Anda di halaman 1dari 3

Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Hukum Indonesia

Inisiasi
MENGENAL KAIDAH
HUKUM
2
Untuk mengetahui, memahami dan dapat menghayati hukum, selain kita harus
mengetahui definisi dan/atau pengertian hukum; kita juga harus memahami
karakteristik dari kaidah hukum.
Penjelasan berikut ini tentang kaidah hukum yang diadaptasi dari modul 2
PIH/PTHI yang ditulis oleh Kunthoro Basuki, SH.,M.Hum

A. Isi, Sifat dan Perumusan Kaidah Hukum


Dilihat dari segi isinya, kaidah hukum dapat berisi perintah, perkenan dan
larangan. Dalam bidang hukum tata negara banyak kita jumpai ketentuan-
ketentuan hukum yang berisikan perintah atau suruhan untuk melakukan atau
tidak melakukan tindakan-tindakan tertentu. Ketentuan hukum yang isinya
perkenan atau perbolehan, banyak kita jumpai dalam bidang hukum perdata.
Dalam bidang hukum pidana, sebagian besar memuat ketentuan-ketentuan
hukum yang melarang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu.
Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa tidak setiap peraturan hukum
merupakan kaidah hukum. Suatu kaidah hukum itu isinya berupa perintah atau
larangan. Dengan mengikuti pendapat Zevenbergen, dikatakan bahwa untuk
memastikan, apakah di situ kita menjumpai suatu norma hukum atau tidak,
keduanya bisa dipakai sebagai ukuran. Dengan patokan ini, ternyata tidak
semua peraturan hukum itu mengandung norma hukum di dalamnya. Beberapa
peraturan yang demikian adalah (Rahardjo, 1982 : 26 – 27) :
1. Peraturan-peraturan yang termasuk ke dalam hukum acara.
2. Peraturan-peraturan yang berisi rumusan-rumusan pengertian yang
dipakai dalam suatu kitab hukum.
3. Peraturan-peraturan yang memperluas, membatasi atau merubah isi dari
peraturan lain.
4. Peraturan-peraturan yang hanya menunjuk kepada peraturan lain.

Tim Penyusun Fakultas Hukum UGM 1


Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Hukum Indonesia

Menurut sifatnya, kaidah hukum dapat dibedakan menjadi dua :


1. Kaidah hukum yang bersifat memaksa atau imperatif, yaitu peraturan
hukum yang secara a priori mengikat dan harus dilaksanakan, tidak
memberikan wewenang lain selain apa yang telah diatur dalam undang-
undang. Biasanya peraturan hukum yang berisi perintah dan larangan
bersifat imperatif.
2. Kaidah hukum yang bersifat pelengkap atau subsidair atau dispositif, yaitu
peraturan hukum yang tidak secara a priori mengikat, atau peraturan
hukum yang sifatnya boleh digunakan, boleh tidak digunakan, atau
peraturan hukum yang baru berlaku apabila dalam perjanjian yang dibuat
oleh para pihak ada sesuatu hal yang tidak diatur (jadi bersifat mengisi
kekosongan hukum). Biasanya peraturan hukum yang berisi perkenan atau
perbolehan bersifat fakultatif.

Untuk mendapatkan gambaran lebih jelas, berkaitan isi, sifat dan


perumusan peraturan hukum, digunakan sebagai contoh dan kebetulan
kesemuanya dimuat dalam satu bidang hukum, misalnya dalam Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 tentang ”Perkawinan”. Dalam hal ini disebutkan sebagai
contohnya, yaitu : untuk yang berisi larangan Pasal 8, yang berisi perintah Pasal
16, yang berisi perkenan Pasal 29 ayat (1), dan yang merupakan pernyataan
hipotetis Pasal 31.

Pasal 8
”Perkawinan dilarang antara dua orang yang :
1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke
atas;
2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seseorang dengan saudara orang tua dan antara
seseorang dengan saudara neneknya;
3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak
tiri;
4. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan dan bibi/paman susuan;
5. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan
dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
6. yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain
yang berlaku, dilarang kawin.”

Pasal 16

Tim Penyusun Fakultas Hukum UGM 2


Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Hukum Indonesia

(1) Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya


perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi.
(2) Mengenai pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1)
pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 29 ayat (1)


(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya
berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

Pasal 31
(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama
dalam masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

Tim Penyusun Fakultas Hukum UGM 3

Anda mungkin juga menyukai