Anda di halaman 1dari 37

KAJIAN ISLAM

1. Iman, Islam, Ihsan


2. Islam dan Sains
3. Islam dan Penegakan Hukum
4. Kewajiban Menegakkan Amar Makruf dan Nahi Munkar
5. Fitnah Akhir Zaman

Disusun Sebagai Tugas Terstruktur Mata Kuliah : Pendidikan Agama Islam


Dosen pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun oleh :

Nama : Tia Zarleni

Nim : G1D020062

Fakultas/Prodi : MIPA/Matematika

Semester : 1 (satu)

PROGRAM STUDI MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS MATARAM

T.A. 2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT. Atas selesainya
tugas kajian islam ini tepat pada waktunya.

Sholawat dan Salam semoga ALLAH limpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW
atas segala karunia, rahmat serta hidayah-hidayahnya.

Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I.,
M.Sos sebagai dosen pengampuh mata Kuliah Pendidkan Agama Islam.

Adapun tujuan dari penulisan dari artikel ini adalah untuk memenuhi tugas pendidikan
agama islam dan juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang materi yang di
bahas di dalam artikel ini bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan artikel ini.

Saya menyadari, artikel yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah
ini.

Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat kepada saya maupun pembaca
nantinya.

Penyusun, Mataram 13 desember 2020

Nama : Tia Zarleni

Nim : G1D020062

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

I. Iman, Islam, Ihsan 1


II. Islam dan Sains 7
III. Islam dan Penegakan Hukum 12
IV. Kewajiban Menegakkan Amar Makruf dan Nahi Munkar 20
V. Fitnah Akhir Zaman 29

DAFTAR PUSTAKA 34

iii
I. IMAN, ISLAM, IHSAN
Rosulullah SAW Bersabda:
‫علَ ْي ِه َو َسلَّ َم َذاتَ يَ ْو ٍم‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ِ‫س ِع ْندَ َرس ُْو ِل هللا‬ ٌ ‫ بَ ْينَ َما نَحْنُ ُجلُ ْو‬: ‫ع ْنهُ أَيْضا ً قَا َل‬
َ ُ‫ي هللا‬ َ ‫ض‬ِ ‫ع ْن عُ َم َر َر‬ َ
،ٌ‫ َوالَ يَ ْع ِرفُهُ مِ نَّا أَ َحد‬،‫علَ ْي ِه أَثَ ُر ال َّسف َِر‬
َ ‫ الَ ي َُرى‬،‫ب َش ِد ْيدُ َس َوا ِد ال َّش ْع ِر‬ ِ َ‫علَ ْينَا َر ُج ٌل َش ِد ْيدُ بَي‬
ِ ‫اض الثِيَا‬ َ ْ‫ِإذ‬
َ ‫طلَ َع‬
‫ يَا‬:َ‫علَى فَخِ ذَ ْي ِه َوقَال‬ َ ‫س ِإلَى النَّ ِبي ِ صلى هللا عليه وسلم فَأ َ ْسنَدَ ُر ْكبَتَ ْي ِه ِإلَى ُر ْكبَتَ ْي ِه َو َو‬
َ ‫ض َع َكفَّ ْي ِه‬ َ َ‫َحتَّى َجل‬
ُ‫ اْ ِإل سِ الَ ُم أَ ْن تَ ْش َهدَ أَ ْن الَ ِإلَهَ ِإالَّ هللا‬: ‫هللا صلى هللا عليه وسلم‬ َ ‫ُم َح َّمد أَ ْخ ِبرْ نِي‬
ِ ‫ فَقَا َل َرس ُْو ُل‬،‫ع ِن اْ ِإل ْسالَ ِم‬
َ َ‫ضانَ َوتَ ُح َّج ْال َبيْتَ ِإ ِن ا ْست‬
‫طعْتَ ِإلَ ْي ِه‬ ُ َ‫الزكاَةَ َوت‬
َ ‫ص ْو َم َر َم‬ َّ ‫ِي‬َ ‫صالَةَ َوتُؤْ ت‬ ِ ‫َوأَنَّ ُم َح َّمدًا َرس ُْو ُل‬
َّ ‫هللا َوت ُ ِقي َْم ال‬
ِ ‫ أَ ْن تُؤْ مِنَ ِبا‬: ‫ان قَا َل‬
‫لل َو َمالَ ِئ َك ِت ِه‬ َ ‫ فَأ َ ْخ ِبرْ نِي‬:َ‫ قَال‬،ُ‫ص ِدقُه‬
ِ ‫ع ِن اْ ِإل ْي َم‬ َ ‫ فَ َع ِج ْبنَا لَهُ َي ْسأَلُهُ َو ُي‬، َ‫ص َد ْقت‬
َ : ‫ال َقا َل‬ً ‫َس ِب ْي‬
:َ‫ قَال‬،‫ان‬ َ ‫ قَا َل فَأ َ ْخبِرْ نِي‬، َ‫صدَ ْقت‬
ِ ‫ع ِن اْ ِإلحْ َس‬ َ ‫ قَا َل‬.ِ‫س ِل ِه َو ْاليَ ْو ِم اآلخِ ِر َوتُؤْ مِنَ بِ ْالقَد َِر َخي ِْر ِه َوش َِره‬
ُ ‫َوكُتُبِ ِه َو ُر‬
َ ‫ َما ْال َم ْسؤ ُْو ُل‬:َ‫ قَال‬،ِ‫عة‬
‫ع ْن َها‬ َ ‫ع ِن السَّا‬ َ ‫ فَأ َ ْخبِرْ نِي‬:َ‫ قَال‬. َ‫أَ ْن تَ ْعبُدَ هللاَ َكأَنَّكَ ت ََراهُ فَإِ ْن لَ ْم تَكُ ْن ت ََراهُ فَإِنَّهُ يَ َراك‬
َ‫ قَا َل أَ ْن تَ ِلدَ اْأل َ َمةُ َربَّتَ َها َوأَ ْن ت ََرى ْال ُحفَاةَ ْالعُ َراةَ ْالعَالَة‬،‫اراتِ َها‬
َ ‫ع ْن أَ َم‬
َ ‫ قَا َل فَأ َ ْخبِرْ نِي‬.‫بِأ َ ْعلَ َم مِنَ السَّائِ ِل‬
: ُ‫ يَا عُ َم َر أَتَد ِْري َم ِن السَّائِ ِل ؟ قُ ْلت‬: ‫ ث ُ َّم قَا َل‬،‫طلَقَ فَلَبِثْتُ َم ِليًّا‬ ِ َ‫اولُ ْونَ فِي ْالبُ ْني‬
َ ‫ ث ُ َّم ا ْن‬،‫ان‬ َ ‫ط‬َ َ‫عا َء ال َّشاءِ يَت‬
َ ‫ِر‬
]‫] [رواه مسلم‬1[ . ‫ قَا َل فَإِنَّهُ ِجب ِْر ْي ُل أَتـَاكُ ْم يُعَ ِل ُمكُ ْم ِد ْينَكُ ْم‬. ‫هللاُ َو َرس ُْولُهُ أَ ْعلَ َم‬
“ Dari Umar radhiallahuanhu juga dia berkata : Ketika kami duduk-duduk disisi
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang
laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam,
tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun
diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi
lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam) seraya berkata: “ Ya Muhammad, beritahukan aku
tentang Islam ?”, maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam : “
Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah)
selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau
mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika
mampu “, kemudian dia berkata: “ anda benar “. Kami semua heran, dia yang
bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “
Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu beliau bersabda: “ Engkau beriman
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari
akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk “,
kemudian dia berkata: “ anda benar“. Kemudian dia berkata lagi: “ Beritahukan
aku tentang ihsan “. Lalu beliau bersabda: “ Ihsan adalah engkau beribadah

1
kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka
Dia melihat engkau” . Kemudian dia berkata: “ Beritahukan aku tentang hari
kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “ Yang ditanya tidak lebih tahu
dari yang bertanya “. Dia berkata: “ Beritahukan aku tentang tanda-tandanya
“, beliau bersabda: “ Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau
melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba,
(kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya “, kemudian orang itu
berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya: “
Tahukah engkau siapa yang bertanya ?”. aku berkata: “ Allah dan Rasul-Nya
lebih mengetahui “. Beliau bersabda: “ Dia adalah Jibril yang datang kepada
kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian “ (Riwayat Muslim).

A. Pengertian Iman Islam dan Ihsan


1. Pengertian Iman
Kata iman berasal dari Bahasa Arab yaitu bentuk masdar dari kata kerja
(fi’il). ‫ يؤمن – ايمانا‬-‫امن‬
yang mengandung beberapa arti
yaitu percaya, tunduk, tentram dan tenang.
Imam al-Ghazali mengartikannya dengan ‫ التصديق‬yaitu “pembenaran”.
Menurut Syekh Muhammad Amin al-Kurdi :
‫االيمان فهو التصديق با لقلب‬
“ Iman ialah pembenaran dengan hati”.
Menurut Imam Ab Hanifah:
‫االيمان هو االقرار و التصديق‬
“ Iman ialah mengikrarkan (dengan lidah ) dan membenarkan (dengan hati)”.
Menurut Hasbi As-Shiddiqy ;
‫القول باللسان والتصد يق بالجنان والعمل بااالركان‬
“ Iman ialah mengucapkan dengan lidah, membenarkan dengan hati dan
mengerjakan dengan anggota tubuh”.
Menurut Imam Ahmad bin Hanbal mendefinisikannya dgn:
‫قول و عمل و نية و ثمسك بالسنة‬
“Ucapan diiringi dgn ketulusan niat dan dilandasi dgn berpegang teguh
kepada Sunnah”.

2
Jadi bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Iman adalah
Membenarkan segala sesuatu baik berupa perkataan,hati,maupun perbuatan.
Sesuai dengan hadits Rasulullah saw diatas sudah jelas bahwasanya ada enam
rukun iman yang harus diyakini untk menjadi seorang islam yang sempurna
dan menjadi seorang hamba Allah yang ihsan nantinya.
Keenam Rukun Iman tersebut adalah:
1) Beriman kepada Allah Swt
Yakni beriman kepada Rububiyyah Allah Swt, Uluhiyyah Allah Swt, dan
beriman kepada Asma wa shifat Allah SWT yang sempurna serta agung
sesuai yang ada dalam Al-quran dan Sunnah Rasul-Nya.
2) Beriman kepada Malaikat
Malaikat adalah hamba Allah yang mulia, mereka diciptakan oleh Allah
untuk beribadah kepada-Nya, serta tunduk dan patuh menta’ati-Nya, Allah
telah membebankan kepada mereka berbagai tugas.Jadi kita dituntut untuk
beriman dan mempercayai adanya Malaikat Allah SWT.
3) Beriman kepada Kitab-kitab
Allah yang Maha Agung dan Mulia telah menurunkan kepada para Rasul-
Nya kitab-kitab, mengandung petunjuk dan kebaikan. Diantaranya: kitab
taurat diturunkan kepada Nabi Musa, Injil diturunkan kepada Nabi Isa,
Zabur diturunkan kepada Nabi Daud, Shuhuf Nabi Ibrahim dan Nabi
Musa, Al-quran diturunkan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw.
4) Beriman kepada para Rasul
Allah telah mengutus kepada maakhluk-Nya para rasul, rasul pertama
adalah Nuh dan yang terakhir adalah Muhammad Saw, dan semua itu
adalah manusia biasa, tidak memiliki sedikitpun sifat ketuhanan, mereka
adalah hamba-hamba Allah yang dimuliakan dengan kerasulan. Dan Allah
telah mengakhiri semua syari’at dengan syari’at yang diajarkan oleh Nabi
Muhammad Saw,yang diutus untuk seluruh manusia , maka tidak ada nabi
sesudahnya.
5) Beriman kepada Hari Akhirat
Yaitu hari kiamat, tidak ada hari lagi setelahnya, ketika Allah
membangkitkan manusia dalam keadaan hidup untuk kekal ditempat yang
penuh kenikmatan atau ditempat siksaan yang amat pedih. Beriman

3
kepada hari akhir meliputi beriman kepada semua yang akan terjadi
setelah itu, seperti kebangkitan dan hisab, kemudian surga atau neraka.
6) Beriman kepada (Taqdir) Ketentuan Allah
Taqdir artinya: beriman bahwasanya Allah telah mentaqdirkan semua
yang ada dan menciptakan seluruh mahluk sesuai dengan ilmu-Nya yang
terdahalu, dan menurut kebijaksanaan-Nya, Maka segala sesuatu telah
diketahui oleh Allah, serta telah pula tertulis disisi-Nya, dan Dialah yang
telah menghendaki dan menciptakannya.

2. Pengertian Islam
Kata Islam berasal dari Bahasa Arab adalah bentuk masdar dari kata
kerja ‫اسلم – يسلم – اسالما‬Yang secara etimologi mengandung makna : Sejahtera,
tidak cacat, selamat. Seterusnya kata salm dan silm, mengandung arti
: kedamaian, kepatuhan, dan penyerahan diri. Dari kata-kata ini, dibentuk
kata salam sebagai istilah dengan pengertian : Sejahtera, tidak tercela,
selamat, damai, patuh dan berserah diri. Dari uraian kata-kata itu
pengertian islam dapat dirumuskan taat atau patuh dan berserah diri kepada
Allah.
Secara istilah kata Islam dapat dikemukan oleh beberapa pendapat :
a. Imam Nawawi dalam Syarh Muslim :
‫االسالم وهو االستسالم واالنقياد الظاهر‬
“Islam berarti menyerah dan patuh yang dilihat secara zahir”.
b. Ab A’la al Maudud berpendapat bahwa Islam adalah damai. Maksudnya
seseorang akan memperoleh kesehatan jiwa dan raga dalam arti
sesungguhnya, hanya melalui patuh dan taat kepada Allah.
c. Menurut Hammudah Abdalati Islam adalah menyerahkan diri kepada
Allah SWT.Maksudnya patuh kepada kemauan Tuhan dan taat kepada
Hukum-Nya.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Islam itu


ialah tunduk dan taat kepada perintah Allah dan kepada larangannya.
Islam di bangun diatas lima rukun,sebagaimana dijelaskan dalam Hadits:
‫حدثنا عبيد هللا بن موسى قال اخبرنا حنظلة بن أبي سفيان عن عكرمة بن خالد عن ابن عمر‬
‫قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم (بني اإلسالم على خمس شهادة أن‬: ‫رضي هللا عنهما قال‬
‫) ال إله إال هللا وأن محمدا رسول هللا وإقام الصالة وإيتاء الزكاة والحج وصوم رمضان‬
“Abdulloh bin musa telah bercerita kepada kita, dia berkata ; handlolah
bin abi sufyan telah memberi kabar kepada kita d ari ikrimah bin kholid
dari abi umar ra. Berkata : rasul saw. Bersabda : islam dibangun atas

4
lima perkara : persaksian sesungguhnya tidak ada tuhan selain Allah dan
sesungguhnya nabi Muhammad adalah utusannya, mendirikan sholat,
memberikan zakat, hajji dan puasa ramadlan”.

Jadi,Rukun Islam itu ada Lima,yaitu:


a) Syahadat
b) Shalat
c) Zakat
d) Puasa
e) Haji

3. Pengertian Ihsan
Kata ihsan berasal dari Bahasa Arab dari kata kerja (fi’il) yaitu : ‫احسن‬
‫ – يحسن – احسا نا‬artinya : ‫ ( فعل الحسن‬Perbuatan baik ).
Menurut istilah ada beberapa pendapat para ulama,yaitu:
a. Muhammad Amin al-Kurdi, ihsan ialah selalu dalam keadaan diawasi oleh
Allah dalam segala ibadah yang terkandung di dalam iman dan islam
sehingga seluruh ibadah seorang hamba benar-benar ikhlas karena Allah.
b. Menurut Imam Nawawi Ihsan adalah ikhlas dalam beribadah dan seorang
hamba merasa selalu diawasi oleh Tuhan dengan penuh khusuk, khuduk
dan sebagainya

B. Hubungan Iman Islam dan Ihsan


Iman, Islam dan Ihsan satu sama lainya memiliki hubungan karena
merupakan unsur-unsur agama (Ad-Din).
Iman,Islam dan Ihsan adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu
dengan lainnya. Iman adalah keyakinan yang menjadi dasar akidah. Keyakinan
tersebut kemudian diwujudkan melalui pelaksanaan kelima rukun Islam.
Sedangkan pelaksanaan rukun Islam dilakukan dengan cara Ihsan, sebagai upaya
pendekatan diri kepada Allah.
Selain itu Iman, Islam, dan Ihsan sering juga diibaratkan hubungan
diantara ketiganya adalah seperti segitiga sama sisi yang sisi satu dan sisi lainya
berkaitan erat. Segitiga tersebut tidak akan terbentuk kalau ketiga sisinya tidak
saling mengait. Jadi manusia yang bertaqwa harus bisa meraih dan
menyeimbangkan antara iman, islam dan ihsan.
Didalam al-qur’an juga disebutkan bahwa Iman, Islam, dan Ihsan
memiliki keterkaitan,yaitu dalam QS Al-Maidah ayat 3 dan QS Ali-Imron ayat
19.

QS Al-Maidah ayat 3 :
‫ليوم اكملت لكم دينكم و اتممت عليكم نعمتي و رضبت لكم االسال م دينا‬
“ Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kaliam agama kalian dan Aku telah
menyempurnakan nikmat kepada kalian dan Aku telah meridhai Islam adalah
agama yang benar bagi kalian”.

QS Ali-Imron ayat 19 :

5
ٰ ‫اإل‬
‫سل ُم‬ ِ َّ َ‫ِإنَّ الدينَ عِند‬
ِ ‫َّللا‬
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam”.
Di dalam ayat tersebut dijelaskan kata Islam dan selalu diikuti dengan
kata addin yang artinya agama. Addin terdiri atas 3 unsur yaitu, Iman, Islam, dan
Ihsan. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa iman merupakan keyakinan yang
membuat seseorang ber-Islam dan menyerahkan sepenuh hati kepada Allah
dengan menjalankan syareatnya dan meninggalkan segala yang dilarang oleh
syariat Islam.

C. Perbedaan Antara Iman, Islam, dan Ihsan


Disamping adanya hubungan diantara ketiganya, juga terdapat perbedaan
diantaranya sekaligus merupakan identitas masing-masing. Iman lebih
menekankan pada segi keyakinan dalam hati. Islam merupakan sikap untuk
berbuat dan beramal.Sedangkan Ihsan merupakan pernyataan dalam bentuk
tindakan nyata. Dengan ihsan, seseorang bisa diukur tipis atau tebal iman dan
islamnya.
Iman dan islam bila disebutkan secara bersamaan, maka yang dimaksud
dengan Islam adalah amal perbuatan yang nampak, yaitu rukun Islam yang lima,
dan pengertian iman adalah amal perbuatan yang tidak nampak, yaitu rukun iman
yang enam. Dan bila hanya salah satunya (yang disebutkan) maka maksudnya
adalah makna dan hukum keduanya.
Ruang lingkup ihsan lebih umum daripada iman, dan iman lebih umum
daripada Islam. Ihsan lebih umum dari sisi maknanya; karena ia mengandung
makna iman. Seorang hamba tidak akan bisa menuju martabat ihsan kecuali
apabila ia telah merealisasikan iman dan ihsan lebih spesifik dari sisi pelakunya;
karena ahli ihsan adalah segolongan ahli iman. Maka, setiap muhsin adalah
mukmin dan tidak setiap mukmin adalah muhsin. adalah mukmin.

D. Keutamaan Iman, Islam, Dan Ihsan Bagi Manusia


Setiap pemeluk Islam mengetahui dengan pasti bahwa Islam (Al-
Islam) tidak sah tanpa iman (Al-Iman),
dan iman tidak sempurna tanpa ihsan (Al-Ihsan). Sebaliknya, ihsan adalah
mustahil tanpa iman, dan iman juga tidak mungkin tanpa Islam.
Ali Bin Abi Thalib mengemukakan tentang keutamaan Iman,Islam dan
Ikhsan sebagai berikut:
‫ إن اإليمان ليبدو لمعة بيضاء فإذا عمل العبد الصالحات نمت فزادت حتى يبيض القلب كله وإن‬: ‫قال علي‬
‫النفاق ليبدو نكتة سوداء فإذا انتهك الحرمات نمت وزادت حتى يسود القلب كله‬
“ Sahabat Ali Berkata : sesungguhnya iman itu terlihat seperti sinar yang putih,
apabila seorang hamba melakukan kebaikan, maka sinar tersebut akan tumbuh
dan bertambah sehingga hati (berwarna) putih. Sedangkan kemunafikan terlihat

6
seperti titik hitam, maka bila seorang melakukan perkara yang diharamkan, maka
titik hitam itu akan tumbuh dan bertambah hingga hitamlah (warna) hati”.

Jadi Iman,Islam dan Ikhsan mempunyai keutamaan yang sangat besar


dalam pandangan islam ini karena bagi para pelakunya akan diberikan Syurga
oleh Allah SWT sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Allah SWT didalam Al-
Qur’an dan Al-Hadits.

II. ISLAM DAN SAINS


A. Pengertian Sains
Istilah sains diambil dari bahasa Latin scio, scire, scientia, yang
bermakna ”aku tahu, mengetahui, pengetahuan” tentang apapun oleh siapapun
dengan cara apapun.
Sains berarti ilmu, sains juga dapat diartikan sebagai pengetahuan
tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode
tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di
bidang (pengetahuan) itu dan bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat
diukur dan dibuktikan.
Berdasarkan “Webster New Collegiate Dictionary”, definisi dari sains
adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pembelajaran dan pembuktian
atau pengetahuan yang melingkupi suatu kebenaran umum dari hukum-
hukum alam yang terjadi misalnya didapatkan dan dibuktikan melalui metode
ilmiah. Sains dalam hal ini merujuk kepada sebuah sistem untuk mendapatkan
pengetahuan yang dengan menggunakan pengamatan dan eksperimen untuk
menggambarkan dan menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi di alam.
Sedangkan menurut pendapat beberapa ahli, pengertian sains adalah
sebagai berikut.
1. Sund dan Trowbribge merumuskan bahwa sains merupakan kumpulan
pengetahuan dan proses.
2. Kuslan Stone menyebutkan bahwa sains adalah kumpulan pengetahuan
dan cara-cara untuk mendapatkan dan mempergunakan pengetahuan itu.
Sains merupakan produk dan proses yang tidak dapat dipisahkan.
3. Sardar berpendapat bahwa sains adalah sarana yang pada akhirnya
mencetak suatu peradaban, dia merupakan ungkapan fisik dari pandangan
dunianya.
4. Sedangkan ilmu sains yang tergolong dalam kumpulan ilmu sains terapan
(telah mengalami penyesuaian, antara makna dengan kenyataan) adalah
dikaitkan dengan teori dan dasar untuk menciptakan sesuatu hasil yang
dapat memberi manfaat kepada manusia. Sehingga sains mengkaji tentang
fenomena fisik.
Dari beberapa pengertian diatas, maka secara ringkas sains
merupakan ilmu/pengetahuan yang dapat menjelaskan sebuah
gejala/fenomena alam, sehingga berguna bagi kehidupan manusia.

7
B. Pendidikan Sains yang Relevan dengan Ajaran Islam
Sains memang merupakan hal yang sangat penting, apalagi di zaman
modern ini, yang sangat menjunjung tinggi nilai rasionalitas (terutama negara
Barat), sehingga segala sesuatu harus disesuaikan dengan logika. Tapi, kita
sebagai kaum Muslimin harus selalu menjunjung tinggi nilai-nilai agama
Islam, meskipun pada kenyataannya kita juga harus menyesuaikan dengan
perkembangan zaman.
Sebenarnya, bila kita amati, antara ajaran Islam dengan pendidikan
sains tidak ada pertentangan, bahkan Islam mewajibkan umatnya untuk
mencari ilmu. Salah satu dasar (dalil) yang populer adalah hadits Rasulullah
SAW.

َ ْ‫طلَبُ ْالع ْهل هم ف هَريــ‬


َ ٌ‫ضة‬
‫علَى كُ هِّل ُم ســـل ٍهم َو ُمسْـــ هل َم ٍة‬ َ : ‫علَيــْ هه َو َسلـَّ َم‬
َ ‫ى للا تــَعَالَى‬ َ ‫قَا َل َرس ُْو ُل للاه‬
َّ ‫صل‬

Artinya :
Rasulullah SAW. bersabda : “Mencari ilmu itu hukumnya wajib bagi setiap
orang Islam laki-laki dan perempuan”.

Dalam hadits tersebut memang jelas disebutkan bahwa hukum mencari


ilmu adalah fardhu ain (harus dilakukan per individu). Tapi, banyak pendapat
yang muncul dalam menentukan ilmu mana yang dimaksud dalam hadits tersebut.
Para ahli ilmu kalam memandang bahwa belajar teologi merupakan sebuah
kewajiban, sementara para fuqaha’ berpikir bahwa ilmu fiqih dicantumkan dalam
al-Qur’an. Sedangkan menurut Imam Ghazali, ilmu yang wajib dicari menurut
agama adalah terbatas pada pelaksanaan kewajiban syari’at Islam yang harus
diketahui dengan pasti. Misalnya, seseorang yang bekerja sebagai peternak
binatang, haruslah mengetahui hukum-hukum tentag zakat.

Sedangkan dalam sumber lain, penulis menemukan pendapat Shadr al-


Din Syirazi. Menurutnya ada beberapa poin yang dapat diambil dari hadits
tersebut:
1. Kata “ilm” (pengetahuan atau sains), memiliki beberapa makna yang
bervariasi. Kata “ilm” dalam hadits ini bermaksud untuk menetapkan bahwa
pada tingkat ilmu apapun seseorang harus berjuang untuk mengembangkan
lebih jauh. Nabi bermaksud bahwa mencari ilmu itu wajib bagi setiap Muslim,
baik itu para ilmuwan maupun orang-orang yang bodoh, para pemula mupun
para sarjana terdidik. Apapun tingkat ilmu yang dapat dicapainya, ia seperti
anak kecil yang beranjak dewasa, sehingga ia harus mempelajari hal-hal yang
sebelumnya tak wajib baginya.
2. Hadits ini menyiratkan arti bahwa seorang Muslim tidak akan pernah keluar
dari tanggung jawabnya untuk mencari ilmu.
3. Tidak ada lapangan pengetahuan atau sains yang tercela atau jelek dirinya
sendiri, karena ilmu laksana cahaya, dengan demikian selalu dibutuhkan.
Alasan mengapa beberapa ilmu dianggap tercela adalah karena akibat-akibat
tercela yang dihasilkannya.

8
Dari pendapat-pendapat diatas, dapat kita lihat bahwa ajaran Islam juga
mencakup tentang pendidikan sains yang notabennya adalah ilmu yang
berguna bagi kehidupan (dunia) manusia.
Tapi, disini, ilmu (sains) yang dipelajari haruslah bertujuan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa, menyejahterakan umat, mensyiarkan
ajaran-ajaran agama Islam. Tidak dibenarkan, apabila ada orang Islam yang
menuntut ilmu pengetahuan hanya untuk mengejar pangkat, mencari gelar,
dan keuntungan pribadi. Selain itu, ilmu yang telah didapat harus disebarkan
(diajarkan kepada orang lain) dan diamalkan (tingkah lakunya sesuai dengan
ilmunya).
Bila seseorang dapat melakukan ketiga hal tersebut, maka derajat
orang tersebut diangkat oleh Allah dan disamakan dengan orang-orang yang
berjuang di medan perang (berjihad di jalan Allah). Tentu kita sebagai
hambaNya menginginkan hal tersebut.

Memang benar peribahasa “........... bersusah-susah dahulu, bersenang-


senang kemudian”, untuk menggapai sesuatu yang diinginkan dan diimpi-
impikan tentu tidak mudah, sehingga untuk mendapatkan ilmu pengetahuan
(sains) yang dapat mensejahterakan kehidupan dunia sekaligus mendapatkan
derajat yang tinggi di Mata Allah, seseorang harus berperang dengan hawa
nafsunya yang selalu mementingkan kehidupan duniawi. Kebanyakan
ilmuwan, bahkan ilmuwan Muslin lupa akan tujuan ukhrowinya, mereka lebih
senang menganggap bahwa sains merupakan sarana mencari penghidupan,
bukan sarana mendekatkan diri kepada Sang Maha Kuasa. Konsep sains
seperti itu lebih mirip dengan konsep sains Barat, yang tentunya salah.

Sehingga sebagai umat Muslim, kita membutuhkan sains yang


disusun dari kandungan Islam yang memiliki proses dan metodologi yang
mempu bekerjasama dengan semangat nilai-nilai Islami dan yang
dilaksanakan semata-mata untuk mendapatkan keridhaan dari Allah. Sains
semacam ini akan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Muslim dan
bekerjasama dalam konteks etika Islam. Sifat dasar dan jenis sains ini harus
jauh berbeda dari sains Barat.

Tapi, untuk mendapatkan bentuk sains yang seperti ini, hampir tidak
mungkin, bila dilihat dari kesadaran dan pemahaman kaum Muslimin
sekarang. Bila dilihat, mereka lebih banyak meniru dan menganut pendapat-
pendapat ilmuwan Barat, yang sudah jelas-jelas salah. Ini sangat ironis, karena
Islam yang dulu pernah menguasai ilmu pengetahuan dunia, kini malah
meniru dan berkiblat kepada sains Barat, tanpa berusaha mencari kebenaran
sains yang hakiki.

Dalam memecahkan masalah ini, penulis perlu memaparkan bahwa


Islam adalah sebuah sistem agama, kebudayaan, dan peradaban secara
menyeluruh. Ia merupakan sistem holistik dan nilai-nilainya menyerap setiap

9
aktivitas manusia, yang tentunya sains termasuk di dalamnya. Dan bila diulas
kembali makna sains sebagai metode yang rasional dan empiris untuk
mempelajari fenomena alam, maka menggali ilmu sains dalam Islam adalah
satu-satunya cara untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang
Sang Pencipta, dan menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat Islam. Ia
sendiri tidak akan berakhir. Oleh karena itu, sains tidak dipelajari untuk sains
itu sendiri, akan tetapi untuk mendapatkan Ridha Allah SWT. dengan
mencoba memahami ayat-ayatNya.

Dalam dunia sains, konsep sains seperti ini sering disebut sebagai
konsep sains Islam, yang notabennya adalah ilmu sains yang dalam
mempelajarinya tidak akan pernah bertentangan dengan hukum dan ajaran
Islam. Karena sains itu sendiri dijadikan sarana untuk beribadah kepadaNya,
Sang Maha Pemilik Ilmu.

Penerapan sains Islam akan menciptakan suasana yang menggugah


ingatan kita kepada Allah, mendorong perilaku yang sesuai dengan ketentuan
syariat, dan mengingatkan nilai-nilai konseptual yang ada dalam al-Qur’an.

Dalam bidang pendidikan (khususnya Pendidikan Agama Islam),


bentuk sains seperti ini sangat diperlukan untuk mewujudkan kaum pelajar
yang benar-benar memahami konsep sains Islam, sehingga mereka tidak
memiliki keraguan dan ketakutan dalam mempelajari sains. Selain itu, untuk
menghindarkan mereka dari perbuatan yang dilarang oleh agama, yang
biasanya disebabkan oleh minimnya pemahaman mereka. Jadi, secara jelas
konsep sains Islam akan menghasilkan kesempurnaan pemahaman sains, dan
mendatangkan kenikmatan kehidupan duniawi dan ukhrowi, yang tentunya
diidam-idamkan oleh semua orang yang beriman. Selain itu, buah manis dari
konsep sains Islam adalah akan melahirkan ilmuwan-ilmuwan Islam, yang
nantinya akan membangkitkan semangat kaum Muslimin dalam bidang ilmu
pengetahuan. Hal inilah akan menjadi jawaban dari pertanyaan, “Mengapa
orang Islam makin banyak, tapi kualitas mereka jauh menurun dibanding
dengan orang-orang Islam dahulu?”.

C. Al-Qur’an Sebagai Sumber Ilmu Sains


Di zaman sekarang, bila kita amati banyak orang yang mencoba
menafsirkan beberapa ayat al-Qur’an dalam kaitannya dengan ilmu
pengetahuan modern. Tujuan utamanya adalah untuk menunjukkan mukjizat
al-Qur’an sebagai sumber segala ilmu, dan untuk menumbuhkan rasa bangga
kaum muslimin karena telah memiliki kitab yang sempurna ini.

Tetapi, pandangan yang menganggap bahwa al-Qur’an sebagai


sebuah sumber seluruh ilmu pengetahuan ini bukanlah sesuatu yang baru,
sebab kita mendapati banyak ulamak besar kaum muslim terdahulu pun
berpandangan demikian. Diantaranya adalah Imam al-Ghazali. Dalam
bukunya Ihya ‘Ulum al-Din, beliau mengutip kata-kata Ibnu Mas’ud: “Jika

10
seseorang ingin memiliki pengetahuan masa lampau dan pengetahuan
modern, selayaknya dia merenungkan al-Qur’an”. Selanjutnya beliau
menambahkan: “Ringkasnya, seluruh ilmu tercakup di dalam karya-karya dan
sifat-sifat Allah, dan al-Qur’an adalah penjelasan esensi, sifat-sifat, dan
perbuatan-Nya. Tidak ada batasan terhadap ilmu-ilmu ini, dan di dalam al-
Qur’an terdapat indikasi pertemuannya (al-Qur’an dan ilmu-ilmu)”.

Bahkan pada sebuah sumber yang dikutip oleh penulis, dijelaskan


bahwa mukjizat Islam yang paling utama ialah hubungannya dengan ilmu
pengetahuan. Surah pertama (al-Alaq, ayat 1-5) yang diwahyukan kepada
Nabi Muhammad SAW ialah nilai tauhid, keutamaan pendidikan, dan cara
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan diberikan penekanan yang mendalam.

Firman Allah SWT (Al-alaq 1-5) :


Artinya :
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia Telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang
Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.

Kata “bacalah” dalam ayat tersebut mengandung arti tentang


perintah menuntut ilmu, apalagi pada saat itu (awal kenabian), bangsa Arab
sedang berada pada zaman jahiliyah (kebodohan).

Jika sains dikaitkan dengan fenomena alam, maka dalam al-Qur’an


lebih dari 750 ayat menjelaskan tentang fenomena alam. Salah satunya adalah
pada Surah Luqman, ayat 10.
Artinya:
“Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan dia
meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi supaya bumi itu tidak
menggoyangkan kamu; dan memperkembang biakkan padanya segala macam
jenis binatang. dan kami turunkan air hujan dari langit, lalu kami tumbuhkan
padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik.”

Dalam ayat tersebut, menjelaskan tentang betapa besarnya kekuasaan


Allah SWT. dalam menciptakan mahluk-mahlukNya. Tidak berhenti sampai
disitu, kita juga diperintahkan untuk mempelajarinya (mahluk). Hal ini telah
banyak dilakukan oleh orang (ilmuwan) Barat, dan malah kebanyakan dari
kita hanya mengikuti apa yang mereka katakan. Padahal, kita sebagai
hambaNya seharusnya memiliki keharusan yang lebih besar dari pada mereka.
Karena bila diamati, tidak sedikit dari pandangan mereka melenceng dari
ajaran agama Islam. Bila kita hanya mengikuti mereka, dikhawatirkan kita
akan terjerumus kedalam jalan kesesatan bersama mereka. Seperti contoh,
pandangan Darwin tentang teori evolusi yang menyebutkan bahwa manusia
zaman dahulu memiliki bentuk fisik menyerupai kera, itu merupakan pendapat

11
yang tidak sesuai dengan al-Qur’an. Karena secara jelas, manusia pertama
yang diciptakan Allah adalah Nabi Adam AS.

Mempelajari ilmu, baik itu ilmu agama maupun ilmu pengetahuan


(sains) merupakan hal yang sangat sulit, maka dari itu, Islam sangat
memuliakan para ahli ilmu, sehingga dalam Surah al-Mujadilah ayat 11,
derajat mereka diangkat oleh Allah SWT.

Artinya :
"......... niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Dalam potongan ayat tersebut, Allah menjajarkan iman dengan ilmu.


Disinilah terlihat betapa pentingnya ilmu, karena orang yang beriman tanpa
memiliki ilmu maka segala ibadahnya akan ditolak. Sedangkan sebaliknya,
orang berilmu tanpa beriman, maka ilmunya dapat menyesatkannya menuju
jalan yang dilarang dan dilaknatNya.

Disinilah, kita sebagai hambaNya yang beriman harus ekstra hati-hati


dalam mempelajari suatu ilmu. Kita harus selalu mengembalikan semuanya
kepadaNya, kita harus berusaha mencocokkan segala jenis ilmu dengan
kalamNya (al-Qur’an) yang sempurna.

Karena sudah jelas, al-Qur’an membahas banyak Ilmu, antara lain


ilmu yang berhubungan dengan kemasyarakatan yang memberi pedoman dan
petunjuk berkaitan dengan perundang-undangan tentang halal dan haramnya
suatu aktiviti, peradaban, muamalat antara manusia dalam bidang ekonomi,
perniagaan, sosiobudaya, peperangan dan perhubungan antar bangsa. Juga
terdapat maklumat ataupun isyarat (hint-suggestions) tentang perkara-perkara
yang telah menjadi tumpuan kajian sains, misalnya, sidik jari sebagai tanda
pengenal, penciptaan bumi dan langit, dan lain-lain.

Dari sini, maka pantaslah kalau di zaman ini banyak ilmuwan


(ilmuwan Barat khususnya) yang berusaha mempelajari al-Qur’an demi
memahami suatu kajian sains. Tapi, kita sebagai umat Muslim jangan sampai
kalah dengan mereka, sehingga peradaban Islam dapat bangkit kembali.
Ketika peradaban Islam mulai bangkit, maka kemungkinan besar dunia dapat
dikuasai oleh Islam, sehingga konsep Islam sebagai agama yang “Rahmatan
lil-‘Alamin” (kesejahteraan bagi seluruh dunia) dapat terwujud secara nyata.

III. ISLAM DAN PENEGAKAN HUKUM


A. Pengertian Penegakan Hukum
Penegakan hukum adalah sistem yang di dalamnya terdapat anggota
pemerintah yang bertindak secara terorganisir untuk menegakkan hukum
dengan cara menemukan, menghalangi, memulihkan, atau menghukum

12
orang-orang yang melanggar undang-undang dan norma hukum yang
mengatur masyarakat tempat anggota penegakan hukum tersebut berada.

Walaupun istilah ini biasanya mencakup polisi, pengadilan, dan


lembaga koreksi masyarakat, namun isitilah ini biasanya dipakai juga untuk
orang-orang (termasuk mereka yang bukan anggota kepolisian resmi) yang
secara langsung terlibat dalam patroli dan pengamatan untuk mencegah atau
menggalangi dan menemukan aktivitas kriminal, dan untuk orang-orang yang
menginvestigasi kejahatan dan menangkap pelaku kejahatan,baik secara
individual atau dalam bentuk organisasi penegakan hukum, baik kepolisian
maupun yang lainnya. Di dalam organisasi kepolisian terdapat unit-unit,
misalnya: polisi yang menyamar, detektif, investigasi, gugus tugas tertentu
(geng, obat-obatan, dll.) yang berbeda-beda dari satu tempat ke tempat yang
lainnya.

Walaupun penegakan hukum mungkin saja paling sibuk dengan


pencegahan dan penghukuman atas kejahatan, namun organisasi penegakan
hukum hadir untuk mencegah berbagai macam dan bentuk pelanggaran aturan
dan norma yang tidak bersifat kriminal, yang dilakukan melalui pengenaan
konsekuensi yang tidak terlalu berat.

B. Penegakan Hukum Dalam Islam


Berbagai masalah hukum, mulai dari kekerasan dalam rumah tangga,
pungutan liar, penistaan agama, hingga korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)
datang silih berganti. Diperlukan kecepatan dalam menyelesaikannya. Jika
lamban, satu masalah belum selesai maka akan tumbuh masalah baru yang
lebih banyak dan pelik.

Penegakan supremasi hukum adalah keniscayaan. Tegaknya


supremasi hukum akan melahirkan suatu kepastian. Kepastian tentang yang
benar (al-haq) dan mana yang salah (al-bathil).

Dari penglihatan sehari-hari, sering kali kita menyaksikan keadilan


masih lebih berpihak kepada orang berduit, sehingga muncul istilah yang
dipelesetkan, kasih uang habis perkara, atau istilah wani piro.

Dalam masalah hukum, rakyat kecil sering kali terpinggirkan.


Persoalan sederhana ditangani secara berlebihan. Persoalan yang seharusnya
diselesaikan menurut ukurannya, malah menjadi lebar dan luas hanya karena
tidak mampu menempatkan persoalan secara proporsional.

Keadilan menuntut kejujuran dan objektivitas, artinya tidak berpihak


kecuali kepada kebenaran dan rasa keadilan itu sendiri. Berkaitan dengan
penegakan hukum, Rasulullah SAW berpesan secara khusus kepada penegak
hukum agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan benar.

13
Pertama, memutuskan perkara secara adil. Rasulullah SAW bersabda,
"Barang siapa yang menjadi hakim lalu menghukumi dengan adil, niscaya ia
akan dijauhkan dari keburukan." (HR Tirmidzi).

Kedua, tipologi hakim. Rasulullah SAW bersabda, "Hakim itu ada


tiga, dua di neraka dan satu di surga. Seseorang yang menghukumi secara
tidak benar, padahal ia mengetahui mana yang benar maka ia masuk neraka.
Seorang hakim yang bodoh lalu menghancurkan hak-hak manusia maka ia
masuk neraka. Dan, seorang hakim yang menghukumi dengan benar maka ia
masuk surga." (HR Tirmidzi).

Ketiga, tidak meminta jabatan hakim. Rasulullah SAW bersabda,


"Barang siapa mengharap menjadi seorang hakim maka (tugas dan tanggung
jawab) akan dibebankan kepada dirinya. Dan barang siapa tidak
menginginkannya maka Allah akan menurunkan malaikat untuk menolong
dan membimbingnya dalam kebenaran." (HR Tirmidzi).

Keempat, jangan silau menjadi hakim. Rasulullah SAW bersabda,


"Barang siapa yang diberi jabatan hakim atau diberi kewenangan untuk
memutuskan suatu hukum di antara manusia, sungguh ia telah dibunuh tanpa
menggunakan pisau." (HR Tirmidzi).

Oleh karena itu, kita sangat menaruh hormat kepada setiap aparat
penegak hukum yang masih tegar dan setia membela kebenaran dan keadilan.
Wallahu a'lam.

C. Dalil Tentang Keadilan Dalam Penegakan Hukum Islam


Adil adalah salah satu sifat mulia yang harus dimiliki oleh setiap
manusia dalam rangka menegakkan kebenaran kepada siapa saja tanpa
terkecuali, walaupun kebenaran itu nantinya akan merugikan dirinya sendiri.
Prinsip keadilan (al-adl) inilah yang dijunjung tinggi dalam hukum islam,
yakni tidak memihak atau tidak berat sebelah, karena yang dijadikan pegangan
adalah kebenaran.

Dalam konteks hukum, keadilan harus ditegakkan dengan menghukum


siapapun yang bersalah tanpa pandang bulu. Karena keadilan berarti
menempatkan semua manusia sama di depan hukum. Inilah yang dicontohkan
oleh Rasulullah SAW dalam sebuah kasus hukum yang pernah terjadi ketika
itu.

Dikisahkan bahwa suatu ketika seorang wanita Bani Mahzum


kedapatan mencuri. Pada masa itu, Bani Mahzum adalah salah satu kelompok
yang sangat terpandang dari suku Quraisy. Demi menutupi aib dan rasa malu,
para pemuka mereka kemudian meminta bantuan kepada Usamah yang
memiliki hubungan dekat dengan Nabi untuk melakukan pendekatan dan lobi

14
kepada Rasulullah. Ternyata usaha Usamah gagal total. Rasulullah justru
menghardik dan memberi peringatan keras kepadanya untuk tidak pandang
bulu dalam menegakkan hukum.

Kasus itulah yang menjadi latar belakang sabda Rasulullah SAW dalam
salah satu hadisnya, “Kalau Fatimah, putriku, mencuri, pastilah akan aku
potong tangannya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Kiranya, kisah tersebut bisa memberikan inspirasi dan teladan yang


agung, terutama bagi masyarakat di zaman sekarang yang mendambakan
kejujuran dan tegaknya hukum yang adil bagi semua orang. Melalui kasus
tersebut, Nabi mengajarkan tentang beberapa masalah mendasar yang perlu
diperhatikan oleh para pemangku kekuasaan, khususnya kepada penegak
hukum, untuk berlaku adil.

Ada sejumlah ayat dalam alquran yang secara jelas dan tegas
memerintahkan kita untuk menegakkan keadilan dengan sebenar-benarnya.
Ini membuktikan bahwa keadilan merupakan salah satu isu penting yang
diperhatikan dalam islam. Sebagai seorang muslim, tentu saja kita harus bisa
menyerap pesan-pesan keadilan yang tersebar dalam ayat-ayat alquran.
Berikut ini beberapa ayat alquran tentang perintah menegakkan hukum secara
adil yang penting untuk kita ketahui.

َ َّ َّ‫اس أَ ْن تَحْ كُ ُموا بِ ْالعَدْ ِل إِن‬


‫َّللا نِ ِع َّما‬ ِ ‫َّللا يَأْ ُم ُركُ ْم أَ ْن ت ُ َؤدُّوا ْاْل َ َمانَا‬
ِ َّ‫ت إِلَى أَ ْه ِل َها َوإِذَا َحك َْمت ُ ْم بَيْنَ الن‬ َ َّ َّ‫إِن‬
‫يَ ِعظُكُ ْم‬

‫يرا‬
ً ‫ص‬ َ َّ َّ‫بِ ِه إِن‬
ِ َ‫َّللا كَانَ َسمِ يعًا ب‬

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat kepada


yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara
manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah
sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sesungguhnya Allah
MahaMendengar lagi Maha Melihat”. – (Q.S An-Nisa: 58)

َ ‫علَى أَ ْنفُسِ كُ ْم أَ ِو ْال َوا ِلدَي ِْن َو ْاْل َ ْق َربِينَ إِ ْن يَكُ ْن‬
‫غنِيًّا أَ ْو‬ َ ‫ّلِل َولَ ْو‬ ُ ِ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا كُونُوا قَ َّوامِ ينَ بِ ْال ِقسْط‬
ِ َّ ِ ‫ش َهدَا َء‬

‫يرا‬ َ َّ َّ‫َاّلِل أَ ْولَى ِب ِه َما ف َََل تَتَّ ِبعُوا ْال َه َوى أَ ْن تَ ْع ِدلُوا َو ِإ ْن ت َْل ُووا أَ ْو ت ُ ْع ِرضُوا فَإِن‬
ً ‫َّللا كَانَ ِب َما تَ ْع َملُونَ َخ ِب‬ ً ‫فَق‬
ُ َّ ‫ِيرا ف‬

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu para penegak keadilan, menjadi
saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap kedua
orangtua dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin,
maka Allah lebih tahu kemaslahatan (untuk kebaikannya). Maka janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan untuk menjadi saksi, maka ketahuilah

15
bahwa Allah Mahateliti terhadap segala sesuatu yang kamu kerjakan. – (Q.S An-
Nisa: 135)

َ ‫ش َهدَا َء بِ ْال ِقسْطِ َو ََل يَجْ ِر َمنَّكُ ْم َشنَآنُ قَ ْو ٍم‬


‫علَى أَ ََّل تَ ْع ِدلُوا ا ْع ِدلُوا ه َُو‬ ِ َّ ِ َ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا كُونُوا قَ َّوامِ ين‬
ُ ‫ّلِل‬
ُ‫أَ ْق َرب‬

َ‫ير ِب َما تَ ْع َملُون‬ َ َّ ‫لِلتَّ ْق َوى َواتَّقُوا‬


َ َّ َّ‫َّللا ِإن‬
ٌ ‫َّللا َخ ِب‬

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu para penegak keadilan karena
Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap
suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena
(adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. – (Q.S Al-
Maidah: 8)

‫ع ْن ُه ْم فَلَ ْن‬ ْ ‫ع ْن ُه ْم َو ِإ ْن ت ُ ْع ِر‬


َ ‫ض‬ ْ ‫ت فَإِ ْن َجا ُءوكَ فَاحْ كُ ْم بَ ْينَ ُه ْم أَ ْو أَع ِْر‬
َ ‫ض‬ ِ ‫َس َّماعُونَ ل ِْل َك ِذ‬
ِ ْ‫ب أَ َّكالُونَ لِلسُّح‬
َ‫يَض ُُّروك‬

َ‫َّللا يُحِ بُّ ْال ُم ْقسِطِ ين‬


َ َّ َّ‫َش ْيئًا َوإِ ْن َحكَمْتَ فَاحْ كُ ْم بَ ْينَ ُه ْم بِ ْال ِقسْطِ إِن‬

Mereka sangat suka mendengar berita bohong, lagi banyak memakan (makanan)
yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (Muhammad untuk
meminta putusan), maka berilah putusan di antara mereka atau berpalinglah dari
mereka. Dan jika engkau berpaling dari mereka maka mereka tidak akan
membahayakanmu sedikit pun, tetapi jika engkau memutuskan (perkara mereka),
maka putuskanlah dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
adil. – (Q.S Al-Maidah: 42)

ُ ‫شدَّهُ َوأَ ْوفُوا ْال َك ْي َل َو ْالمِ يزَ انَ بِ ْال ِقسْطِ ََل نُكَل‬
‫ِف نَ ْفسًا إِ ََّل‬ َ ‫َو ََل تَ ْق َربُوا َما َل ْاليَت ِِيم إِ ََّل بِالَّتِي ِه‬
ُ َ‫ي أَحْ َسنُ َحتَّى يَ ْبلُ َغ أ‬

َ‫صاكُ ْم ِب ِه لَ َعلَّكُ ْم تَذَ َّك ُرون‬ ِ َّ ‫ُو ْس َع َها َو ِإذَا قُ ْلت ُ ْم فَا ْع ِدلُوا َولَ ْو كَانَ ذَا قُرْ بَى َو ِب َع ْه ِد‬
َّ ‫َّللا أَ ْوفُوا ذَ ِلكُ ْم َو‬

Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang lebih
bermanfaat, hingga dia mencapai (usia) dewasa. Dan sempurnakanlah takaran
serta timbangan dengan adil. Kami tidak membebani seseorang melainkan
menurut kesanggupannya. Apabila kamu berbicara, bicaralah sejujurnya
sekalipun dia kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Demikianlah Dia
memerintahkan kepadamu agar kamu ingat.” – (Q.S Al-An’am: 152)

16
ِ ْ‫علَى َم ْو ََلهُ أَ ْينَ َما ي َُو ِج ْههُ ََل يَأ‬
‫ت‬ َ ‫َّللا َمثَ ًَل َر ُجلَي ِْن أَ َحدُهُ َما أَ ْب َك ُم ََل يَ ْقد ُِر‬
ْ ‫علَى َش‬
َ ‫يءٍ َوهُ َو َك ٌّل‬ ُ َّ ‫ب‬ َ ‫ض َر‬
َ ‫َو‬
ْ‫ِب َخي ٍْر هَل‬

َ ‫َي ْستَ ِوي ه َُو َو َم ْن َيأْ ُم ُر ِب ْال َعدْ ِل َوه َُو‬


ِ ‫علَى‬
‫ص َراطٍ ُم ْستَق ٍِيم‬

Dan Allah (juga) membuat perumpamaan dua orang laki-laki, salah seorang dari
keduanya adalah seorang yang bisu, ia tidak dapat berbuat sesuatu dan dia
menjadi beban bagi penanggungnya, ke mana saja ia disuruh (oleh
penanggungnya itu), ia sama sekali tidak dapat mendatangkan suatu kebaikan.
Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan ia berada
di jalan yang lurus?. – (Q.S An-Nahl: 76)

َ‫ع ِن ْالفَحْ شَاءِ َو ْال ُم ْنك َِر َو ْالبَ ْغي ِ يَ ِعظُكُ ْم لَعَلَّكُ ْم تَذَ َّك ُرون‬
َ ‫ان َو ِإيتَاءِ ذِي ْالقُرْ بَى َويَ ْن َهى‬ ِ ْ ‫َّللا يَأْ ُم ُر بِ ْالعَدْ ِل َو‬
ِ ‫اْلحْ َس‬ َ َّ َّ‫ِإن‬

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberimu pengajaran agar kamu dapat
mengambil pelajaran. – (Q.S An-Nahl: 90)

َ‫صابِ ِرين‬ َ ‫عاقَ ْبت ُ ْم فَعَاقِبُوا بِمِ ثْ ِل َما عُوقِ ْبت ُ ْم بِ ِه َولَئ ِْن‬
َّ ‫صبَرْ ت ُ ْم لَ ُه َو َخي ٌْر لِل‬ َ ‫َوإِ ْن‬

Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang serupa dengan
siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya
itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang bersabar. – (Q.S An-Nahl: 126)

ِ ‫ق َو ََل تَتَّ ِب ِع ْال َه َوى فَي‬


َ َ‫ُضلَّك‬
ِ َّ ‫ع ْن َس ِبي ِل‬
َّ‫َّللا ِإن‬ ِ ‫اس ِب ْال َح‬ ِ ْ‫يَا د َُاوودُ ِإنَّا َج َع ْلنَاكَ َخلِيفَةً فِي ْاْلَر‬
ِ َّ‫ض فَاحْ كُ ْم بَيْنَ الن‬

ِ ‫عذَابٌ َش ِديدٌ ِب َما نَسُوا َي ْو َم ْالحِ َسا‬


‫ب‬ َ ‫َّللا لَ ُه ْم‬ َ َ‫ضلُّون‬
ِ َّ ‫ع ْن َس ِبي ِل‬ ِ ‫الَّذِينَ َي‬

(Allah berfirman), “Wahai Dawud, Sesungguhnya engkau Kami jadikan sebagai


khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara
manusia secara adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu sehingga akan
menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari
jalan Allah akan mendapatkan azab yang berat disebabkan karena mereka
melupakan hari perhitungan.” – (Q.S Shad: 26)

‫ب َوأُمِ رْ تُ ِْل َ ْع ِد َل بَ ْينَ ُك ُم‬ ُ َّ ‫فَ ِلذَلِكَ فَادْعُ َوا ْستَ ِق ْم َك َما أُمِ رْ تَ َو ََل تَتَّبِ ْع أَ ْه َوا َءهُ ْم َوقُلْ آ َم ْنتُ بِ َما أَ ْنزَ َل‬
ْ ‫َّللا‬
ٍ ‫مِن ِكتَا‬
ُ َّ
‫َّللا‬

‫ير‬
ُ ‫ص‬ِ ‫َّللا يَجْ َم ُع بَ ْينَنَا َوإِلَ ْي ِه ْال َم‬
ُ َّ ‫َربُّنَا َو َربُّكُ ْم لَنَا أَ ْع َمالُنَا َولَكُ ْم أَ ْع َمالُكُ ْم ََل ُح َّجةَ بَ ْينَنَا َوبَ ْينَكُ ُم‬

17
Karena itu, serulah (mereka untuk beriman) dan istiqamahlah sebagaimana
diperintahkan kepadamu (Muhammad) dan janganlah engkau mengikuti hawa
nafsu mereka dan katakanlah, “Aku beriman kepada Kitab yang diturunkan Allah
dan aku diperintahkan untuk berlaku adil di antara kamu. Allah Tuhan kami dan
Tuhan kamu. Bagi kami amalan-amalan kami dan bagi kamu amalan-amalan
kamu. Tidak (perlu) ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah
mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah (kita) kembali.” – (Q.S As-Syura:
15)

َ‫سِروا ْالمِ يزَ ان‬


ُ ‫َوأَقِي ُموا ْال َو ْزنَ بِ ْال ِقسْطِ َو ََل ت ُ ْخ‬

dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi
neraca itu. – (Q.S Ar-Rahman: 9)

ٌ ْ‫اس بِ ْال ِقسْطِ َوأَ ْنزَ ْلنَا ْال َحدِيدَ فِي ِه بَأ‬
ٌ‫س َشدِيد‬ َ ُ‫َاب َو ْالمِيزَ انَ ِليَق‬
ُ َّ‫وم الن‬ َ ‫ت َوأَ ْنزَ ْلنَا َمعَ ُه ُم ْال ِكت‬
ِ ‫سلَنَا بِ ْالبَيِنَا‬
ُ ‫لَقَدْ أَرْ َس ْلنَا ُر‬

ٌ ‫ع ِز‬
‫يز‬ ٌّ ‫َّللا قَ ِو‬
َ ‫ي‬ ِ ‫سلَهُ ِب ْالغَ ْي‬
َ َّ َّ‫ب ِإن‬ ُ ‫ص ُرهُ َو ُر‬ ُ َّ ‫اس َو ِليَ ْعلَ َم‬
ُ ‫َّللا َم ْن يَ ْن‬ ِ َّ‫َو َمنَافِ ُع لِلن‬

Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata
dan kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia
dapat berlaku adil. Dan Kami menciptakan besi yang memiliki kekuatan, hebat
dan banyak manfaat bagi manusia, dan agar Allah mengetahui siapa yang
menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya walaupun (Allah) tidak dilihatnya.
Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa. – (Q.S Al-Hadid: 25)

D. Prinsip Hukum Islam


Dalam hukum Islam memuat prinsip-prinsip sebagai titik tolak
pelaksanaan ketetapan-ketetapan Allah yang berkaitan dengan mukallaf, baik
yang berbentuk perintah, larangan maupun pilihan-pilihan.

Diantara prinsip-prinsip hukum Islam menurut Juhaya S. Praja sebagai


berikut :
1. Prinsip Tauhid
Tauhid adalah prinsip umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan
bahwa semua manusia ada dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu
ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak
ada tuhan selain Allah). Prinsip ini ditarik dari firman Allah SWT QS. Ali
Imran Ayat 64. Berdasarkan atas prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan
hukum Islam merupakan ibadah. Dalam arti perhambaan manusia dan
penyerahan dirinya kepada Allah sebagai maniprestasi kesyukuran
kepada-Nya. Dengan demikian tidak boleh terjadi setiap mentuhankan
sesama manusia dan atau sesama makhluk lainnya. Pelaksanaan hukum

18
Islam adalah ibadah dan penyerahan diri manusia kepada keseluruhan
kehendak-Nya.
Berdasarkan prinsip tauhid ini melahirkan azas hukum Ibadah,
yaitu Azas kemudahan atau meniadakan kesulitan. Dari azas hukum
tersebut terumuskan kaidah-kaidah hukum ibadah sebagai berikut: Al-
ashlu fii al-ibadati tuqifu wal ittiba’: yaitu pada pokoknya ibadah itu tidak
wajib dilaksanakan, dan pelaksanaan ibadah itu hanya mengikuti apa saja
yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.

2. Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar


Hukum Islam digerakkan untuk merekayasa umat manusia untuk
menuju tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki dan ridho Allah dan
menjauhi hal yang dibenci Allah.

3. Prinsip Keadilan
Keadilan dalam bahasa Salaf adalah sinonim al-mizan atau
keseimbangan. Kata keadilan dalam al-Qur’an kadang samakan dengan al-
qist. Pembahasan keadilan pada umumnya berkonotasi dalam penetapan
hukum atau kebijaksanaan raja. Akan tetapi, keadilan dalam hukum Islam
meliputi berbagai aspek. Prinsip keadilan ketika dimaknai sebagai prinsip
moderasi, menurut Wahbah Az-Zuhaili bahwa perintah Allah ditujukan
bukan karena esensinya, sebab Allah tidak mendapat keuntungan dari
ketaatan dan tidak pula mendapatkan kemadaratan dari perbuatan maksiat
manusia. Namun ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan untuk
memperluas prilaku dan cara pendidikan yang dapat membawa kebaikan
bagi individu dan masyarakat.

4. Prinsip Kebebasan
Prinsip kebebasan dalam hukum Islam menghendaki agar agama
atau hukum Islam disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan
penjelasan, demontrasi, argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip
hukum Islam adalah kebebasan dalam arti luas yang mencakup berbagai
macamnya, baik kebebasan individu maupun kebebasan komunal.
Keberagama dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan
dalam beragama.

5. Prinsip Persamaan
Prinsip persamaan yang paling nyata terdapat dalam Konstitusi
Madinah (al-Shahifah), yakni prinsip Islam menentang perbudakan dan
penghisapan darah manusia atas manusia. Prinsip persamaan ini
merupakan bagian penting dalam pembinaan dan pengembangan hukum

19
Islam dalam menggerakkan dan mengontrol sosial, tapi bukan berarti tidak
pula mengenal stratifikasi sosial seperti komunis.

6. Prinsip Saling Tolong Menolong


Prinsip ini memiliki makna saling membantu antar sesama manusia
yang diarahkan sesuai prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan
kebaikan dan ketakwaan.

7. Prinsip Toleransi
Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam adalah toleransi yang
menjamin tidak terlanggarnya hak-hak Islam dan umatnya , tegasnya
toleransi hanya dapat diterima apabila tidak merugikan agama Islam.

Dari prinsip-prinsip tersebut, perlu kita pahami bahwa hukum Islam dapat
menciptakan masyarakat Rabbani

IV. KEWAJIBAN MENEGAKKAN AMAR MAKRUF DAN NAHI


MUNKAR
Tidak diragukan lagi bahwa amar ma’ruf nahi mungkar adalah upaya
menciptakan kemaslahatan umat dan memperbaiki kekeliruan yang ada pada tiap-
tiap individunya. Dengan demikian, segala hal yang bertentangan dengan urusan
agama dan merusak keutuhannya, wajib dihilangkan demi menjaga kesucian para
pemeluknya.

Persoalan ini tentu bukan hal yang aneh karena Islam adalah akidah dan
syariat yang meliputi seluruh kebaikan dan menutup segala celah yang berdampak
negatif bagi kehidupan manusia.

Amar ma’ruf nahi mungkar merupakan amal yang paling tinggi karena
posisinya sebagai landasan utama dalam Islam. Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman:

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
(karena kamu) menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar,
dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik
bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka
adalah orang-orang fasik.” (Ali Imran: 110)

Jika kita perhatikan dengan saksama, sebenarnya diutusnya para rasul


dan diturunkannya Al-Kitab adalah dalam rangka memerintah dan mewujudkan

20
yang ma’ruf, yaitu tauhid yang menjadi intinya, kemudian untuk mencegah dan
menghilangkan yang mungkar, yaitu kesyirikan yang menjadi sumbernya.
Jadi, segala perintah Allah subhanahu wa ta’ala yang disampaikan melalui rasul-
Nya adalah perkara yang ma’ruf. Begitu pula seluruh larangan-Nya adalah
perkara yang mungkar. Kemudian, Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan amar
ma’ruf nahi mungkar ini sebagai sifat yang melekat dalam diri nabi-Nya dan kaum
mukminin secara menyeluruh.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:


“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka
menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang
ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan
zakat, serta taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh
Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (at-Taubah: 71)

Siapa pun meyakini bahwa kebaikan manusia dan kehidupannya ada


dalam ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dan hal tersebut tidak akan sempurna tercapai melainkan
dengan adanya amar ma’ruf nahi mungkar. Dengan hal inilah umat ini menjadi
sebaik-baik umat di tengah-tengah manusia.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:


“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena
kamu) menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar….”
(Ali Imran: 110)

A. Hukum Amar Ma’ruf Nahi Mungkar


Amar ma’ruf nahi mungkar adalah kewajiban bagi tiap-tiap muslim
yang memiliki kemampuan. Artinya, jika ada sebagian yang melakukannya,
yang lainnya terwakili. Dengan kata lain, hukumnya fardhu kifayah.

Namun, boleh jadi, hukumnya menjadi fardhu ‘ain bagi siapa yang
mampu dan tidak ada lagi yang menegakkannya. Al-Imam an-
Nawawi rahimahullah mengatakan, “Amar ma’ruf nahi mungkar menjadi
wajib ‘ain bagi seseorang, terutama jika ia berada di suatu tempat yang tidak
ada seorang pun yang mengenal (ma’ruf dan mungkar) selain dirinya; atau
jika tidak ada yang dapat mencegah yang (mungkar) selain dirinya. Misalnya,
saat melihat anak, istri, atau pembantunya, melakukan kemungkaran atau
mengabaikan kebaikan.” (Syarh Shahih Muslim)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Amar ma’ruf


nahi mungkar adalah fardhu kifayah. Namun, terkadang menjadi fardhu ‘ain
bagi siapa yang mampu dan tidak ada pihak lain yang menjalankannya.”

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin baz rahimahullah


mengemukakan hal yang sama, “Ketika para da’i sedikit jumlahnya,

21
kemungkaran begitu banyak, dan kebodohan mendominasi, seperti keadaan
kita pada hari ini, maka dakwah (mengajak kepada kebaikan dan menjauhkan
umat dari kejelekan) menjadi fardhu ‘ain bagi setiap orang sesuai dengan
kemampuannya.”

Dengan kata lain, kewajibannya terletak pada kemampuan. Dengan


demikian, setiap orang wajib menegakkannya sesuai dengan kemampuan
masing-masing. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu,


dengarlah serta taatlah dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu. Dan
barang siapa dijaga dirinya dari kekikiran, mereka itulah orang yang
beruntung.” (at-Taghabun: 16)

Kemampuan, kekuasaan, dan kewenangan adalah tiga hal yang terkait


erat dengan proses amar ma’ruf nahi mungkar. Yang memiliki kekuasaan
tentu saja lebih mampu dibanding yang lain sehingga kewajiban mereka tidak
sama dengan yang selainnya.

Al-Qur’an telah menunjukkan bahwa amar ma’ruf nahi mungkar tidak


wajib bagi tiap-tiap individu (wajib ‘ain), namun secara hukum menjadi
fardhu kifayah. Inilah pendapat yang dipegangi mayoritas para ulama, seperti
al-Imam al-Qurthubi, Abu Bakar al-Jashash, Ibnul Arabi al-Maliki, Ibnu
Taimiyah, dan lain-lain rahimahumullah.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:


“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang
mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ان‬ ِْ ‫ف‬
ِ ‫اْلي َم‬ ْ َ‫َم ْن َرأَى مِ ْنكُ ْم ُم ْنك ًَرا ف َْليُغَ ِيرْ ُه ِب َي ِد ِه فَإِ ْن لَ ْم َي ْستَطِ ْع فَ ِب ِل َسانِ ِه فَإِ ْن لَ ْم َي ْستَطِ ْع فَ ِبقَ ْل ِب ِه َو َذلِكَ أ‬
ُ ‫ض َع‬

“Siapa di antara kalian yang melihat suatu kemungkaran, maka cegahlah dengan
tangannya. Jika belum mampu, cegahlah dengan lisannya. Jika belum mampu,
dengan hatinya, dan pencegahan dengan hati itu adalah selemah-lemah iman.”
(HR. Muslim no. 70 dan lain-lain).

B. Syarat dan Etika Beramar Ma’ruf Nahi Mungkar


Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan kita agar kita beribadah dan
menjalankan ketaatan kepada-Nya sebaik mungkin. Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman:

“(Dialah) yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha
Pengampun.” (al-Mulk: 2)

22
Amar ma’ruf nahi mungkar adalah ibadah, ketaatan, dan amal saleh. Karena
itu, harus dilakukan dengan benar dan penuh keikhlasan agar menjadi amalan
saleh yang diterima. Al-Imam Fudhail Ibnu Iyadh rahimahullah
mengemukakan bahwa suatu amalan meskipun benar tidak akan diterima jika
tidak ada keikhlasan, begitu pun sebaliknya. Keikhlasan berarti semata-mata
karena Allah subhanahu wa ta’ala, sedangkan kebenaran berarti harus berada
di atas sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Para penegak amar ma’ruf nahi mungkar hendaknya memerhatikan dan


memenuhi beberapa syarat berikut.

Syarat pertama: Ilmu dan pemahaman sebelum memerintah dan melarang.


Apabila tidak ada ilmu, dapat dipastikan yang ada adalah kebodohan dan
kecenderungan mengikuti hawa nafsu. Padahal siapa saja yang beribadah
kepada Allah subhanahu wa ta’ala tanpa ilmu, maka kerusakan yang
diakibatkannya jauh lebih dominan daripada kebaikan yang diharapkan.

Dalam kaitannya dengan amar ma’ruf nahi mungkar, ilmu yang harus dimiliki
meliputi tiga hal, antara lain: Mengetahui yang ma’ruf dan yang mungkar serta
dapat membedakan antara keduanya; Mengetahui dan memahami keadaan
objek yang menjadi sasarannya; serta mengetahui dan menguasai metode atau
langkah yang tepat dan terbaik sesuai dengan petunjuk jalan yang lurus
(ketentuan syariat). Tujuan utamanya adalah supaya tercapai maksud yang
diinginkan dari proses amar ma’ruf nahi mungkar dan tidak menimbulkan
kemungkaran yang lain.

Syarat kedua: Lemah lembut dalam beramar ma’ruf dan bernahi mungkar.
Penyambutan yang baik, penerimaan, dan kepatuhan adalah harapan yang
tidak mustahil apabila proses amar ma’ruf nahi mungkar selalu dihiasi oleh
kelembutan.

Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan dalam


sabdanya:
‫سِوا ُه‬ َ ‫علَى ْال ُع ْنفِ َو َما ََل ُي ْعطِي‬
َ ‫علَى َما‬ ِ ‫الر ْف‬
َ ‫ق َما ََل ُي ْعطِي‬ َ ‫الر ْفقَ َو ُي ْعطِي‬
ِ ‫علَى‬ ِ ُّ‫هللا َر ِفيقٌ يُحِ ب‬
َ َّ‫ِإن‬

“Sesungguhnya Allah Mahalembut dan menyukai sikap lemah lembut dalam


tiap urusan. Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan kepada sikap lemah
lembut sesuatu yang tidak akan diberikan kepada sikap kaku atau kasar dan
Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan apa-apa yang tidak diberikan
kepada selainnya.” (HR. Muslim “Fadhlu ar-Rifq” no. 4697, Abu Dawud “Fi
ar-Rifq” no. 4173, Ahmad no. 614, 663, 674, dan 688, dan ad-Darimi “Bab Fi
ar-Rifq” no. 2673)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

ُ‫يءٍ إِ ََّل شَانَه‬ ْ ُ‫يءٍ إِ ََّل زَ انَهُ َو ََل يُ ْنزَ ع‬


ْ ‫مِن َش‬ ْ ‫الر ْفقَ ََل يَكُونُ فِي َش‬
ِ َّ‫إِن‬

23
“Tidaklah sikap lemah lembut itu ada dalam sesuatu, melainkan akan
menghiasinya, dan tidaklah sikap lemah lembut itu dicabut dari sesuatu,
melainkan akan menghinakannya.” (HR. Muslim no. 4698, Abu Dawud no.
2119, dan Ahmad no. 23171, 23664, 23791)

Al-Imam Sufyan ibnu Uyainah rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh


beramar ma’ruf dan bernahi mungkar selain orang yang memiliki tiga sifat:
lemah lembut, bersikap adil (proporsional), dan berilmu yang baik.”

Termasuk sikap lemah lembut apabila senantiasa memerhatikan kehormatan


dan perasaan manusia. Oleh karena itu, dalam beramar ma’ruf nahi mungkar
hendaknya mengedepankan kelembutan dan tidak menyebarluaskan aib atau
kejelekan. Kecuali, mereka yang cenderung senang dan bangga untuk
menampakkan aibnya sendiri dengan melakukan kemungkaran dan
kemaksiatan secara terang-terangan. Sebab itu, tidak mengapa untuk
mencegahnya dengan cara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi.

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Siapa yang menasihati


saudaranya dengan sembunyi-sembunyi, sungguh ia benar-benar telah
menasihatinya dan menghiasinya. Siapa yang menasihati saudaranya dengan
terang-terangan (di depan khalayak umum), sungguh ia telah
mencemarkannya dan menghinakannya.” (Syarh Shahih Muslim)

Syarat ketiga: Tenang dan sabar menghadapi kemungkinan adanya gangguan


setelah beramar ma’ruf nahi mungkar.

Gangguan seolah-olah menjadi suatu kemestian bagi para penegak amar


ma’ruf nahi mungkar. Oleh karena itu, jika tidak memiliki ketenangan dan
kesabaran, tentu kerusakan yang ditimbulkannya jauh lebih besar daripada
kebaikan yang diinginkan.

Al-Imam ar-Razi rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang beramar


ma’ruf nahi mungkar itu akan mendapat gangguan, maka urusannya adalah
bersabar.

Al-Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga mengemukakan bahwa para rasul


adalah pemimpin bagi para penegak amar ma’ruf nahi mungkar.
Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintah mereka semua agar bersabar,
seperti firman-Nya:

“Maka bersabarlah engkau (Muhammad) sebagaimana kesabaran rasul-rasul


yang memiliki keteguhan hati, dan janganlah engkau meminta agar azab
disegerakan untuk mereka. Pada hari mereka melihat azab yang dijanjikan,
merasa seolah-olah tinggal (di dunia) hanya sesaat saja pada siang hari.
Tugasmu hanya menyampaikan. Maka tidak ada yang dibinasakan, selain

24
kaum yang fasik (tidak taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala).” (al-Ahqaf:
35)

“Dan karena Rabbmu, bersabarlah!” (al-Mudatstsir: 7)

“Dan bersabarlah (Muhammad) menunggu ketetapan Rabbmu, karena


sesungguhnya engkau berada dalam pengawasan Kami, dan bertasbihlah
dengan memuji Rabbmu ketika engkau bangun.” (at-Thur: 48)

Allah subhanahu wa ta’ala juga menyebutkan wasiat Luqman kepada


putranya dalam firman-Nya:

“Wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang


ma’ruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap
apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara
yang penting.” (Luqman: 17)

Seseorang yang beramar ma’ruf nahi mungkar berarti telah memosisikan


dirinya sebagai penyampai kebenaran. Padahal tidak setiap orang ridha dan
suka dengan kebenaran. Oleh karena itu, ia pasti akan mendapat gangguan,
dan itu menjadi cobaan serta ujian baginya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan


mengatakan, ‘Kami telah beriman’, dan mereka tidak diuji? Dan sungguh,
Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti
mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang
dusta.” (al-‘Ankabut: 2-3)

C. DERAJAT KEWAJIBAN AMAR MA’RUF NAHI MUNGKAR


Amar ma’ruf nahi mungkar sebagai satu kewajiban atas umat Islam,
bagaimanakah derajat kewajibannya? Apakah fardhu ‘ain ataukah fardhu
kifayah? Para ulama berselisih tentang hal ini.

Pendapat pertama memandang kewajiban tersebut adalah fardhu ‘Ain.


Ini merupakan pendapat sejumlah ulama, diantaranya Ibnu Katsir, Az Zujaaj,
Ibnu Hazm .Mereka berhujjah dengan dalil-dalil syar’i, diantaranya:

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.


َ َ‫َو ْلتَكُن ِمنكُ ْم أ ُ َّمةُُُ يَدْعُونَ ِإلَى ْال َخي ِْر َويَأْ ُم ُرونَ ِب ْال َم ْع ُروفِ َويَ ْن َه ْون‬
‫ع ِن ْال ُمنك َِر َوأ ُ ْوَلَئِكَ هُ ُم‬
َ‫ْال ُم ْف ِلحُون‬
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung“. [Ali Imran:104]

25
Mereka mengatakan bahwa kata ‫مِن‬ ْ dalam ayat ‫ مِ ْنكُ ْم‬untuk penjelas dan
bukan untuk menunjukkan sebagian. Sehingga makna ayat, jadilah kalian
semua umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Demikian juga akhir ayat yaitu:
َ‫ َوأ ُ ْوَلَئِكَ هُ ُم ْال ُم ْف ِلحُون‬Menegaskan bahwa keberuntungan khusus bagi mereka
yang melakukan amalan tersebut. Sedangkan mencapai keberuntungan
tersebut hukumnya fardhu ‘ain. Oleh karena itu memiliki sifat-sifat
tersebut hukumnya wajib ‘ain juga. Karena dalam kaedah disebutkan:

ِ ‫ا َلَ َيتِمُُُ ْال َو‬


ِ ‫اجبُ ِإَلَّ ِب ِه فَ ُه َو َو‬
ٌ‫اجب‬

Satu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka


sesuatu itu hukumnya wajib.
2. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
َ َ‫اس تَأْ ُم ُرونَ ِب ْال َم ْع ُروفِ َوتَ ْن َه ْون‬
َ‫ع ِن ْال ُمنك َِر َوتُؤْ مِ نُونَ ِباللِ َولَ ْو َءا َمن‬ ِ َّ‫كُنت ُ ْم َخي َْر أ ُ َّم ٍة أ ُ ْخ ِر َجتْ لِلن‬

َ‫ب لَكَانَ َخي ًْرا لَّ ُه ْم ِم ْن ُه ُم ْال ُمؤْ مِ نُونَ َوأَ ْكثَ َرهُ ُم ْالفَاسِ قُون‬
ِ ‫أَ ْه ُل ْال ِكتَا‬

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,


menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan
beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih
baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik“. [Ali Imran :110]

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan syarat bergabung


dengan umat Islam yang terbaik, yaitu dengan amar ma’ruf nahi mungkar
dan iman. Padahal bergabung kepada umat ini, hukumnya fardu ‘ain
Sebagaimana firman-Nya : .
ْ َّ َ
َ‫صا ِلحًا َوقا َل إِننِى مِنَ ال ُم ْسلِمِ ين‬ َ َ‫َو َم ْن أَحْ َسنُ قَ ْوَلً ِم َّمن د‬
َ ‫عآ إِلَى هللاِ َوعَمِ َل‬

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru


kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh dan berkata, “Sesungguhnya
aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” [Fushilat :33]

Sehingga memiliki sifat-sifat tersebut menjadi fardhu ‘ain. Sebagaimana


Umar bin Al Khathab menganggapnya sebagai syarat Allah bagi orang
yang bergabung ke dalam barisan umat Islam. Beliau berkata setelah
membaca surat Ali Imran:110,”Wahai sekalian manusia, barang siapa
yang ingin termasuk umat tersebut, hendaklah menunaikan syarat Allah
darinya”

26
Sedangkan pendapat kedua memandang amar ma’ruf nahi mungkar fardhu
kifayah. Ini merupakan pendapat jumhur ulama. Diantara mereka yang
menyatakan secara tegas adalah Abu Bakr Al-Jashash [12] , Al-Mawardiy,
Abu Ya’la Al-Hambaliy, Al Ghozaliy, Ibnul Arabi, Al Qurthubiy [13],
Ibnu Qudamah [14], An-Nawawiy [15] , Ibnu Taimiyah [16] , Asy-
Syathibiy [17] dan Asy-Syaukaniy [18].

Mereka berhujjah dengan dalil-dalil berikut ini:


1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
َ َ‫َو ْلتَكُن ِمنكُ ْم أ ُ َّمةُُُ َيدْعُونَ ِإلَى ْال َخي ِْر َو َيأْ ُم ُرونَ ِب ْال َم ْع ُروفِ َو َي ْن َه ْون‬
‫ع ِن ْال ُمنك َِر َوأ ُ ْوَلَئِكَ هُ ُم‬

َ‫ْال ُم ْف ِلحُون‬
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari
yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung“. [Ali
Imran:104]

Mereka mengatakan bahwa kata ‫مِن‬ ْ dalam ayat ‫ مِ ْن ُك ْم‬untuk


menunjukkan sebagian. Sehingga menunjukkan hukumnya fardhu
kifayah.

Imam Al Jashash menyatakan,”Ayat ini mengandung dua makna.


Pertama, kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar. Kedua, yaitu fardu
kifayah. Jika telah dilaksanakan oleh sebagian, maka yang lain tidak
terkena kewajiban”.

Ibnu Qudamah berkata,”Dalam ayat ini terdapat penjelasan hukum


amar ma’ruf nahi mungkar yaitu fardhu kifayah, bukan fardhu ‘ain”.

2. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.


َ ‫َو َماكَانَ ْال ُمؤْ مِ نُونَ ِليَ ْنف ُِروا كَآفَةً فَلَ ْوَلَ نَف ََر مِن كُ ِل فِرْ قَ ٍة مِ ن ُه ْم‬
ِ ‫طآئِفَةٌ ِليَتَفَقَّ ُهوا فِي الد‬
‫ِين‬
َ‫َو ِليُنذ ُِروا قَ ْو َم ُه ْم إِذَا َر َجعُوا إِلَ ْي ِه ْم لَعَلَّ ُه ْم يَحْ ذَ ُرون‬

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya


(ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan
diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan
mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada
kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu
dapat menjaga dirinya“. [At-Taubah : 122]

Hukum tafaquh fiddin (memperdalam ilmu agama) adalah fardhu


kifayah. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan

27
sekelompok kaum mukminin dan tidak semuanya untuk menuntut
ilmu. Oleh karena itu orang yang belajar dan menuntut ilmu tersebut
yang bertanggung jawab memberi peringatan, bukan seluruh kaum
muslimin. Demikian juga jihad, hukumnya fardhu kifayah.

Syeikh Abdurrahman As Sa’diy menyatakan,”Sepatutnya kaum


muslimin mempersiapkan orang yang menegakkan setiap
kemaslahatan umum mereka. Orang yang meluangkan seluruh
waktunya dan bersungguh-sungguh serta tidak bercabang, untuk
mewujudkan kemaslahatan dan kemanfatan mereka. Hendaklah arah
dan tujuan mereka semuanya satu, yaitu menegakkan kemaslahatan
agama dan dunianya”

3. Tidak semua orang dapat menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar.


Karena orang yang menegakkannya harus memiliki syarat-syarat
tertentu. Seperti mengetahui hukum-hukum syari’at, tingkatan amar
makruf nahi mungkar, cara menegakkannya, kemampuan
melaksanakannya. Demikian juga dikhawatirkan bagi orang yang
beramar ma’ruf nahi mungkar bila tanpa ilmu akan berbuat salah.
Mereka memerintahkan kemungkaran dan mencegah kema’rufan atau
berbuat keras pada saat harus lembut dan sebaliknya.

4. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

َ ‫الزكَاةَ َوأَ َم ُر ْوا بِ ْال َم ْع ُر ْوفِ َونَ َه ْوا‬


‫ع ِن‬ َّ ‫ض أَقَا ُم ْوا ال‬
َّ ‫صَلَةَ َو َءات َُوا‬ ِ ْ‫ي اْْلَر‬ ْ ِ‫الذيْنَ إِ ْن َم َّكنَّاهُ ْم ف‬ ِ
ُ ْ ُ
‫عاقِبَة اْل ُم ْو ِر‬ َ ‫ّلِل‬ ِ ِ ‫ْال ُم ْنك َِر َو‬

“(yaitu)orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di


muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat,
menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang
mungkar; dan kepada Allahlah kembali segala urusan“. [QS. 22:41]

Imam Al Qurthubiy berkata,”Tidak semua orang diteguhkan


kedudukannya dimuka bumi, sehingga hal tersebut diwajibkan secara
kifayah kepada mereka yang diberi kemampuan untuknya”

Oleh karena itu Syeikh Islam Ibnu Taimiyah menyatakan,”Demikian


kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini tidak diwajibkan kepada
setiap orang, akan tetapi merupakan fardhu kifayah”

Akan tetapi hukum ini bukan berarti menunjukkan bolehnya seseorang


untuk tidak berdakwah, atau beramar makruf nahi mungkar. Karena

28
terlaksananya fardhu kifayah ini dengan terwujudnya pelaksanaan
kewajiban tersebut. Sehingga apabila kewajiban tersebut belum
terwujud pelaksanaannya oleh sebagian orang, maka seluruh kaum
muslimin terbebani kewajiban tersebut.

Pelaku amar makruf nahi mungkar adalah orang yang menunaikan dan
melaksanakan fardhu kifayah. Mereka memiliki keistimewaan lebih
dari orang yang melaksanakan fardhu ‘ain. Karena pelaku fardhu ‘ain
hanya menghilangkan dosa dari dirinya sendiri, sedangkan pelaku
fardhu kifayah menghilangkan dosa dari dirinya dan kaum muslimin
seluruhnya. Demikian juga fardhu ‘ain jika ditinggalkan, maka hanya
dia saja yang berdosa, sedangkan fardhu kifayah jika ditinggalkan
akan berdosa seluruhnya.

V. FITNAH AKHIR ZAMAN


A. Tanda-Tanda Fitnah Akhir Zaman
Saat ini kita telah sampai pada zaman akhir. Semua tanda-tanda yang
disebutkan oleh Nabi Muhammad saw benar-benar tampak nyata di hadapan kita
pada zaman sekarang ini. Salah satu tanda dari akhir zaman adalah banyaknya
fitnah. Sebagaimana sabda Nabi :

‫علَ ْي ِه‬ ُ َّ ‫صلَّى‬


َ ‫َّللا‬ َ ‫َّللا‬ِ َّ ‫ع ْن أَبِي ه َُري َْرةَ قَا َل قَا َل َرسُو ُل‬ َ ‫ُس‬َ ‫ع ْن أَبِي يُون‬ َ َ‫َحدَّثَنَا يَحْ يَى بْنُ إِ ْس َحاقَ َحدَّثَنَا ابْنُ لَ ِهيعَة‬
ْ ‫طع اللَّ ْي ِل ْال ُم‬ َ ‫مِن ش ٍَر قَدْ ا ْقت ََر‬ ِ ‫َو َسلَّ َم َو ْي ٌل ل ِْلعَ َر‬
‫الر ُج ُل ُمؤْ مِ نًا َوي ُْمسِي كَاف ًِرا يَبِي ُع قَ ْو ٌم‬
َّ ‫صبِ ُح‬ْ ُ‫ظل ِِم ي‬ ِ َ ‫ب فِتَنًا َك ِق‬ ْ ‫ب‬
ٌ‫علَى ال َّش ْوكِ قَا َل َح َسن‬ َ ‫علَى ْال َج ْم ِر أَ ْو قَا َل‬
َ ‫ض‬ ِ ِ‫مِن الدُّ ْنيَا قَلِي ٍل ْال ُمتَ َمسِكُ يَ ْو َمئِ ٍذ بِدِينِ ِه ك َْالقَاب‬
ْ ‫ض‬ ٍ ‫دِينَ ُه ْم بِعَ َر‬
‫فِي َحدِي ِث ِه َخبَطِ ال َّش ْو َك ِة‬

in Ishaq telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah dari Abu Yunus dari Abu
Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "celaka bagi
bangsa Arab, telah dekat munculnya fitnah seperti gelapnya malam, di pagi hari
seseorang dalam keadaan mukmin dan sore hari telah menjadi kafir, orang-orang
menjual agamanya dengan kenikmatan dunia, pada hari itu sedikit yang
berpegang dengan agamanya, seperti seorang yang memegang bara api, -atau
beliau mengatakan: - "seperti memegang duri." Hasan menyebutkan dalam
haditsnya, "menginjak duri." (HR. Ahmad)
Sementara yang dimaksud fitnah menurut ibnu arabi dalam linasul arab bahwa
fitnah adalah :

‫ و الفتنة‬،‫ و الفتنة اَلوَلد‬،‫ و الفتنة المال‬،‫ و الفتنة المحنة‬،‫الفتنة اْلختبار‬


‫ و الفتنة اختَلف الناس باآلراء‬،‫الكفر‬

29
Fitnah adalah cobaan, Fitnah adalah ujian, harta adalah harta, anak-anak adalah
fitnah, kekafiran adalah fitnah, Fitnah itu bisa pula adalah perbedaan pendapat
manusia. Intinya fitnah itu adalah segala hal yang dapat menjadikan manusia
berselisih dan menjauh dari kebenaran agama.

Bahkan termasuk fitnah akhir zaman adalah banyaknya pembunuhan dan


kematian. Sebagaimana sabda Nabi :

‫ج ْالقَتْ ُل‬
ُ ْ‫ج َو ْال َهر‬
ُ ْ‫ع ِة َْلَيَّا ًما َي ْن ِز ُل فِي َها ْال َج ْه ُل َويُرْ فَ ُع فِي َها ْالع ِْل ُم َو َي ْكث ُ ُر فِي َها ْال َهر‬ ْ ‫ ِإنَّ َبيْنَ َيد‬.
َ ‫َي السَّا‬

“Menjelang datangnya hari Kiamat ada hari-hari dimana kebodohan diturunkan,


ilmu diangkat, dan banyak terjadi Al-Harj. Al-Harj itu adalah pembunuhan.” (HR.
Al-Bukhari).

Sementara dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabarani menyebutkan


bahwa salah satu tanda akhir zaman adalah banyak kematian mendadak.
Rasulullah bersabda :

‫ع ِة أَ ْن ي َُرى ْال ِهَل ُل قِبََل‬ ِ ‫مِن ا ْقت َِرا‬:


َ ‫ب السَّا‬ ِ ‫ قَا َل‬، ‫علَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ِ ‫ َرفَعَهُ ِإلَى النَّبِي‬، ٍ‫ع ْن أَن َِس ب ِْن َمالِك‬ َ ،
ْ
ِ‫َم ْوتُ الفُ َجا َءة‬ ْ َ
‫َوأ ْن يَظ َه َر‬ ُ
، ‫اجدَ ط ُرقًا‬ ْ
ِ ‫َوأ ْن تُتَّ َخذَ ال َم َس‬ َ ، ‫ ِللَ ْيلَتَي ِْن‬: ‫فَيُقَا ُل‬

Dari Anas bin Malik, dia meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di antara dekatnya hari kiamat,
hilal akan terlihat nyata sehingga dikatakan ‘ini tanggal dua’, masjid-masjid akan
dijadikan jalan-jalan, dan munculnya (banyaknya) kematian mendadak.

Beberapa hadits tentang akhir zaman mengarahkan pada satu kesimpulan


informasi bahwa realitas akhir zaman akan banyak muncul berbagai fitnah yang
terus menerus menerpa ummat Islam ibarat sebuah gelombang ombak yang terus
kejar-kejaran bahkan semakin membesar. Istilah Nabi saw adalah ibarat malam
yang semakin gelap dan pekat gelapnya, waktu demi waktu. Fitnah-fitnah tersebut
akan terus menimpa umat Islam hingga fitnah terbesar akhir zaman yaitu
munculnya Dajjal yang akan merusak keimanan seorang muslim.

Bencana bencana yang terjadi di akhir zaman adalah fitnah bagi umat manusia
terkhusus kaum muslimin. Bencana wabah covid-19 adalah bagian dari fitnah
akhir zaman. Kenapa demikian ?. Hal ini karena covid- 19 telah menebarkan
banyak fitnah ( seperti pembunuhan, kematian yang mendadak serta rusaknya
nama islam yang dilakukan baik oleh ummat Islam sendiri maupun uumat di luar
Islam).

Perhatikan bagaimana Covid- 19 telah menjadi bagian dari fitnah Akhir Zaman

30
ini. Bahkan semuanya dapat difitnah dengan covid-19. Perhatikan bagaimana
masjid ditutup dengan alasan covid. Setiap malam yang biasanya banyak ummat
berkumpul untuk pengajian, saat ini dilarang dengan alasan covid. Orang yang
sakitpun di fitnah dengan covid bahkan orang yang sehat pun juga dapat difitnah
dengan covid. Tidak luput pula seseorang yang mati baik-baik di dalam masjid
ataupun mati mendadak pun saat duduk-duduk di alun-alun pun dapat di fitnah
covid dan ditangani dengan menggunakan prosedur penanganan covid dengan
alasan sebagai langkah preventif. Sehingga seakan kita sulit membedakan antara
tindakan kesiagaan dengan kepanikan (fobia) yang akhirnya menjadikan
kecemasan dan kepanikan sosial yang semakin meluas. Lebih mengerikan lagi
adalah hubungan antar masyarakat yang semakin mulai renggang sebab mereka
dilanda perasaan saling curiga. Disaat seseorang bertemu dan ada seseorang yang
ingin bersalaman maka tiba-tiba dalam pikirannya muncul perasaan "jangan-
jangan" orang tersebut akan menularkan virus corona.

Fitnah covid-19 ini pun juga telah masuk ke tempat-tempat suci kaum muslimin
yaitu masjid. Shalat berjamaah di masjid dicurigai akan dapat menularkan virus
corona, hingga shaf shalat dibuat berjarak, sekalipun hal ini bisa jadi
menyinggung Allah swt, karena seakan mempersepsi buruk atas aturan Allah dan
Rasul-Nya untuk meluruskan dan merapatkan shaf sholat. Sementara seorang
muslim yang hendak melakukan shalat pastinya telah bersuci, berwudhu,
berpakaian yang bersih rapi, bahkan masjid pun setiap waktu selalu dalam
keadaan bersih dan suci, namun tetap saja di fitnah dengan fitnah covid-19 ini.

Covid-19 telah benar-benar menjadi alat fitnah terbesar bagi ummat manusia
wabilkhusus terhadap ummat Islam. Sehingga banyak aturan-aturan Allah dan
rasulnya yang tidak diindahkan dan bahkan dijauhi serta dilanggar. Pertanyaannya
adalah benarkah virus ini benar-benar sangat mematikan hingga sedemikian
menakutkannya ? ataukah ketakutan dan kepanikan kitalah sesungguhnya yang
jauh lebih mengerikan ?. Marilah bertindak lebih rasional upaya menguatkan
kesabaran dan ketawakalan kepada Allah dalam menghadapi setiap bencana agar
tindakan tindakan kita dalam menghadapi bencana termasuk wabah pandemi
covid-19 ini benar-benar terarah dan menemukan solusi secara tepat dengan
arahan rasionalitas dan spiritualitas.

B. Cara Menjaga Diri dan Keluarga dari Fitnah Akhir Zaman


Ustaz Rahmat Baequni membahas seputar fitnah akhir zaman di Masjid
Nurul Izzah, Ciater, Tangerang Selatan. Dalam kajian bulanan itu, Ustaz Rahmat
menyampaikan cara bagaimana menjaga diri dan keluarga dari fitnah akhir
zaman.

Ustaz Rahmat mengatakan, pada akhir zaman ini kehidupan sudah tidak bisa

31
dikontrol lagi. Banyak hal-hal buruk bercampur ke dalam kehidupan seperti
pergaulan bebas, narkoba, bahkan aliran sesat juga banyak muncul.

"Beruntunglah kita menjadi umat akhir zaman. Mengapa demikian? Ada beberapa
sebab mengapa kita beruntung dan mesti bersyukur dijadikan sebagai umat akhir
zaman. Salah satunya adalah dengan menjadi umat akhir zaman berarti kita semua
adalah umatnya Baginda Nabi Muhammad SAW ," kata Beliau.

Keutamaan sebagai Umat Akhir Zaman:


1. Amal ibadah yang dilakukan, pahalanya dilipatgandakan 10 kali lipat.
2. 2/3 surga dihuni oleh umat Nabi Muhammad SAW.
3. Di Surga ada 120 shaff, 80 shaff milik umat Nabi Muhammad SAW. Rasio
penduduk neraka dan surga 1000:1. Urutan Surga dari yang paling atas ke
bawah yaitu, Firdaus, 'Adn, Naim, Makwa, Darussalam, Darul Maqamah dan
Baitul Makmur.

Cara Allah Ta'ala Menghapuskan Dosa-dosa kita:


1. Adanya Huru-hara.
2. Adanya Gempa Bumi.
3. Dengan dibunuh, dibantai dan disiksa.

Rasulullah SAW bersabda: "Bersegeralah Beramal sebelum munculnya fitnah


yang datang bagaikan potongan-potongan malam yang gelap. Seseorang dipagi
harinya beriman dan di sorenya telah menjadi kafir, atau sorenya masih beriman
dan pagi harinya telah menjadi kafir, menjual agamanya dengan gemerlap dunia."
(HR Muslim)

Fitnah dalam bahasa Arab bisa berarti ujian keimanan, fitnah atau huru hara atau
menuduh tanpa bukti. Allah Ta'ala berfirman: "Apakah manusia mengira bahwa
mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, 'Kami telah Beriman' dan
mereka tidak diuji?' (QS Al-Ankabut: 2)

Salah satu fenomena akhir zaman, orang yang berkata jujur didustakan, para
pendusta dibenarkan. Para pengkhianat suatu kaum, suatu bangsa menjadi
pemimpin suatu bangsa.

Rasulullah SAW bersabda: "Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang


penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang
jujur malah didustakan. Pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah
justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah berbicara. Ada
yang bertanya, "Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?". Beliau menjawab, 'Orang
bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas."
(HR. Ibnu Majah)

Menjelang Akhir Zaman maka:


1. Ilmu diangkat dari muka bumi.
2. Turun kejahilan di mana-mana.

32
3. Munculnya suatu kelompok yang merasa paling baik.
4. Umat akhir zaman akan hancur di tangan ulama-ulama yang menjual agama
untuk kepentingannya.

Cara Menjaga Diri dan Keluarga dari Fitnah Akhir Zaman:


1. Bentengi dengan aqidah dan Tauhid yang benar. Syaratnya yaitu kembalikan
semua hal kepada Alqur'an dan Hadits.
2. Ikhlas kepada Allah Ta'ala dalam semua Amal.
3. Meninggalkan riya dan kemunafikan.
4. Tidak boleh taqlid, yaitu hanya mengikuti kebiasaan pendahulu tanpa dasar
yang benar. Allah Ta'ala berfirman: "Dan apabila dikatakan kepada mereka,
"Marilah (mengikuti) apa yang diturunkan Allah dan (mengikuti) Rasul."
Mereka menjawab, "Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati nenek moyang
kami (mengerjakannya)." Apakah (mereka akan mengikuti) juga nenek
moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-
apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?" (QS Al-Maidah : 104)

Peta Umat Akhir Zaman:


1. Periode Sehat.
Loyalitas umat berpusat pada misi (risalah) tolok ukur yang berkembang di
masyarakat adalah kedekatan dan komitmen seseorang pada risalah (agama
Islam) masa ini diwakili oleh masa Rasullullaah SAW dan para Sahabat.

2. Periode Sakit.
Loyalitas umat berporos pada orang (bangsa, negara, suku, kabilah, kelompok,
keluarga atau bahkan individu manusia).

3. Periode Kematian.
Loyalitas umat berporos pada benda (materialistis). Tolok ukur yang
berkembang di masyarakat adalah kekayaan duniawi. Masa ini diwakili oleh
masa setelah runtuhnya khilafah Turki Utsmani Tahun 1924. Seseorang
dihormati dan didengar karena pangkat, jabatan dan kekayaannya, bukan
karena ketakwaannya.

Pada akhir zaman akan lahir generasi-generasi yang jelek. Apabila ingin anak
yang baik dan saleh/salehah, maka orang tuanya dulu yang harus memperbaiki
diri, orang tuanya dulu yang harus saleh dan salehah.

Usia 0-5 tahun, Ibulah yang membentuk seorang anak. Usia yang sangat tepat
untuk membentuk akidah anak kita, perdengarkan ayat-ayat Alqur'an. Usia 6-
12 tahun, ajarkan iman dan Alqur'an. Setelah usia 12 tahun, titipkan anak kita
pada guru-guru yang memiliki ilmu yang mumpuni.

33
DAFTAR PUSTAKA

Ma’luf, L. kamus al-munjid, Beirt : al-Maktabah al-Katulikiyah,T,th. Hlm:16.


Asmaran, AS. 1976. Pengantar study tauhid (terjemahan) H. Firdaus. Jakarta : Bulan
Bintang. Hlm:84.
Al-Imam al-Syaikh Ibrahim bin Ismail. Tth. Ta’lim al-Muta’allim. Semarang: Pustaka
al-Alawiyah.
Butt, Nasim. 2001. Sains dan Masyarakat Islam (Diterjemahkan oleh Masdar Hilmy
dari Buku Science and Muslim Society). Bandung: Pustaka Hidayah.
Fauziyah, Lilis R.A. dan Andi Setyawan. 2009. Kebenaran al-Qur’an dan Hadits. Solo:
Tiga Serangkai.
Mahdi, Ghulsyani. 2001. Filsafat-Sains Menurut Al-Qur’an (Diterjemahkan oleh Agus
Efendi dari Buku The Holy Quran and the Science of Nature). Bandung:
Penerbit Mizan.
Noordin, Sulaiman. 2000. Sains Menurut Perspektif Islam (Diterjemahkan oleh
Munfaati). Jakarta: Dwi Rama.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an. 1990. Al-Qur’an dan
Terjemahnya. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an.

http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/1786489-pengertian-filsafat-sains/log

http://my.opera.com/ilmyaku/blog/2009/11/04/sains-dalam-islam

http://sains4kidz.wordpress.com/2009/07/19/definisi-sains/

http://www.junaidi.co.cc/2010/03/pengertian-sains-teknologi-dan-seni.html

https://almanhaj.or.id/2708-amar-maruf-nahi-mungkar-menurut-hukum-islam.html

https://kalam.sindonews.com/berita/1457803/69/cara-menjaga-diri-dan-keluarga-dari
fitnah-akhir-zaman?showpage=all

https://kanal24.co.id/read/covid-19-dan-fitnah-akhir-zaman

https://www.researchgate.net/publication/335339304_Fitnah_Akhir_Zaman

34

Anda mungkin juga menyukai