Anda di halaman 1dari 28

TEMA KEISLAMAN

1. KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM


2. SAINS&TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS
3. GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADITS
4. PENGERTIAN SALAF (REFERENSI HADITS)
5. ISLAM, AJARAN TENTANG BERBAGI SERTA KEADILAN PENEGAKAN
HUKUM

Disusun sebagai tugas tersturktur Mata Kuliah: Pendidikan Agama Islam

Dosen pengampuh :
Dr. Taufiq Ramdhani, S. Th. I., M. Sos

Nama : M. SYAHRUL
NIM : G1D020037
Fakultas&Prodi : MIPA & MATEMATIKA
Semester : 1(satu)

PROGRAM STUDI MATEMATIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS MATARAM
T.A. 2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT atas selesainya tugas
ini yang berjudul Tema Keislaman tepat pada waktunya.

Sholawat dan Salam semoga ALLAH limpahakan kepada Rasulullah Muhammad SAW
atas bimbingannya yang telah membawa kita dari alam yang gelap gulita menuju alam
yang terang benerang yaitu Islam. Adapun tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk
memenuhi tugas dari Bapak Dr. Taufiq Ramdhani, S. Th. I., M. Sos pada Mata Kuliah
Pendidikan Agama Islam. Selain itu, artikel ini juga bertujan untuk menambah
wawasan tentang Tema Keislaman bagi saya sendiri dan juga untuk siapapun yang
membaca nantinya.

Terimakasih atas saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq Ramdhani, S. Th.
I., M. Sos sebagai dosen pengampu Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai
dengan bidang studi yang saya tekuni.

Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat kepada siapapun yang membaca
artikel ini nantinya, serta mendapatkan nilai yang memuaskan.

Mataram, 20 Oktober 2020

Nama : M. Syahrul
NIM : G1D020037

ii
DAFTAR ISI

TEMA KEISLAMAN ....................................................................................................... i


KATA PENGANTAR ..................................................................................................... ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................iii
I .................................................................................................................................... 1
KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM ............ 1
A. Definisi Tuhan ................................................................................................... 1

B. Pemikiran Umat Islam Tentang Tuhan .............................................................. 1

C. Konsep Ketuhanan Dalam Islam ....................................................................... 5

II ................................................................................................................................... 7
SAINS DAN TEKNOLOGI DAN AL-QUR’AN DAN AL-HADIST .................................... 7
A. Dimensi Sains dan Teknologi Dalam Al-Qur’an............................................... 7

B. Prinsip-prinsip Dasar Kegiatan Ilmiah Dalam Al-Qur’an ............................... 11

1. Prinsip Istikhlaf ............................................................................................ 11

2. Prinsip Keseimbangan.................................................................................. 11

3. Prinsip Taskhir ............................................................................................. 12

4. Prinsip Keterkaitan antara Makhluk dengan Khalik .................................... 12

III ................................................................................................................................ 13
GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADIST ........................................................... 13
A. Sahabat............................................................................................................. 13

iii
B. Tabi’in.............................................................................................................. 13

C. Tabi’ut Tabi’in ................................................................................................. 14

IV ................................................................................................................................ 15
PENGERTIAN SALAF MENURUT AL-HADIST .......................................................... 15
V ................................................................................................................................. 17
ISLAM : AJARAN TENTANG BERBAGI SERTA KEADILAN PENEGAKKAN HUKUM17
A. Ajaran Tentang Berbagi................................................................................... 17

1. Perintah dan Tuntunan Tentang Berbagi...................................................... 17

2. Hikmah Berbagi (Secdekah) ........................................................................ 19

B. Keadilan Penegakkan Hukum Dalam Islam .................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 24

iv
I

KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM

Sebelum kita membahas keistimewaan dan keberadaan konsep tuhan dalam


islam, perlu kita ketahui apa itu tuhan?

A. Definisi Tuhan

Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting)


oleh manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya
dikuasai olehnya. Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas.
Tercakup di dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan
dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula
sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian.

Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai yang dipuja


dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepadanya, merendahkan diri di
hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah
ketika berada dalam kesulitan, berdo’a, dan bertawakkal kepadanya untuk
kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan
ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya. (M.
Imaduddin, 1989: 56).

Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “Laa illaha illaa Allah”.


Susunan kalimat tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada
Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan suatu penegasan “melainkan Allah”.
Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan dari segala
macam Tuhan terlebih dahulu, yang ada dalam hatinya hanya satu Tuhan
yang bernama Allah.

B. Pemikiran Umat Islam Tentang Tuhan

Dikalangan umat Islam terdapat polemik dalam masalah


ketuhanan. Satu kelompok berpegang teguh dengan Jabariah, yaitu faham
yang mengatakan bahwa Tuhan mempunyai kekuatan mutlak yang
menjadi penentu segalanya. Di lain pihak ada yang berpegang pada doktrin
Qodariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa manusialah yang

1
menentukan nasibnya. Polemik dalam masalah ketuhanan di kalangan
umat Islam pernah menimbulkan suatu dis-integrasi (perpecahan) umat
Islam, yang cukup menyedihkan. Peristiwa al-mihnah yaitu pembantaian
terhadap para tokoh Jabariah oleh penguasa Qadariah pada zaman
khalifah al-Makmun (Dinasti Abbasiah). Munculnya faham Jabariah dan
Qadariah berkaitan erat dengan masalah politik umat Islam setelah
Rasulullah Muhammad meninggal. Sebagai kepala pemerintahaan, Abu
Bakar Siddiq secara aklamasi formal diangkat sebagai pelanjut Rasulullah.
Berikutnya digantikan oleh Umar Ibnu Al-Khattab, Usman dan Ali.

Embrio ketegangan politik sebenarnya sudah ada sejak khalifah


Abu Bakar, yaitu persaingan segitiga antara sekompok orang Anshar
(pribumi Madinah), sekelompok orang Muhajirin yang fanatik dengan garis
keturunan Abdul Muthalib (fanatisme Ali), dan kelompok mayoritas yang
mendukung kepemimpinan Abu Bakar. Pada periode kepemimpinan Abu
Bakar dan Umar gejolak politik tidak muncul, karena sikap khalifah yang
tegas, sehingga kelompok oposisi tidak diberikan kesempatan melakukan
gerakannya.

Ketika khalifah dipegang oleh Usman Ibn Affan (khalifa ke 3),


ketegangan politik menjadi terbuka. Sistem nepotisme yang diterapkan
oleh penguasa (wazir) pada masa khalifah Usman menjadi penyebab
adanya reaksi negatif dari kalangan warga Abdul Muthalib. Akibatnya
terjadi ketegangan,yang menyebabkan Usman sebagai khalifah terbunuh.
Ketegangan semakin bergejolak pada khalifah berikutnya, yaitu Ali bin Abi
Thalib. Dendam yang dikumandangkan dalam bentuk slogan bahwa darah
harus dibalas dengan darah, menjadi motto bagi kalangan oposisi di
bawah kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pertempuran antara dua
kubu tidak terhindarkan. Untuk menghindari perpecahan, antara dua kubu
yang berselisih mengadakan perjanjian damai. Nampaknya bagi kelompok
Muawiyah, perjanjian damai hanyalah merupakan strategi untuk
memenangkan pertempuran. Amru bin Ash sebagai diplomat Muawiyah
mengungkapkan penilaian sepihak. Pihak Ali yang paling bersalah,
sementara pihaknya tidak bersalah. Akibat perjanjian itu pihak Ali (sebagai
penguasa resmi) tersudut. Setelah dirasakan oleh pihak Ali bahwa

2
perjanjian itu merugikan pihaknya, di kalangan pendukung Ali terbelah
menjadi dua kelompok, yaitu : kelompok yang tetap setia kepada Ali, dan
kelompok yang menyatakan keluar, namun tidak mau bergabung dengan
Muawiyah. Kelompok pertama disebut dengan kelompok SYIAH, dan
kelompok kedua disebut dengan KHAWARIJ. Dengan demikian umat Islam
terpecah menjadi tiga kelompok politik, yaitu:

1) Kelompok Muawiyah (Sunni);


2) Kelompok Syi’ah; dan
3) Kelompok Khawarij.

Untuk memenangkan kelompok dalam menghadapi oposisinya,


mereka tidak segan-segan menggunakan konsep asasi. Kelompok yang
satu sampai mengkafirkan kelompok lainnya. Menurut Khawarij semua
pihak yang terlibat perjanjian damai baik pihak Muawiyah maupun pihak Ali
dinyatakan kafir. Pihak Muawiyah dikatakan kafir karena menentang
pemerintah, sedangkan pihak Ali dikatakan kafir karena tidak bersikap
tegas terhadap para pemberontak, berarti tidak menetapkan hukum
berdasarkan ketentuan Allah. Mereka mengkafirkan Ali dan para
pendukungknya, berdasarkan Al-Quran Surat Al-Maidah (5) : 44

ْ‫ﷲ ُ أَﻧْزَ َل ﺑِﻣَﺎ ﯾَﺣْ ُﻛ ْم ﻟَ ْم َوﻣَن‬ َ ِ‫ا ْﻟﻛَﺎﻓِرُونَ ُھ ُم َﻓﺄ ُوﻟَﺋ‬


‫ك ﱠ‬

”Siapa yang tidak menegakkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan
Allah (Al-Quran), maka mereka dalah orang-orang kafir.”

Munculnya doktrin saling mengkafirkan antara satu kelompok


dengan kelompok lain membuat pertanyaan besar bagi kalangan
cendikiawan. Pada suatu mimbar akademik (pengajian) muncul pertanyaan
dari peserta pengajian kepada gurunya yaitu Hasan Al-Bashry. Pertanyaan
yang diajukan berkaitan dengan adanya perbedaan pendapat tentang
orang yang berbuat dosa besar. Sebagian pendapat mengatakan bahwa
mereka itu adalah mukmin, sedangkan pendapat lain mengatakan kafir.
Para pelaku politik yang terlibat tahkim perjanjian antara pihak Ali dan
pihak Muawiyah, mereka dinilai sebagai pelaku dosa besar. Alasan yang
mengatakan mereka itu mukmin beralasan bahwa iman itu letaknya di hati,
sedangkan orang lain tidak ada yang mengetahui hati seseorang kecuali
Allah. Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa iman itu bukan

3
hanya di hati melainkan berwujud dalam bentuk ucapan dan perbuatan.
Berarti orang yang melakukan dosa besar dia adalah bukan mukmin. Kalau
mereka bukan mukmin berarti mereka kafir.

Sebelum guru besarnya memberikan jawaban terhadap


pertanyaan yang dimajukan tentang dosa besar tersebut, seorang peserta
pengajian yang bernama Wasil ibnu Atha mengajukan jawaban, bahwa
pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan kafir melainkan diantara
keduanya. Hasan Al-Bashry sebagai pembina pengajian tersebut
memeberikan komentar, terhadap jawaban Wasil. Komentarnya bahwa
pelaku dosa besar termasuk yang terlibat dalam perjanjian damai termasuk
kelompok fasik. Wasil membantah komentar gurunya itu, karena orang
yang fasik lebih hina dimata Allah ketimbang orang yang kafir. Akibat
polemik tersebut Wasil bersama beberapa orang yang sependapat
dengannya memisahkan diri dari kelompok pengajian Hasal Al-Bashry.
Peserta pengajian yang tetap bergabung bersama Hasan Al-Bashry
mengatakan, “I’tazala Wasil ‘anna.” (Wasil telah memisahkan diri dari
kelompok kita.) Dari kata-kata inilah Wasil dan pendukungnya disebut
kelompok MUKTAZILAH.

Kelompok Muktazilah mengajukan konsep-konsep yang


bertentangan dengan konsep yang diajukan golongan Murjiah (aliran
teologi yang diakui oleh penguasa politik pada waktu itu, yaitu Sunni.
Berarti Muktazilah sebagai kelompok penentang arus). Doktrin Muktazilah
terkenal dengan lima azas (ushul al-khamsah) yaitu:

1) Meniadakan (menafikan) sifat-sifat Tuhan dan menetapkan zat-Nya


2) Janji dan ancaman Tuhan (al-wa’ad dan al-wa’id)
3) Keadilan Tuhan (al-‘adalah)
4) Al-Manzilah baina al-manzilatain (posisi diatara dua posisi)
5) Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar.

Dari lima azas tersebut – menurut Muktazilah – Tuhan terikat


dengan kewajiban-kewajiban. Tuhan wajib memenuhi janjinya. Ia
berkewajiban memasukkan orang yang baik ke surga dan wajib
memasukkan orang yang jahat ke neraka, dan kewajiban-kewajiban lain.

4
Pandangan-pandangan kelompok ini menempatkan akal manusia dalam
posisi yang kuat. Sebab itu kelompok ini dimasukkan ke dalam kelompok
teologi rasional dengan sebutan Qadariah.

Sebaliknya, aliran teologi tradisional (Jabariah) berpendapat


bahwa Tuhan mempunyai sifat (sifat 20, sifat 13, dan maha sifat). Ia maha
kuasa, memiliki kehendak mutlak. Kehendak Tuhan tidak terikat dengan
apapun. Karena itu ia mungkin saja menempatkan orang yang baik ke
dalam neraka dan sebaliknya mungkin pula ia menempatkan orang jahat
ke dalam surga, kalau Ia menghendaki. Dari faham Jabariah inilah ilmu-
ilmu kebatinan berkembang di sebagaian umat Islam.

C. Konsep Ketuhanan Dalam Islam

Istilah Tuhan dalam sebutan Al-Quran digunakan kata ilaahun,


yaitu setiap yang menjadi penggerak atau motivator, sehingga dikagumi
dan dipatuhi oleh manusia. Orang yang mematuhinya di sebut abdun
(hamba). Kata ilaah (tuhan) di dalam Al-Quran konotasinya ada dua
kemungkinan, yaitu Allah, dan selain Allah. Subjektif (hawa nafsu) dapat
menjadi ilah (tuhan). Benda-benda seperti : patung, pohon, binatang, dan
lain-lain dapat pula berperan sebagai ilah. Demikianlah seperti
dikemukakan pada surat Al-Baqarah (2) : 165, sebagai berikut:

َ‫ﺧ ُذ ﻣَنْ اﻟﻧﱠﺎسِ َوﻣِن‬


ِ ‫ﷲ دُو ِن ﻣِنْ َﯾ ﱠﺗ‬
ِ ‫ﺣﺑﱡو َﻧ ُﮭ ْم أَﻧْدَ ادًا ﱠ‬
ِ ‫ﷲ َﻛﺣُبﱢ ُﯾ‬
ِ‫ﱠ‬

“Diantara manusia ada yang bertuhan kepada selain Allah, sebagai


tandingan terhadap Allah. Mereka mencintai tuhannya itu sebagaimana
mencintai Allah.”

Sebelum turun Al-Quran dikalangan masyarakat Arab telah


menganut konsep tauhid (monoteisme). Allah sebagai Tuhan mereka. Hal
ini diketahui dari ungkapan-ungkapan yang mereka cetuskan, baik dalam
do’a maupun acara-acara ritual. Abu Thalib, ketika memberikan khutbah
nikah Nabi Muhammad dengan Khadijah (sekitar 15 tahun sebelum turunya
Al-Quran) ia mengungkapkan kata-kata Alhamdulillah. Adanya nama
Abdullah (hamba Allah) telah lazim dipakai di kalangan masyarakat Arab
sebelum turunnya Al-Quran. Keyakinan akan adanya Allah, kemaha
besaran Allah, kekuasaan Allah dan lain-lain, telah mantap. Dari kenyataan

5
tersebut timbul pertanyaan apakah konsep ketuhanan yang dibawakan
Nabi Muhammad? Pertanyaan ini muncul karena Nabi Muhammad dalam
mendakwahkan konsep ilahiyah mendapat tantangan keras dari kalangan
masyarakat. Jika konsep ketuhanan yang dibawa Muhammad sama
dengan konsep ketuhanan yang mereka yakini tentu tidak demikian
kejadiannya. Pengakuan mereka bahwa Allah sebagai pencipta semesta
alam dikemukakan dalam Al-Quran surat Al-Ankabut (29) ayat 61 sebagai
berikut;

ْ‫ت ﺧَ ﻠَقَ ﻣَنْ َﺳﺄ َ ْﻟ َﺗ ُﮭ ْم َوﻟَﺋِن‬ َ ْ‫ﷲ ُ ﻟَ َﯾﻘُوﻟ ُنﱠ َوا ْﻟ َﻘﻣَرَ اﻟ ﱠﺷ ْﻣسَ َو ْاﻷَر‬
ِ ‫ﺿ َوﺳَﺧﱠرَ اﻟ ﱠﺳﻣ ََوا‬ ‫ﯾ ُْؤ َﻓﻛُونَ َﻓﺄَﻧﱠﻰ ﱠ‬

”Jika kepada mereka ditanyakan, “Siapa yang menciptakan lagit dan bumi,
dan menundukkan matahari dan bulan?” Mereka pasti akan menjawab
Allah.”

Dengan demikian seseorang yang mempercayai adanya Allah,


belum tentu berarti orang itu beriman dan bertaqwa kepada-Nya.
Seseorang baru laik dinyatakan bertuhan kepada Allah jika ia telah
memenuhi segala yang dimaui oleh Allah. Atas dasar itu inti konsep
ketuhanan Yang Maha Esa dalam Islam adalah memerankan ajaran Allah
yaitu Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan berperan bukan
sekedar Pencipta, melainkan juga pengatur alam semesta.

Pernyataan lugas dan sederhana cermin manusia bertuhan Allah


sebagaimana dinyatakan dalam surat Al-Ikhlas. Kalimat syahadat adalah
pernyataan lain sebagai jawaban atas perintah yang dijaukan pada surat
Al-Ikhlas tersebut. Ringkasnya jika Allah yang harus terbayang dalam
kesadaran manusia yang bertuhan Allah adalah disamping Allah sebagai
Zat, juga Al-Quran sebagai ajaran serta Rasullullah sebagai Uswah
hasanah.

6
II

SAINS DAN TEKNOLOGI DAN AL-QUR’AN DAN AL-HADIST


Perseteruan antara agama dan ilmu pengetahuan (sains) merupakan isu klasik
yang sampai saat ini masih berkembang di dunia Barat dalam wujud sekularisme.
Tetapi, Islam tidak mendekati persoalan sains ini dari perspektif tersebut karena al-
Qur’an dan al-Sunnah telah memberikan sistem yang lengkap dan sempurna yang
mencakup semua aspek kehidupan manusia, termasuk kegiatan-kegiatan ilmiah atau
penyelidikan-penyelidikan ilmiah.Jadi, kegiatan ilmiah merupakan bagian yang integral
dari keseluruhan sistem Islam di mana masing-masing bagian memberikan
sumbangan terhadap yang lainnya.Al-Qur’an sangat menekankan pentingnya
membaca (baca: mengamati) gejala alam dan merenungkannya. Al-Qur’an mengambil
contoh dari kosmologi, fisika, biologi, ilmu kedokteran dan lainnya sebagai tanda
kekuasaan Allah untuk dipikirkan oleh manusia. Tidak kurang dari tujuh ratus lima
puluh ayat –sekitar seperdelapan al-Qur’an–yang mendorong orang beriman untuk
menelaah alam, merenungkan dan menyelidiki dengan kemampuan akal budinya serta
berusaha memperoleh pengetahuan dan pemahaman alamiah sebagai bagian dari
hidupnya. Kaum muslim zaman klasik memperoleh ilham dan semangat untuk
mengadakan penyelidikan ilmiah di bawah sinar petunjuk al-Qur’an, di samping
dorongan lebih lanjut dari karya-karya Yunani dan sampai batas-batas tertentu oleh
terjemahan naskah-naskah Hindu dan Persia. Dengan semangat ajaran al-Qur’an,
para ilmuwan muslim tampil dengan sangat mengesankan dalam setiap bidang ilmu
pengetahuan. Pengaruh al-Qur’an ini tidak saja diakui oleh kalangan ilmuwan muslim
zaman dahulu, seperti al-Ghazali, (1983:45-48 ) dan al-Suyuthi, ( Dhahabi, 1961: 420)
bahkan sarjana Baratpun mengakuinya, seperti R. Levy (1975:400) dan George
Sarton.

A. Dimensi Sains dan Teknologi Dalam Al-Qur’an

Kata sains dan teknologi ibarat dua sisi mata uang yang sulit
dipisahkan satu sama lain. Sains, menurut Baiquni, adalah himpunan
pengetahuan manusia tentang alam yang diperoleh sebagai konsensus
para pakar, melalui penyimpulan secara rasional mengenai hasil-hasil
analisis yang kritis terhadap data pengukuran yang diperoleh dari
observasi pada gejala-gejala alam. Sedangkan teknologi adalah himpunan
pengetahuan manusia tentang proses-proses pemanfaatan alam yang

7
diperoleh dari penerapan sains, dalam kerangka kegiatan yang produktif
ekonomis.
Al-Qur’an, sebagai kalam Allah, diturunkan bukan untuk tujuan-
tujuan yang bersifat praktis. Oleh sebab itu, secara obyektif, al-Qur’an
bukanlah ensiklopedi sains dan teknologi apalagi al-Qur’an tidak
menyatakan hal itu secara gamblang. Akan tetapi, dalam kapasitasnya
sebagai huda li al-nas, al-Qur’an memberikan informasi stimulan
mengenai fenomena alam dalam porsi yang cukup banyak, sekitar tujuh
ratus lima puluh ayat. Bahkan, pesan (wahyu) paling awal yang diterima
Nabi SAW mengandung indikasi pentingnya proses investigasi
(penyelidikan). Informasi al-Qur’an tentang fenomena alam ini, menurut
Ghulsyani, dimaksudkan untuk menarik perhatian manusia kepada
Pencipta alam Yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana dengan
mempertanyakan dan merenungkan wujud-wujud alam serta mendorong
manusia agar berjuang mendekat kepada-Nya (Ghulsyani, 1993).Dalam
visi al-Qur’an, fenomena alam adalah tanda-tanda kekuasaan Allah. Oleh
sebab itu, pemahaman terhadap alam itu akan membawa manusia lebih
dekat kepada Tuhannya. Pandangan al-Qur’an tentang sains dan
teknologi dapat ditelusuri dari pandangan al-Qur’an tentang ilmu. Al-
Qur’an telah meletakkan posisi ilmu pada tingkatan yang hampir sama
dengan iman seperti tercermin dalam surat al-Mujadalah ayat 11:

‫ﺢ ٱ ﱠ ُ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ۖ َو‬
ِ ‫ﺲ ﻓَﭑ ْﻓ َﺴﺤُﻮا۟ ﯾَ ْﻔ َﺴ‬ ِ ِ‫إِذَا ﻗِﯿ َﻞ ٱﻧ ُﺸﺰُوا۟ ﻓَﭑﻧ ُﺸﺰُوا۟ ٰ ٓﯾَﺄَﯾﱡﮭَﺎ ٱﻟﱠﺬِﯾﻦَ ءَا َﻣﻨُﻮٓ ا۟ إِذَا ﻗِﯿ َﻞ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﺗَﻔَ ﱠﺴﺤُﻮا۟ ﻓِﻰ ٱ ْﻟ َﻤ َٰﺠﻠ‬
َ‫ﺖ ۚ َوٱ ﱠ ُ ﺑِﻤَﺎ ﺗ‬ ٍ ‫ْﻌ َﻤﻠُﻮنَ َﺧﺒِﯿ ٌﺮﯾَﺮْ ﻓَ ِﻊ ٱ ﱠ ُ ٱﻟﱠﺬِﯾﻦَ ءَا َﻣﻨُﻮا۟ ﻣِﻨ ُﻜ ْﻢ َوٱﻟﱠﺬِﯾﻦَ أُوﺗُﻮا۟ ٱ ْﻟ ِﻌ ْﻠ َﻢ َد َر َٰﺟ‬

“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-


lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan manusia mencari ilmu


atau menjadi ilmuwan begitu banyak. Al-Qur’an menggunakan berbagai
istilah yang berkaitan dengan hal ini. Misalnya, mengajak melihat,
memperhatikan, dan mengamati kejadian-kejadian (Fathir: 27; al-Hajj: 5;

8
Luqman: 20; al-Ghasyiyah: 17-20; Yunus: 101; al-Anbiya’: 30), membaca
(al-‘Alaq: 1-5), supaya mengetahui suatu kejadian (al-An’am: 97; Yunus:
5), supaya mendapat jalan (al-Nahl: 15), menjadi yang berpikir atau yang
menalar berbagai fenomena (al-Nahl: 11; Yunus: 101; al-Ra’d: 4; al-
Baqarah: 164; al-Rum: 24; al-Jatsiyah: 5, 13), menjadi ulu al-albab(Ali
‘Imran: 7; 190-191; al-Zumar: 18),dan mengambil pelajaran (Yunus: 3).
Sedangkan pandangan al-Qur’an tentang sains dan teknologi, dapat
diketahui dari wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad saw. :
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah
Yang Maha Pemurah. Yang Mengajar (manusia) dengan perantaraan
kalam (tulis baca). Dia Mengajarkan manusia apa yang tidak
diketahuinya.” (QS al-‘Alaq: 1-5)
Kata iqra’, menurut Quraish Shihab, diambil dari akar kata yang
berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti
menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu,
dan membaca baik yang tertulis maupun tidak. Sedangkan dari segi
obyeknya, perintah iqra’itu mencakup segala sesuatu yang dapat
dijangkau oleh manusia. Atas dasar itu, sebenarnya tidak ada alasan
untuk membuat dikotomiilmu agama dan ilmu non agama. Sebab, sebagai
agama yang memandang dirinya paling lengkap tidak mungkin
memisahkan diri dari persoalan-persoalan yang bereperan penting dalam
meningkatkan kesejahteraan umatnya.
Untuk dapat memahami sunnatullah yang beraturan di alam
semesta ini, manusia telah dibekali oleh Allah SWTdua potensi penting,
yaitu potensi fitriyah(di dalam diri manusia) dan potensi sumber daya alam
(di luar diri manusia). Di samping itu, al-Qur’an juga memberikan tuntunan
praktis bagi manusia berupa langkah-langkah penting bagaimana
memahami alam agar dicapai manfaat yang maksimal. Suatu cara
penghampiran yang sederhana dalam mempelajari ilmu pengetahuan
ditunjukkan al-Qur’an dalam surat al-Mulk ayat 3-4 yang intinya mencakup
proses kagum, mengamati, dan memahami. Dalam konteks sains, al-
Qur’an mengembangkan beberapalangkah/proses sebagai berikut.
Pertama, al-Qur’an memerintahkan kepada manusia untuk
mengenali secara seksama alam sekitarnya seraya mengetahui sifat-sifat

9
danproses-proses alamiah yang terjadi di dalamnya. Perintah ini,
misalnya, ditegaskan di dalam surat Yunus ayat 101:

‫ض ۚ َوﻣَﺎ ﺗُ ْﻐﻨِﻰ ٱلْ ءَاﯾَٰﺖُ َوٱﻟﻨﱡ ُﺬ ﻗُ ِﻞ ٱﻧﻈُﺮُوا۟ ﻣَﺎذَا‬


ِ ْ‫ت َو ْٱﻷَر‬
ِ ‫ُر ﻋَﻦ ﻗَﻮْ مٍ ﱠﻻ ﯾُﺆْ ِﻣﻨُﻮنَ ﻓِﻰ ٱﻟ ﱠﺴ َٰﻤ َٰﻮ‬

“Katakanlah (wahai Muhammad): Perhatikan (dengan nazhor) apa yang


ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan
rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak
beriman".

Dalam kata unzhuru(perhatikan), Baiquni memahaminya tidak


perhatian yang seksama terhadap kebesaran Allah SWTdan makna dari
gejala alam yang diamati. Perintah ini tampak lebih jelas lagi di dalam
firman Allah di surat al-Ghasyiyah ayat 17-20: “Maka apakah mereka tidak
memperhatikan (dengan nazhor) onta bagaimana ia diciptakan. Dan langit
bagaimana ia diangkat. Dan gunung-gunung bagaimana mereka
ditegakkan. Dan bumi bagaimana ia dibentangkan.”
Kedua, al-Qur’an mengajarkan kepada manusia untuk
mengadakan pengukuran terhadap gejala-gejala alam. Hal ini diisyaratkan
di dalam surat al-Qamar ayat 49:

‫اِﻧﱠﺎ ُﻛ ﱠﻞ ﺷَﻲْ ٍء َﺧﻠَ ْﻘ ٰﻨﮫُ ﺑِﻘَ َﺪ ٍر‬

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan ukuran.”

Ketiga, al-Qur’an menekankan pentingnya analisis yang


mendalam terhadap fenomena alam melalui proses penalaran yang kritis
dan sehat untuk mencapai kesimpulan yang rasional. Persoalan ini
dinyatakan dalam surat al-Nahl ayat 11-12 :

ُ‫ت ُﻛ ﱢﻞ َوﻣِﻦْ َو ْاﻷَ ْﻋﻨَﺎبَ َواﻟﻨﱠ ِﺨﯿ َﻞ وَاﻟ ﱠﺰ ْﯾﺘُﻮنَ اﻟﺰﱠرْ َع ﺑِ ِﮫ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﯾُ ْﻨﺒِﺖ‬
ِ ‫اﻟﺜﱠ َﻤ َﺮا‬
‫ﯾَﺘَﻔَ ﱠﻜﺮُونَ ﻟِﻘَﻮْ مٍ َﻵﯾَﺔً َٰذﻟِﻚَ ﻓِﻲ ۗ◌إِنﱠ‬
‫ﺸﻤْﺲَ َواﻟﻨﱠﮭَﺎ َر اﻟﻠﱠ ْﯿ َﻞ ﻟَ ُﻜ ُﻢ َوﺳَﺨﱠ َﺮ‬
‫ُﻣﺴَﺨﱠ َﺮاتٌ ۖ◌ َواﻟﻨﱡﺠُ ﻮ ُم َوا ْﻟﻘَ َﻤ َﺮ َواﻟ ﱠ‬
‫ت َﻵﯾَ َٰذﻟِﻚَ ﻓِﻲ ۗ◌إِنﱠ ﺑِﺄ َ ْﻣ ِﺮ ِه‬
ٍ ‫ﯾَ ْﻌﻘِﻠُﻮنَ ﻟِﻘَﻮْ مٍ ﺎ‬
“Dia menumbuhkan bagimu, dengan air hujan itu, tanaman-tanaman
zaitun, korma, anggur, dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya

10
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan
Allah bagi mereka yang mau berpikir. Dan Dia menundukkan malam dan
siang, matahari dan bulan untukmu; dan bintang-bintang itu ditundukkan
(bagimu) dengan perintah-Nya. Sebenarnya pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang menalar.”

Tiga langkah yang dikembangkan oleh al-Qur’an itulah yang


sesungguhnya yang dijalankan oleh sains hingga saat ini, yaitu observasi
(pengamatan), pengukuran-pengukuran, lalu menarik kesimpulan (hukum-
hukum) berdasarkan observasi dan pengukuran itu.Meskipun demikian,
dalam perspektif al-Qur’an, kesimpulan-kesimpulan ilmiah rasional
bukanlah tujuan akhir dan kebenaran mutlak dari proses penyelidikan
terhadap gejala-gejala alamiah di alam semesta. Sebab, seperti pada
penghujung ayat yang menjelaskan gejala-gejala alamiah, kesadaran
adanya Allah dengan sifat-sifat-Nya Yang Maha Sempurna menjadi tujuan
hakiki di balik fakta-fakta alamiah yang dinampakkan.

B. Prinsip-prinsip Dasar Kegiatan Ilmiah Dalam Al-Qur’an

Atas dasar pandangan al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan


(sains dan teknologi), dapat dirumuskan beberapa prinsip dasar yang
menopang dan memantapkan kegiatan ilmiah manusia sebagai berikut:

1. Prinsip Istikhlaf

Prinsip istikhlaf merupakan salah satu prinsip dasar yang


digariskan oleh al-Qur’an dalam mendukung dan memantapkan
kegiatan imiah. Konsep istikhlafini berkaitan erat dengan fungsi
kekhalifahan manusia.

2. Prinsip Keseimbangan

Prinsip dasar lainnya yang digariskan oleh al-Qur’an adalah


keseimbangan antara kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, spiritual
dan material. Prinsip ini dibahas secara luas dan mendalam di dalam
al-Qur’an dengan mengambi berbagai bentuk ungkapan. Manusia
disusun oleh Allah dengan susunan dan ukuran tertentu, lalu

11
diperuntukkan bumi ini dengan kehendak-Nya untuk memenuhi
kebutuhan susunan yang membentuk manusia itu.

3. Prinsip Taskhir

Taskhir juga merupakan prinsip dasar yang membentuk


pandangan al-Qur’an tentang alam semesta (kosmos). Dan, tidak
dapat dipungkiri, manifestasi prinsip ini ke dalam kehidupan riil
manusia harus ditopang oleh ilmu pengetahuan.
Alam semesta ini (langit, bumi, dan seisinya) telah dijadikan oleh
Allah untuk tunduk kepada manusia. Allah telah menentukan dimensi,
ukuran, dan sunnah-sunnah-Nya yang sesuai dengan fungsi dan
kemampuan manusia dalam mengelola alam semesta secara positif
dan aktif. Tetapi, bersamaan dengan itu, al-Qur’an juga meletakkan
nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur hubungan antara manusia
dan alam semesta. Oleh sebab itu, al-Qur’an sangat mengecam
ekspoitasi yang melampaui batas.
Prinsip taskhir yang ditopang oleh penguasaan ilmu
pengetahuan dan metodologinya merupakan faktor kondusifbagi
manusia dalam membangun bentuk-bentuk peradaban yang sesuai
dengan cita-cita manusia dan kemanusiaan.

4. Prinsip Keterkaitan antara Makhluk dengan Khalik

Prinsip penting lainnya adalah keterkaitan antara sistem


penciptaan yang mengagumkan dengan Sang Pencipta Yang Maha
Agung. Ilmu pengetahuan adalah alat yang mutlak untuk memberikan
penjelasan dan mengungkapkan keterkaitan itu.
Ilmuwan-ilmuwan Muslim klasik telah menghabiskan sebagian
besar umurnya untuk mengadakan pengamatan dan penelitian
terhadap fenomena alam dan akhirnya mereka sampai kepada
kesimpulan yang pasti dan tidak dapat dipungkiri bahwa
sesungguhnya di balik semua realitas yang diciptakan(makhluk) pasti
ada yang menciptakan. Proses penciptaan yang berada pada tingkat
sistem yang begitu rapih, teliti, serasi, tujuannya telah ditentukan, dan
keterikatannya terarah, pastilah bersumber dari kehendak Yang Maha
Tinggi, Maha Kuasa, dan Maha Mengatur.

12
III

GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADIST


Rasulullah SAW. bersabda dalam sebuah hadist mutawatir :
“Sebaik-baik manusia adalah pada generasiku (yakni sahabat), kemudian orang-orang
yang mengiringinya (yakni tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yakni
generasi tabi’ut tabi’in).” (mutawatir. HR. Bukhari dan yang lainnya)

A. Sahabat

Sahabat adalah orang-orang beriman yang bertemu dan melihat


Rasulullah SAW. secara langsung serta membantu perjuangan beliau.
Menurut Imam Ahmad, siapa saja diantara orang beriman yang bertemu
dan melihat Rasulullah, baik sebulan, sepekan, sehari atau bahkan cuma
sesaat maka ia dikatakan sebagai sahabat. Derajatnya masing-masing
ditentukan dengan seberapa lama ia menyertai Rasulullah. ‘Abdullah Ibnu
Mas’ud Ra mengatakan,

‫ب ﻓِﻲ ظَرَ َﻧ ﷲَ إِنﱠ‬ َ ُ ‫ب ﺧَ ﯾْرَ َو َﺳﻠﱠ َم َﻋﻠَ ْﯾ ِﮫ ﷲ‬


ِ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﻣُﺣَ ﱠﻣ ٍد َﻗﻠْبَ ﻓَوَ ﺟَ َد ا ْﻟ ِﻌﺑَﺎ ِد ﻗُﻠ ُْو‬ ِ ‫ ﻗُﻠ ُْو‬،ِ‫ﻟِ َﻧﻔْﺳِ ِﮫ ﻓَﺎﺻْ َطﻔَﺎهُ ا ْﻟ ِﻌﺑَﺎد‬
‫ ﻓَﺎ ْﺑ َﺗ َﻌ َﺛ ُﮫ‬،ِ‫ب ﻓِﻲ َﻧظَرَ ُﺛ ﱠم ﺑِرِ ﺳَﺎﻟَﺗِﮫ‬ ِ ‫ َﻗ ْﻠ‬،ٍ‫ب ﺧَ ﯾْرَ ﺎﺑِ ِﮫأَﺻْ ﺣَ ﻗُﻠ ُْوبَ ﻓَوَ ﺟَ َد ﻣُﺣَ ﱠﻣد‬
ِ ‫ب ﺑَﻌْ َد ا ْﻟ ِﻌﺑَﺎ ِد ﻗُﻠ ُْو‬ ِ ‫ﻓَﺟَ َﻌﻠَ ُﮭ ْم ا ْﻟ ِﻌﺑَﺎ ِد ﻗُﻠ ُْو‬
‫ َﻋﻠَﻰ ُﯾﻘَﺎﺗِﻠ ُْونَ َﻧﺑِ ﱢﯾ ِﮫ وُ زَ رَ ا َء‬،ِ‫ ﷲِ ِﻋﻧْدَ َﻓﮭُوَ ﺣَ َﺳﻧًﺎ ا ْﻟﻣُﺳْ ﻠِﻣ ُْونَ رَ أَى َﻓﻣَﺎ ِد ْﯾﻧِﮫ‬، ٌ‫ﷲِ ِﻋﻧْدَ َﻓﮭ َُو َﺳ ﱢﯾﺋًﺎ رَ أ َْوا َوﻣَﺎ ﺣَ ﺳَن‬
‫َﺳ ﱢﯾ ٌﺊ‬

“Sesungguhnya Allah memperhatikan hati para hamba-Nya. Allah mendapati


hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hati yang paling baik,
sehingga Allah memilihnya untuk diri-Nya dan mengutusnya sebagai
pembawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati para hamba-Nya setelah
hati Muhammad. Allah mendapati hati para sahabat beliau adalah hati yang
paling baik. Oleh karena itu, Allah menjadikan mereka sebagai para
pendukung Nabi-Nya yang berperang demi membela agama-Nya. Apa yang
dipandang baik oleh kaum muslimin (para sahabat), pasti baik di sisi Allah.
Apa yang dipandang buruk oleh mereka, pasti buruk di sisi Allah.”
(Diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Musnad, I/379, no. 3600. Syaikh Ahmad
Syakir mengatakan bahwa sanadnya shohih).

B. Tabi’in

Tabi’in adalah orang-orang beriman yang hidup pada masa Rasulullah


atau setelah beliau wafat tetapi tidak bertemu dengan Rasulullah dan

13
bertemu serta melihat para sahabat. Tabi’in merupakan orang-orang yang
belajar dan mewariskan ilmu dari para sahabat Rasulullah. Dalam Hadist
Rasulullah disebutkan,
َ‫ﷲ َﻋ ْﺑ ِد ﻋَنْ َﻋﺑِﯾدَ َة ﻋَنْ إِﺑْرَ اھِﯾ َم َﻋنْ َﻣ ْﻧﺻُورٍ ﻋَنْ ُﺳ ْﻔﯾَﺎنُ أَﺧْ ﺑَرَ ﻧَﺎ َﻛﺛِﯾرٍ ﺑْنُ ﻣُﺣَ ﱠﻣ ُد اﺣَ ﱠدﺛَن‬ ‫اﻟ ﱠﻧﺑِﻲﱠ أَنﱠ َﻋ ْﻧ ُﮫ ﱠ‬
ِ ‫ﷲ ُ رَ ﺿِ ﻲَ ﱠ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ‬ ‫أَﺣَ ِد ِھ ْم َﺷﮭَﺎ َدةُ ﺗَﺳْ ﺑِقُ ﻗ َْو ٌم َﯾﺟِﻲ ُء ُﺛ ﱠم َﯾﻠ ُو َﻧ ُﮭ ْم ذِﯾنَ اﻟﱠ ُﺛ ﱠم َﯾﻠ ُو َﻧ ُﮭ ْم اﻟﱠذِﯾنَ ُﺛ ﱠم ﻗَرْ ﻧِﻲ اﻟﻧﱠﺎسِ ﺧَ ْﯾ ُر ﻗَﺎ َل َو َﺳﻠﱠ َم َﻋﻠَ ْﯾ ِﮫ ﱠ‬
َ ُ‫ﷲ‬
‫ﺻِ ﻐَﺎ ٌر َوﻧَﺣْ نُ َوا ْﻟ َﻌ ْﮭ ِد اﻟ ﱠﺷﮭَﺎ َد ِة َﻋﻠَﻰ ﯾَﺿْ رِ ﺑُو َﻧﻧَﺎ َوﻛَﺎﻧُوا إِﺑْرَ اھِﯾ ُم ﻗَﺎ َل َﺷﮭَﺎ َد َﺗ ُﮫ َو َﯾﻣِﯾ ُﻧ ُﮫ َﯾﻣِﯾ َﻧ ُﮫ‬
Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Katsir telah mengabarkan
kepada kami Sufyan dari Manshur dari Ibrahim dari 'Abidah dari Abdullah
radliallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
""Sebaik-baik manusia adalah orang-orang yang hidup pada zamanku
(generasiku) kemudian orang-orang yang datang setelah mereka kemudian
orang-orang yang datang setelah mereka. Kemudian akan datang suatu
kaum yang persaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya
dan sumpahnya mendahului persaksiannya". Ibrahim berkata; "Dahulu,
mereka (para shahabat) mengajarkan kami tentang bersaksi dan
memegang janji ketika kami masih kecil". (Mereka memukul kami bila
melanggar perjanjian dan persaksian) ". (H.R Bukhari)

C. Tabi’ut Tabi’in

Tabi’ut tabi’in adalah orang beriman yang hidup pada masa sahabat
atau setelah mereka wafat tetapi tidak bertemu dengan sahabat dan
bertemu dengan generasi tabi’in. tabi’ut tabi’in merupakan orang-orang
yang belajar dan mewariskan ilmu dari para tabi’in. Merekalah generasi
terbaik umat ini, maka selayaknya kita sebagai umat muslim yang datang
belakangan untuk mencontoh dan mengambil ilmu dari kitab-kitab yang
telah mereka tuliskan. Menurut banyak literatur Hadis : Tab’ut Tabi’in adalah
orang Islam dewasa yang pernah bertemu atau berguru pada Tabi’in dan
sampai wafatnya beragama Islam. Dan ada juga yang menulis bahwa
Tabi’in yang ditemui harus masih dalam keadaan sehat ingatannya. Karena
Tabi’in yang terahir wafat sekitar 110-120 Hijriah.

14
IV

PENGERTIAN SALAF MENURUT AL-HADIST

Salaf secara bahasa artinya orang yang terdahulu, baik dari sisi ilmu,
keimanan, keutamaan atau jasa kebaikan. Seorang pakar bahasa Arab Ibnu Manzhur
mengatakan, “Kata salaf juga berarti orang yang mendahului kamu, yaitu nenek
moyangmu, sanak kerabatmu yang berada di atasmu dari sisi umur dan keutamaan.
Apabila para ulama akidah membahas dan menyebut-nyebut kata salaf maka yang
mereka maksud adalah salah satu di antara 3 kemungkinan berikut:

Pertama: Para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua: Shahabat dan murid-murid mereka (tabi’in).

Ketiga: Shahabat, tabi’in dan juga para Imam yang telah diakui kredibilitasnya
di dalam Islam yaitu mereka yang senantiasa menghidupkan sunnah dan
berjuang membasmi bid’ah .

Syaikh Doktor Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql mengatakan, “Salaf adalah
generasi awal umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in dan para imam pembawa
petunjuk pada tiga kurun yang mendapatkan keutamaan (sahabat, tabi’in dan
tabi’ut tabi’in). Dan setiap orang yang meneladani dan berjalan di atas manhaj
mereka di sepanjang masa disebut sebagai salafi sebagai bentuk penisbatan
terhadap mereka.”

Al Qalsyani mengatakan di dalam kitabnya Tahrirul Maqalah min Syarhir


Risalah, “Adapun Salafush shalih, mereka itu adalah generasi awal (Islam)
yang mendalam ilmunya serta meniti jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan senantiasa menjaga Sunnah beliau. Allah ta’ala telah memilih mereka
untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya. Para imam umat ini
pun merasa ridha kepada mereka. Mereka telah berjihad di jalan Allah dengan
penuh kesungguhan. Mereka kerahkan daya upaya mereka untuk menasihati
umat dan memberikan kemanfaatan bagi mereka. Mereka juga
mengorbankan diri demi menggapai keridhaan Allah…” ( lihat Limadza, hal.
31). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik orang
adalah di jamanku (sahabat), kemudian orang sesudah mereka (tabi’in) dan
kemudian orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim)

15
Sehingga Rasul beserta para sahabatnya adalah salaf umat ini.
Demikian pula setiap orang yang menyerukan dakwah sebagaimana mereka
juga disebut sebagai orang yang menempuh manhaj/metode salaf, atau biasa
disebut dengan istilah salafi, artinya pengikut Salaf.

16
V

ISLAM : AJARAN TENTANG BERBAGI SERTA KEADILAN PENEGAKKAN


HUKUM

A. Ajaran Tentang Berbagi

1. Perintah dan Tuntunan Tentang Berbagi

Sebagai umat muslim, sudah kewajiban kita untuk berbagi atau


sedekah (berinfaq) di jalan Allah swt. Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist telah
ditetapkan cara yang tepat untuk melakukan infaq atau sedekah. Adapun
beberapa ayat Al-Qur’an dan Al-Hadist tersebut :
1) Al-Baqarah : 195

‫ْﻟﻤُﺤْ ِﺴﻨِﯿﻦَ َوأَﻧﻔِﻘُﻮا۟ ﻓِﻰ َﺳﺒِﯿ ِﻞ ٱ ﱠ ِ و ََﻻ ﺗُ ْﻠﻘُﻮا۟ ﺑِﺄَ ْﯾﺪِﯾ ُﻜ ْﻢ إِﻟَﻰ ٱﻟﺘﱠ ْﮭﻠُ َﻜ ِﺔ ۛ َوأَﺣْ ِﺴﻨُﻮٓ ا۟ ۛ إِنﱠ ٱ ﱠ َ ﯾُﺤِﺐﱡ ٱ‬

”Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah


kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat
baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik.”

Belanjakanlah harta kalian dalam ketaatan kepada Allah, seperti


jihad dan lain-lain. Dan janganlah kalian menjerumuskan diri kalian
sendiri ke dalam kebinasaan karena meninggalkan jihad dan enggan
mengeluarkan dana untuk kepentingan jihad; atau dengan cara
menjerumuskan diri sendiri ke dalam tindakan yang dapat
mencelakakan kalian. Berbuat baiklah kalian dalam masalah ibadah,
muamalah dan akhlak. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang berbuat baik dalam semua urusannya. Maka Allah memberikan
pahala yang besar kepada mereka dan membimbing mereka ke jalan
yang benar.
2) Al-Baqarah : 264
‫ﺻ َﺪ َٰﻗﺘِﻜُﻢ‬
َ ۟‫س و ََﻻ ﯾُﺆْ ﻣِﻦُ ﺑِﭑ ﱠ ِ ٰ ٓﯾَﺄَﯾﱡﮭَﺎ ٱﻟﱠﺬِﯾﻦَ ءَا َﻣﻨُﻮا۟ َﻻ ﺗُ ْﺒ ِﻄﻠُﻮا‬
ِ ‫ﻖ ﻣَﺎﻟَ ۥﮫُ ِرﺋَﺎٓ َء ٱﻟﻨﱠﺎ‬
ُ ِ‫ﺑِﭑ ْﻟﻤَﻦﱢ َو ْٱﻷَذ َٰى ﻛَﭑﻟﱠﺬِى ﯾُﻨﻔ‬
‫ﺻ ْﻠﺪًا ۖ ﱠﻻ ﯾَ ْﻘ‬
َ ُ‫ﺻ ْﻔ َﻮا ٍن َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ ﺗُ َﺮابٌ ﻓَﺄَﺻَﺎﺑَ ۥﮫُ َواﺑِ ٌﻞ ﻓَﺘَ َﺮ َﻛ ۥﮫ‬
َ ‫ِﺪرُونَ َﻋﻠَﻰٰ َوٱ ْﻟﯿَﻮْ مِ ٱلْ ءَا ِﺧ ِﺮ ۖ ﻓَ َﻤﺜَﻠُ ۥﮫُ َﻛ َﻤﺜَ ِﻞ‬
‫َﻛ َﺴﺒُﻮ‬ ‫ﱢﻣﻤﱠﺎ‬ ‫ٱ ْﻟ َٰﻜﻔِﺮِﯾﻦَ ﺷَﻰْ ٍء‬ ‫ٱ ْﻟﻘَﻮْ َم‬ ‫ﯾَ ْﮭﺪِى‬ ‫َﻻ‬ ُ ‫َوٱ ﱠ‬ ۗ ۟‫ا‬

17
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan
(pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti
(perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya
karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di
atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu
menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai
sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”

Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan mengikuti


Rasul-Nya! Janganlah kalian merusak pahala sedekah kalian dengan
menyebut-nyebut kebaikannya di depan penerima sedekah dan
menyakiti hatinya. Karena perumpamaan bagi orang yang melakukan
hal itu ialah seperti orang yang menggunakan hartanya supaya dilihat
oleh manusia dan mendapat pujian dari mereka, sedangkan ia ingkar,
tidak beriman kepada Allah dan hari kiamat berikut pahala dan
hukuman yang ada di dalamnya, perumpamaannya ialah seperti batu
licin yang di atasnya terdapat debu, lalu batu tersebut terkena air hujan
yang sangat deras, sehingga debu yang ada di atas batu itu hilang dan
batu itu terlihat bersih dan licin, tidak ada sesuatupun di atasnya.
Begitulah nasib orang-orang yang ria (pamer). Pahala amal perbuatan
dan infak mereka hilang tak tersisa di sisi Allah. Dan Allah -Ta'ālā-
tidak akan menunjukkan orang-orang kafir kepada sesuatu yang
diridai-Nya dan bermanfaat bagi mereka di dalam amal perbuatan dan
infak mereka.
3) Dari Abu Umamah r.a., Nabi saw. bersabda, “Wahai anak Adam,
seandainya engkau berikan kelebihan dari hartamu, yang demikian itu
lebih baik bagimu. Dan seandainya engkau kikir, yang demikian itu
buruk bagimu. Menyimpan sekadar untuk keperluan tidaklah dicela,
dan dahulukanlah orang yang menjadi tanggung jawabmu.” (Muslim).

18
2. Hikmah Berbagi (Secdekah)

Baik infaq maupun sedekah mempunyai hikmah yang sangat


besar bagi kehidupan. Ada 7 keajaiban yang akan kamu dapatkan
dengan berinfaq dan bersedekah, yaitu:
1) Membersihkan Harta
Hikmah berinfaq dan bersedekah yang pertama adalah
membersihkan harta yang kamu miliki. Setiap harta yang
didapatkan ada sebagiannya adalah milik orang yang
membutuhkan. Oleh karena itu, dengan berinfaq kamu bisa
membersihkan harta yang kamu miliki dan menambah
keberkahannya.
2) Menambah Rezeki
Banyak orang mengira bahwa dengan berinfaq dan
bersedekah harta akan berkurang dan habis. Ini adalah anggapan
yang salah. Berinfaq dan bersedekah justru akan membuat rezeki
kamu semakin berlimpah. Seperti yang telah dijelaskan dalam
surat Al-Baqarah ayat 261 :

‫ﺳُﻧۢ ُﺑﻠَ ٍﺔ ﱢﻣ ۟ﺎ َﺋ ُﺔ ﺣَ ﱠﺑ ٍﺔ ۗ َوٱ ﱠ ُ ﱠﻣ َﺛ ُل ٱﻟﱠذِﯾنَ ﯾُﻧﻔِﻘُونَ أَﻣ َْٰوﻟَ ُﮭ ْم ﻓِﻰ َﺳﺑِﯾ ِل ٱ ﱠ ِ َﻛ َﻣ َﺛ ِل ﺣَ ﱠﺑ ٍﺔ أَﻧۢ َﺑﺗَتْ َﺳﺑْﻊَ َﺳﻧَﺎﺑِ َل ﻓِﻰ ُﻛ ﱢل‬
‫َﻋﻠِﯾ ٌم‬ ‫َٰوﺳِ ٌﻊ‬ ُ ‫َوٱ ﱠ‬ ۗ ‫َﯾ َﺷﺎ ٓ ُء‬ ‫ﻟِﻣَن‬ ُ‫ﺿﻌِف‬ َٰ ‫ُﯾ‬

”Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang


menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir
benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus
biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia
kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha
Mengetahui.”

3) Menolak Bala atau Musibah


Keutamaan bersedekah dan berinfaq yang selanjutnya
adalah dapat menolak bala atau musibah. Hal ini sesuai dengan
hadist nabi yang menyebutkan bahwa satu-satunya amalan yang
dapat menolak musibah adalah berinfaq dan bersedekah.

Dengan berinfak kamu secara tidak langsung sudah


membantu orang lain, orang lain yang kamu bantu tentunya akan

19
mendoakan kamu agar terhindar dari musibah. Hal inilah yang
membuat infaq akan melindungi kamu dari marabahaya atau
musibah. Oleh karena itu, perbanyaklah berinfaq agar terhindar
dari berbagai macam musibah.

4) Dilindungi Pada Hari Kiamat

Keajaiban lainnya yang akan kamu dapatkan dari beinfaq


dan bersedekah adalah dilindungi ketika hari kiamat. Dalam hadits
yang dirawayatkan oleh Tabrani, Rasulullah bersabda bahwa
orang beriman akan selamat di hari kiamat karena infaq dan
sedekahnya. Jadi jika kamu ingin terlindung di hari kiamat
perbanyaklah untuk berinfaq dan bersedekah.

5) Diampuni Segala Dosanya

Hikmah dari melakukan infaq dan sedekah adalah


diampuni segala dosanya. Orang yang berinfaq dan bersedekah
akan terhindar dari siksa neraka karena semua dosanya sudah
diampuni. Di dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa harta yang
diinfaqkan akan menjadi benteng pada saat hari pembalasan
kelak.

6) Menyempurnakan Ibadah

Di dalam surat Al Imran ayat 92 dijelaskan bahwa


kebajikan atau ibadah yang kamu kerjakan tidak akan sempurna
jika kamu tidak berinfaq dan bersedekah. Hal ini tentu sudah jelas
bahwa infaq adalah penyempurna ibadah kamu. Jika sholat adalah
ibadah yang berhubungan kepada Allah maka infaq adalah ibadah
yang berhubungan dengan sesama manusia.

7) Masuk Surga Dengan Pintu Khusus

Orang yang gemar berinfaq dan bersedekah termasuk


orang yang dermawan dan Allah sudah menjanjikan pintu khusus
untuk orang-orang yang dermawan. Pintu surga ini bernama Babus

20
Shadaqah yang berada di urutan ketiga setelah pintu surganya
untuk para nabi dan para ahli ibadah. Semakin kamu
memperbanyak infaq dan sedekah maka pintu ini akan terbuka
lebar untuk kamu.

B. Keadilan Penegakkan Hukum Dalam Islam

Dalam Islam, keadilan merupakan salah satu asas yang harus


dijunjung. Allah sendiri mempunyai sifat Maha Adil (al-„Adlu) yang harus
dicontoh oleh hamba-Nya. Bagi kebanyakan manusia, keadilan sosial
adalah sebuah cita-cita luhur. Bahkan setiap negara sering
mencantumkan secara tegas tujuan berdirinya negara tersebut di
antaranya untuk menegakkan keadilan. Banyak ditemukan perintah untuk
menegakkan keadilan karena Islam menghendaki agar setiap orang
menikmati hak-haknya sebagai manusia dengan memperoleh pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan dasarnya yakni terjaminnya keselamatan
agamanya, keselamatan dirinya (jiwa, raga, dan kehormatannya),
keselamatan akalnya, keselamatan harta bendanya, dan keselamatan
nasab keturunannya. Sarana pokok yang menjamin terlaksananya hal-hal
tersebut adalah tegaknya keadilan (al-„adl) di dalam tatanan kehidupan
masyarakat.

Asas-asas menegakkan keadilan dalam Islam:

1. Kebebasan jiwa yang mutlak. Islam menjamin kebebasan jiwa dengan


kebebasan penuh, yang tidak hanya pada segi maknawi atau segi
ekonominya semata melainkan ditujukan pada dua segi itu secara
keseluruhan. Islam membebaskan jiwa dari bentuk perbudakan,
berupa kultus individu dan ketakutan terhadap kehidupan, rezeki dan
kedudukan. Orang yang dihormati adalah orang yang bertakwa, orang-
orang yang “beriman dan beramal saleh”
2. Persamaan kemanusiaan yang sempurna. Dalam Islam tidak ada
kemuliaan bagi orang yang berasal dari kaum bangsawan berdarah
biru dibanding dengan orang biasa. Islam datang untuk menyatakan
kesatuan jenis manusia, baik asal maupun tempat berpulangnya, hak
dan kewajibannya di hadapan undang-undang dan di hadapan Allah.

21
Adapun ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist yang membahas mengenai
keadilan :

1) An-Nisa : 58

‫ت إِﻟ ٰ َٓﻰ‬
ِ ‫أَھْ ﻠِﮭَﺎ َوإِذَا ﺣَ َﻛ ْﻣﺗُم َﺑﯾْنَ ٱﻟﻧﱠﺎسِ أَن ﺗَﺣْ ُﻛﻣُوا۟ ﺑِﭑ ْﻟﻌَدْ لِ ۚ إِنﱠ ٱ ﱠ َ ﻧِ ِﻌﻣﱠﺎ إِنﱠ ٱ ﱠ َ َﯾﺄْ ُﻣ ُر ُﻛ ْم أَن ﺗ َُؤدﱡوا۟ ْٱﻷَ َٰﻣ َٰﻧ‬
‫ﺑَﺻِ ﯾرً ا‬ ‫َﺳﻣِﯾ ًۢﻌﺎ‬ َ‫ﻛَﺎن‬ َ‫ٱ ﱠ‬ ‫إِنﱠ‬ ۗ ٓ‫ﺑِ ِﮫۦ‬ ‫ظﻛُم‬
ُ ‫َﯾ ِﻌ‬
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.”

Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menunaikan


amanat kepada pemiliknya. Dan Dia menyuruh kalian, apabila kalian
memutuskan perkara di antara manusia dalam semua urusan
mereka, maka putuskanlah perkara mereka dengan adil, jangan
memihak atau zalim dalam memutuskan. Sesungguhnya Allah
mengingatkan dan memberi bimbingan yang sebaik-baiknya ke
arahnya (menjaga amanat) dalam setiap kondisi kalian.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar ucapan-ucapan kalian dan
Maha Melihat perbuatan-perbuatan kalian.

2) An-Nisa : 135

‫ﺷ َﮭ َدآ َء ِ ﱠ ِ َوﻟ َْو َﻋﻠ ٰ َٓﻰ أَﻧﻔُﺳِ ُﻛ ْم أَ ِو ٱﻟ َْٰوﻟِ َد ْﯾ ِن َو ْٱﻷَﻗْرَ ﺑِﯾنَ ۚ إِن َﯾﻛُنْ َٰ ٓﯾﺄ َ ﱡﯾﮭَﺎ ٱﻟﱠذِﯾنَ ءَا َﻣﻧُوا۟ ﻛُوﻧُو ۟ا‬
ُ ِ‫ﻗَوﱠٰ ﻣِﯾنَ ﺑِﭑ ْﻟﻘِﺳْ ط‬
ْ‫ﺎنَ ﺑِﻣَﺎ ﺈِنﱠ ٱ ﱠ َ َﻛرِ ﺿُوا۟ َﻓ َﻏﻧِ ّﯾًﺎ أ َْو َﻓﻘِﯾرً ا ﻓَﭑ ﱠ ُ أ َْوﻟ َٰﻰ ﺑِ ِﮭﻣَﺎ ۖ ﻓ ََﻼ َﺗ ﱠﺗﺑِﻌُوا۟ ٱ ْﻟﮭ ََو ٰ ٓى أَن ﺗَﻌْ ِدﻟ ُو ۟ا ۚ َوإِن َﺗﻠْوُ ۥٓا۟ أ َْو ﺗُﻌ‬
‫ﺧَ ﺑِﯾرً ا‬ َ‫ﺗَﻌْ َﻣﻠ ُون‬
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang
benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun
terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia
kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya.
Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan
(kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”

22
Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan
mengikuti rasul-Nya, jadilah orang-orang yang senantiasa berlaku
adil dalam semua hal dan memberikan kesaksian yang benar untuk
siapa pun. Walaupun hal itu akan merugikan diri kalian sendiri,
merugikan kedua orangtua, atau karib kerabat kalian. Dan jangan
sekali-kali kemiskinan atau kekayaan seseorang mendorong kalian
untuk memberikan kesaksian atau menolak memberikan kesaksian.
Karena Allah lebih mengerti keadaan orang yang miskin dan orang
yang kaya di antara kalian dan lebih mengetahui apa yang terbaik
baginya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu kalian dalam
memberikan kesaksian supaya kalian tidak menyimpang dari
kesaksian yang benar. Jika kalian memalsukan kesaksian dengan
memberikan kesaksian yang tidak semestinya atau menolak
memberikan kesaksian, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
yang kalian perbuat.
3) “Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang
sebelum kalian adalah, apabila seorang bangsawan mencuri,
mereka biarkan, tetapi bila ada orang lemah dan miskin mencuri,
mereka tegakkan hukuman kepadanya. Demi Allah, andaikan
Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku potong
tangannya.” (HR: Ibnu Majah).

23
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahim, Muhammad, Imaduddin, Kuliah Tauhid, (Jakarta: Yayasan Sari Insan,
1989), h. 16-21, 54-56.

Al-Ghazali, Muhammad Selalu Melibatkan Allah, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta,
2001), h. 28-39.

Jusuf, Zaghlul, Dr, SH., Studi Islam, (Jakarta: Ikhwan, 1993), h. 26-37.

Kadir, Muhammad Mahmud Abdul, Dr. Biologi Iman, (Jakarta: al-Hidayah, 1981), h. 9-
11.

Khan, Waheduddin, Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Bandung: Penerbit Pustaka,


1983), h. 39-101.

Suryana, Toto, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Tiga Mutiara, 1996), h. 67-77.

Daradjat, Zakiah, Dasar-dasar Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 55-
152.

Attas, Syed Naquibal-.1991. Islam dan Sekularisme,Bandung: Pustaka Salman.

Baiquni, Achmad (a). 1995. Al-Qur’an, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Yogyakarta:
Dana Bhakti Wakaf.

(b).1997.Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman, Yogyakarta: Dana Bhakti


Primayasa.

Barbour, Ian G. 2005. Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama,
Bandung: Mizan.

Dzahabi, al-.1961. al-Tafsir wa al-Mufassirun,Jilid II, Kairo: Daar al-Kutub al-Haditsah.

https://blog.kitabisa.com/7-keajaiban-hikmah-infaq-dan-sedekah-untuk-yang-memberi/

Ghulsyani, Mahdi. 1993. Filsafat Sains Menurut al-Qur’an, Bandung: Mizan.

Levy, R. 1975.The Social Structure of Islam, Cambridge.

Shah, A.B.1987. Metodologi Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Yayasan Obor.

24

Anda mungkin juga menyukai