hasil

tes.

e) Rencana perubahan perilaku.

4) Tes darah Elisa


20

Hasil tes Elisa (-) kembali melakukan konseling untuk

penataan perilaku seks yang lebih aman (safer sex).

Pemeriksaan diulang kembali dalam waktu 3-6 bulan

berikutnya. Hasil tes Elisa (+), konfirmasikan dengan

Western Blot.

5) Tes Western Blot

Hasil tes Western Blot (+) laporkan ke dinas

kesehatan (dalam keadaan tanpa nama). Lakukan pasca

konseling dan pendampingan (menghindari emosi putus asa

keinginan untuk bunuh diri). Hasil tes Western Blot (-) sama

dengan Elisa (-).18

g. Hubungan antara HIV/AIDS dengan penyalahgunaan napza dan

hubungan seks bebas tidak aman

1) HIV/AIDS-hubungan seks bebas dan tidak aman

Salah satu media penularan HIV/AIDS yaitu melalui

cairan sperma maupun cairan vagina, maka perilaku

hubungan seks bebas tidak aman merupakan perilaku yang

beresiko tertular maupun menularkan virus HIV.

2) HIV/AIDS-penyalahgunaan NAPZA

Walaupun tidak seluruh pengguna NAPZA, namun

sebagian besar pengguna beberapa jenis NAPZA cenderung

menggunakan jarum suntik sebagai media pemakaiannya.


21

Penggunaan jarum suntik yang tidak steril dan dilakukan

secara bergantian sangat rentan terhadap penularan virus

HIV/AIDS (tertular maupun menularkan). Hal yang lebih

mengerikan, pengguna NAPZA yang merupakan ODHA

(Orang dengan HIV/AIDS) akan membuatnya lebih cepat

memasuki fase AIDS. Hal ini dikarenakan karakteristik

NAPZA yang bersifat menggerogoti organ tubuh. Termasuk

juga perokok karena rokok memiliki sifat yang sama.

h. Pencegahan HIV/AIDS

Lima cara pokok untuk mencegah penularan HIV (A, B, C, D, E)

yaitu:

A (Abstinence) : artinya absen seks atau tidak melakukan

hubungan seks bagi yang belum menikah.

B (Be faithful) : artinya bersikap saling setia kepada satu

pasangan seks (tidak berganti-ganti pasangan).

C (Condom) : artinya cegah penularan HIV melalui hubungan

seksual dengan menggunakan kondom.

D (Drug No) : artinya dilarang menggunakan narkoba.

E (Education) : artinya pemberian edukasi dan informasi yang

benar mengenai HIV, cara penularan, pencegahan dan

pengobatannya.
22

Individu dapat mengurangi risiko infeksi HIV dengan membatasi

paparan faktor risiko. Pendekatan utama untuk pencegahan HIV

sebagai berikut :

1) Penggunaan kondom pria dan wanita

Penggunaan kondom pria dan wanita yang benar dan

konsisten selama penetrasi vagina atau dubur dapat

melindungi terhadap penyebaran infeksi menular seksual,

termasuk HIV. Bukti menunjukkan bahwa kondom lateks

laki-laki memiliki efek perlindungan 85% atau lebih besar

terhadap HIV dan infeksi menular seksual (IMS) lainnya.

2) Tes dan konseling untuk HIV dan IMS

Pengujian untuk HIV dan IMS lainnya sangat

disarankan untuk semua orang yang terpajan salah satu faktor

risiko. Dengan cara ini orang belajar tentang status infeksi

mereka sendiri dan mengakses layanan pencegahan dan

perawatan yang diperlukan tanpa penundaan. WHO juga

merekomendasikan untuk menawarkan tes untuk pasangan.

Selain itu, WHO merekomendasikan pendekatan

pemberitahuan mitra bantuan sehingga orang dengan HIV

menerima dukungan untuk menginformasikan mitra mereka

sendiri, atau dengan bantuan penyedia layanan kesehatan.

3) Tes dan konseling, keterkaitan dengan


perawatan
23

tuberkulosis

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang paling umum

dan penyebab kematian di antara orang dengan HIV. Hal ini

fatal jika tidak terdeteksi atau tidak diobati, yang bertanggung

jawab untuk lebih dari 1 dari 3 kematian terkait HIV.

Deteksi dini TB dan keterkaitan yang cepat dengan

pengobatan TB dan ARV dapat mencegah kematian pada

ODHA. Pemeriksaan TB harus ditawarkan secara rutin di

layanan perawatan HIV dan tes HIV rutin harus ditawarkan

kepada semua pasien dengan dugaan dan terdiagnosis TB.

Individu yang didiagnosis dengan HIV dan TB aktif harus

segera memulai pengobatan TB yang efektif (termasuk untuk

TB yang resistan terhadap obat) dan ARV. Terapi

pencegahan TB harus ditawarkan kepada semua orang

dengan HIV yang tidak memiliki TB aktif.

4) Sunat laki-laki oleh medis secara sukarela

Sunat laki-laki oleh medis, mengurangi risiko infeksi

HIV sekitar 60% pada pria heteroseksual. Sunat laki-laki oleh

medis juga dianggap sebagai pendekatan yang baik untuk

menjangkau laki-laki dan remaja laki-laki yang tidak sering

mencari layanan perawatan kesehatan.

5) Penggunaan obat antiretroviral untuk pencegahan


24

Penelitian menunjukkan bahwa jika orang HIV-positif

mematuhi rejimen ARV yang efektif, risiko penularan virus

ke pasangan seksual yang tidak terinfeksi dapat dikurangi

sebesar 96%. Rekomendasi WHO untuk memulai ARV pada

semua orang yang hidup dengan HIV akan berkontribusi

secara signifikan untuk mengurangi penularan HIV.

6) Profilaksis pasca pajanan untuk HIV

Profilaksis pasca pajanan adalah penggunaan obat

ARV dalam 72 jam setelah terpapar HIV untuk mencegah

infeksi. Profilaksis pasca pajanan mencakup konseling,

pertolongan pertama, tes HIV, dan pemberian obat ARV

selama 28 hari dengan perawatan lanjutan. WHO

merekomendasikan penggunaan profilaksis pascapajanan

untuk pajanan pekerjaan, non-pekerjaan, dewasa dan

anakanak.

7) Pengurangan dampak buruk bagi orang-orang yang

menyuntikkan dan menggunakan narkoba

Mulai berhenti menggunakan NAPZA sebelum

terinfeksi HIV, tidak memakai jarum suntik, sehabis

menggunakan jarum suntik langsung dibuang atau jika

menggunakan jarum yang sama maka disterilkan terlebih

dahulu, yaitu dengan merendam pemutih (dengan kadar


25

campuran yang benar) atau direbus dengan suhu tinggi yang

sesuai.

8) Bagi remaja

Semua orang tanpa kecuali dapat tertular, sehingga

remaja tidak melakukan hubungan seks tidak aman, berisiko

IMS karena dapat memperbesar risiko penularan HIV/AIDS.

Mencari informasi yang lengkap dan benar yang berkaitan

dengan HIV/AIDS. Mendiskusikan secara terbuka

permasalahan yang sering dialami remaja dalam hal ini

tentang masalah perilaku seksual dengan orang tua, guru,

teman maupun orang yang memang paham mengenai hal

tersebut. Menghindari penggunaan obat-obatan terlarang dan

jarum suntik, tato dan tindik. Tidak melakukan kontak

langsung percampuran darah dengan orang yang sudah

terpapar HIV. Menghindari perilaku yang dapat mengarah

pada perilaku yang tidak sehat dan tidak bertanggungjawab.

Paket komprehensif intervensi untuk pencegahan dan pengobatan

HIV meliputi:

1) Program jarum dan alat suntik.

2) Terapi substitusi opioid untuk orang yang bergantung pada

opioid dan pengobatan ketergantungan obat berbasis bukti

lainnya.
26

3) Tes dan konseling HIV.


4) Perawatan HIV.

5) Informasi dan edukasi pengurangan risiko dan penyediaan

nalokson.

6) Penggunaan kondom.

7) Manajemen IMS, tuberkulosis dan virus hepatitis.20

i. Pengobatan bagi penderita HIV/AIDS

1) HIV/AIDS belum dapat disembuhkan

Sampai saat ini belum ada obat-obatan yang dapat

menghilangkan HIV dari dalam tubuh individu. Ada beberapa

kasus yang menyatakan bahwa HIV/AIDS dapat

disembuhkan. Setelah diteliti lebih lanjut, pengobatannya

tidak dilakukan dengan standar medis, tetapi dengan

pengobatan alternatif atau pengobatan lainnya. Obat-obat

yang selama ini digunakan berfungsi

menahan perkembangbiakan virus HIV dalam tubuh,

bukan menghilangkan HIV dari dalam tubuh. Obat-obatan

ARV sudah dipasarkan secara umum, untuk

obat generik. Namun tidak semua orang yang HIV positif

sudah membutuhkan obat ARV, ada kriteria khusus.

Meskipun semakin hari makin banyak individu yang

dinyatakan positif HIV, namun sampai saat ini belum ada

informasi adanya obat yang dapat

menyembuhkan
27

HIV/AIDS. Bahkan sampai sekarang belum ada perkiraan


resmi mengenai kapan obat yang dapat menyembuhkan AIDS

atau vaksin yang dapat mencegah AIDS ditemukan.

2) Pengobatan HIV/AIDS

Untuk menahan lajunya tahap perkembangan virus

beberapa obat yang ada adalah antiretroviral dan infeksi

oportunistik. Obat antiretroviral adalah obat yang

dipergunakan untuk retrovirus seperti HIV guna menghambat

perkembangbiakan virus. Obat-obatan yang termasuk

antiretroviral yaitu AZT, Didanoisne, Zaecitabine, Stavudine.

Obat infeksi oportunistik adalah obat yang digunakan untuk

penyakit yang muncul sebagai efek samping rusaknya

kekebalan tubuh. Yang terpenting untuk pengobatan

oportunistik yaitu menggunakan obat-obat sesuai jenis

penyakitnya, contoh : obat-obat anti TBC.18

2. Konsep Kualitas Hidup

a. Pengertian

Menurut World Health Organization Quality of Life

(WHOQOL) kualitas hidup adalah persepsi individu mengenai

posisi individu dalam hidup sesuai konteks budaya dan sistem

nilai yang dianutnya, dimana individu hidup dan hubungannya

dengan harapan, tujuan, standar yang ditetapkan dan perhatian

dari individu. Masalah yang mencakup kualitas hidup sangat luas

dan kompleks termasuk masalah kesehatan fisik, status


28

psikologis, tingkat kebebasan, hubungan sosial, dan lingkungan

dimana mereka berada.21

Kualitas hidup adalah konsep yang lebih luas daripada

standar hidup. Kualitas hidup mencakup sekumpulan penuh

faktor-faktor yang mempengaruhi apa yang kita hargai dalam

hidup ini, melampaui sisi materialnya. Kualitas hidup adalah

perbedaan antara keinginan yang ada dibandingkan perasaan yang

ada sekarang. Pernyataan ini dikenal dengan sebutan “Calman‟s

Gap”. Calman mengungkapkan pentingnya mengetahui

perbedaan antara perasaan yang ada dengan keinginan yang

sebenarnya. Contohnya dengan membandingkan suatu keadaan

antara “dimana seseorang berada” dengan “dimana seseorang

ingin berada”. Jika perbedaan antara kedua keadaan ini lebar,

ketidakcocokan ini menunjukkan bahwa kualitas hidup seseorang

tersebut rendah. Sedangkan kualitas hidup tinggi jika perbedaan

yang ada antara keduanya kecil.

Beberapa pendekatan fenomenologi dari kualitas hidup

menekankan tentang pentingnya persepsi subjektif seseorang

dalam memfungsikan kemampuan mereka sendiri dan

membandingkannya dengan standar kemampuan internal yang

mereka miliki agar dapat mewujudkan sesuatu menjadi lebih ideal

dan sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Kualitas hidup

adalah penilaian individu terhadap posisi mereka di dalam


29

kehidupan, dalam konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka

hidup dalam kaitannya dengan tujuan individu, harapan, standar

serta apa yang menjadi perhatian individu. Terdapat tiga

pendekatan konseptual untuk mengukur kualitas hidup, yaitu:

1) Pendekatan pertama : dikembangkan erat dengan riset

psikologis, dipijakkan pada gagasan tentang kesejahteraan

subjektif. Pendekatan ini terkait erat dengan tradisi utilitarian,

yang menyatakan bahwa upaya manusia untuk „bahagia‟ dan

„puas‟ dengan hidup mereka merupakan tujuan universal

eksistensi manusia.

2) Pendekatan kedua : berakar pada gagasan tentang kapabilitas.

Pendekatan ini melihat hidup seseorang sebagai kombinasi

antara berbagai „kegiatan dan kedirian‟ (functionings) dan

kebebasannya untuk memilih diantara fungsi-fungsi tersebut

(capabilities). Dasar pendekatan kapabilitas ini memiliki akar

kuat pada ide filosofis mengenai keadilan sosial. Hal ini

mencerminkan manusia akan fokus pada tujuan dan

menghargai kemampuan individu untuk mengejar dan

merealisasikan tujuan yang dia yakini, serta memainkan

peran prinsip-prinsip etis dalam merancang masyarakat yang

„baik‟.

3) Pendekatan ketiga : didasarkan pada gagasan tentang alokasi

yang adil.22
30

Kualitas hidup (quality of life) mengarah pada persepsi

pribadi seseorang akan hidupnya. Kualitas hidup adalah persepsi

berdasarkan nilai dan kepercayaan personal. Sudut pandang

kualitas hidup sangat bervariasi dan berubah bergantung pada

situasi. Peningkatan kualitas hidup dilakukan melalui pencegahan

dan manajemen penyakit kronis seperti perawatan preventif,

dukungan untuk gaya hidup sehat, edukasi dan pengkajian

lingkungan untuk mencegah cedera.23 Kusuma menjelaskan

bahwa sebagian besar responden memiliki kualitas hidup kurang

baik yaitu sejumlah 58 orang (63%).14 Terdapat juga hasil

penelitian Nojomi, Anbary, dan Ranjbar pada tahun 2008

menyebutkan bahwa lebih banyak responden yang

mempersepsikan kualitas hidupnya rendah atau kurang baik.24

b. Aspek-aspek kualitas hidup

Menurut WHOQOL-BREF terdapat empat aspek mengenai

kualitas hidup, diantaranya sebagai berikut:

1) Kesehatan fisik : mencakup aktivitas sehari-hari,

ketergantungan pada obat-obatan, energi dan kelelahan,

mobilitas, sakit dan ketidaknyamanan, tidur/istirahat, dan

kapasitas kerja.

2) Kesejahteraan psikologis : mencakup bodily


image
31

appearance, perasaan negatif, perasaan positif, self-esteem,

spiritual/agama/keyakinan pribadi, berpikir, belajar, memori

dan konsentrasi.

3) Hubungan sosial : mencakup relasi personal, dukungan

sosial, dan aktivitas seksual.

4) Hubungan dengan lingkungan : mencakup sumber finansial,

kebebasan, keamanan dan keselamatan fisik, perawatan

kesehatan dan sosial termasuk aksesbilitas dan kualitas,

lingkungan rumah, kesempatan untuk mendapatkan berbagai

informasi baru maupun keterampilan, partisipasi dan

mendapat kesempatan untuk melakukan rekreasi dan kegiatan

yang menyenangkan di waktu luang, lingkungan fisik

termasuk polusi/kebisingan/lalu lintas/iklim serta

transportasi.21

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup

Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pada orang

dengan HIV/AIDS yaitu sebagai berikut :

1) U mur

Hasil penelitian Li, et al. yang mendapatkan rata-rata

usia penderita HIV/AIDS yaitu 37,7 tahun.25 Kemudian

penelitian Greeff, et al. menunjukkan bahwa hasil usia

ratarata responden penelitiannya 36,8 tahun. 26 Nojomi, et al.

mengungkapkan bahwa usia rata-rata penderita HIV/AIDS


32

dalam penelitiannya 35,4 tahun.24 Lalu penelitian Kusuma

menyebutkan bahwa rata-rata usia responden dalam

penelitian ini adalah 30,43 tahun.14

Hasil penelitian Akinboro et al. menunjukkan bahwa

ODHA yang berumur ≤30 tahun memiliki kualitas hidup

yang lebih baik secara signifikan di semua domain.13

Penelitian Ma Liping et al. juga menyebutkan bahwa subjek

berusia <30 tahun memiliki skor yang lebih baik di semua

domain (P <0,01). Terdapat fakta bahwa pemuda setempat di

provinsi Zhejiang lebih berpikiran terbuka dan memiliki

toleransi yang lebih tinggi terhadap penyakit.10

Razavi et.al menunjukan adanya perbedaan kualitas

hidup pada tingkatan usia. Menjelaskan bahwa pasien HIV

yang usianya lebih dari 35 tahun memiliki kualitas hidup

yang rendah. Usia yang lebih tua telah terbukti berhubungan

dengan ketidakpuasan dalam hubungan sosial seseorang.27

Terdapat juga penelitian oleh Mardia dkk yang menemukan

kualitas hidup pada pasien semakin rendah seiring dengan

pertambahan usia karena tingkat kecemasan dan depresi.28

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yaitu penelitian oleh

Novianti dkk menunjukkan tidak ada hubungan antara umur

dengan kualitas hidup. Usia berkaitan dengan pola pikir dan

kematangan seseorang untuk menilai jenis stressor yang


33

datang, kemampuan beradaptasi dan mekanisme koping yang

adaptif yang digunakan mempengaruhi perilaku seseorang

dalam mengambil keputusan.29 Terdapat juga penelitian

Nojomi, Anbary dan Ranjbar menunjukkan bahwa umur tidak

mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Secara umum umur

mempengaruhi kematangan psikologis dari seseorang.24

Kemudian terdapat penelitian oleh Shan, et.al. pada

tahun 2011 menunjukan bahwa usia tidak mempengaruhi

kualitas hidup baik dari domain fisik, psikologis dan

hubungan sosial.30 Riset oleh Hasanah et al. pada tahun 2010

menunjukkan bahwa usia tidak menunjukan hubungan yang

signifikan dengan kualitas hidup seseorang.31

Berdasarkan hasil penelitian Kusuma 2011

menunjukkan bahwa usia tidak berpengaruh terhadap kualitas

hidup ODHA (ρ = 0,30). Secara umum, bertambahnya usia

seseorang mempengaruhi kualitas hidupnya. Hal ini

dikarenakan oleh perubahan fisik, sosial dan psikologis.

Namun pada kasus pasien HIV/AIDS, kualitas hidup tidak

dipengaruhi oleh usia. Hal tersebut dikarenakan diagnosa

HIV itu sendiri sudah menjadi stressor yang mempengaruhi

seluruh aspek dalam kehidupan pasien. Sehingga kualitas

hidup yang kurang baik tidak terbatas pada usia yang lebih

tua namun juga pada usia yang lebih muda.14


34

2) Jenis kelamin

Perbedaan gender yang signifikan ditemukan pada

kualitas hidup di semua domain.10 Penelitian Ming Z

menunjukkan kualitas hidup yang lebih baik pada pria

daripada wanita.42 Penelitian Akinboro et al. juga

mengungkapkan kualitas hidup lebih baik pada pria

dibanding wanita.13 Kemudian hasil penelitian Abboud S. et

al. didapatkan bahwa perempuan dengan HIV/AIDS (ODHA)

dilaporkan memiliki kualitas hidup yang paling rendah.43

3) Tingkat pendidikan

Penelitian Kusuma menunjukkan bahwa paling

banyak responden memiliki tingkat pendidikan tinggi (SLTA

dan perguruan tinggi) sebanyak 86 orang (93,5%).14

Penelitian Greeff, et al. mengungkapkan hasil bahwa

responden paling banyak memiliki pendidikan menengah ke

atas.26

Kualitas hidup yang lebih baik ditemukan pada orang

yang berpendidikan baik, pada subjek dengan pendidikan

tersier atau lebih tinggi dilaporkan kualitas hidup yang lebih

baik dalam domain fisik dan lingkungan (P <0,05). Hal ini

dikarenakan orang dengan tingkat pendidikan yang lebih

tinggi memiliki sikap yang lebih waspada terhadap penyakit


35

dengan kesadaran publik yang meningkat terhadap penyakit

HIV.10

Berdasarkan penelitian Bello menunjukan bahwa

seseorang dengan pendidikan tinggi memiliki kualitas hidup

lebih baik dibandingkan dengan individu dengan pendidikan

rendah.32 Hasil penelitian oleh Shan et.al. menunjukan adanya

hubungan antara tingkat pendidikan dengan kualitas hidup.

Tingkat pendidikan rendah (tidak sekolah) menunjukan

pengaruh yang signifikan dengan kualitas hidup pada domain

psikologis dan domain hubungan sosial.30

Penelitian oleh Kumar et.al. pada tahun 2013

menunjukan bahwa ada pengaruh tingkat pendidikan dengan

kualitas hidup pada penderita HIV pada domain hubungan

sosial dan lingkungan.33 Menurut Novianti dkk pendidikan

sangatlah penting dalam proses penerimaan informasi

kesehatan. Pasien HIV yang memiliki pendidikan tinggi

memiliki kemampuan kognitif yang baik untuk menerima,

mencari informasi tentang perawatan dirinya. Sehingga

pasien dengan pendidikan tinggi memiliki kualitas hidup

yang baik.29

Menurut Khumsaen et al. pendidikan merupakan

faktor sosiodemografi yang berhubungan secara signifikan


36

dengan kualitas hidup. ODHA dengan tingkat pendidikan

tinggi memiliki kualitas hidup yang tinggi dan sebaliknya. 34

Berdasarkan hasil penelitian Costa et al. pada tahun 2014

tingkat pendidikan dapat mempengaruhi keterampilan

manajemen diri untuk menghadapi penyakit dan berbagai

permasalahan lain. Orang berpendidikan memiliki

kemudahan untuk mengakses dan memahami informasi yang

diperoleh.35 Hasil penelitian Nirmal et al. menunjukkan

bahwa tingkat pendidikan dapat meningkatkan kemampuan

pasien untuk melakukan pemecahan masalah dan

pengambilan keputusan secara aktif, terkait dengan

penyakitnya.36

Terdapat pula penelitian yang berbeda yakni

penelitian yang dilakukan oleh Magfirah pada tahun 2014

hasilnya menunjukkan tingkat pendidikan tidak memiliki

pengaruh terhadap kualitas hidup ODHA di YPKDS

dikarenakan setiap bulan pihak yayasan melakukan

pertemuan secara rutin pada teman-teman ODHA untuk

memberikan informasi dan pengetahuan baru terkait HIV dan

AIDS.37

Hasil riset Zainudin pada tahun 2016 menunjukkan

bahwa tidak terdapat pengaruh pendidikan terhadap kualitas

hidup ODHA. Zainudin mengungkapkan walaupun


37

responden memiliki tingkat pendidikan yang rendah, tetapi

responden memiliki pengetahuan baik tentang penyakitnya,

dikarenakan setiap bulannya pihak LSM melakukan

pertemuan secara rutin pada teman-teman ODHA untuk

memberikan informasi dan pengetahuan baru terkait HIV dan

AIDS. Mereka diberikan informasi dan pengetahuan

mengenai dasar HIV dan AIDS, pengobatan ARV,

perkembangan pengetahuan lain yang menunjang

peningkatan kualitas hidup ODHA.38

4) Pekerjaan

Hasil penelitian Kusuma menunjukkan mayoritas

responden bekerja sebanyak 73 orang (79,3%).14 Penelitian

Bimal Charles et al. berupa analisis multivariat menunjukkan

bahwa kualitas hidup lebih buruk pada pekerja lepas.11

Kualitas hidup yang rendah dipengaruhi oleh pengangguran. 44

Kemudian penelitian Ma Liping et al. menyebutkan ada

perbedaan statistik dalam skor domain fisik, sosial, dan

lingkungan antara responden dengan pekerjaan petani dan

bukan petani. 10

Berdasarkan hasil penelitian Hardiansyah pada tahun

2014 menyebutkan bahwa pekerjaan responden yang

berperan sebagai ibu rumah tangga memiliki kualitas hidup

aspek fisik yang kurang. Hal ini disebabkan karena jika


38

pasien bekerja memiliki kondisi yang lebih baik, secara fisik

tidak mengalami masalah sehingga dapat beraktifitas dan

bekerja sebagaimana orang sehat.39

Hasil penelitian ini Magfirah dkk menunjukkan hasil

yang berbeda yakni tidak ada pengaruh status pekerjaan

terhadap kualitas hidup ODHA. Hal tersebut terjadi karena

ODHA memiliki kesadaran untuk memperoleh kualitas hidup

yang lebih baik dengan tetap menjaga kesehatannya.37

Menurut Zainudin tidak terdapat pengaruh pekerjaan

terhadap kualitas hidup ODHA. Hal ini disebabkan karena

ODHA ingin tetap hidup sehat, sehingga walaupun mereka

sibuk dengan pekerjaan, mereka tetap minum obat teratur.

Dan mereka tetap mendapat support dari keluarga dan

temanteman sehingga mereka tidak lupa minum obat.38

5) Kepatuhan terhadap ARV

Penelitian Ma Liping menunjukkan bahwa ARV ditemukan

menjadi faktor terkuat pertama yang

mempengaruhi kualitas hidup Orang dengan HIV/AIDS

(ODHA). Mereka yang menggunakan ARV memiliki skor

yang relatif lebih tinggi di semua domain dibandingkan

dengan yang tidak menggunakan ARV (P <0,05). Sedangkan

ketidakpatuhan terhadap ARV memiliki efek negatif pada

dimensi fisik kualitas hidup dari semua responden 10


39

Terdapat penelitian Igumbor et al. menunjukkan hubungan

yang signifikan antara penggunaan ARV dengan peningkatan

indikator kualitas hidup.45 Bhargava et al. menemukan bahwa

kualitas hidup pada pasien yang menerima ARV meningkat

secara signifikan dengan

peningkatan jumlah CD4.46

Penelitian longitudinal oleh Pitt J et al.

menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam kualitas

hidup setelah dari tindak lanjut inisiasi ARV selama 7

bulan.47 Lalu penelitian Wouters et al. juga menunjukkan

peningkatan yang signifikan dalam kualitas hidup setelah dari

tindak lanjut inisiasi ARV selama 24 bulan.48 Penelitian

Mweete et al. menunjukkan bahwa ARV efektif dalam

meningkatkan kualitas hidup.49

Penelitian Riberio RM di Belanda pada tahun 2008 juga

menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan sel CD4 tinggi

selama tahun pertama ARV, dan setelah itu akan mengalami

beberapa fluktuasi karena perubahan fungsi kekebalan

individu, ketidakpatuhan, obat efek samping dan

faktor lainnya.50

Kemudian pada penelitian Bimal Charles et al. ditemukan

hubungan yang signifikan antara kegagalan ARV dengan

kualitas hidup yang buruk (OR = 2.1; 1.1-4, 1, p <.05). 11


40

Berdasarkan penelitian Mardia dkk diungkapkan bahwa

kualitas hidup pasien lebih baik pada mereka yang menjalani

ARV ≥ 29 bulan.51 Berdasarkan penelitian Pitt J di Afrika

Selatan pada tahun 2009 mengungkapkan bahwa peningkatan

yang signifikan dalam kualitas hidup selama 7 bulan dari

tindak lanjut setelah inisiasi ARV.47

6) Dukungan sosial

Orang dengan HIV/AIDS yang menerima kurang atau

sedang dukungan sosial (p <.05) cenderung mempunyai

kualitas hidup yang rendah.11 Penelitian Deribew et al.

menunjukkan meskipun tidak signifikan secara statistik

kurangnya dukungan sosial memiliki efek negatif pada

dimensi fisik kualitas hidup dari ODHA.52

Berdasarkan Sarah et al. didapatkan hasil bahwa

kualitas hidup yang rendah dipengaruhi oleh dukungan sosial

yang buruk.53 Penelitian Rueda et al. menunjukkan bahwa

dukungan sosial adalah prediktor yang sangat penting dari

kualitas hidup penderita HIV.44 Hasil penelitian

MutabaziMwesigire et al. menyebutkan bahwa kualitas hidup

bergantung pada dukungan sosial.54

7) Sumber pendapatan

Terdapat penelitian Kusuma yang menyebutkan

bahwa penghasilan keluarga paling banyak berpenghasilan


41

tinggi yaitu berjumlah 63 orang (79,3%).14 Penelitian Bimal

Charles et al. berupa analisis multivariat menunjukkan bahwa

kualitas hidup yang buruk pada kelompok berpenghasilan

rendah (<= 2.000 INR per bulan).11 Kemudian penelitian

Deribew et al. mengungkapkan meskipun tidak signifikan

secara statistik, tidak adanya sumber pendapatan memiliki

efek negatif pada dimensi fisik kualitas hidup dari ODHA.

Kualitas hidup yang rendah dipengaruhi oleh keuangan.52

Terdapat penelitian Rueda et al. didapatkan hasil

bahwa status sosial ekonomi adalah prediktor yang sangat

penting dari kualitas hidup penderita HIV.44 Responden

dengan penghasilan keluarga rendah beresiko 2,021 kali

untuk memiliki kualitas hidup kurang baik dibanding

responden dengan penghasilan keluarga tinggi (OR=95%

CI:0,51-4,07).14

Menurut Setiyorini pada tahun 2015 responden

dengan penghasilan < 1 juta memiliki kualitas hidup aspek

psikologis yang cukup. Hal ini dapat disebabkan karena

pasien yang memiliki penghasilan kecil dan memiliki

ketergantungan kepada yang lain dalam memenuhi

kebutuhannya memiliki kualitas hidup aspek mental yang

rendah.40 Feng et al pada tahun 2015 mengungkapkan ODHA

yang memiliki penghasilan lebih baik dan hidup dalam


42

kondisi yang lebih baik.41

Terdapat penelitian yang mengemukakan hasil yang

berbeda yakni penelitian Zainudin yang menunjukkan bahwa

penghasilan tidak berpengaruh terhadap kualitas hidup (ρ =

0,70).38

8) Depresi

Kualitas hidup yang rendah dipengaruhi oleh

depresi.55 Penelitian Bimal Charles menunjukkan bahwa

hubungan yang signifikan antara depresi berat dengan

kualitas hidup yang buruk (OR=2,7; 1,1-6.7, p<.05). ODHA

yang mengalami depresi berat beresiko 1,4 (1,0-1,8; p=0,07)

dan 1,5 (1,1 - 2.1; p<.05) kali lebih mungkin untuk

mengalami kualitas hidup yang rendah pada domain

psikologis dan lingkungan.11

9) Stigma

Hasil penelitian Mutabazi-Mwesigire et al.

menunjukkan bahwa kualitas hidup bergantung pada stigma. 54

Penelitian Zelaya et al. mengungkapkan bahwa stigma

HIV/AIDS dapat sangat merusak kualitas hidup (QOL) orang

yang hidup dengan HIV dengan mengurangi akses dan


43

kualitas perawatan. Hal ini mempengaruhi kepatuhan terapi

sehingga berpotensi meningkatkan risiko transmisi.56

Berdasarkan penelitian Mahalakshmy et al.

didapatkan hasil bahwa ODHA yang mengalami stigma lebih

tinggi memperoleh skor yang lebih rendah secara psikologis,

lingkungan dan spiritualitas/agama/kepercayaan pribadi dari

kualitas hidup.12 Penelitian Bimal Charles et al. menunjukkan

hasil bahwa ODHA yang memiliki stigma diri yang parah

beresiko 1,4 (1,1 - 1,8) kali lebih mungkin untuk memiliki

kualitas hidup yang buruk pada domain lingkungan (p<.05).11

10) Lama diagnosa

Penelitian Ethel di Semarang pada tahun 2016

mengungkapkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara

lama menderita dengan kualitas hidup pada domain

psikologis pasien HIV/AIDS RSUP Dr. Kariadi. 15 Kemudian

riset oleh Novianti dkk pada tahun 2015 menyatakan terdapat

hubungan antara lama menderita dengan kualitas hidup

pasien HIV/AIDS. Pasien dengan infeksi HIV lebih lama

memiliki kualitas hidup yang rendah.29

3. Konseptual Model Health-Related Quality of Life

Konsep kualitas hidup berbeda dari kesehatan, meskipun

masih berkaitan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keseluruhan

kualitas hidup yaitu ekonomi, politik, budaya, dan spiritual. Konsep


44

kualitas hidup dibagi menjadi lima tingkatan yaitu faktor biologis dan

fisiologis, status gejala, status fungsional, persepsi kesehatan umum,

dan keseluruhan kualitas hidup.

a. Faktor Biologis dan Fisiologis

Penentu paling mendasar status kesehatan adalah molekuler

dan faktor genetik, tetapi di model ini diawali dengan faktor

biologis dan fisiologis karena ini umumnya sudah dikonsep,

diubah, diukur, dan diterapkan pada praktik klinis secara rutin.

Penilaian faktor biologis dan fisiologis fokus pada fungsi sel,

organ, dan sistem organ. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap

kesehatan pada dasarnya melalui mediasi oleh perubahan sel, atau

organ, atau fungsi sistem organ.

b. Status Gejala

Ketika gejala dinilai, fokus bergeser dari sel dan organ

tertentu menjadi organisme secara keseluruhan. Beberapa

perbedaan kelas gejala dijelaskan seperti gejala fisik didefinisikan

sebagai persepsi, perasaan atau bahkan keyakinan tentang

keadaan tubuh kita. Gejala psikofisik dianggap sebagai gejala

utama dirawat dengan kesehatan mental. Gejala emosional atau

psikologis dikonsepkan seperti rasa takut, khawatir, dan frustrasi.

Gejala definisikan sebagai persepsi pasien tentang suatu fisik

yang abnormal, emosional, atau pernyataan kognitif. Prosesproses


45

gejala pasien dipengaruhi oleh sejumlah demografis dan faktor

budaya.

c. Status Fungsional

Status Fungsional berarti menilai kemampuan individu

untuk melakukan tugas tertentu yang sudah ditentukan. Status

gejala adalah salah satu determinan penting dari status fungsional.

Faktor spesifik pasien lainnya juga penting seperti kepribadian

dan motivasi. Empat domain status fungsional yang biasanya

diukur adalah fungsi fisik, fungsi sosial, fungsi peran, dan fungsi

psikologis.

Sebuah studi terhadap Human Immunodeficiency Virus

(HlV) pasien positif yang memiliki kombinasi gejala dan variabel

sosiodemografi dijelaskan dari 25% hingga 39% dari variabilitas

dalam serangkaian ukuran fungsi dan kesejahteraan. Pada studi

tersebut pasien dengan AIDS didapatkan skor kelelahan dan

gejala fisik 55% dari variabilitas dalam fungsi fisik.

d. Persepsi Kesehatan Umum

Dua karakteristik umum yang menonjol persepsi kesehatan

adalah bahwa mereka mereprentasikan konsep kesehatan.yang

sebelumnya seperti kesehatan mental, dan rating subjektif.

Pentingnya persepsi kesehatan umum muncul dari observasi

prediktor penggunaan medis umum dan layanan kesehatan


46

mental, juga sebagai prediktor kuat kematian, bahkan setelah

mengendalikan faktor klinis.

e. Kualitas Hidup secara Keseluruhan

Peneliti sering menilai kesejahteraan subyektif responden

secara umum dengan ukuran seberapa senang dan atau kepuasan

dengan hidup responden secara keseluruhan. Pengalaman dapat

dianggap sebagai ringkasan ukuran kualitas hidup. Tingkat status

fungsional yang lebih rendah tidak terkait dengan tingkat

kepuasan yang lebih rendah.

Konsep kualitas hidup menjelaskan peran preferensi atau

nilainilai pasien bermain peran penting di beberapa titik di model

tersebut. Bagi setiap individu, gejala-gejala tertentu lebih

memberatkan daripada yang lain, dan individu tersebut akan memilih

untuk tidak memiliki gejala.

Kemudian konsep ini juga membahas peran emosional atau

model faktor psikologis. Gejala psikologis adalah perasaan seperti

depresi atau kecemasan, dan gangguan fungsi psikologis adalah

ketidakmampuan untuk menyelesaikan tugas yang membutuhkan

kesehatan psikologis seperti mempersulit keputusan atau menangani

situasi yang membuat stres. Faktor emosional atau psikologis seperti

depresi bisa diklasifikasikan tiga cara berbeda. Beberapa berpendapat

bahwa depresi memiliki komponen biologis yang kuat. Skala yang


47

secara khusus menilai gejala emosional yang terkait dengan depresi

dapat mengklasifikasikan depresi sebagai ukuran status gejala.

Terlepas dari bagaimana faktor emosional atau psikologis

diklasifikasikan, faktor ini dapat memiliki hubungan sebab akibat

dengan variabel di setiap tingkat model. Gejala psikologis lain seperti

kecemasan, ketakutan, dan keputusasaan. Gejala fisik yang

memburuk, gangguan fungsional, dan rendahnya kualitas hidup secara

keseluruhan, semua dapat menyebabkan depresi, kecemasan, dan

ketakutan.57

B. Kerangka Teori
48

Individual

Amplifikasi Motivasi Preferensi


Gejala Kepribadian Nilai

Variabel Status Status Persepsi Kualitas


Biologis Gejala Fungsional Kesehatan Hidup
Umum
dan
Fisiologi
s

Dukungan Dukungan Sosial Dukungan Sosial


Psikologis dan Ekonomi dan Psikologis

Faktor
Karakteristik Nonmedi
Lingkungan

Karakteristik

Gambar 1. Kerangka teori konseptual Health-Related Quality of Life 57


49

C. Kerangka Konsep
Variabel In dependen Variabel D ependen

Lama terdiagnosa Kualitas hidup ODHA

1. Dini 1. Baik
2. Lama 2. Kurang baik

Variabel Luar

1. Umur
2. Pendidikan
3. Pekerjaan
4. Lama terapi ARV
5. Penghasilan
Gambar 2. Kerangka konsep

D. Hipotesis

1. Ada hubungan lama terdiagnosa dengan kualitas hidup pada orang

dengan HIV/AIDS.
50

2. Ada hubungan variabel luar yaitu umur, pendidikan, pekerjaan,

lama terapi ARV, dan penghasilan dengan kualitas hidup pada

orang dengan HIV/AIDS.

Anda mungkin juga menyukai