OLEH :
KELOMPOK 6
1
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena atas
penyertaanNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada
waktunya.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
proses penyusunan makalah ini baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kata sempurana. Oleh
karena itu, penulis mohon kritik dan saran yang sifatnya membangun guna memperbaiki
makalah ini
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua
Penyusun
2
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR.........................................................................................................2
BAB I...................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...............................................................................................................4
1.1 Latar Belakang......................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................5
1.3 Tujuan....................................................................................................................5
BAB II..................................................................................................................................6
TINJAUAN TEORI.............................................................................................................6
2.1 Definisi..................................................................................................................6
2.2 Anatomi dan Fisiologi...........................................................................................7
2.3 Etiologi................................................................................................................10
2.4 Manifestasi Klinis................................................................................................10
2.4 Patofisiologi........................................................................................................12
2.5 Studi Diagnostik..................................................................................................14
2.6 Pengobatan..........................................................................................................15
2.6 Konsep Asuhan Keperawatan.............................................................................15
2.8.1 Pengkajian.........................................................................................................15
2.8.2 Diagnosa Keperawatan.....................................................................................29
2.8.2 Intervensi Keperawatan....................................................................................30
2.8.3 Implementasi Keperawatan..............................................................................36
2.8.4 Evaluasi Keperawatan.......................................................................................36
BAB III..............................................................................................................................38
PENUTUP..........................................................................................................................38
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................39
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui :
1. Konsep penyakit Sirosis Hepatis
2. Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Sirosis Hepatis
5
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
1. Sirosis hepatis adalah penyakit yang ditandai oleh adanya
peradangan difus dan menahun pada hati, diikuti dengan proliferasi
jaringan ikat, degenerasi dan regenerasi sel-sel hati, sehingga
timbul kekacauan dalam susunan parenkim hati (Mansjoer, FKUI,
2001).
2. Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai
dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya
dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang
luas. Pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul.
Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi
mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan
ikat dan nodul tersebut (Smeltzer & Bare, 2001).
3. Sirosis hepatis adalah penyakit hati kronis yang tidak diketahui
penyebabnya dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini
merupakan stadium akhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya
pengerasan dari hati (Sujono, 2002).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
sirosis hati adalah penyakit hati kronis yang ditandai oleh adanya
peradangan difus pada hati, diikuti dengan proliferasi jaringan ikat,
degenerasi dan regenerasi sel hati disertai nodul dan merupakan
stadium akhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari
hati.
6
2.2 Anatomi dan Fisiologi
7
kupfer. Fungsi utama sel kupfer adalah memakan benda partikel
(seperti bakteri) yang masuk ke dalam hati lewat darah portal.
Fungsi metabolik hati:
a. Metabolisme glukosa
Setelah makan glukosa diambil dari darah vena porta oleh
hati dan diubah menjadi glikogen yang disimpan dalam
hepatosit. Selanjutnya glikogen diubah kembali menjadi
glukosa dan jika diperlukan dilepaskan ke dalam aliran darah
untuk mempertahankan kadar glukosa yang normal. Glukosa
tambahan dapat disintesis oleh hati lewat proses yang
dinamakan glukoneogenesis. Untuk proses ini hati
menggunakan asam-asam amino hasil pemecahan protein
atau laktat yang diproduksi oleh otot yang bekerja.
b. Konversi ammonia
Penggunaan asam-asam amino untuk glukoneogenesis akan
membentuk amonia sebagai hasil sampingan. Hati mengubah
amonia yang dihasilkan oleh proses metabolik ini menjadi
ureum. Amonia yang diproduksi oleh bakteri dalam
intestinum juga akan dikeluarkan dari dalam darah portal
untuk sintesis ureum. Dengan cara ini hati mengubah amonia
yang merupakan toksin berbahaya menjadi ureum yaitu
senyawa yang dapat diekskresikan ke dalam urin.
c. Metabolisme protein
Organ ini mensintesis hampir seluruh plasma protein
termasuk albumin, faktor-faktor pembekuan darah protein
transport yang spesifik dan sebagian besar lipoprotein
plasma. Vitamin K diperlukan hati untuk mensintesis
protombin dan sebagian faktor pembekuan lainnya. Asam-
asam amino berfungsi sebagai unsur pembangun bagi
sintesis protein.
d. Metabolisme lemak
Asam-asam lemak dapat dipecah untuk memproduksi energi
dan benda keton. Benda keton merupakan senyawa-senyawa
8
kecil yang dapat masuk ke dalam aliran darah dan menjadi
sumber energi bagi otot serta jaringan tubuh lainnya.
Pemecahan asam lemak menjadi bahan keton terutama
terjadi ketika ketersediaan glukosa untuk metabolisme sangat
terbatas seperti pada kelaparan atau diabetes yang tidak
terkontrol.
e. Penyimpanan vitamin dan zat besi
f. Metabolisme obat
Metabolisme umumnya menghilangkan aktivitas obat
tersebut meskipun pada sebagian kasus, aktivasi obat dapat
terjadi. Salah satu lintasan penting untuk metabolisme obat
meliputi konjugasi (pengikatan) obat tersebut dengan
sejumlah senyawa, untuk membentuk substansi yang lebih
larut. Hasil konjugasi tersebut dapat diekskresikan ke dalam
feses atau urin seperti ekskresi bilirubin.
g. Pembentukan empedu
Empedu dibentuk oleh hepatosit dan dikumpulkan dalam
kanalikulus serta saluran empedu. Fungsi empedu adalah
ekskretorik seperti ekskresi bilirubin dan sebagai pembantu
proses pencernaan melalui emulsifikasi lemak oleh garam-
garam empedu.
h. Ekskresi bilirubin
Bilirubin adalah pigmen yang berasal dari pemecahan
hemoglobin oleh sel-sel pada sistem retikuloendotelial yang
mencakup sel-sel kupfer dari hati. Hepatosit mengeluarkan
bilirubin dari dalam darah dan melalui reaksi kimia
mengubahnya lewat konjugasi menjadi asam glukuronat
yang membuat bilirubin lebih dapat larut didalam larutan
yang encer. Bilirubin terkonjugasi diekskresikan oleh
hepatosit ke dalam kanalikulus empedu didekatnya dan
akhirnya dibawa dalam empedu ke duodenum.
Konsentrasi bilirubin dalam darah dapat meningkat jika
terdapat penyakit hati, bila aliran empedu terhalang atau bila
9
terjadi penghancuran sel-sel darah merah yang berlebihan.
Pada obstruksi saluran empedu, bilirubin tidak memasuki
intestinum dan sebagai akibatnya, urobilinogen tidak
terdapat dalam urin.
10
2.3 Etiologi
Ada 3 tipe sirosis atau pembetukan parut dalam hati :
11
1. Keluhan pasien:
a. Pruritus
b. Urin berwarna gelap
c. Ukuran lingkar pinggang meningkat
d. Turunnya selera makan dan turunnya berat badan
e. Ikterus
2. Tanda klasik:
a. Telapak tangan merah
b. Pelebaran pembuluh darah
c. Ginekomastia bukan tanda yang spesifik
d. Peningkatan waktu protombin adalah tanda yang lebih khas
e. Ensephalopati hepatitis dengan hepatitis fulminan akut dapat terjadi
f. Onset enselopati hepatitis dengan gagal hati kronik lebih lamabt dan lemah.
12
f. Ginekomastia
g. Hipogonadisme
h. Ukuran hati: besar, normal, mengecil
i. Splenomegali
j. Asites
k. Caput medusa
l. Murmur Cruveihier-Baungarten (bising daerah epigastrium)
m. Fetor hepaticus
n. Ikterus
2.4 Patofisiologi
Meskipun ada beberapa faktor yang terlibat dalam etiologi sirosis, konsumsi
minuman beralkohol dianggap sebagai faktor penyebab yang utama. Sirosis terjadi
dengan frekuensi paling tinggi pada peminum minuman keras. Meskipun defisiensi
gizi dengan penurunan asupan protein turut menimbulkan kerusakan hati pada
sirosis, namun asupan alkohol yang berlebihan merupakan faktor penyebab yang
utama pada perlemakan hati dan konsekuensi yang ditimbulkannya. Namun
demikian, sirosis juga pernah terjadi pada individu yang tidak memiliki kebiasaan
minum minuman keras dan pada individu yang dietnya normal tetapi dengan
konsumsi alkohol yang tinggi (Smeltzer & Bare, 2001).
Sebagian individu tampaknya lebih rentan terhadap penyakit ini dibanding
individu lain tanpa ditentukan apakah individu tersebut memiliki kebiasaan
meminum minuman keras ataukah menderita malnutrisi. Faktor lainnya dapat
memainkan peranan, termasuk pajanan dengan zat kimia tertentu (karbon
tetraklorida, naftalen terklorinasi, asen atau fosfor) atau infeksi skistosomiasis yang
menular. Jumlah laki-laki penderita sirosis adalah dua kali lebih banyak daripada
wanita, dan mayoritas pasien sirosis berusia 40-60 tahun (Smeltzer & Bare, 2001).
Sirosis alkoholik atau secara historis disebut sirosis Laennec ditandai oleh
pembentukan jaringan parut yang difus, kehilangan sel- sel hati yang uniform, dan
sedikit nodul regeneratif. Sehingga kadang- kadang disebut sirosis mikronodular.
Sirosis mikronodular dapat pula diakibatkan oleh cedera hati lainnya. Tiga lesi
utama akibat induksi alkohol adalah perlemakan hati alkoholik, hepatitis alkoholik,
dan sirosis alkoholik (Tarigan, 2001).
13
14
2.5 Studi Diagnostik
2.6 Pengobatan
Menurut Setiati (2009) pengobatan Sirosis Dekompensata
Asites: awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200
mg sekali sehati. Bilamana pemberian sipronolakton tidak adekuat bisa
dikombinasi dengan furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari
Varises esophagus: sebelum atau sesudah berdarah bisa diberikan obat
penyekat beta (propranolol). Peritonitis bacterial spontan, diberikan
antibiotika seperti sefotaksim intravena, amoksilin, atau aminoglikosida.
Sindrom hepatorenal: mengatasi peruabhan sirkulasi darah di hati,
mengatur keseimbangan garam dan air.
Transplantasi hati: terapi definitive pada pasien sirosis dekompensata.
16
2.6 Konsep Asuhan Keperawatan
2.8.1 Pengkajian
17
c. Pembesaran, hepar dapat diraba( pada tahap lanjut penyakit,
peningkatan pembentukan jaringan parut yang menyebabkan kontraksi
jaringan hepar karena mengisutkan hepar)
d. Demam ringan ( disebabkan oleh penurunan produksi antibodi)
2) Temuan lanjut:
a. Asites: dimanifestasikan dengan penambahan berat badan dan distensi
abdomen disertai dengan penampilan dehidrasi pada kasus berat( kulit dan
membrane mukosa kering, kehilangan massa otot, kelemahan, haluaran
urinnya rendah)
b. Hipertensi portal: dibuktikan dengan perdarahan GI dari varises
esophagus
c. Sindrom hepatorenal dimanifestasikan dengan gagal ginjal progresif
(peningaktan BUN dan kreatinin serum, penurunan haluaran urine)
d. Ketidakseimbangan endokrin dimanifestasikan dengan hipogonadisme,
spider angioma, eritema palmar.
e. Ensefalopati hepatic dimanifestasikan dengan perubahan neuropsikiatrik
seperti apatis, hiperefleksia, gangguan tidur, kacau mental, mengantuk,
hepatikus fetor, asteriksis, disorientasi, dan akhirnya koma dan kematian
3) Temuan tambahan:
a. Kelelahan
b. Kecenderungan perdarahan
c. Ikterik ( akibat kerusakan metabolism bilirubin)
3. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan fungsi hepar abnormal :
a. Peningkatan bilirubin serum (disebabkan oleh kerusakan metabolism
bilirubin)
b. Peningkatan kadar ammonia darah (akibat dari kerusakan metabolism
protein)
c. Peningkatan alkalin fosfat serum, ALT/SGPT, dan AST/SGOT ( akibat dari
destruksi jaringan hepar).
d. Prothrombin Time memanjang ( akibat dari kerusakan sintesis protrombin
dan faktor pembekuan)
2) Biopsi hepar
18
3) Ultrasonografi, skan CT, atau MRI
4) Elektrolit serum menunjukkan hipokalemia, alkalosis dan hiponatremia
(disebabkan oleh peningkatan sekresi aldosteron pada respons terhadap
kekurangan volume cairan ekstraselular sekunder terhadap asites).
5) Jumlah Darah Lengkap menunjukkan penurunan sel darah merah, hemoglobin,
hematokrit, trombosit dan sel darah putih.
6) Urinalisis menunjukan bilirubinuria
4. Kaji pemahaman pasien tentang kondisi, tindakan, dan pemeriksaan diagnostic.
5. Kaji perasaan pasien tentang kondisi dan dampak pada gaya hidup.
19
kemungkinan dalam keadaan distress nafas dan membutuhkan pertolongan
bantuan napas secara cepat.
Tanda obstruksi jalan nafas antara lain :
• Suara berkumur
• Suara nafas abnormal (stridor, dsb)
• Pasien gelisah karena hipoksia
• Bernafas menggunakan otot nafas tambahan / gerak dada paradoks
• Sianosis
Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus dikerjakan
dengan cepat dan tepat. Berbagai bentuk sumbatan pada airway dapat dengan
segera diperbaiki dengan cara mengangkat dagu (chin lift maneuver) dan
memiringkan kepala (head tilt) maneuver), atau dengan mendorong rahang
bawah ke arah depan (jaw thrust maneuver). Airway selanjutnya dapat
dipertahankan dengan orofaringeal (oropharyngeal airway) atau
nasofaringeal (nasopharingeal airway).
2. Breathing pernapasan dengan ventilasi
Oksigenasi menunjukkan pengiriman oksigen sesuai ke jaringan ini untuk
memenuhi kebutuhan metabolik, efektivitas ventilasi dapat dinilai secara
klinis (Krisanty, 2009).
Gangguan pernafasan (breathing) terjadi adanya gangguan bersifat sentral
maupun perifer. Kelainan perifer disebabkan karena akibat dari adanya
aspirasi atau trauma dada yang menyebabkan pneumothorax atau gangguan
gerakan pernafasan. Hal ini terjadi karena kerusakan pusat napas di otak
(Wahjoepramono, 2005).Oleh sebab itu, hal yang pertama harus segera dinilai
yaitu perhatikan kontrol servikal in-line immobilisasi dengan buka leher dan
dada penderita, tentukan dengan laju dan dalamnya pernafasan, lakukan
inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinan deviasi
trakhea, espansi thoraks yang simetris, perhatikan pemakaian otot-otot
tambahan dan tanda-tanda cedera, lakukan perkusi thoraks untuk menentukan
redup atau hipersonor dan auskultasi pada thoraks bilateral (Greenberg 2005
dalam Arsani, 2011).
Ketika pernafasan tidak adekuat, ventilasi dengan menggunakan teknik
bag-valve-face-maskini cara yang lebih efektif jika dilakukan oleh dua orang
dimana kedua tangan dari salah satu petugas (ATLAS, 2004)
20
3. Circulation (kontrol perdarahan)
Perdarahan merupakan salah satu penyebab kematian setelah truma
(Krisanty, 2009). Gangguan sirkulasi (circulation) terjadi karena cedera otak,
dan faktor ekstra kranial. Gangguan ini terjadi kondisi hipovolemia yang
mengakibatkan pendarahan luar, atau ruptur organ dalam abdomen, trauma
dada, tamponade jantung atau pneumothoraks dan syok septik.
(Wahjoepramono, (2005).
Oleh sebab itu, hal yang pertama harus segera dinilai adalah mengetahui
sumber perdarahan eksternal dan internal, tingkat kesadaran, nadi dan periksa
warna kulit dan tekanan darah (Greenberg 2005 dalam Arsani, 2011& ATLS
2004), yaitu:
(1) Tingkat kesadaran yaitu ketika volume darah menurun perfusi otak
juga berkurang yang dapat menyebabkan penurunan tingkat
kesadaran.
(2) Warna Kulit, yaitu berupa wajah yang keabu-abuan dan kulit
ekstremitas yang pucat merupakan tanda hipovolemia.
(3) Nadi adalah pemeriksaan nadi yang dilakukan pada nadi terbesar
seperti a. femoralis dan a. karotis (kanan kiri), untuk kekuatan nadi,
kecepatan dan irama.
4. Disability, status neurologis
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan
neurologis secara cepat (ATLS, 2004). Selain itu,Pemeriksaan neurologis
secara cepat yaitu dengan menggunakan metode AVPU (Allert, Voice
respone, Pain respone, Unrespone) (Pusbankes 118, (2015).Hal ini yang
dinilai yaitu tingkat kesadaran dengan memakai skor GCS/PTS, ukuran dan
reaksi pupil (Musliha, (2010).
Dalam hal ini, penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh adanya
penurunan oksigenasi atau perfusi ke otak serta trauma langsung (Pusbankes
118, 2015). Menurut Greenberg, (2005) dalam Arsani 2011 bahwa nilai pupil
dilihat dari besarnya isokor, reflek cahaya, awasi adanya tanda-tanda
lateralisasi, evaluasi maupun Re-evaluasi airway, oksigenasi, ventilasi serta
circulation.
21
5. Exposure/Environmental control, membuka seluruh baju penderita, tetapi
cegah hipotermia.
Pada exposure merupakan bagian terakhir dari primary survey,pasien
harus dibuka keseluruhan pakaiannya untuk melakukan pemeriksaan thoraks
kemudian diberikan selimut hangat, cairan intravena yeng telah dihangatkan
dan ditempatkan pada ruangan cukup hangat ini dilakukan pada saat dirumah
sakit (Musliha, 2010). Periksa punggung dengan memiringkan pasien dengan
cara long roll(Dewi 2013). Pemeriksaan seluruh bagian tubuh harus segera
dilakukan tindakan agar mencegah terjadinya hiportermia.
Dalam pemeriksaan penunjang ini dilakukan pada survey primer, yaitu
pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse oxymetri, foto thoraks, dan foto
polos abdomen. Tindakan lainnyaseperti pemasangan monitor EKG, kateter
dan NGT Pusbankes 118, (2015).
B. Secondary Survey
Pemeriksaan dilakukan setelah pasien dengan keadaan stabil dan dipastikan
airway, breathing dan sirkulasi dapat membaik. Prinsip survey sekunder adalah
memeriksa ke seluruh tubuh yang lebih teliti dimulai dari ujung rambut sampai
ujung kaki ( head to toe) baik pada tubuh dari bagian depan maupun belakang
serta evaluasi ulang terhadap pemeriksaan tanda vital penderita. Dimulai dengan
anamnesa yang singkat meliputi AMPLE (allergi, medication, past illness, last
meal dan event of injury). Pemeriksaan penunjang ini dapat dilakukan pada fase
meliputi foto thoraks (Pusbankes 118, (2015).
Penanganan klinis mempunyai tahap yang menggunakan prosedur 5B,menurut
Wahjoepramono (2005), yaitu :
a) Breathing
Perhatikan adanya frekuensi dan jenis pernafasan, pembebasan obstruksi
jalan nafas, oksigenasi yang cukup, atau adanya hiperventilasi jika
diperlukan.
Pola napas : Dinilai kecepatan, irama, dan kualitas.
Bunyi napas: Bunyi napas normal; Vesikuler, broncho vesikuler.
Penurunan atau hilangnya bunyi napas dapat menunjukan adanya
atelektasis, pnemotorak atau fibrosis pada pleura.
22
Rales (merupakan tanda awal adanya CHF. emphysema)
merupakan bunyi yang dihasilkan oleh aliran udara yang melalui
sekresi di dalam trakeobronkial dan alveoli.
Ronchi (dapat terjadi akibat penurunan diameter saluran napas dan
peningkatan usaha napas)
Bentuk dada : Perubahan diameter anterior – posterior (AP)
menunjukan adanya COPD
Ekspansi dada : Dinilai penuh / tidak penuh, dan kesimetrisannya.
Ketidaksimetrisan mungkin menunjukan adanya atelektasis, lesi
pada paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga,
pnemotoraks, atau penempatan endotrakeal dan tube trakeostomi
yang kurang tepat.
Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai : Retraksi dari otot-
otot interkostal, substrernal, pernapasan abdomen, dan respirasi
paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat
terjadi jika otot-otot interkostal tidak mampu menggerakan dinding
dada.
Sputum.
Sputum yang keluar harus dinilai warnanya, jumlah dan
konsistensinya. Mukoid sputum biasa terjadi pada bronkitis kronik
dan astma bronkiale; sputum yang purulen (kuning hijau) biasa
terjadi pada pnemonia, brokhiektasis, brokhitis akut; sputum yang
mengandung darah dapat menunjukan adanya edema paru, TBC,
dan kanker paru.
Selang oksigen
Endotrakeal tube, Nasopharingeal tube, diperhatikan panjangnya
tube yang berada di luar.
c) Brain (Persyarafan/Neurologik)
Langkah awal penilaian ditentukan pada respon mata, motorik, dan verbal
(GCS). Ketika memburuk perlu pemeriksaan keadaan pupil serta gerakan
bola mata.
• Tingkat kesadaran
Penurunan tingkat kesadaran pada pasien dengan respirator
dapat terjadi akibat penurunan PCO2 yang menyebabkan
vasokontriksi cerebral. Akibatnya akan menurunkan sirkulasi
cerebral.
Untuk menilai tingkat kesadaran dapat digunakan suatu
skala pengkuran yang disebut dengan Glasgow Coma Scale (GCS).
GCS memungkinkan untuk menilai secara obyektif respon
pasien terhadap lingkungan. Komponen yang dinilai adalah :
24
Respon terbaik buka mata, respon motorik, dan respon verbal.
Nilai kesadaran pasien adalah jumlah nilai-nilai dari ketiga
komponen tersebut.
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon
seseorang terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran
dibedakan menjadi :
Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar
sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang
keadaan sekelilingnya..
Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk
berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu),
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang
berhayal.
Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun,
respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun
kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah
dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi
jawaban verbal.
Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap,
tetapi ada respon terhadap nyeri.
Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada
respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon
kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada
respon pupil terhadap cahaya).
Perubahan tingkat kesadaran dapat diakibatkan dari berbagai
faktor, termasuk perubahan dalam lingkungan kimia otak seperti
keracunan, kekurangan oksigen karena berkurangnya aliran darah
ke otak, dan tekanan berlebihan di dalam rongga tulang kepala.
Adanya defisit tingkat kesadaran memberi kesan adanya
hemiparese serebral atau sistem aktivitas reticular mengalami
injuri. Penurunan tingkat kesadaran berhubungan dengan
25
peningkatan angka morbiditas (kecacatan) dan mortalitas
(kematian).
Jadi sangat penting dalam mengukur status neurologikal dan
medis pasien. Tingkat kesadaran ini bisa dijadikan salah satu
bagian dari vital sign.
GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk
menilai tingkat kesadaran pasien, (apakah pasien dalam kondisi
koma atau tidak) dengan menilai respon pasien terhadap
rangsangan yang diberikan.
Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu
reaksi membuka mata , bicara dan motorik. Hasil pemeriksaan
dinyatakan dalam derajat (score) dengan rentang angka 1 – 6
tergantung responnya.
Eye (respon membuka mata) :
(4) : spontan
(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).
(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri,
misalnya menekan kuku jari)
(1) : tidak ada respon
Verbal (respon verbal) :
(5) : orientasi baik
(4) : bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya
berulang-ulang ) disorientasi tempat dan waktu.
(3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata
masih jelas, namun tidak dalam satu kalimat. Misalnya
“aduh…, bapak…”)
(2) : suara tanpa arti (mengerang)
(1) : tidak ada respon
Motor (respon motorik) :
(6) : mengikuti perintah
(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus
saat diberi rangsang nyeri)
26
(4) : withdraws (menghindar / menarik extremitas atau
tubuh menjauhi stimulus saat diberi rangsang nyeri)
(3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku
diatas dada & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
(2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di
sisi tubuh, dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi
rangsang nyeri).
(1) : tidak ada respon
Hasil pemeriksaan kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam
simbol E…V…M…
Selanjutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi
adalah 15 yaitu E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.
Refleks pupil
o Reaksi terhadap cahaya (kanan dan kiri)
o Ukuran pupil (kanan dan kiri; 2-6mm)
o Dilatasi pupil dapat disebabkan oleh : stress/takut, cedera
neurologis penggunaan atropta, adrenalin, dan kokain.
Dilatasi pupil pada pasien yang menggunakan respirator
dapat terjadi akibat hipoksia cerebral.
o Kontraksi pupil dapat disebabkan oleh kerusakan batang
otak, penggunaan narkotik, heroin.
e) Bowel
27
Usus yang penuh cenderung akan meningkatkan tekanan intrakranial dan
pemeriksaan.
- Rongga mulut
Penilaian pada mulut adalah ada tidaknya lesi pada mulut atau perubahan
pada lidah dapat menunjukan adanya dehidarsi.
- Bising usus
Ada atau tidaknya dan kualitas bising usus harus dikaji sebelum
melakukan palpasi abdomen. Bising usus dapat terjadi pada paralitik ileus
dan peritonitis. Lakukan observasi bising usus selama ± 2 menit.
Penurunan motilitas usus dapat terjadi akibat tertelannya udara yang
berasal dari sekitar selang endotrakeal dan nasotrakeal.
- Distensi abdomen
Dapat disebabkan oleh penumpukan cairan. Asites dapat diketahui dengan
memeriksa adanya gelombang air pada abdomen. Distensi abdomen dapat
juga terjadi akibat perdarahan yang disebabkan karena penggunaan IPPV.
Penyebab lain perdarahan saluran cerna pada pasien dengan respirator
adalah stres, hipersekresi gaster, penggunaan steroid yang berlebihan,
kurangnya terapi antasid, dan kurangnya pemasukan makanan.
- Nyeri
- Dapat menunjukan adanya perdarahan gastriintestinal
- Pengeluaran dari NGT : jumlah dan warnanya
- Mual dan muntah.
f) Bone(Tulang–Otot–Integumen)
- Warna kulit, suhu, kelembaban, dan turgor kulit.
Adanya perubahan warna kulit; warna kebiruan menunjukan
adanya sianosis (ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir dan
membran mukosa). Pucat pada wajah dan membran mukosa dapat
berhubungan dengan rendahnya kadar haemoglobin atau shok. Pucat,
sianosis pada pasien yang menggunakan ventilator dapat terjadi akibat
adanya hipoksemia. Jaundice (warna kuning) pada pasien yang
menggunakan respirator dapat terjadi akibatpenurunan aliran darah portal
akibat dari penggunaan FRC dalam jangka waktu lama.
28
Pada pasien dengan kulit gelap, perubahan warna tersebut tidak
begitu jelas terlihat,. Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukan
adanya demam, infeksi. Pada pasien yang menggunkan ventilator, infeksi
dapat terjadi akibat gangguan pembersihan jalan napas dan suktion yang
tidak steril.
- Integritas kulit
- Perlu dikaji adanya lesi, dan dekubitus
29
30
2.8.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat ditemukan pada klien sirosis hepatis
menurut Doenges (2000) antara lain:
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi
paru, asites.
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
inadekuat.
3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan ascites, edema.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
5. Gangguan intregitas kulit berhubungan dengan akumulasi garam
empedu pada kulit.
6. Resiko perdarahan berhubungan dengan gangguan metabolisme
protein.
7. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan pertahanan tubuh.
8. Resiko perubahan proses pikir berhubungan dengan peningkatan
amonia dalam darah.
31
2.8.2 Intervensi Keperawatan
Menurut Doenges (2000) pada klien sirosis hepatis ditemukan diagnosa
keperawatan dengan intervensi dan rasional sebagai berikut:
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan
ekspansi paru, asites.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24
jam pola nafas menjadi efektif.
Kriteria hasil :
Intervensi :
Intervensi :
1) Ukur masukan diet harian dengan jumlah kalori.
Rasional :Memberikan informasi tentang kebutuhan
pemasukan.
2) Berikan makan sedikit tapi sering.
33
1. Menunjukkan volume cairan stabil dengan keseimbangan
pemasukan dan pengeluaran.
2. Berat badan stabil.
3. Tanda vital dalam rentang normal dan tidak ada
edema.
Intervensi :
39
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sirosis hepatis adalah penyakit yang ditandai oleh adanya peradangan difus dan
menahun pada hati, diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi dan regenerasi
sel-sel hati, sehingga timbul kekacauan dalam susunan parenkim hati (Mansjoer,
FKUI, 2001).
Ada 3 tipe sirosis atau pembetukan parut dalam hati :
40
DAFTAR PUSTAKA
41