Anda di halaman 1dari 15

Skip to content

logo-header-bpl-black

Serba-serbi Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan di Indonesia

Serba-serbi Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan di Indonesia

5 June, 2018

Keberadaan buruh dan tenaga kerja menjadi faktor yang krusial dalam dunia industri. Tanpa buruh,
pemilik usaha tidak bisa menjalankan bisnisnya dengan baik. Di sisi lain, buruh juga tidak bisa bertindak
seenak hatinya ketika melaksanakan kewajiban di tempat kerja.

Oleh karena itu, perlu ada hukum yang secara khusus mengatur hubungan antara pemilik usaha dengan
para buruh dan tenaga kerja. Apalagi, Indonesia merupakan negara yang berlandaskan hukum, semua
aturan yang menyangkut hak dan kewajiban warga negara harus memiliki hukum tertulis yang jelas.

Landasan utama hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia tidak lain adalah Undang-Undang
Dasar 1945. Lewat UUD 1945, setiap warga negara berhak memperoleh pekerjaan serta penghidupan
yang layak. Oleh karena itu, hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia harus dipatuhi oleh
semua warga negara.

Sejarah Perkembangan UU Ketenagakerjaan di Indonesia

Hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia sudah ada sebelum masa kemerdekaan. Hanya
saja, pihak yang mengeluarkan hukum tersebut bukan Pemerintah Indonesia, tapi penjajah Belanda.
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, hukum terkait ketenagakerjaan dikeluarkan oleh
pemerintah.
Dalam perjalanannya, hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia mengalami berbagai
perubahan. Perubahan itu dimulai dari era penjajahan Belanda yang memberlakukan hukum perbudaan,
era orde lama, orde baru, dan masa reformasi.

Zaman Belanda

Pada zaman penjajahan Belanda, terdapat 4 hukum perburuhan dan ketenagakerjaan yang
diberlakukan. Empat hukum tersebut adalah perbudakan, perhambaan, kerja rodi, dan Poenale Sanctie.

Hukum yang pertama adalah perbudakan. Pada masa ini, masyarakat Indonesia yang menjadi budak
tidak memiliki hak apapun, termasuk hak hidup. Beberapa aturan yang dibuat terkait perbudakan pada
masa ini antara lain adalah peraturan pendaftaran budak, pajak atas kepemilikan budak, ataupun
penggantian nama untuk para budak.

Berikutnya adalah hukum perhambaan. Sekilas, hukum ini memiliki kesamaan dengan perbudakan,
hanya saja agak lebih ringan. Seorang hamba, menurut hukum ini, merupakan barang jaminan karena
adanya utang yang belum bisa dilunasi. Alhasil, selama utangnya belum lunas, seorang hamba bakal
terus mengabdi kepada majikan.

Setelah hukum perhambaan, muncul hukum rodi, yang dalam praktiknya juga tidak jauh berbeda
dengan perbudakan. Pada hukum rodi, masyarakat dipaksa untuk bekerja demi kepentingan penguasa.
Salah satu wujud kekejaman dari hukum rodi di zaman penjajahan Belanda ini adalah pembangunan
Jalan Daendels sejauh 1.000 km yang menghubungkan antara Panarukan di Jawa Timur dengan Anyer di
Banten.

Poenale Sanctie menjadi hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia yang berlaku setelah
hukum rodi. Kemunculan hukum ini diawali dengan adanya Agrarische Wet alias Undang-Undang Agraria
pada tahun 1970. Pada masa ini, muncul banyak perusahaan perkebunan swasta berskala besar. Oleh
karena itu, hukum yang mengatur perburuhan berperan sentral.

Pada awalnya, pada Poenale Sanctie diberlakukan Politie Straaf reglement alias Peraturan Pidana Polisi.
Peraturan ini lebih menitikberatkan pada kepentingan majikan, dan akhirnya dihapus pada tahun 1879.
Keberadaannya digantikan oleh Koeli Ordonantie (1880) yang kemudian dikenal dengan nama Poenale
Sanctie.

Dalam hukum terbaru ini, Pemerintah Belanda melarang adanya pemaksaan, ancaman, atau pemerasan
dalam hubungan perburuhan. Selain itu, perjanjian antara buruh dan majikan harus dilakukan secara
tertulis pada rentang waktu tertentu. Ketika aturan ini dilanggar, bakal ada sanksi yang dijatuhkan
kepada pelanggarnya, baik majikan ataupun buruh.

Orde Lama

Ketika memasuki masa kemerdekaan, kondisi buruh dan tenaga kerja di Indonesia mengalami
perbaikan. Pemerintah Orde Lama yang berada di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno
mengeluarkan beberapa aturan yang memberi perlindungan kepada para tenaga kerja. Sebagai
buktinya, beberapa aturan yang pernah dirilis antara lain adalah:

UU Nomor 33 Tahun 1947 Tentang Kecelakaan Kerja

UU Nomor 12 tahun 1948 Tentang Kerja

UU Nomor 23 Tahun 1948 Tentang Pengawasan Perburuhan

UU Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan

UU Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

UU Nomor 18 Tahun 1956 Tentang Persetujuan Konvensi ILO Nomor 98 mengenai Dasar-dasar dari Hak
Untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama

Permenaker No. 90 Tahun 1955 Tentang Pendaftaran Serikat Buruh

Orde Baru

Pada masa Orde Baru, pemerintah berusaha untuk meningkatkan pembangunan dengan tetap menjaga
stabilitas nasional. Hasilnya, lahirlah aturan yang disebut dengan Hubungan Industrial Pancasila atau
Hubungan Perburuhan Pancasila. Sesuai dengan namanya, aturan ini dibuat dengan berlandaskan pada
Pancasila. Di lapangan, ada lembaga bipartit, tripartit, serta kesepakatan kerja bersama yang
keanggotaannya diambil dari pihak-pihak terkait.

Masa Reformasi

Pada masa reformasi, peraturan terkait perburuhan dan ketenagakerjaan mengalami perubahan secara
dinamis. Apalagi, terjadi pergantian pemerintahan dalam kurun yang singkat, mulai dari Pemerintahan
Presiden B.J. Habibie (1998-1999), Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001), Presiden Megawati
Soekarnoputri (2001-2004), hingga Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memerintah pada
rentang 2004-2014.

Presiden Habibie pada awal kepemimpinannya meluncurkan Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 1998
yang memberi perlindungan hak berorganisasi. Selain itu, ada pula ratifikasi aturan ILO terkait usia
minimum untuk bekerja. Tidak ketinggalan, pada masa pemerintahan ini juga diluncurkan perpu yang
mengatur tentang pengadilan HAM.

Sementara itu, pada masa Pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid, dilakukan perlindungan terhadap
para pekerja atau serikat buruh. Upaya perlindungan itu dilakukan dengan peluncuran UU nomor 21
Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja. Selain sebagai upaya perlindungan, UU ini juga dipakai sebagai
sarana untuk memperbaiki iklim demokrasi saat itu.

Selanjutnya, pada masa Pemerintahan Presiden Megawati, aturan hukum perburuhan dan
ketenagakerjaan di Indonesia mengalami perubahan drastis. Alasannya adalah peluncuran UU Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Keberadaan UU ini menjadi pengganti dari 15 aturan
ketenagakerjaan yang sebelumnya telah ada.

Keberadaan UU Ketenagakerjaan tersebut juga menjadi landasan atas keluarnya aturan perundang-
undangan lain di masa Pemerintahan Megawati. Terdapat 2 UU yang dibuat dengan berdasarkan UU
Ketenagakerjaan, yakni UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
serta UU Nomor 39 Tentang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Sumber Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan di Indonesia

ini-risiko-jika-tidak-mencatatkan-perjanjian-kerja-waktu-tertentu

Sumber hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia tidak hanya berasal 1 satu peraturan. Ada
6 jenis sumber hukum yang diakui dan dijalankan. Enam sumber hukum tersebut adalah:

Undang-undang

Undang-undang merupakan aturan yang ditetapkan oleh presiden dengan disetujui oleh anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Ada pula Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang
memiliki hukum setara dengan undang-undang. Berbeda dengan undang-undang, penetapan perpu bisa
dilakukan secara langsung oleh presiden tanpa harus memperoleh persetujuan DPR. Namun, perpu
harus diajukan pada persidangan DPR berikutnya dalam rangka penetapan aturan tersebut menjadi
undang-undang.

Peraturan lain

Peraturan lain merupakan aturan yang secara hukum posisinya berada di bawah undang-undang. Ada
beberapa jenis peraturan yang masuk dalam kategori ini, di antaranya adalah Peraturan Presiden,
Keputusan Presiden, serta peraturan atau keputusan instansi.

Karena mencakup banyak pihak, tidak heran kalau peraturan lain yang menyangkut tentang perburuhan
dan ketenagakerjaan di Indonesia sangat banyak. Sebagai contoh di antaranya adalah, Permenakertrans
Nomor 13 Tahun 2012, Permendag Nomor 50 Tahun 2010, Perpres Nomor 12 tahun 2013, dan lain-lain.
Kebiasaan

Sumber hukum perburuhan dan ketenagakerjaan berikutnya di Indonesia adalah kebiasaan. Suatu
kebiasaan dianggap sebagai hukum tak tertulis ketika menjadi hal yang telah dilakukan berulang-ulang.
Apalagi, banyak pihak yang menaati aturan tak tertulis dan menerimanya tanpa ada keluhan.

Putusan hukum

Putusan hukum menjadi aturan hukum yang harus ditaati berikutnya. Hanya saja, putusan hukum
berlaku secara terbatas. Sebagai contoh, pada kasus putusan Mahkama Konstitusi (MK) terhadap
gugatan hukum pada isi UU Ketenagakerjaan. Sebagian gugatan diterima oleh hakim, tapi putusan ini
tidak mengubah isi undang-undang.

Perjanjian

Perjanjian kerja antara pemilik usaha dengan karyawan juga menjadi salah satu bentuk sumber hukum
perburuhan dan ketenaga kerjaan. Hanya saja, secara umum perjanjian hanya mengikat kepada pihak
yang berkaitan secara langsung. Selain itu, isi dari perjanjian biasanya boleh diketahui oleh pihak terkait.
Apalagi, perjanjian ketenagakerjaan yang melibatkan serikat pekerja dengan perkumpulan pengusaha.

Traktat

Sumber hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia yang terakhir adalah traktat, perjanjian
yang dilaksanakan oleh dua atau beberapa negara. Konvensi yang merupakan perjanjian internasional
oleh lembaga dunia menjadi salah satu jenis traktat, misalnya konvensi ILO.

Hanya saja, di Indonesia, konvensi ILO tidak secara otomatis menjadi sumber hukum perburuhan dan
ketenagakerjaan. Agar aturan pada konvensi itu bisa diberlakukan di Indonesia, pemerintah harus
melakukan ratifikasi. Contoh ratifikasi yang pernah dilakukan antara lain adalah, UU Nomor 20 Tahun
1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 138 Mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja
Tahun 1973.
UU Ketenagakerjaan Terbaru di Indonesia

Ini Dasar-Dasar Keabsahan Tanda Tangan Elektronik dalam Transaksi Online

Baca juga: inilah tahapan penyelesaian sengketa konstruksi pasca terbitnya undang undang jasa
kontruksi nomor 2 tahun 2017

Seperti yang telah disebutkan, undang-undang menjadi aturan hukum perburuhan dan ketenagakerjaan
tertinggi di Indonesia. Di bawahnya, baru ada peraturan lain yang dibuat dengan landasan undang-
undang. Saat ini, terdapat 4 aturan perundang-undangan terkait perburuhan dan ketenagakerjaan yang
berlaku di Indonesia, yaitu:

UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Undang-undang ini mengatur terkait perselisihan yang muncul dalam hubungan industrial. Berdasarkan
aturan hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia ini, terdapat 4 jenis perselisihan yang bisa
terjadi, yaitu:

1. Perselisihan hak

Perselisihan ini timbul disebabkan oleh tidak dipenuhinya hak yang merupakan akibat adanya perbedaan
pemahaman atau pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
2. Perselisihan kepentingan

Perselisihan ini muncul dalam hubungan industrial karena tidak adanya kesepahaman mengenai
pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja pada perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama.

3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK)

Perselisihan yang timbul karena tidak adanya kepahaman mengenai pemutusan hubungan kerja oleh
salah satu pihak. Dalam penyelesaian perselisihan itu, pihak-pihak yang terkait bisa memilih berbagai
metode, seperti perundingan bipartit, mediasi oleh pemerintah, penyelesaian melalui konsiliasi,
penyelesaian lewat arbitrase, ataupun pengadilan perselisihan hubungan industrial (PHI).

4. Perselisihan antara serikat pekerja

Perselisihan ini terjadi pada dua serikat pekerja atau lebih yang berada dalam 1 perusahaan.
Perselisihan itu bisa terjadi karena tidak adanya kesesuaian pemahaman terkait keanggotaan,
pelaksanaan hak, serta kewajiban keserikatpekerjaan.

UU Nomor 18 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Tahun 2017

Undang-undang ini mengatur terkait penempatan, perlindungan, serta persyaratan para tenaga kerja
Indonesia (TKI) yang ada di luar negeri. Keberadaannya menggantikan UU No 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Luar Negeri.
Di dalamnya, diatur secara rinci tahapan yang harus dilalui ketika seorang warga negara ingin
mengajukan diri menjadi seorang TKI. Selain itu, diatur pula terkait perusahaan jasa tenaga kerja
Indonesia (PJTKI).

Selain itu, UU ini juga memberi perlindungan tidak hanya pada TKI, tapi juga anggota keluarga. Hal ini
sesuai dengan Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-hak Pekerja Migran dan Anggota
Keluarganya.

UU Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja

UU Nomor 21 Tahun 2000 memberikan kesempatan bagi para buruh untuk mendirikan organisasi buruh
secara mandiri. Tidak heran kalau saat ini banyak bermunculan serikat buruh yang memiliki visi serta
misinya masing-masing. Bahkan, dalam satu perusahaan, bisa muncul serikat buruh lebih dari 1
organisasi. Hal ini sangat memungkinkan karena menurut aturan ini, buruh bisa mendirikan organisasi
dengan anggota minimal 10 orang.

UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan merupakan landasan dasar dari aturan hukum
perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia. UU ini memiliki total sebanyak 193 pasal dan memiliki
cakupan hukum yang luas. Undang-undang ini juga mengatur tentang status hubungan industrial pada
setiap jenis usaha. Mulai dari usaha kecil, menengah, hingga usaha besar.

Undang-undang ini pun mengatur tentang hubungan kerja yang berlangsung antara buruh dengan
perusahaan, termasuk di antaranya adalah perlindungan, hak , serta kewajiban masing-masing pekerja
dan pengusaha. Secara khusus, problem yang kerap menjadi sorotan dari UU Ketenagakerjaan ini adalah
terkait kebijakan outsourcing, pemberian upah murah, serta PHK yang terjadi seenaknya.

Mengkritisi Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan di Indonesia


Hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia sangat kompleks. Apalagi, aturan ini dibuat untuk
mengatur seluruh warga negara dari Sabang sampai Merauke yang jumlahnya lebih dari 200 juta jiwa.
Tidak heran kalau aturan ini pun memiliki banyak kekurangan.

Karena itu, para buruh dalam setiap perayaan May Day yang jatuh pada tanggal 1 Mei, menyuarakan
pendapatnya agar pemerintah melakukan revisi hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia.
Permintaan revisi itu tidak hanya terkait UU Ketenagakerjaan, tapi juga UU terkait lain.

Baca juga: pengusaha tetap wajib membayar upah tertangguh

Keberadaan aturan hukum ketenagakerjaan di Indonesia tidak hanya merugikan bagi para buruh.
Kerugian tidak kalah besar juga diperoleh para pengusaha. Oleh karena itu, permintaan revisi serupa
juga diungkapkan oleh para pengusaha, baik pengusaha lokal ataupun pengusaha luar negeri yang
menanamkan modalnya di Indonesia.

Setidaknya, ada 5 poin yang menjadi kritik untuk aturan hukum ketenagakerjaan di Indonesia, yaitu:

PHK karyawan

Pasal 158 UU Ketenagakerjaan, menyebutkan bahwa perusahaan bisa memecat karyawan ketika
melakukan kesalahan berat. Hanya saja, undang-undang ini tidak menyebutkan secara jelas kriteria yang
termasuk dalam kesalahan berat tersebut. Alhasil, buruh menjadi pihak yang dirugikan akibat aturan ini.

Karyawan outsourcing

Alih daya tenaga kerja (outsourcing) menjadi sumber permasalahan yang banyak dikritik dari UU
Ketenagakerjaan. Pada praktiknya, banyak perusahaan yang menggunakan karyawan outsourcing untuk
memenuhi kebutuhan tenaga pada kegiatan utama. Namun, para pengusaha kerap beralasan bahwa UU
ini tidak menyebutkan secara jelas penafsiran dari kegiatan utama.

Inkonsistensi

UU ini juga memiliki inkonsistensi pada pasal-pasalnya. Hal ini diungkapkan oleh Prof. Aloysius Uwiyono
dari Universitas Indonesia seperti dikutip dari Hukum Online. Salah satu inkonsistensi pada UU ini adalah
terkait perjanjian kerja waktu tertentu atau KKWT.

UU ini menyebutkan bahwa KKWT merupakan perjanjian yang dilakukan pada jangka waktu tertentu.
Namun, pada pasal lain, mengungkapkan bahwa perjanjian kerja pada pekerjaan yang bersifat tetap,
tidak boleh memakai aturan perjanjian kerja waktu tertentu.

Secara khusus, inkonsistensi ini menjadi menjadi permasalahan pada UU Ketenagakerjaan yang
merugikan para pengusaha. Kritik terhadap undang-undang ini dari kalangan pengusaha pernah
dilontarkan oleh Direktur Utama PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, Masahiro Nonami.

Dalam wawancaranya dengan Tempo, Nonami mengungkapkan bahwa tuntutan upah layak, penolakan
PHK, ataupun permintaan tunjangan sosial dari kalangan buruh sudah menjadi hal yang biasa, khususnya
di negara berkembang. Hal seperti ini pernah terjadi di Jepang pada kurun 1970-an.

Menurut Nonami, permasalahan seperti itu tidak akan dihadapi pemerintah kalau UU Ketenagakerjaan
yang berlaku di Indonesia memiliki aturan yang jelas. Selama ini, ujar Nonami, aturan terkait perburuhan
dan ketenagakerjaan di Indonesia dianggapnya tidak jelas. Alhasil, terjadi multitafsir dalam
penerapannya di lapangan.

Pengadilan PHI

Selama ini, pengadilan yang mengurusi perselisihan dalam hubungan industrial bersifat yudikatif. Hal ini
dianggap tidak tepat, karena seharusnya lembaga tersebut secara khusus menangani permasalahan
hubungan industrial. Alih-alih lembaga yudikatif, pengadilan PHI lebih cocok adalah lembaga eksekutif.
Tidak hanya itu, pengadilan PHI juga harus menyediakan layanan pencarian keadilan yang ramah bagi
para buruh. Apalagi, saat ini dalam praktiknya, pertikaian antara buruh melawan pengusahan di
pengadilan PHI berakhir dengan kemenangan pengusaha. Mayoritas karena masalah finansial dari para
buruh.

Pengadilan PHI sebagai sarana buruh mencari keadilan

Dosen hukum ketenagakerjaan dari Fakultas Hukum Unair, Hadi Subhan mengatakan pengadilan PHI
tidak memberi perlindungan kepada para buruh. Padahal, sejatinya keberadaan pengadilan PHI
merupakan sarana para buruh dalam mencari keadilan.

Oleh karena itu, pengadilan PHI seharusnya diberlakukan seperti PTUN. Di situ, rakyat bisa menggugat
pejabat negara, namun tidak berlaku sebaliknya. Kalau hal ini diberlakukan, maka buruh bisa menggugat
perusahaan, tapi perusahaan tak bisa menuntut buruh.

Baca juga: Benarkah perusahaan bertanggung jawab atas semua kesalahan pekerjanya?

Solusi Permasalahan Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof. Dr.
Lukman Hakim mengungkapkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, konflik antara pengusaha
dengan para buruh mengalami peningkatan. Menariknya, sumber permasalahan dari konflik tersebut
tidak lain adalah UU Ketenagakerjaan.
Seiring dengan peningkatan perselisihan tersebut, pihak-pihak yang tengah berselisih, baik pengusaha
ataupun para buruh harus mempersiapkan diri dengan baik. Salah satunya adalah dengan menggunakan
tenaga pengacara khusus hukum perburuhan dan ketenagakerjaan.

Untuk solusi terbaik, Anda bisa menggunakan layanan pendampingan hukum yang disediakan BP
Lawyers. BP Lawyers memiliki pengalaman dalam menangani beragam masalah dalam lingkup hubungan
industrial. Para pengacara yang bergabung di BP Lawyers terbukti telah memenangkan beberapa kasus
perselisihan hubungan industrial.

BP Lawyers dapat membantu Anda

Kami dapat membantu Anda dalam memberikan solusi terbaik atas permasalahan legalitas kegiatan
usaha perusahaan Anda. Anda dapat menghubungi kami melalui ask@bplawyers.co.id atau +62 821
1234 1235

Leave a Comment

Comment

Name (required)

Email (will not be published) (required)

Website

Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment.
Contact Us

CONTACT DETAILS

18 Office Park, Lt. 10

Jl. TB. Simatupang No. 18

Jakarta Selatan

Daerah Khusus Ibukota Jakarta

12520

HOTLINE

+6221-8067-4920

+62821-1234-1235

SOCIAL MEDIA

LET'S GET IN TOUCH

Don’t hestiate to ask us something. Please fill The form below. Our team will reply soon.

Name

Your name

Email

Your email

Phone

Your phone

Your Message
Your message

Send Message

Anda mungkin juga menyukai