LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………..............................................
LEMBAR PENGESAHAN ..…………………………………………………....................................... i
KATA PENGANTAR ………………………………………………………............................................ ii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………................................................. iii
DASAR HUKUM…………………………………………………………………………………………….. 1
PENDAHULUAN…………………………………………………………………..................................... 1
MAKSUD DAN TUJUAN TINGKAT PANDUAN DIAGNOSTIK ATAU DRL……………. 3
METODOLOGI………………………………………………………………………………………………. 5
PENENTUAN NILAI DRL……………………………………………………………………………….. 14
UPAYA KE DEPAN UNTUK MEMPERMUDAH MENETAPKAN DRL…………………... 15
FASILITAS PENGELOLAAN DATA DOSIS PASIEN SECARA ONLINE…………………. 15
NILAI TINGKAT PANDUAN DIAGNOSTIK ATAU DRL NASIONAL…………………….. 16
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………................................................. 16
LAMPIRAN........................................................................................................................................... 17
INDONESIAN DIAGNOSTIC REFRERENCE LEVEL (TINGKAT PANDUAN
DIAGNOSTIK INDONESIA)……………………………………………………………………. 17
DASAR HUKUM
1. Peraturan Pemerintah (PP) No. 33 Tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion
dan Keamanan Sumber Radioaktif;
2. Peraturan Kepala (Perka) BAPETEN No. 8 Tahun 2011 tentang Keselamatan Radiasi
Dalam Penggunaan Pesawat Sinar-X Radiologi Diagnostik dan Intervensional;
3. Peraturan Kepala (Perka) BAPETEN No. 3 Tahun 2015 tentang Rencana Strategis
Badan Pengawas Tenaga Nuklir Tahun 2015 – 2019;
4. Rekomendasi International Atomic Energy Agency (IAEA) dan World Health
Organization (WHO) Tahun 2012 hasil “International Conference on Radiation
Protection in Medicine: Setting the Scene for the Next Decade” yang diberi nama Bonn
Call-for-Action; dan
5. Rekomendasi IAEA dalam Basic Safety Standard (BSS), General Safety Requirements
(GSR) Part 3 Tahun 2014.
6. ICRP Publication 135, Diagnostic Reference Levels in Medical Imaging, 2017
PENDAHULUAN
1. Pemanfaatan radiasi pengion untuk kesehatan di Indonesia menunjukkan adanya
peningkatan yang signifikan, hal tersebut dapat diketahui dari semakin banyaknya
modalitas radiasi pengion yang digunakan dan jenis tindakan medis yang dilakukan
dengan bantuan radiasi. Pemanfaatan radiasi pengion tersebut harus dilakukan
pengawasan untuk menjamin proteksi dan keselamatan pekerja, pasien, dan
masyarakat.
2. Pada PP No. 33 Tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan
Sumber Radioaktif menyatakan bahwa setiap pemanfaatan tenaga nuklir wajib
memiliki izin pemanfaatan dan memenuhi persyaratan keselamatan radiasi.
3. Salah satu persyaratan keselamatan radiasi yang harus dipenuhi adalah persyaratan
proteksi radiasi yang meliputi:
a. Justifikasi pemanfaatan tenaga nuklir
b. Limitasi dosis
c. Optimisasi proteksi dan keselamatan radiasi
4. Justifikasi pemanfaatan tenaga nuklir harus didasarkan pada manfaat yang diperoleh
lebih besar daripada risiko yang ditimbulkan.
5. Limitasi dosis wajib diberlakukan untuk paparan kerja dan paparan masyarakat
melalui penerapan Nilai Batas Dosis (NBD). Limitasi dosis tidak berlaku untuk
paparan medik.
6. Optimisasi proteksi dan keselamatan radiasi harus diupayakan agar besarnya dosis
yang diterima serendah mungkin yang dapat dicapai dengan mempertimbangkan
faktor sosial dan ekonomi. Penerapan optimisasi dilaksanakan melalui:
14. Sesuai dengan Peraturan BAPETEN No. 2 Tahun 2018, modalitas sumber radiasi
pengion yang digunakan di radiologi diagnostik dan intervensional dikelompokkan
menjadi :
a. radiografi umum;
b. fluoroskopi;
c. mamografi;
d. CT Scan; dan
e. pesawat gigi.
15. Sesuai dengan rekomendasi IAEA melalui BSS Tahun 2014 (GSR Part 3), pemerintah
harus memastikan bahwa DRL ditetapkan untuk tiap jenis pemeriksaan tindakan
radiologi diagnostik dan intervensional termasuk diagnostik pada kedokteran nuklir.
Nilai DRL didasarkan pada hasil survei dalam skala yang luas atau ditetapkan suatu
nilai sesuai dengan kondisi sumber daya negaranya.
16. BAPETEN dapat bertindak sebagai promotor dalam melakukan survei pengumpulan
data dosis pasien untuk menetapkan DRL pada radiologi diagnostik dan intevensional,
dan kedokteran nuklir. Survei untuk memperoleh informasi secara kualitatif dan
kuantitatif mengenai frekuensi dan dosis untuk tiap jenis pemeriksaan digunakan
sebagai bahan kajian paparan medik di Indonesia.
17. Pedoman ini dapat direviu secara reguler oleh BAPETEN dengan melibatkan berbagai
pihak yang terkait dengan upaya proteksi dan keselamatan radiasi bagi pasien.
18. Sesuai dengan Penjelasan Pasal 37 Ayat (1) PP No. 33 Tahun 2007, yang dimaksud
dengan “Tingkat Panduan” (Guidance Level) adalah nilai panduan yang hendaknya
dicapai melalui pelaksanaan kegiatan medik dengan metode yang teruji. Nilai panduan
untuk kegiatan radiologi diagnostik dinyatakan dalam nilai dosis atau laju dosis,
sedangkan untuk kegiatan kedokteran nuklir dinyatakan dalam aktivitas sumber
radioaktif”.
19. Hal-hal penting yang harus diperhatikan terkait dengan Tingkat Panduan diagnostik
atau DRL:
a. Terminologi yang digunakan dapat berupa “Tingkat Panduan Diagnostik” atau
DRL;
b. DRL bukan nilai yang menentukan baik atau tidaknya pelayanan radiologi, tetapi
hanya sebagai salah satu indikator mutu pelayanan.
c. DRL bukan nilai yang menunjukkan batasan mengenai berlebih atau tidaknya
dosis yang diterima oleh pasien. Pasien dapat menerima dosis melebihi DRL jika
terjustifikasi secara medis dan penerimaan dosis tersebut tidak dapat dihindari.
d. DRL sebagai alat investigasi, untuk mengidentifikasi situasi dosis pasien yang
tinggi sehingga harus senantiasa dikurangi dari waktu ke waktu dengan tetap
mempertahankan kualitas citra optimal.
e. DRL dapat digunakan sebagai sarana untuk pemantauan dan pengelolaan dosis
pasien sehingga pasien menerima dosis serendah mungkin yang dapat dicapai
tanpa mengurangi kualitas citra yang diinginkan.
f. DRL ditentukan dari sebaran data indikator dosis yang mudah untuk diukur dan
memiliki link langsung dengan dosis pasien. Misalnya: Dose Area Product (DAP),
Incident Air Kerma (INAK), Entrance Surface Dose (ESD), CTDI (Computed
Tomography Dose Index), Dose Length Product (DLP), dan aktivitas zat radioaktif
yang diberikan ke pasien untuk diagnostik kedokteran nuklir.
g. Penentuan DRL Nasional direkomendasikan pada nilai kuartil 3 (75
persentil/kuartil 3) dari sebaran data dosis yang diperoleh dari fasilitas (nilai
median). Fasilitas pelayanan kesehatan dapat saja menentukan nilai DRL lokal
pada nilai median (kuartil 2) dari karakteristik sebaran data dan kemampuan
optimisasi yang dimilikinya.
20. Tujuan DRL adalah sebagai alat optimisasi proteksi dan keselamatan radiasi bagi
pasien dan mencegah paparan radiasi yang tidak diperlukan (unnecessary exposure).
Disebut sebagai alat optimisasi karena merupakan sebuah proses untuk menuju
optimal, yaitu menuju dosis pasien serendah mungkin yang dapat dicapai dengan tetap
memperhatikan kualitas citra yang memadai untuk kebutuhan diagnostik. Sebagai
sebuah proses menuju optimal maka DRL harus direviu secara reguler.
21. Implementasinya, jika ada dosis pasien melebihi DRL maka perlu dicatat dan dilakukan
reviu yang ditujukan untuk mencari kemungkinan penyebabnya dan opsi tindakan
perbaikan yang sesuai, kecuali dosis tersebut tidak dapat dihindari dan harus
terjustifikasi secara medis. Adanya tindakan korektif yang diambil sehingga dosis dari
waktu ke waktu dapat tereduksi yang mengakibatkan nilai DRL semakin dinamis dan
menuju ke arah serendah mungkin.
22. Selain itu DRL dapat digunakan sebagai sarana untuk membuat suatu protokol
penyinaran yang disepakati bersama. Pembuatan protokol bersama dapat dilakukan
dengan kerjasama antar organisasi profesi yang terkait dengan dosis dan citra.
23. DRL dapat ditentukan secara nasional maupun lokal. Fasilitas pelayanan kesehatan
seperti rumah sakit dapat memiliki sendiri nilai DRL Lokal.
24. DRL dapat digunakan sebagai sarana untuk membuat protokol pemeriksaan tiap jenis
pemeriksaan sesuai dengan kondisi sumber daya yang ada, baik secara lokal maupun
nasional.
25. Pedoman ini dapat digunakan oleh setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki
modalitas radiasi pengion, institusi pendidikan, dan yang lain sebagai rujukan dalam
mengidentifikasi dosis radiasi pasien radiologi dan menentukan DRL.
26. Nilai DRL merupakan salah satu dari upaya optimisasi proteksi dan keselamatan
radiasi bagi pasien, namun yang paling utama untuk dipertimbangkan jika akan
menggunakan modalitas radiasi pengion adalah justifikasi. Karena satu satu upaya
mencegah paparan radiasi pada pasien yang paling utama adalah dengan mencegah
penyinaran atau paparan radiasi yang tidak dibutuhkan (unintended exposure).
27. Proteksi radiasi bagi pasien merupakan hal yang berkesinambungan, tidak hanya
berhenti setelah diperoleh suatu nilai DRL. Penetapan DRL hanya langkah pertama
dalam optimisasi proteksi pada pasien. Praktisi medik harus selalu berupaya untuk
dapat mengoptimalkan nilai DRL dan meningkatkan pelayanan pada pasien sehingga
tujuan diagnostik tercapai.
28. Pada Tabel 1 berikut ini menunjukkan berbagai modalitas sumber radiasi pengion dan
indikator dosis yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan DRL.
METODOLOGI
29. Pertama, sebagai implementasi dari pendekatan bertingkat, diantara kelompok
modalitas radiasi pengion yang ada pada Tabel 1, dipilih sebagai prioritas adalah
modalitas sinar-X yang memiliki:
a. Potensi memberikan dosis yang tinggi ke pasien, dan
b. Fitur indikator dosis yang melekat pada modalitasnya.
30. Sesuai dengan persyaratan pada paragraf di atas, maka nilai DRL dapat ditentukan
mulai pada modalitas sinar-X berikut:
a. CT Scan;
b. Fluoroskopi konvensional dan intervensional;
c. Mamografi;
d. Radiografi umum/mobile; dan
e. Radiografi gigi.
31. Selain modalitas di atas, potensi memberikan dosis tinggi juga ada pada prosedur
kedokteran nuklir diagnostik. Sehingga prosedur kedokteran nuklir diagnostik juga
harus dilakukan optimisasi proteksi dan keselamatan radiasi dengan DRL.
32. Implementasi pendekatan bertingkat ini juga dapat diterapkan di rumah sakit atau
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dalam berupaya untuk audit dosimetri pasien
dan mengidentifikasi dosis pasien secara bertahap, dengan dimulai dari CT Scan,
Fluoroskopi, dan selanjutnya.
33. Jenis fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki modalitas radiasi pengion yang
dapat berpartisipasi dalam pelaksanaan survei DRL ini yaitu:
a. Rumah sakit publik atau pemerintah,
b. Rumah sakit privat atau swasta,
c. Klinik.
34. Dalam rangka memperoleh identifikasi besarnya dosis yang diterima oleh pasien,
maka pasien radiologi diagnostik dan intervensional serta kedokteran nuklir
diagnostic dikelompokkan menjadi 3 kategori berdasarkan umur, yaitu:
a. Bayi (0 – 4 tahun),
b. Anak – anak (5 – 14 tahun),
c. Dewasa (15 tahun ke atas).
Informasi identifikasi pasien yang dibutuhkan selain kelompok umur adalah jenis
kelamin dan berat badan.
35. Setiap jenis pemeriksaan dibutuhkan data minimal sebanyak:
a. 10 (sepuluh) data pasien untuk tiap jenis pemeriksaan yang jarang atau tidak
sering ada;
b. 20 (dua puluh) data pasien untuk tiap jenis pemeriksaan yang dikontribusikan
ke nasional (lebih diharapkan jika 30 data pasien);
c. 50 (lima puluh) data pasien untuk pemeriksaan dengan mammografi; atau
d. Sesuai kemampuan rumah sakit dalam menginput data dosis pasien sesuai
statistik beban kerja pasien dan sumber daya manusia.
36. Jika pada fasilitas dapat diperkirakan beban kerja pasien per jenis pemeriksaan untuk
setiap modalitas, maka jumlah sampling pasien yang dibutuhkan adalah minimal 30%
dari jumlah pasien.
37. Metodologi ini sudah diterapkan dalam aplikasi Sistem Informasi Data Dosis Pasien
(Si-INTAN), sehingga fasilitas pelayanan kesehatan yang ingin mengidentifikasi data
dosis pasien dapat menggunakan aplikasi Si-INTAN.
38. Berikut ini akan disampaikan sekilas mengenai metodologi dalam memperkirakan
data dosis pasien untuk berbagai jenis modalitas sinar-X dan untuk prosedur
diagnostik kedokteran nuklir.
Gambar 1. Informasi yang diperlukan dalam registry data dosis pasien CT Scan
Gambar 3. Daftar logbook penyinaran untuk tiap jenis pemeriksaan dengan fluoroskopi
𝑀𝐺𝐷 = 𝑓𝑔 . 𝐼𝑁𝐴𝐾
Gambar 5. Daftar logbook penyinaran untuk tiap jenis pemeriksaan dengan mamografi
50 41,29 y = 0.0419x1.7744
200 R² = 0.9972
60 60,93
150
70 80,98 Series1
80 102,42 100
90 125,16 50 Power
(Series1)
100 148,85 0
110 173,32 30 80 130
120 198,46 kVp
h. Data tambahan yang dibutuhkan adalah data kondisi penyinaran atau faktor
eksposi dari setiap penyinaran yang dilakukan yaitu kV, mA/mAs, dan jarak pasien
dengan fokus.
Gambar 7. Daftar logbook penyinaran untuk tiap jenis pemeriksaan dengan radiografi
i. Misal: pemeriksaan thoraks PA dengan kondisi penyinaran 110 kV, 15 mAs, dan
jarak pasien ke fokus 200 cm. dengan menggunakan data pada Gambar 1 maka
diperoleh nilai kerma pada pemeriksaan tersebut adalah K = (0,0419 x
(110)^1.7744) x 15 mAs x (100/200)^2 = 658,4 Gy. Nilai kerma tersebut
dikalikan dengan faktor hamburan balik (BSF, back scattered factor) sekitar 1,35
sehingga menjadi ESD = K x BSF = 658,4 Gy x 1,35 = 888,85 Gy.
Gambar 8. contoh data keluaran radiasi dari sebuah pesawat sinar-X gigi intraoral
Gambar 9. Daftar logbook penyinaran untuk tiap jenis pemeriksaan radiografi gigi intraoral
Gambar 10. contoh data keluaran radiasi dari sebuah pesawat sinar-X gigi ekstraoral
panoramic
Gambar 11. Daftar logbook penyinaran untuk tiap jenis pemeriksaan radiografi gigi
ekstraoral panoramic
g. Data keluaran radiasi untuk radiografi gigi ekstraoral chepalometric yang diukur
pada jarak Focus – Detector Distance (FDD), dan luas Field of View (FoV) :
Gambar 12. contoh data keluaran radiasi dari sebuah pesawat sinar-X gigi ekstraoral
chepalometric
Gambar 13. Daftar logbook penyinaran untuk tiap jenis pemeriksaan radiografi gigi
ekstraoral chepalometric
h. Data keluaran radiasi untuk radiografi gigi ekstraoral CBCT atau 3D yang diukur
pada jarak Focus – Detector Distance (FDD), dan Field of View (FoV):
Gambar 14. contoh data keluaran radiasi dari sebuah pesawat sinar-X gigi ekstraoral CBCT
/ 3 Dimensi
Gambar 15. Daftar logbook penyinaran untuk tiap jenis pemeriksaan radiografi gigi
ekstraoral CBCT / 3 D
DAFTAR PUSTAKA
- PP No. 33 Tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber
Radioaktif;
- Peraturan Kepala (Perka) BAPETEN No. 8 Tahun 2011 tentang Keselamatan Radiasi
Dalam Penggunaan Pesawat Sinar-X Radiologi Diagnostik dan Intervensional;
- Rekomendasi IAEA dan WHO Tahun 2012 hasil “International Conference on
Radiation Protection in Medicine: Setting the Scene for the Next Decade” yang diberi
nama Bonn Call-for-Action;
- International Atomic Energy Agency (IAEA), Safety Standards, “Radiation Protection
and Safety of Radiation Sources: International Basic Safety Standards”, General Safety
Requirements (GSR) Part 3. IAEA 2014.
- European Commission (EC), Radiation Protection Report 109, “Guidance on
Diagnostic Reference Levels (DRLs) for Medical Exposures”, 1999.
- Garis Panduan Malaysian Diagnostic Reference Levels In Medical Imaging
(Radiology), Radiation Health and Safety Section, Engineering Services Division,
Ministry of Health Malaysia, 2013.
- International Commission on Radiological Protection (ICRP), Radiological Protection
and Safety in Medicine, ICRP Report No. 73, Volume 26, Issue 2, Pages 1-47, 1996.
- National Council on Radiation Protection and Measurements (NCRP), A Guide to
Mammography and Other Breast Imaging Procedures, NCRP Report No. 149, 2004.
LAMPIRAN
CTDIvol (mGy)
Jenis Pemeriksaan
0 - 4 tahun 5 – 14 tahun ≥ 15 tahun
Head 33,48 52,28 66,20
Abdomen 10,77 16,00 35,42
Thorax - - 16,00
DLP (mGy.cm)
Jenis Pemeriksaan
0 - 4 tahun 5 – 14 tahun ≥ 15 tahun
Head 498,00 1020,61 1508,51
Abdomen 210,80 473,68 1454,75
Thorax - - 544,30
CTDIvol (mGy)
Jenis Pemeriksaan
0 - 4 tahun 5 – 14 tahun ≥ 15 tahun
Head 55,71 62,08 62,08
Abdomen 48,52 11,74 38,27
Thorax - - 39,74
DLP (mGy.cm)
Jenis Pemeriksaan
0 - 4 tahun 5 – 14 tahun ≥ 15 tahun
Head 999,85 1464,50 1371,00
Abdomen 858,92 563,80 1763,00
Thorax - - 957,70