Anda di halaman 1dari 35

HUBUNGAN GAYA HIDUP DENGAN TINGKAT KEPARAHAN

DIABETIC PERIPHERAL NEUROPATHY

PROPOSAL SKRIPSI

OLEH:

CHOIRUNNISA HARAHAP

NIM.17010004

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAMSARJANA


FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS AUFA ROYHAN
DI KOTA PADANGSIDIMPUAN
2020
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes Mellitus merupakan salah satu penyakit tidak menular yang mendapatkan

perhatian khusus ditingkat global. Hal ini terjadi karena prevalensi Diabetes Mellitus

meningkat secara konsisten dari tahun ke tahun.(Stino and Smith 2017). Menurut data dari

Internasional Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2019 jumlah kasus Diabetes Melitus

adalah 463 juta jiwa dimana jumlah ini meningkat dari 10,4 juta jiwa pada tahun 2010.

(Internation Diabetes Federation 2019). Sedangkan World Health Organization (2016)

mengatakan data kejadian penderita Diabetes Mellitus di seluruh dunia mencapai 415 juta

jiwa, dan di perkirakan pada tahun 2040 jumlah penderita Diabetes Mellitus menjadi 642 juta

jiwa. Peningkatan Prevalensi ditingkat global ini juga dialami dinegara Indonesia. Menurut

Internasional Diabetes Federation (IDF) Indonesia berada pada urutan ke 7 berdasarkan

prevalensi penderita Diabetes Melitus dengan jumlah kasus sekiar 10,7 juta jiwa pada tahun

2019.(Internation Diabetes Federation 2019). Data yang hampir sama juga di keluarkan oleh

RISKESDAS (2018) bahwa jumlah penderita Diabetes Mellitus saat ini telah mencapai

10,9%. (Riskesdas 2018).

Tingginya angka penderita Diabetes Mellitus selalu diikuti oleh meningkatnya

jumlah komplikasi yang terjadi. Komplikasi dari Diabetes Mellitus ada 2 yaitu

Makrovaskuler dan Mikrovaskuler, kasus yang paling tertinggi dari komplikasi Diabetes

Melitus adalah Neuropathy Perifer.(Putri et al. 2020)

Menurut data dari Shiferaw dkk (2020) prevalensi Diabetic Peripheral Neuropathy

sangat bervariasi dari berbagai Negara. Prevalensi Diabetic Peripheral Neuropathy di Negara

Afrika adalah sebesar 46 %.(Shiferaw et al. 2020). Penelitian di Inggris juga melaporkan
pada tahun 2014 jumlah kasus Diabetic Peripheral Neuropathy adalah 53,7% dimana jumlah

ini meningkat dari 11% pada tahun 2011.(Aslam, Singh, and Rajbhandari 2014). Sedangkan

data Prevalensi Diabetic Peripheral Neuropathy khususnya di Negara Asia tenggara, data

yang dapat dijumpai adalah Malaysia (54,3%), Filipina (58,0 %) dan Indonesia (58,0 %)

(Malik et al 2020). Di Indonesia, Menurut penelitian yang telah dilakukan Fitri dkk (2019)

mayoritas pasien Diabetes Melitus akan mengalami Diabetic Peripheral Neuropathy sebesar

58%,sedangkan penelitian yang telah dilakukan oleh Irawan dkk (2019) didapatkan hasil

bahwa sebagian besar pasien Diabetes Melitus mengalami Diabetic Peripheral Neuropathy

sebesar 55,4%.

Neuropati perifer merupakan penyebab utama kecacatan dan penurunan kualitas

hidup paling berbahaya dari komplikasi Diabetes Melitus lainnya. Karena komplikasi ini

menyebabkan kehilangan sensorik, nyeri, gangguan gaya berjalan, cedera dan ulkus pada

kaki bahkan amputasi.(Stino and Smith 2017). Neuropati perifer disebabkan oleh tingginya

kadar gula darah yang bisa mengakibatkan kerusakan pada sel-sel saraf, semakin banyak sel

saraf yang rusak maka akan semakin parah terjadinya Neuropati perifer. Untuk mengetahui

tingkat keparahan Neuropati perifer bisa menggunakan alat ukur Toronto Clinical Scoring

System (TCSS) ataupun dapat menggunakan Kuesioner dan lembar pemeriksaan seperti

Michigan Neuropathy Screening Instrument(MNSI), Neuropathy Disability Score (NDS) dan

Diabetic Neuropathy Syndrome(DNS). (Putri and Hasneli 2020).

Gaya hidup adalah cara yang digunakan oleh seseorang, kelompok dan bangsa dan

dibentuk dalam teks geografis, ekonomi, politik, budaya dan agama tertentu. Gaya hidup

mengacu pada karakteristik penduduk suatu wilayah pada waktu dan tempat tertentu. Ini

mencakup perilaku sehari-hari dan fungsi individu dalam pekerjaan, aktivitas, kesenangan,

dan diet. Saat ini, perubahan besar telah terjadi dalam kehidupan semua orang. Gizi buruk,

pola makan tidak sehat, merokok, konsumsi alkohol, penyalahgunaan narkoba, stres dan
sebagainya, merupakan presentasi dari gaya hidup tidak sehat yang mereka gunakan sebagai

bentuk gaya hidup yang dominan. Selain itu, kehidupan warga negara menghadapi tantangan

baru. Misalnya, teknologi baru yang muncul dalam IT seperti internet dan jaringan

komunikasi virtual, membawa dunia kita ke tantangan besar yang mengancam kesehatan fisik

dan mental individu.(Farhud 2015).

Menurut Ghavami et al (2018) mengatakan bahwa gaya hidup yang buruk seperti

merokok, pola makan yang buruk, kurang aktivitas fisik dan stress yang berlebihan

merupakan factor pencetus utama dalam perkembangan yang paling signifikan dalam

peningkatan penyakit kronis termasuk Diabetes Melitus. Pengaturan gaya hidup berupa

mengontrol kadar glukosa, meningkatkan aktivitas fisik, menurunkan berat badan dan

melakukan perawatan kaki efektif dalam menurunkan tingkat keparahan Neuropati Perifer

pada penderita Diabetes Melitus. Penelitian yang dilakukan oleh Farhud et al (2019)

menambahkan gaya hidup memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesehatan fisik dan

mental manusia karena gaya hidup yang dominan akan mengarah pada kelainan genetik.

Perubahan gaya hidup yang tidak sehat merupakan salah satu faktor pencegah penurunan

angka penyakit genetik.

Menurut penelitian Qureshi et al (2017) menyatakan bahwa terdapat korelasi antara

tingkat keparahan Diabetic Peripheral Neuropathy dengan beberapa faktor yaitu usia (p

value 0,018), lama menderita DM (p value 0,001), HbA1c (p value 0,043) dan gaya hidup (p

value 0,005). Hal ini mempunyai keterkaitan dengan penelitian yang dilakukan oleh Peter

R .Mertens et al (2020) yang menyatakan bahwa faktor terjadinya neuropati meliputi faktor

usia, linggar pinggang yang lebih besar, durasi diabetes, tingkat HbA1C yang lebih tinggi,

hipertensi, obesitas, aktivitas rendah, kadar HDL rendah, dan jangkauan terbatas gerak.

Taslima et al (2019) juga memperkuat bahwa Faktor-Faktor penyebab Diabetic Peripheral

Neuropathy yang melibatkan seluruh kejadian tersebut semakin memperparah keadaan


penderita DM yaitu obesitas dan kolesterol tinggi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Qureshi (2017) dan Ghavami (2018) yang menyatakan bahwa ada hubungan

gaya hidup dengan kejadian Diabetes Melitus sekaligus berhubungan dengan komplikasi

Diabetes Melitus dengan pengaruh gaya hidup yang dominan maka akan menambah tingkat

keparahan komplikasi dari penyakit genetik seperti Diabetes Melitus. Namun Penelitian

terkait Hubungan Gaya Hidup dengan Tingkat Keparahan Diabetic Peripheral Neuropathy

masih sangat jarang.

Berdasarkan latar belakang diatas,penulis akan melakukan penelitian mengenai

“Hubungan Gaya Hidup dengan Tingkat Keparahan Diabetes Peripheral Neuropathy”

1.1 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan diatas maka rumusan masalah pada

penelitian ini adalah Apakah ada Hubungan Gaya Hidup dengan Tingkat Keparahan Diabetes

Peripheral Neuropathy

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan umum dan tujuan khusus.Tujuan umum untuk

mengetahui Hubungan Gaya Hidup dengan Tingkat Keparahan Diabetes Peripheral

Neuropathy

Tujuan khusus seperti :

1) Mengidentifikasi karakteristik responden berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan,

status pekerjaan, dan lama menderita Diabetes Melitus dengan komplikasinya

2) Mengetahui hubungan gaya hidup dengan tingkat keparahan Diabetes Peripheral

Neuropathy.
1.3 Manfaat Penelitian

1.3.1 Manfaat penelitian untuk ilmu pengetahuan

Penelitan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi secara keilmuan tentang

Hubungan antara Gaya Hidup dengan Tingkat Keparahan Diabetes Peripheral

Neuropathy.

1.3.2 Manfaat penelitian untuk penelitian

Penelitian ini diharapkan bisa memberikan data klinis mengenai Hubungan

antara Gaya Hidup dengan Tingkat Keparahan Diabetes Peripheral Neuropathy pada

penderita DM.

1.4.3 Manfaat penelitian untuk masyarakat

Dengan mengetahui Hubungan antara Gaya Hidup dengan Tingkat Keparahan

Diabetes Peripheral Neuropathy pada pasien DM dapat memberikan kontribusi pada klinis

untuk melakukan skrining pada pasien DM khususnya yang telah menderita neuropati

diabetik untuk mendeteksi adanya gaya hidup yang buruk sehingga terapi dan edukasi yang

diberikan dapat bersifat menyeluruh


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Defenisi Diabetes Melitus

Diabetes Mellitus merupakan salah satu penyakit tidak menular yang mendapatkan

perhatian khusus ditingkat global. Hal ini terjadi karena prevalensi Diabetes Mellitus

meningkat secara konsisten dari tahun ke tahun.(Stino and Smith 2017).

2.1.2 Epidemiologi Diabetes Melitus

Diabetes mellitus merupakan salah satu keadaan paling darurat di dunia kesehatan,

masyarakat global paling terbesar di abad ke-21. World Health Organization (2016)

mengatakan data kejadian penderita Diabetes Mellitus di seluruh dunia mencapai 415 juta

jiwa, dan di perkirakan pada tahun 2040 jumlah penderita Diabetes Mellitus menjadi 642 juta

jiwa. Indonesia berada pada urutan ke 7 berdasarkan prevalensi npenderita DM tertinggi di

dunia yaitu dengan jumlah kasus sekiar 10,7 juta jiwa pada tahun 2019.(Internation Diabetes

Federation 2019).

2.1.3 Klasifikasi Diabetes Melitus

A. Diabetes Melitus menurut patogenesis yang dapat menimbulkan hiperglikemia

dibagi atas beberapa jenis yaitu:

1. Diabetes Melitus Tipe 1

Diabetes mellitus tipe 1 atau insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM) biasanya

terjadi pada penderita dengan usia muda. Diabetes mellitus tipe ini terjadi karena adanya
kerusakan sel beta pancreas akibat autoimun yang menyebabkan defesiensi insulin. Penderita

akan terus tetap bergantung pada pemberian insulin dari luar tubuh agar tetap bertahan hidup

dan menjadi ketotik jika pemberian insulin dihentikan.(Depkes RI 2018).

2. Diabetes mellitus tipe 2

Non-insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM) merupakan bentuk diabetes yang

diakibatkan oleh resistensi insulin dalam sel hati dan otot serta gangguan sekresi insulin. Pada

awal terjangkit,toleransi glukosa masih mendekati normal meskipun sudah terjadi resistensi

insulin. Ini diakibatkan karena sel beta pancreas melakukan kompensasi dengan

meningkatkan resistensi insulin. Apabila kondisi ini tetap berlanjut,sel beta pancreas menjadi

tidak mampu melakukan kompensasi dan menyebabkan toleransi glukosa terganggu.

Diabetes ini biasanya menyerang orang dewasa terutama pada usia lebih lanjut lebih dari 30

tahun akan tetapi juga dapat menyerang siapapun dengan usia yang berbeda-beda.

(Pencegahan and Indonesia 2015).

3. Diabetes gestasional

Diabetes gestasional merupakan suatu intoleransi glukosa yang terjadi untuk pertama

kalinya menyerang ibu hamil. Ini diakibatkan resistensi insulin fisiologis maupun kronik,

bahkan banyak wanita hamil dengan diabetes mellitus dengan gestasional mengalami

resistensi insulin fisiologis dan kronik.(Nasekhah et al. 2016).

4. Diabetes tipe lain

Diabetes tipe lain dapat di golongkan antaralain kelainan genetic,abnormalitas

metabolic,abnormalitas mitokondria beberapa factor ini yang menghambat toleransi

glukosa.(Nasekhah et al. 2016).


B. Klasifikasi Diabetes Melitus menurut Etiologinya(Kerner 2014)

1. Diabetes tipe 1

Destruksi sel β pankreas sehingga terjadi defisiensi insulin absolut yang dapat

disebabkan oleh proses autoimun ataupun idiopatik.(Anon 2020).

2. Diabetes tipe 2

Disebabkan oleh berbagai hal, mulai dari resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif

sampai gangguan sekresi insulin disertai resistensi insulin.(Kerner 2014).

3. Diabetes tipe Lainnya

Defek genetic fungsi sel β pancreas, defek genetic kerja insulin, Penyakit eksokrin pancreas,

endokrinopati, paparan obat atau zat kimia, infeksi, imunologi yang jarang, sindrom genetik

lain yang berkaitan dengan diabetes mellitus.(Reza 2019).

2.1.4 Tanda dan Gejala Diabetes Melitus

Tanda dan gejala yang sering muncul pasien diabetes mellitus menurut. (Tipe,

Poliklinik, and Dalam 2017) yaitu:

a. Polyuria (peningkatan pengeluaran urin) Jika kadar gula darah meningkat maka

glukosa akan dikeluarkan melalui air kemih dan jika kadar gula darahnya lebih tinggi

lagi maka ginjal akan mengkompensasi dengan membuang air untuk mengencerkan

sejumlah besar glukosa yang hilang.

b. Polydipsia (peningkatan rasa haus) Akibat volume urin yang dikeluarkan dalam

jumlah besar sehingga menyebabkan dehidrasi ekstrasel.

c. Polifagia (peningkatan rasa lapar) Terjadi oleh karena kalori yang telah

dimetabolisasikan menjadi glukosa dalam darah tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan


dan sejumlah glukosa telah hilang melalui air kemih. Untuk mengkompensasi hal ini

pasien akan mengalami peningkatan rasa lapar dan banyak makan.

d. Rasa lelah dan kelemahan otot Akibat gangguan aliran darah pada pasien diabetes

kronik, katabolisme protein di otot dan ketidakmampuan antibody, peningkatan

konsentrasi glukosa, disekresi mucus, gangguan fungsi imun, dan penurunan aliran

darah pada penderita diabetes kronik.

e. Peningkatan angka infeksi

Oleh karena penurunan protein sebagai bahan pembentukan antibody.

f. Kelainan kulit seperti gatal-gatal dan bisul

g. Kelainan ginekologis seperti keputihan dengan penyebab tersering yaitu jamur

candidiasis.

h. Kesemutan rasa baal Akibat terjadinya neuropati oleh karena regenerasi sel saraf

mengalami gangguan akibat kekurangan bahan dasar utama yang berasal dari protein.

Akibatnya banyak sel saraf terutama bagian perifer yang mengalami kerusakan dan

tidak bisa diregenerasi.

i. Kelemahan tubuhTerjadi karena penurunan prosuksi energy metabolic yang dilakukan

oleh sel melalui proses glikolisis tidak dapat berlangsung secara optimal.

j. Proses penyembuhan luka yang sulitProtein merupakan bahan dasar untuk proses

penyembuhan luka. Pada kondisi diabetes mellitus, protein diformulasikan untuk

kebutuhan energy sel sehingga protein yang digunakan untuk penggantian jaringan

yang rusak mengalami gangguan. Selain itu luka akan sulit sembuh karena terdapat

pertumbuhan mikroorganisme yang cepat pada pseien diabetes mellitus.

k. Mata kabur dapat disebabkan oleh katarak/gangguan refraksi akibat perubahan pada

lensa karena hiperglikemia.


2.1.5 Diagnosis Diabetes Melitus

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan

glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan

plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan

pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas

dasar adanya glukosuria. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM.

Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:

1. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang

tidak dapat dijelaskan sebabnya.

2. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada

pria, serta pruritus vulva pada wanita. (Pencegahan and Indonesia 2015)

2.1.6 Faktor Resiko Diabetes Melitus

Penyebab diabetes melitus tidak diketahui secara umum. Keadaan ini merupakan

sindrom, bukan penyakit. Diabetes merupakan banyak penyakit yang akhirnya menyebabkan

sel beta rusak dan atau mengganggu ketahanan insulin perifer. (Pencegahan and Indonesia

2015) Faktor risiko yang dapat memicu dan memperbesar peluang terjadinya diabetes melitus

dibagi menjadi dua, yaitu faktor resiko yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi

(Panwala et al. 2017)

Faktor risiko DM yang tidak dapat dimodifikasi antara lain:

1. Ras dan Etnik Ras dan etnik adalah kebiasaan-kebiasaan yang termasuk didalamnya

tentang kebudayaan setempat yang dapat meningkatkan resiko DM, misalnya

makanan, faktor lingkungan dan factor genetik.(Panwala et al. 2017)


2. Usia-Usia merupakan salah satu karakteristik yang melekat penderita penyakit. Usia

mempunyai hubungan dengan tingkat keterpaparan, besarnya fisik, serta sifat

resistensi tertentu. Usia juga berhubungan erat dengan sikap dan perilaku, juga

karakteristik tempat dan waktu. Perbedaan pengalaman terhadap penyakit menurut

usia sangat berhubungan dengan perbedaan tingkat keterpaparan dan proses

patogenensis.(Tipe et al. 2017).

3. Riwayat keluarga menderita DM Risiko seorang anak mendapat DM tipe 2 adalah

15% bila salah satu orangtuanya menderita DM dan kemungkinan 75% jika kedua

orang tua menderita DM. Orang dengan ibu DM memiliki resiko 10-30% lebih besar

dari pada orang yang memiliki ayah DM. Hal ini dikarenakan penurunan gen saat

dalam kandungan. Saudara kandung berisiko 10% jika saudaranya menderita DM dan

90% jika yang menderita adalah saudara kembar identik.(Nasekhah et al. 2016).

4. Riwayat lahir dengan berat badan <2500 gram bayi dengan BBLR dimungkinkan

fungsi dan kerja pancreas belum optimal sehingga kemampuan untuk memproduksi

insulin akan terganggu. Hal ini memungkinkan orang tersebut untuk menderita DM di

kemudian hari.

Faktor risiko DM yang dapat dimodifikasi antara lain:

1. Obesitas

Obesitas merupakan faktor risiko yang berperan penting terhadap penyakit diabetes

melitus. Sel beta pankreas akan mengalami kelelahan dan tidak mampu untuk memproduksi

insulin yang cukup untuk mengimbangi kelebihan masukan kalori yang dimiliki oleh orang

dengan obesitas. Akibatnya kadar glukosa darah akan tinggi yang akhirnya menjadi DM.(Ba,

Di, and Ba 2013)


Obesitas abdominal/ sentral (pria >90 cm dan wanita >80 cm) Obesitas sentral

merupakan contoh penimbunan lemak tubuh yang berbahaya karena adiposit di daerah ini

sangat efisien dan lebih resisten terhadap efek insulin dibandingkan adiposit di daerah

lain.Adanya peningkatan adiposit biasanya diikuti keadaan resistensi insulin Kurangnya

aktivitas fisik. Aktivitas fisik sangat berperan dalam mengontrol gula darah. Sejumlah

glukosa dalam darah akan diubah menjadi energi pada saat tubuh melakukan aktivitas fisik.

Aktivitas fisik mengakibatkan insulin semakin meningkatkan sehingga kadar gula dalam

darah akan berkurang.(Kerner 2014).

2. Hipertensi

Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat dengan tidak tepatnya

penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan dari dalam tubuh pada sirkulasi

pembuluh darah perifer. Hal ini dapat memicu terjadinya resistensi insulin dan kemudian

menjadi hiperinsulinemia. Keadaan ini mengakibatkan kerusakan sel beta dan terjadilah DM

tipe 2.(Tipe et al. 2017).

3. Dislipidemia (HDL<35mg/dl dan atau trigliserida >250mg/dl)

Dislipidemia adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah

(Trigliserida > 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma insulin dengan

rendahnya HDL (<35 mg/dl) sering didapat pada pasien Diabetes.(Nasekhah et al. 2016)

4. Kadar kolesterol tinggi

Kadar kolesterol tinggi menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas sehingga

terjadi lipotoksisiti. Hal ini menyebabkan terjadinya kerusakan sel beta yang mengakibatkan

terjadinya DM tipe 2. Kadar kolesterol total berisiko untuk diabetes jika hasilnya>190

mm/dL
2.1.7 Komplikasi Diabetes Melitus

Komplikasi Diabetes (DM) bersifat progresif dan hampir diakibatkan oleh paparan

kronis terhadap kadar glukosa darah tinggi yang disebabkan oleh gangguan metabolism

insulin dan makromolekul biologis seperti karbohidrat,lipid,protein, dan asam nukleat.

Diabetes mellitus dan komplikasinya dengan cepat menjadi penyebab morbiditas dan

mortalitas paling signifikan di dunia. Pandemi Diabetes Melitus telah berkembang seiring

dengan pergerakan Negara maju dan Negara berkembang. Diabetes Melitus diperkirakan

akan mencapai proporsi epidemic dalam waktu dekat.(Sayin, Kara, and Pekel 2015).

Hiperglikemia kronik pada diabetes mellitus yang sudah terjadi jauh sebelun diagnosis

ditegakkan, memicu terjadinya stress oksidatif dan menurunkan enzim antioksidan yang

dapat menyebabkan disfungsi endothelial dan komplikasi Diabetes Mellitus.(Putri et al.

2020).

Komplikasi Diabetes Melitus dibedakan menjadi komplikasi Akut dan Komplikasi

vascular/Kronis(Nasekhah et al. 2016).

1. Komplikasi Akut terdiri dari :

a. Hiperglikemia

Hiperglikemia merupakan kadar glukosa yang tinggi. Pada saat insulin

normal,asupan glukosa atau produksi glukosa dalam tubuh akan ditampung oleh insulin agar

dapat masuk kedalam sel tubuh. Glukosa tersebut akan diolah menjadi bahan energy di dalam

tubuh(Ba et al. 2013) inilah proses yang tidak dapat dihasilkan oleh tubuh penderita Diabetes

Melitus sehingga glukosa didalam tubuh penderita Diabetes Mellitus terjadi penumpukan ini

lah yang disebut dengan Hiperglikemia.

Penilaian Kadar gula darah menurut Corwin (2011) yaitu :


a. GDA >126 (Hiperglikemia)

b. GDA 100-125 (Kadar gula darah normal)

c. GDA <100 (Kadar gula darah rendah)

b. Hiperosmolaritas

Hiperosmolaritas adalah adanya kelebihan tekanan osmotic pada plasma sel karena

adanya peningkatan konsentrasi zat. Sedangkan tekanan osmosis merupakan tekanan yang

dihasilkan karena adanya peningkatan konsentrasi larutan pada zat cair. Pada penderita

Diabetes Melitus terjadinya hiperosmolaritas karena peningkatan konsentrasi glukosa dalam

darah (yang notabene komposisi terbanyak adalah zat cair). Peningkatan glukosa dalam darah

akan berakibat terjadinya kelebihan ambang pada ginjaluntuk memfiltrasi dan reabsorbsi

glukosa (meningkat kurang lebih 225 mg/ menit).(Ba et al. 2013)

c. Starvasi Selluler

Starvasi selluler merupakan kondisi kelaparan yang dialami oleh sel karena glukosa

sulit masuk padahal di sekeliling sel banyak sekali glukosa. Ada banyak bahan makanan tapi

tidak bisa dibawa untuk diolah. Sulitnya glukosa masuk karena tidak ada yang memfasilitasi

untuk masuk sel yaitu insulin.(Ba et al. 2013)

2. Komplikasi Jangka Panjang Diabetes Militus

Komplikasi jangka panjang memberikan dampak yang parah ke system

kardiovaskular, terjadi kerusakan di makrovaskular. dan mikrovaskuler menurut (Bare.,

2008)yaitu :

a. Makrovaskuler Komplikasi

Makrovaskular terutama terjadi akibat aterosklerosis,Komplikasi makrovaskular ikut

berperan dan menyebabkan gangguan aliran darah, penyulit komplikasi jangka panjang, dan
peningkatan mortalitas. Pada Diabetes Milletus (DM) terjadi kerusakan pada lapisan endotel

arteri dan dapat disebabkan secara langsung oleh tingginya kadar glukosa darah, metabolit

glukosa, atau tingginya kadar asam lemak dalam darah yang sering dijumpai pada pasien

diabetes. Akibat kerusakan tersebut, permeabilitas sel endotel meningkat sehingga molekul

yang mengandung lemak masuk ke arteri.

b. Mikrovaskuler

Komplikasi mikrovaskular terjadi akibat penebalan membran basal pembuluh-pembuluh

kecil. Penyebab penebalan tersebut tampaknya berkaitan langsung dengan tingginya kadar

glukosa darah. Penebalan mikrovaskular tersebut menyebabkan iskemia dan penurunan

penyaluran oksigen dan zat gizi ke jaringan. Komplikasi mikrovaskuler dibagi menjadi

beberapa bagian yaituu:

1. Kerusakan ginjal (Nefropati)

DiabetesMellitus(DM)kronis yang menyebakan kerusakan ginjal sering dijumpai dan

nefropati diabetic merupakan salah satu penyebab terjadinya gagal ginjal.

2. Gangguan penglihatan (Retinopati)

Retinopati disebabkan memburuknya kondisi mikro sirkulasi sehingga terjadi komplikasi

pada pembuluh darah retina.

3. Kerusakan system saraf (Neuropati)

Penyakit saraf yang disebabkan diabetes mellitus disebut neuropati diabetic. Neuropati

diabetic disebabkan hipoksia kronis serta efek dari hiperglikemia.

2.1.8 Penatalaksanaan Diabetes Melitus


Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang

diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi :

1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup, dan

mengurangi risiko komplikasi akut.

2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit

mikroangiopati dan makroangiopati.

3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.Untuk

mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah,

berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara

komprehensif(Pencegahan and Indonesia 2015)

Menurut Konsensus PERKENI (2015), ada empat penatalaksanaan DM:

1. Edukasi

Pengelolaan mandiri diabetes secara optimal membutuhkan partisipasi aktif pasien

dalam merubah perilaku yang tidak sehat. Tim kesehatan harus mendampingi pasien,

memberikan dukungan, nasehat yang positif, dan memberikan informasi secara bertahap.

Keberhasilan dalam mencapai perubahan perilaku, membutuhkan edukasi, pengembangan

keterampilan (skill), dan upaya peningkatan motivasi.Edukasi dengan tujuan untuk

mempromosikan hidup sehat dilakukan sebagai bagian dari upaya pencegahan yang

penting untuk mengelola DM secara holistik.(Tipe et al. 2017)

2. Terapi nutrisi medis

Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran

makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan

kebutuhan kalori masing-masing individu. Perlu ditekankan pentingnya keteraturan dalam

hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan terutama pada pasien yang menggunakan
obat penurun gula darah dan insulin.Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari

karbohidrat sebesar 45-65% total asupan energy dan dianjurkan makan 3 kali sehari dan

dianjurkan untuk makan selingan seperti buah. Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25%

kebutuhan kalori dan tidak diperkenankan >30% asupan energi, bahan makanan yang

perluu dibatasi adalahh daging berlemak dan susu full cream. Kebutuhan protein

sebanyak 10-20% total asupan energi.(Tipe et al. 2017)

3. Latihan Jasmani

Kegiatan jasmani sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes karena efeknya

dapat menurunkan kadar gula darah dan mengurangi risiko kardiovaskuler. Latihan akan

menurunkan kadar gula darah dengan meningkatkan pengambilan gula oleh otot dan

memperbaiki pemakaian insulin. Sirkulasi darah dan tonus otot juga diperbaiki dengan

berolahraga. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran

jasmani. (Tipe et al. 2017)

4. Terapi Farmakologi

Terapi farmakologis diberikan bersamaan dengan pengaturan nutrisi dan latihan

jasmani. Pada DM tipe 2, insulin mungkin diperlukan sebagai terapi jangka panjang untuk

mengendalikan kadar gula darah jika diet dan obat hipoglikemia oral tidak berhasil

mengontrolnya. (Tipe et al. 2017)

2.2 Konsep Dasar Gaya Hidup

2.2.1 Defenisi Gaya Hidup

Gaya hidup adalah cara yang digunakan oleh orang, kelompok dan bangsa dan

dibentuk dalam teks geografis, ekonomi, politik, budaya dan agama tertentu. Gaya hidup

mengacu pada karakteristik penduduk suatu wilayah pada waktu dan tempat tertentu. Ini

mencakup perilaku sehari-hari dan fungsi individu dalam pekerjaan, aktivitas, kesenangan,

dan diet.(Farhud 2015).


2.2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Gaya Hidup

Saat ini, perubahan besar telah terjadi dalam kehidupan semua orang. Gizi buruk, pola

makan tidak sehat, merokok, konsumsi alkohol, penyalahgunaan narkoba, stres dan

sebagainya, merupakan presentasi dari gaya hidup tidak sehat yang mereka gunakan sebagai

bentuk gaya hidup yang dominan. Selain itu, kehidupan warga negara menghadapi tantangan

baru. Misalnya, teknologi baru yang muncul dalam IT seperti internet dan jaringan

komunikasi virtual, membawa dunia kita ke tantangan besar yang mengancam kesehatan fisik

dan mental individu.

Beberapa factor gaya hidup yang berpengaruh terhadap kesehatan dapat dikategorikan

dalam beberapa bagian yaitu:

1. Diet dan Indeks Massa Tubuh (BMI)

Diet adalah faktor terbesar dalam gaya hidup dan memiliki hubungan langsung dan

positif dengan kesehatan. Pola makan yang buruk dan konsekuensinya seperti obesitas

adalah masalah kesehatan yang umum di masyarakat perkotaan. Gaya hidup tidak

sehat bisa diukur dengan BMI. Gaya hidup perkotaan mengarah pada masalah nutrisi

seperti menggunakan makanan cepat saji dan makanan yang buruk, meningkatkan

masalah seperti kardiovaskular.

2. Olahraga

Untuk mengatasi masalah kesehatan secara umum, olahraga termasuk dalam gaya

hidup. Latihan terus menerus bersama dengan diet sehat meningkatkan kesehatan.

Beberapa penelitian menekankan pada hubungan gaya hidup aktif dengan

kebahagiaan.

3. Tidur

Salah satu dasar hidup sehat adalah tidur. Tidur tidak bisa lepas dari kehidupan.

Gangguan tidur memiliki beberapa konsekuensi sosial, psikologis, ekonomis dan


sehat. Gaya hidup dapat berpengaruh pada tidur dan tidur memiliki pengaruh yang

jelas pada kesehatan mental dan fisik.

4. Perilaku seksual

Hubungan seks yang normal diperlukan dalam hidup sehat. Disfungsi hubungan seks

adalah masalah sebagian besar masyarakat dan berdampak signifikan pada kesehatan

mental dan fisik. Dapat dikatakan bahwa hubungan seks yang tidak berfungsi dapat

mengakibatkan berbagai masalah keluarga atau penyakit terkait seks seperti AIDS

5. Penyalahgunaan zat

Kecanduan dianggap sebagai gaya hidup yang tidak sehat. Merokok dan

menggunakan zat lain dapat menimbulkan berbagai masalah, penyakit kardiovaskular,

asma, kanker, cedera otak. Menurut penelitian yang ditolak di Iran, 43% wanita dan

64% pria mengalami penggunaan hubble-bubble (10). Sebuah studi longitudinal

menunjukkan bahwa 30% orang berusia antara 18-65 tahun merokok secara

permanen.

6. Penyalahgunaan obat

Ini adalah bentuk penggunaan obat yang umum di Iran dan dianggap sebagai gaya

hidup yang tidak sehat. Perilaku tidak sehat dalam menggunakan pengobatan adalah

sebagai berikut: pengobatan sendiri, berbagi pengobatan kation, menggunakan obat-

obatan tanpa resep, terlalu banyak meresepkan obat, meresepkan setiap obat dalam

jumlah besar, obat-obatan yang tidak perlu, tulisan tangan yang buruk dalam resep,

mengabaikan obat-obatan yang bertentangan, mengabaikan efek berbahaya obat, tidak

menjelaskan efek obat.

7. Penerapan teknologi modern

Teknologi canggih memfasilitasi kehidupan manusia. Penyalahgunaan teknologi dapat

mengakibatkan konsekuensi yang tidak menyenangkan. Misalnya, penggunaan komputer


dan perangkat lain hingga tengah malam, dapat mempengaruhi pola tidur dan

mengganggu tidur. Kecanduan menggunakan ponsel berhubungan dengan gejala depresi.

8. Rekreasi

Waktu luang lewat merupakan sub faktor gaya hidup. Mengabaikan waktu luang dapat

membawa konsekuensi negatif. Dengan perencanaan yang tidak teratur dan waktu luang yang

tidak sehat, orang membahayakan kesehatan mereka.

9. Belajar

Belajar adalah latihan jiwa. Menempatkan studi sebagai faktor gaya hidup dapat

meningkatkan kesehatan fisik dan mental. Misalnya, prevalensi demensia, seperti

penyakit Alzheimer lebih rendah pada orang yang berpendidikan. Belajar bisa

memperlambat proses demensia.

2.2.3 Pengukuran Gaya Hidup

Gaya hidup memiliki beberapa dimensi yang dapat digunakan untuk mengukur atau

analisis gaya hidup (lifestyle analysis), atau disebut juga psikografis pendapat (McCarthy,

2008). Dimensi-dimensi psikografis meliputi sebagai berikut:

1. Aktifias (Activities) Dimensi aktifitas meliputi apa yang dilakukan konsumen, apa

yang di beli, bagaima konsumen menghabiskan waktunya.

2. Minat (Interest) Dimensi minat meliputi bagaimana konsumen memilih sesuatu yang

dianggap penting (prefensi dan prioritas) baginya dan hal ini berkaitan dengan

motivasi.

3. Opini (Opinion) Dimensi opini merupakan pandangan dan perasaan konsumen

terhadap dirinya atau orang lain serta terhada dunia sekitarnya yang dapat

dihubungkan dengan persepsi. Persepsi disii meliputi proses dari individu mangatur

dan mengintrepetasikan kesan-kesan yang ditangkap oleh sensori mereka yang

memunculkan dampak pada nilai, pengalaman, pendidikan dan lainya.


4. Demografis (Demographics) Dimensi geografis meliputi usia, pendidikan,

pendapatan, pekerjaan latar belakang budaya, struktur dalam keluarga, serta geografis

dari konsumen.

A. Kuesioner Gaya Hidup Health Promoting Lifestyle Profile II (HPLP II)

Tujuan dari alat pengkajian dan analisisnya dirancang untuk membantu menemukan

bagaimana pilihan-pilihan yang mempengaruhi kesehatan secara menyeluruh. Health

Promoting Lifestyle Profile II (HPLP II) dikembangkan oleh Walker et al, yang telah banyak

digunakan dalam menguji model promosi kesehatan. Alat ini digunakan untuk mengukur

promosi gaya hidup sehat yang difokuskan dengan tindakan pribadi seseorang yang berbagai

macam pola (multidimensi) dan persepsi tentang pelayanan atau mempertahan kan derajat

kesehatan,aktualisasi diri, pemenuhan kebutuhan hidup individu.

Masing-masing item pada HPLP telah dikembangkan dari 100 item yang pilihannya

ya/tidak pada lembar checklist dan sebagai instrument keperawatan klinik. Beberapa item

yang focus dengan pencegahan dan deteksi dari beberapa penyakit spesifik telah dihapus

karena tidak valid. Hasil validitas harusmenghilangkan beberapa item tentang perilaku sehat

(Frank, 2009). Health Promoting Lifestyle (promosi gaya hidup sehat ) umumnya diterima

bahwa cara untuk mencapai kesehatan yang optimal dan mencegah penyakit yaitu untuk

mempertahankan gaya hidup sehat. “Promosi Kesehatan” (health promotion) dimotivasi oleh

keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengaktualisasi potensi kesehatan

manusia. HPLP II yang telah direvisi terdiri dari 30 item tingkat kebiasaan yang dijumlahkan

menggunakan format 4 respon point ordinal untuk mengukur frekuensi dari kebiasaan

promosi kesehatan idividu. Rentang respons dari 1 (tidak pernah) sampai 4 (selalu). HPLP II

memiliki jumlah skala total dan 6 sub skala atau domain setiap domain terdiri dari 8 atau 9

item sebagai ukuran dari gaya hidup sehat (Frank, 2009). Dalam buku (Frank, 2009)

menyebutkan domain HPLP II antara lain terdiri dari sebagai berikut:


1.Tanggung jawab kesehatan

2.Aktifitas Fisik

3.Nutrisi

4.Kondisi spiritual

5.Hubungan interpersonal

6.Menajemen stress

Sedangkan menurut (Farhud 2015) ada 9 domain factor kunci membentuk gaya

hidupp sehat antara lain sebagai berikut:

1. Diet dan Indeks Massa Tubuh (BMI)

2. Olahraga

3. Tidur

4. Perilaku seksual

5. Penyalahgunaan zat

6. Penyalahgunaan obat

7. Penerapan teknologi modern

8. Rekreasi

9. Belajar

B. Interpretasi Kuesioner Gaya Hidup

1. Interpretasi skor pada Health Promoting Lifestyle Profile II (HPLP II)

Berkaitan dengan gambaran karakteristik satu set data dengan skala pengukuran

numerik, dapat menggunakan dua parameter yang lazim digunakan, yaitu parameter ukuran

pemusatan dan parameter ukuran penyebaran. Parameter untuk ukuran pemusatan yaitu

mean, median, dan modus. Untuk parameter ukuran penyebaran dapat digunakan standart
deviasi, varians, koefisien varians, interkuartil, range, dan minimum maksimum pendapat

(Dahlan, 2009). Jika data mempunyai distribusi normal , dianjurkan untuk memilih mean

sebagai ukuran pemusatan dan standart deviasi (SD) sebagai ukuran penyebaran (Dahlan,

2009). Jika distribusi data tidak normal, dianjurkan untuk memilih median sebagai ukuran

pemusatan dan maksimum-minimum sebagai ukuran penyebaran.(Dahlan, 2009).

2. Uji normalitas

Untuk mengetahui apakah distribusi data mempunyai distribusi normal atau tidak

secara analisis, dapat menggunakan uji Kormogorov-Smirnov atau Shapiro-Wilk. Uji

Kormogorov-Smirnov digunakan sampel yang ukurannya lebih besar (lebih dari 50)

sedangkan uji Shapiro-Wilk digunakan untuk sampel yang lebih kecil (kurang dari 50).

Untuk menguji normalitas data uji Kormogorov-Smirnov atau Shapiro-Wilk dapat melalui

program SPSS. Dalam menarik kesimpulan uji Kormogorov-Smirnov atau Shapiro-Wilk dari

SPSS yaitu d nean melihat nilai ρ (Sig.) dan α. Jika ρ > α maka kesimpulan distribusi data

adalah “normal” sedangakan jika ρ < α maka kesimpulan distribusi data adalah“tidak normal”

(Dahlan, 2009).

2.3 Diabetic Peripheral Neuropathy

2.3.1 Defenisi Diabetic Peripheral Neuropathy

Neuropati perifer merupakan penyebab utama kecacatan dan penurunan kualitas

hidup paling berbahaya dari komplikasi Diabetes Melitus lainnya. Karena komplikasi ini

menyebabkan kehilangan sensorik, nyeri, gangguan gaya berjalan, cedera dan ulkus pada

kaki bahkan amputasi.(Stino and Smith 2017).

Neuropati Peripheral adalah komplikasi mikrovaskuler paling umum dari

diabetes,diantara tiga utama diabetes,neuropati diabetes,neuropati diabetic sering terjadi dan

muncul paling awal setelah timbulnya diabetes. Neuropati diabetes menunjukkan berbagai

gejala klinis dari kepala hingga kaki (dan telapak kaki) sekitar 20-30% pasien dengan
neuropati peripheral menderita nyeri neuropatik dan secara signifikan meningkatkan biaya

kesehatan secara substansial yang terkait dengan Diabetes Peripheral Neuropati.(Uchida and

Nakamura 2018)

2.3.2 Epidemiologi Diabetic Peripheral Neuropathy

Kejadian Neuropathy Diabetic menjadi sangat tidak terkonrol Prevalensi keseluruhan

dari kondisi ini adalah sekitar 2.400 (2 · 4%) per 100.000 penduduk, tetapi pada orang yang

lebih tua dari 55 tahun, prevalensinya meningkat menjadi sekitar 8000 (8%) per 100.000.

Karena angka-angka ini tidak termasuk cedera saraf tepi traumatis, beban total neuropati

perifer pada masyarakat menjadi lebih besar. Meskipun cedera saraf traumatis penting, cedera

tersebut tidak tercakup dalam ulasan ini karena diagnosis dan manajemennya sangat

terspesialisasi. Cakupan komprehensif dari cedera saraf tepi tersedia di tempat lain. Di negara

maju, penyebab paling umum dari neuropati perifer adalah diabetes mellitus. Karena

prevalensi diabetes mellitus yang didiagnosis meningkat pada populasi umum di AS,

prevalensi neuropati perifer diabetik juga diperkirakan meningkat.Meskipun jarang terjadi di

AS dan Eropa, neuritis kusta masih sangat umum di Asia Tenggara, India, Afrika, dan

Amerika Tengah dan Selatan.Dalam istilah global, kusta merupakan penyebab utama

neuropati yang terus berlanjut. Penyebab sistemik umum lainnya dari neuropati perifer

meliputi serangkaian gangguan metabolisme, agen infeksi, vaskulitis, toksin, dan obat-

obatan.(England and Asbury 2004).

Prevalensi neuropati diabetik menjadi 39,6% di Negara Pakistan. Neuropati diabetik

terdiri dari keluarga sindrom neurologis yang mempengaruhi daerah tertentu dari sistem

saraf, terjadi pada diabetes mellitus Tipe 1 dan Tipe 2 dan juga pada diabetes yang didapat.

(Nisar et al. 2015)

Neuropati diabetik (DN) didefinisikan sebagai kerusakan neurologis pada pasien DM,

setelah menyingkirkan penyebab lain. Ini adalah komplikasi kronis paling umum yang
mempengaruhi 30% - 50% pasien diabetes. Neuropati diabetik dapat mempengaruhi sistem

saraf perifer, otonom, dan pusat, sehingga menunjukkan beberapa gejala klinis . Namun,

sekitar 80% kasus Neuropati diabetik bermanifestasi sebagai polineuropati sensorimotor

simetris distal, yang bertanggung jawab untuk kasus nyeri kronis, kualitas tidur yang

terganggu, 15x peningkatan risiko jatuh terkait dengan kelemahan dan ataksia, dan 15-40x

peningkatan risiko amputasi ekstremitas.(Karla et al. 2017).

2.3.3 Faktor Resiko Diabetic Peripheral Neuropathy

Menurut Tanenberg 2009 dalam (Reza 2019) Faktor risiko neuropati diabetik terbagi

menjadi faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi.

Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi untuk komplikasi mikrovaskular dari diabetes

termasuk usia tua, genetik (polimorfisme dari gen aldose reductase), peningkatan durasi

diabetes, dan tinggi badan. Penderita diabetes yang lebih tinggi lebih rentan untuk mengalami

neuropati diabetik karena memiliki saraf perifer yang lebih panjang. Karena laki - laki

umumnya lebih tinggi daripada wanita, maka lebih banyak laki - laki yang mengalami

neuropati diabetik dibandingkan dengan perempuan. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi

untuk neuropati diabetik termasuk hiperglikemia, hipertensi, dislipidemia, merokok, dan

peminum alkohol. Penelitian multisenter yang dilakukan oleh kelompok studi The European

Diabetes Prospective Complications Study melaporkan perkembangan dari neuropati diabetik

sangat berhubungan dengan durasi diabetes dan level dari HbA1c. Faktor risiko potensial

lainnya yang secara statistik signifikan dilaporkan adalah konsentrasi atau jumlah dari

kolesterol total, low density lipoprotein (LDL) kolesterol, dan trigliserida; body mass index;

riwayat merokok; hipertensi; mikroalbuminuria; dan penyakit kardiovaskular. Selain menjaga

kadar glukosa dengan baik, perlu juga dilakukan pemantauan kadar kolesterol dan

menghindari rokok untuk dapat mencegah terjadinya neuropati diabetic.


2.3.4 Klasifikasi Diabetic Peripheral Neuropathy

Neuropati yang berkembang pada penderita diabetes memiliki gejala yang heterogen,

baik pola dari keterlibatan sistem saraf yang terkait, perjalanan penyakit, faktor risiko,

perubahan patologi, dan mekanisme yang mendasarinya (Boulton 2005) dalam (Reza 2019)

membedakan neuropati diabetik menjadi kelompok generalisata, fokal, dan multifokal seperti

yang terlihat pada gambar.

Gamabar 1. Klasifikasi Neuropathy Diabetik

Dikutip dari: Callaghan, B.C., Cheng, H.T., Stables C.L. , Smith, A.L. , and Feldman, E.L.

2012. Diabetic neuropathy: clinical manifestations andcurrent treatments. Lancet Neurol. 11:

521 – 534

1. (Tesfaye et al. 2010a)

Bentuk yang paling umum dari neuropati diabetik kelompok generalisata adalah distal

symmetrical polyneuropathy seperti yang terlihat pada Gambar 1 a. Sedangkan untuk

kelompok fokal dan multifokal yang berhubungan dengan diabetes melitus dapat secara luas

dibagi menjadi neuropati yang berulang, ringan, dimana disebabkan oleh trauma mekanik,

kompresi, atau jebakan dan kemungkinan lainnya terkait dengan proses peradangan dengan
atau tanpa keterlibatan dari proses iskemik. Kelompok atau bentuk neuropati diabetik fokal

antara lain neuropati pada saraf medianus pada pergelangan tangan, neuropati ulnaris pada

daerah siku, dan peroneal neuropati pada daerah lutut. Sedangkan yang termasuk kelompok

neuropati diabetik multifokal adalah mononeuropati seperti neuropati saraf kranialis ketiga,

multiple mononeuropati, neuropati pada radiks atau pleksus baik pada segmen servikal,

torakal, maupun lumbosakral seperti yang terlihat pada gambar 1 b dan c. Kelompok

neuropati diabetik lainnya adalah neuropati otonom dengan gejala dapat berupa disfungsi

ereksi, konstipasi, dan retensio urin seperti yang terlihat pada gambar 1 d(Tesfaye et al.

2010a)

Kelompok generalisata lebih lanjut dapat dibedakan lagi menjadi dua pembagian

utama yaitu neuropati diabetik tipikal dan atipikal. Neuropati diabetik tipikal atau diabetic

sensorimotor polyneuropathy ( DSPN) adalah bentuk kronik, bersifat simteris, dimana

merupakan bentuk yang paling umum dari neuropati diabetic (Tesfaye et al. 2010b) dalam

(Reza 2019) melanjutkan bahwa Penderita dengan DSPN biasanya memiliki satu atau lebih

dari keluhan seperti kesemutan, baal, nyeri atau kelemahan. Keluhan ini mulai dirasakan dari

bagian kaki dan menjalar secara proksimal sepanjang distribusi persarafannya seperti

membentuk kaos kaki dan sarung tangan (maka itu dikenal sebagai distribusi stoking dan

glove. Gejala yang muncul bersifat simetris dengan gejala sensorik yang lebih dominan

daripada gejala motorik. Gejala yang muncul bervariasi dari satu penderita dengan penderita

yang lainnya.

Neuropati atipikal berbeda dari DSPN berdasarkan beberapa hal penting seperti onset,

perjalanan penyakit, manifestasi, hubungan, dan mungkin mekanisme yang mendasarinya.

Hal tersebut bervariasi, berkembang pada setiap waktu selama perjalanan penyakit

diabetesnya. Onset dari gejala dapat bersifat akut, sub akut, atau kronik, tetapi perjalanan

penyakit biasanya monofasik atau berfluktuasi sesuai waktu. Gejala nyeri dan gangguan
otonom merupakan gejala khas dan berhubungan dengan perubahan imunitas.(Tesfaye et al.

2010a).

2.3.5 Patofisiologi Diabetic Peripheral Neuropathy

Hiperglikemia kronis faktor utama dalam patogenesis DN dapat menyebabkan

kerusakan sel .(Karla et al. 2017). Keadaan kekurangan insulin yang terkait dengan DM juga

mendukung perkembangan DN, karena insulin memiliki efek neurotropik yang memengaruhi

pertumbuhan dan kelangsungan hidup neuron.(Karla et al. 2017). Faktor-faktor seperti durasi

DM yang lama, iskemia saraf perifer, variabilitas glikemik, dan kontrol glikemik yang buruk,

terkait dengan risiko DN yang lebih tinggi.(Karla et al. 2017).

Sehubungan dengan DM dampak dari kontrol glikemik intensif yang terisolasi dalam

mencegah DN masih kontroversial, menunjukkan perlindungan hanya 5% - 7% dalam

penelitian terbaru, mungkin karena paparan hiperglikemia yang lebih lama sebelum diagnosis

dan hubungan penting dengan faktor risiko metabolik lainnya, terutama dislipidemia.Faktor

tambahan yang mungkin juga terlibat dalam patogenesis DN adalah dislipidemia, usia,

hipertensi arteri sistemik (SAH), obesitas, dan merokok. (Karla et al. 2017)
Gambar 2. Patogenesis neuropati diabetes.

Dikutip dari BOULTON; PEDROSA, 2013;STEVENS, 2011. Diadaptasi. Legenda: DM =

diabetes melitus; ↑ = meningkatkan; ↓ = mengurangi; USIA = produk akhir glikasi lanjutan;

PKC = protein kinase C; ROS = spesies oksigen reaktif; NO = oksida nitrat; BP = tekanan

darah; BMI = indeks massa tubuh; NCV = kecepatan konduksi saraf; DAG = diasilgliserol.

2.3.6 Diagnosis Diabetic Peripheral Neuropathy

Menurut (Karla et al. 2017) Diagnosis Diabetic Peripheral Neuropathy terbagi

menjadi 2 yaitu:

a. Penilaian Nyeri

Diagnosis Diabetic Peripheral Neuropathy harus didasarkan pada anamnesis yang

cermat dan pemeriksaan neurologis, difokuskan pada deteksi organ tertentu yang terkena

diabetes.Konferensi Akademi Neurologi Amerika tahun 1992 dan Konferensi San Antonio

tentang Neuropati Diabetik yang diadakan pada tahun 1998 merekomendasikan penilaian
setidaknya satu parameter dari lima kategori berikut, untuk mengklasifikasikan DN: Profil

gejala; pemeriksaan neurologis; QST (Pengujian Sensorik Kuantitatif); konduksi saraf, dan

tes fungsi otonom.

QST adalah ukuran persepsi psikofisiologis dalam menanggapi rangsangan eksternal

dengan intensitas terkontrol. Parameter ini mampu mengevaluasi fenomena positif, seperti

alodinia dan hiperalgesia.Alat lain yang berguna dalam skrining neuropati adalah Michigan

Neuropathy Screening Instrument (MNSI), sebuah kuesioner yang terdiri dari 15 item, yang

mengkarakterisasi seseorang dengan skor ≥ 8 sebagai neuropatik.Metode berguna lainnya

dalam evaluasi dan pemantauan nyeri adalah skala analog visual (VAS) dan skala numerik

Likert. Pengurangan 50% - 70% dari tingkat nyeri dianggap sangat baik, karena pereda nyeri

tidak selalu memungkinkan. Penting juga untuk memperhatikan kualitas tidur dan dampak

nyeri pada aktivitas sehari-hari individu.

b. Penilaian Neurologis

Penilaian neurologis harus dilakukan secara bilateral untuk menentukan sensitivitas,

refleks, dan kekuatan otot. Skrining tahunan DN harus dilakukan mulai dari saat diagnosis,

untuk DM, dan setelah 5 tahun untuk kasus DM. Penting untuk dicatat bahwa DN adalah

diagnosis eksklusi dan, oleh karena itu, penyebab perifer lainnya harus disingkirkan.

Monofilamen (SWM) 10 g Semmes-Weinstein direkomendasikan dalam evaluasi sensitivitas

taktil (protopatik), yang memungkinkan penilaian risiko ulserasi. Tes ini berbiaya rendah,

mudah diterapkan, dan memiliki sensitivitas tinggi. Namun demikian, uji SWM normal tidak

mengesampingkan bentuk DN lainnya.

Sensitivitas getaran dapat diuji secara kualitatif dengan garpu tala 128 Hz. Tes ini

dianggap tidak normal ketika persepsi intensitas getaran di tungkai bawah berkurang relatif

terhadap keunggulan lainnya. Ini dibandingkan dengan persepsi waktu penguji sambil

memegang garpu tala . Biothesiometer mengevaluasi secara kuantitatif, dengan mengukur


ambang sensitivitas getaran (VST), risiko ulserasi 7x lebih tinggi ketika VST lebih besar dari

25 volt.Sensitivitas terhadap dingin atau panas dapat dinilai dengan kabel garpu tala itu

sendiri (pemanasan dengan air panas atau pendinginan dengan alkohol atau air dingin) di kaki

pasien dan di sisi punggung kedua halusinasi.

Demikian pula, ketidakmampuan untuk merasakan cedera akibat jarum suntik dan

tidak adanya refleks Achilles dikaitkan dengan peningkatan risiko ulserasi. Evaluasi kekuatan

otot juga sangat penting, meski dinilai pada stadium penyakit yang lebih lanjut. Kekuatan

kelompok peroneal dan tibialis anterior dapat dievaluasi dengan mengamati pasien berjalan,

pertama berjinjit, dan kemudian pada tumit. Meskipun batasan berjalan dengan tumit

menunjukkan sensitivitas rendah, nilai prediksi positif untuk DN tinggi.

Dengan demikian, tidak ada prosedur diagnostik lain yang diperlukan pada pasien

dengan tingkat disfungsi motorik ini. Atrofi otot interoseus kaki, menyebabkan tumpang

tindih kaki (hammertoes) dan pemendekan tendon Achilles (kaki kuda), juga mungkin

merupakan manifestasi DN. Dalam kasus penyakit lanjut, dengan denervasi sensorik dan

proprioseptif kronis, pasien dapat mengembangkan artropati Charcot dengan peningkatan

risiko ulserasi berulang dan akhirnya amputasi.

2.3.7 Tingkat Keparahan Diabetic Peripheral Neuropathy

Menurut (Tesfaye et al. 2010b) Dalam (Reza 2019) Pada pasien yang menderita DM,

tidak cukup hanya dilakukan identifikasi bahwa pasien juga menderita neuropati diabetik,

namun perlu juga ditentukan tingkat keparahan dari neuropati diabetik tersebut. Penilaian

adanya gangguan pada hantaran saraf dapat dijadikan sebagai kriteria minimal untuk

neuropati diabetik, ketika penilaian hantaran saraf tidak dilakukan maka diagnosis pasti dari

neuropati diabetik tidak dapat di tegakkan, karena tingkat keparahan neuropati diabetik

adalah kombinasi dari gejala dan kelainan tes neurofisiologis.


Sebuah pendekatan alternatif dalam menentukan tingkat keparahan neuropati diabetic

yaitu :(Tesfaye et al. 2010b)

1. Stadium 0 : tidak terdapat tanda dan gejala dan KHS normal

2. Stadium 1 : neuropati asimtomatik

1a : tidak terdapat tanda dan gejala, namun KHS atau tes otonom abnormal

1b : kriteria pada 1a + pemeriksaan neurologi abnormal

3. Stadium 2 : neuropati simtomatik

2a : terdapat gejala dan tanda disertai tes abnormal

2b : kriteria pada 2a + kelemahan signifikan dorsofleksi pergelangan kaki

4. Stadium 3 : polineuropati berat

2.3.8 Penatalaksanaan Diabetic Peripheral Neuropathy

Menurut Haslbeck S dkk (2006) dalam (Reza 2019)Pilihan pengobatan untuk

neuropati yang diakibatkan oleh Diabetes melitus tipe 1 atau pun 2 dibagi berdasarkan

manifestasi klinis yang muncul, pilihan terapi tersebut dijelaskan pada tabel dibawah ini.

Tabel 1. Terapi pada Neuropati Diabetik

Tipe Neuropati diabetik Penatalaksanaan


Semua tipe dan stadium ● kontrol diabetes

neuropati diabetic ● kontrol tekanan darah

● Edukasi pasien

● Perubahan gaya hidup


Neuropati diabetiksubklinis ● Profilaksis ulkus kaki dan perawatan kaki
Neuropati dengan nyeri ● Antidepresan (amitriptyline, clomipramine,

kronis imipramine [TCA], duloxetine [SSNRI])

● Antikonvulsan (carbamazepine1, gabapentin1

, pregabalin)

● Opioid (tramadol, oxycodone)


● Fisioterapi
Neuropati dengan nyeri ● analgetik

akut ● Pengobatan lanjutan (menggunakan obat

nyeri kronis)
Neuropati dengan ● Perawatan kaki

penurunan sensasi nyeri ● Profilaksis untuk lesi kaki

● Fisioterapi
Diabetic amyotrophy ● Rujukan ke spesialis saraf untuk diagnosis

pasti

● Fisioterapi

● Terapi lanjutan (lihat neuropati dengan nyeri

akut)
Komplikasi jangka panjang Rujuk ke bagian Spesialis Saraf, Ortopedi dan

Internis untuk terapi jangka panjang

2.4 Kerangka Konsep

Penderita Diabetes Meliitus kerangka konsep merupakan bagian penelitian yang

menyajikan konsep atau teori dalam bentuk kerangka konsep penelitian. Pembuatan kerangka

konsep penelitian mengacu pada masalah-masalah yang akan diteliti atau berhubungan

dengan penelitian dan dibuat dalam bentuk diagram (Hidayat, 2010). Kerangka konseptual

penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:


Faktor yang mempengaruhi gaya hidup

Menurut farhud 2019:

1. Diet dan Indeks Massa Tubuh (BMI)

2. Olahraga

3. Tidur

4. Perilaku seksual

5. Penyalahgunaan zat

6. Penyalahgunaan obat

7. Penerapan teknologi modern

8. Rekreasi

9. Belajar

2.5 Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah dalam penelitian

(Notoatmodjo, 2010).

Ha : ada hubungan antara gaya hidup dengan Tingkat keparahan Diabetic Peripheral

Neuropathy.

Anda mungkin juga menyukai