Anda di halaman 1dari 54

Clinical Science Session

Cedera Kepala

Disusun Oleh :

Amira Risandry Catri 1940312160


Muhammad Arief 1940312011
Nurul Gina Fadlillah 1940312115

Preseptor:
dr. H. Syaiful Saanin, Sp.BS

BAGIAN ILMU BEDAH

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS


2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga referat dengan judul “Cedera
Kepala” ini dapat penulis selesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Referat ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis mengenai
cedera kepala serta menjadi salah satu syarat dalam menyelesaikan Siklus Ilmu
Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
pembuatan referat ini, khususnya dr. H. Syaiful Saanin sebagai preseptor yang telah
bersedia meluangkan waktu, memberikan arahan, dan bimbingan.
Dengan demikian, penulis berharap referat ini dapat menambah wawasan
dan pengetahuan serta meningkatkan pemahaman dalam bidang ilmu bedah.

Padang, 7 Desember 2020

Penulis

i
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI Iii
BAB I. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan Penulisan 2
1.3 Batasan Penulisan 2
1.4 Metode Penulisan 2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Anatomi Kepala 3
2.2 Fisiologi 9
2.3 Cedera Kepala 12
2.3.1 Definisi 12
2.3.2 Epidemiologi 12
2.3.3 Etiologi 13
2.3.4 Klasifikasi 14
2.3.5 Patogenesis dan Patofisiologi 19
2.3.6 Manifestasi Klinis 21
2.3.6 Tatalaksana awal dan evlauasi 21
2.3.7 Diagnosis 22
2.3.8 Tatalaksana 32
2.1.9 Komplikasi 45
2.1.10 Prognosis 47
BAB 3. PENUTUP 49
DAFTAR PUSTAKA 50

ii
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Berdasarkan National Institute for Health and Care Excellence (NICE)
cedera kepala didefinisikan sebagai cedera yang terjadi di bagian kepala selain dari
cedera superfisial pada wajah. Cedera kepala adalah penyebab kematian dan
kecacatan yang tersering pada orang berusia 1 – 40 tahun di Inggris. Setiap tahun,
sekitar 1.4 juta pasien datang ke Unit Gawat Darurat (UGD) di Inggris dan Wales
dengan cedera kepala. Sekitar 33% pasien adalah anak berusia kurang dari 15 tahun.
Setiap tahun, sekitar 200.000 pasien dirawat di rumah sakit dengan cedera kepala
dan seperlima dari pasien tersebut mengalami patah tulang tengkorak atau terdapat
tanda kerusakan otak.1
Sebuah penelitian yang dilakukan di Selandia Baru dan Amerika Serikat
memperkirakan adanya 500 – 800 kasus baru cedera kepala per 100.000 orang
setiap tahunnya. Hasil lainnya yang didapatkan pada penelitian tersebut adalah
sekitar 64 hingga 74 juta kasus baru cedera kepala ditemukan di dunia setiap
tahunnya. Angka kejadian tertinggi didapatkan di region Amerika-Kanada dan
Eropa.2
Data epidemiologi di Indonesia terkait cedera kepala hingga saat ini masih
belum tersedia. Namun, pada salah satu penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit
Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar didapatkan angka kejadian cedera kepala
mengalami peningkatan dari tahun 2005 berjumlah 861 kasus hingga tahun 2007
menjadi 1.078 kasus.3 95% pasien yang mengalami cedera kepala datang dengan
tingkat kesadaran normal atau gangguan minimal, tetapi sebagian besar pasien yang
fatal datang dengan tingkat kesadaran sedang (GCS 9 – 12) atau parah dengan GCS
8 atau kurang sekitar 5%.1
Kejadian cedera kepala sering dikaitkan dengan kecelakaan lalu lintas.
Dengan menggunakan data dari registrasi nasional, studi populasi berdasarkan
literatur, dan model statistic Global Burden of Disease (GBD) pada tahun 2015
menemukan adanya kaitan era tantara kecelakaan lalu lintas dan kejadian cedera
kepala di seluruh dunia. Seiring dengan perkembangan zaman, mobilitas manusia
semakin meningkat untuk melakukan perjalanan sehingga kemungkinan terjadinya

1
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
kecelakaan semakin tinggi yang akhirnya berdampak untuk meningkatkan kejadian
cedera kepala.2,3
Fokus utama dalam penanganan pasien dengan cedera kepala, terutama
cedera kepala berat adalah mencegah terjadinya cedera otak sekunder. Langkah
yang paling penting untuk mencegah hal tersebut adalah pemberian oksigen yang
adekuat dan mempertahankan tekanan darah sehingga perfusi otak tercukupi dan
diharapkan dapat meningkatkan kemungkinan sembuh pada pasien.4
Untuk dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh
cedera kepala, sangat penting bagi dokter untuk dapat memahami penanganan awal
yang dapat diberikan sesuai dengan fasilitas yang dimiliki atau melakukan
persiapan sebelum melakukan rujukan. Selain itu, melakukan konsultasi dengan
ahli bedah saraf sedini mungkin akan sangat membantu, terutama pada pasien yang
mengalami koma atau pasien cedera kepala dengan perdarahan intracranial.4

1.2. Tujuan Penulisan


Penulisan referat ini bertujuan untuk memahami serta menambah
pengetahuan mengenai cedera kepala.

1.3. Batasan Penulisan


Referat ini membahas dan terbatas mengenai cedera kepala.

1.4. Metode Penulisan


Penulisan referat ini menggunakan berbagai literatur sebagai sumber
kepustakaan.

2
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Kepala


A. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari beberapa lapisan yaitu kulit (Skin), jaringan
penyambung (Connective tissue), jaringan ikat yang berhubungan langsung
dengan tengkorak (Aponeuris atau galea aponeurotika), jaringan penunjang
longgar dengan perikranuim (Loose areolar) yaitu jaringan penunjang
longgar yang memisahkan galea aponeurotika dari perikranium. Lima
lapisan ini dikenal dengan sebutan SCALP.5

Gambar 2.1 Lapisan kulit kepala

Laserasi pada SCALP dapat menyebabkan kehilangan darah yang berat,


syok hemoragik, dan kematian. Hal ini dikarenakan SCALP banyak
mengandung pembuluh darah. Pasien yang ditranspor dengan waktu lama,
sangat berisiko untuk mengalami komplikasi ini.6

B. Tulang Tengkorak
Tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal, dan
oksipital. Kalvaria di regio temporal cukup tipis tetapi dilapisi oleh otot

3
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata, sehingga dapat melukai bagian
dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas tiga fosa yaitu fosa anterior tempat lobus
frontalis, fosa media tempat temporalis, dan fosa posterior ruang bagian
bawah batang otak dan serebelum.5
Dasar tulang tengkorak berbentuk ireguler dan permukaannya dapat
menyebabkan cedera ketika otak bergerak dalam tulang tengkorak selama
akselerasi dan deselerasi yang terjadi saat peristiwa traumatik. Fosa anterior
lobus frontalis, fosa media lobus temporal, dan fosa posterior yang terdapat
serebelum serta batang otak bagian bawah.6

Gambar 2.2 Anatomi kranial

C. Meninges
Meninges melapisi otak dan terdiri dari tiga lapisan yaitu dura mater,
arachnoid mater, dan pia mater. Dura mater bersifat keras, membran fibrosa
yang melekat pada lapisan dalam tulang tengkorak. Pada tempat tertentu,
dura mater membelah menjadi dua dan terdapat sinus venosus, yang
menyuplai drainase vena mayor dari otak. Sinus sagital superior midline
drains ke sinus transversus bilateral dan sinus sigmoid yang biasanya lebih
besar pada sisi kanan. Laserasi sinus venosus dapat menyebabkan
perdarahan masif.6
Arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan internal
tulang tengkorak pada ruang epidural. Fraktur tengkorak dapat
menyebabkan laserasi arteri dan menyebabkan terjadinya epidural

4
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
hematom. Kerusakan pembuluh darah meningeal terbanyak terjadi pada
arteri meningea media yang terletak di sekitar fosa temporal. Hematoma dari
kerusakan arteri pada lokasi ini dapat menyebabkan deteriorasi yang cepat
dan kematian. Epidural hematom juga dapat terjadi akibat cedera sinus dural
dan dari fraktur tengkorak yang menyebar secara lambat sehingga
menyebabkan tekanan yang lebih sedikit pada otak. Kebanyakan epidural
hematom merupakan gawat darurat yang mengancam nyawa yang harus
dievaluasi oleh ahli bedah sesegera mungkin.6
Di bawha dura mater terdapat lapisan meningeal kedua yaitu arachnoid
mater yang tipis dan transparan. Dura mater tidak melekat ke membran
arachnoid di bawahnya, sehingga terdapat suatu ruang potensial antara
kedua lapisan yaitu ruang subdural dan dapat terjadi perdarahan pada lokasi
tersebut. Pada cedera otak, bridging veins yang melewati permukaan otak
ke sinus venosus di dalam dura mater dapat robek sehingga menyebabkan
terbentuknya hematoma subdural.6
Lapisan ketiga yaitu pia mater melekat pada permukaan otak. Cairan
serebrospinal mengisi ruang antara arachnoid mater yang tahan air dan pia
mater (ruang subarachnoid, sebagai bantalan otak dan spinal cord.
Perdarahan pada ruang berisi cairan ini atau perdarahan subarachnoid
biasanya akan diikuti dengan kontusio otak dan cedera pada pembuluh darah
besar pada otak.6

Gambar 2.3 Lapisan meninges

5
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
D. Otak
Otak terdiri dari serebrum, batang otak, dan serebellum. Serebrum
terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falx serebri.
Hemisfer kiri mengatur kemampuan bahasa pada individu dominan tangan
kanan dan lebih dari 85% pada individu yang dominan tangan kiri. Lobus
frontal mengontrol fungsi eksekutif, emosi, fungsi motoric, dan pada sisi
dominan, ekspresi speech (area motor speech). Lobus parietal meneruskan
fungsi sensoris dan orientasi spasial, lobus temporal meregulasi fungsi
memori tertentu, dan lobus oksipital bertanggungjawab terhadap
penglihatan.6
Batang otak terdiri dari midbrain, pons, dan medulla. Pada midbrain
dan pons bagian atas terdapat reticular activating system yang
bertanggungjawab terhadap kesadaran. Pusat vital kardiorespirasi terdapat
pada medulla yang terhubung dengan spinal cord. Lesi kecil pada batang
otak dapat berhubungan dengan defisit neurologis berat.6
Serebellum mengatur fungsi koordinasi dan keseimbangan, terproyeksi
posterior pada fosa posterior dan berhubungan dengan spinal cor, batang
otak, dan hemisfer serebri.6

E. Sistem Ventrikular
Ventrikel merupakan suatu sistem yang merupakan ruang yang berisi
cairan serebrospinal dan akuaduktus dalam otak. Cairan serebrospinal
diproduksi secara konstan di dalam ventrikel dan diabsorbsi oleh permukaan
otak. Terdapatnya darah pada cairan serebrospinal dapat mengganggu
proses reabsorpsi sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.
Edema dan lesi massa seperti hematoma dapat menyebabkan pergeseran
sistem ventrikel dan dapat diidentifikasi dengan CT scan.6

F. Kompartemen Intrakranial
Partisi meningeal membagi otak menjadi beberapa bagian. Tentorium
serebelli membagi kavitas intracranial menjadi kompartemen supratentorial
(terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan kompartemen

6
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
infratentorial (berisi fosa kranii posterior). Midbrain lewat melalui suatu
bukaan yang disebut hiatus tentorial atau notch. Nervus oculomotor (N. III)
berjalan melalui tepi tentorium dan dapat terkompresi ketika terjadi herniasi
lobus temporal. Fiber parasimpatik yang berfungsi untuk konstriksi pupil
terletak pada permukaan N. III, kompresi pada permukaan fiber selama
herniasi menyebabkan dilatasi pupil karena aktivitas simpatik yang
berlawanan, sering disebut blown pupil.6
Bagian otak yang biasanya mengalami herniasi melalui notch tentorial
adalah bagian medial lobus temporal yang dikenal dengan unkus. Herniasi
unkal juga menyebabkan kompresi traktus kortikospinal (pyramidal) pada
midbrain. Traktus motoris lewat pada sisi berlawanan pada foramen
magnum, sehingga kompresi pada tingkat midbrain menyebabkan
kelemahan pada sisi tubuh yang berlawanan (kotralateral hemiparesis).
Dilatasi pupil ipsilateral berhubungan dengan hemiparesis kontralateral
merupakan tanda klasik herniasi unkal. Perdorongan massa lesi pada sisi
berlawanan dengan midbrain terhadap tepi tentorial menyebabkan
hemiparesis dan dilatasi pupil pada sisi yang sama dengan hematom.6

G. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri karotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan
membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak memiliki jaringan otot di
dalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak memiliki katup. Vena tersebut
keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus kranialis.7

7
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Gambar 2.4 Vaskularisasi otak

H. Cairan Serebrospinal (CSS)


Cairan serebrospinal atau CSS dihasilkan oleh pleksus khoroideus
dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari
ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari
akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam
sirkulasi vena melalui granulasio arachnoid yang terdapat pada sinus
sagitalis superios. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio
arachnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan
kenaikan tekanan intrakranial (TIK). Angka rata-rata pada kelompok
populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml
CSS per hari.8

2.2. Fisiologi
Konsep fisiologi yang berhubungan dengan cedera kepala termasuk tekanan
intrakranial (TIK), doktrin Monro-Kellie, dan aliran darah serebral.6
A. Tekanan Intrakranial (TIK)
Peningkatan TIK dapat menurunkan perfusi serebral dan menyebabkan
atau mengeksaserbasi iskemik. TIK normal pada pasien dalam keadaan

8
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
istirahat sekitar 10 mmHg. Tekanan yang lebih dari 22 mmHg terutama jika
menetap atau refrakter terhadap pengobatan, berhubungan dengan outcome
yang buruk.6

B. Doktrin Monro-Kellie
Doktrin Monro-Kellie merupakan konsep yang sederhana, vital dalam
menjelaskan dinamika intrakranial. Doktrin menyebutkan bahwa volume
total intrakranial harus konstan, karena kranium adalah container rigid yang
tidak dapat mengembang. Ketika volume intrakranial berlebihan, TIK akan
meningkat. Darah vena dan CSS dapat dikompres dari container sebagai
buffer tekanan. Sehingga, segera setelah cedera, suatu massa seperti bekuan
darah dapat membesar sementara TIK tetap normal. Akan tetapi, jika limit
displacement CSS dan darah intravaskular telah tercapai, TIK akan
meningkat secara cepat.6
Konsep utama volume intrakranial adalah selalu konstan karena sifat
dasar dari tulang tengkorak yang tidak elastis. Volume intrakranial (Vic)
adalah sama dengan njumlah total volume komponen-komponennya yaitu
volume jaringan otak (Vbr), volume cairan serebrospinal (Vcsf), dan
volume darah (Vbl).4

Vic = Vbr + Vcsf + Vbl

9
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Gambar 2.5 Doktrin Monro-Kellie dalam kompensasi intrakranial terhadap
massa

C. Tekanan Perfusi Otak (TPO)


Tekanan perfusi otak merupakan selisih antara tekanan arteri rata-rata
(mean arterial pressure) dengan tekanan intrakranial. Apabila nilai TPO
kurang dari 70 mmHg akan memberikan prognosa yang buruk bagi
penderita.5

D. Aliran Darah Otak (ADO)


Traumatic Brain Injury (TBI) berat yang dapat mengakibatkan koma
ditandai dengan menurunnya aliran darah serebral selama beberapa jam
pertama setelah trauma. Aliran darah serebral biasanya meningkat setelah
dua sampai tiga hari berikutnya, tetapi pada pasien yang tetap koma, aliran
darah serebral berada di bawah normal selama beberapa hari atau minggu
setelah trauma. Terdapat bukti nyata bahwa level aliran darah serebral
rendah tidak memenuhi kebutuhan metabolic otak segera setelah trauma.
Iskemia serebral regional, bahkan global biasa terjadi setelah cedera kepala
berat untuk alasan yang diketahui dan tidak tentu.6

10
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Vaskularisasi serebral prekapiler biasanya dapat berkontribusi atau
dilatasi sebagai respon terhadap perubahan mean arterial pressure (MAP).
Untuk kepentingan klinis, tekanan perfusi serebral (CPP) didefinisikan
sebagai CPP = MAP – ICP. Nilai MAP 50-150 mmHg merupakan
autoregulasi untuk mempertahankan aliran darah serebral yang konstan
(autoregulasi tekanan). TBI berat dapat memengaruhi autoregulasi tekanan
sampai titik dimana otak tidak dapat melakukan kompensasi lagi secara
adekuat untuk perubahan CPP. Pada keadaan ini, jika MAP terlalu rendah
maka dapat terjadi iskemia dan infark. Jika MAP terlalu tinggi, dapat terjadi
edema otak dengan peningkatan TIK.6
Aliran darah serebral juga berkonstriksi atau dilatasi dalam merespon
perubahan tekanan parsial oksigen (PaO2) dan tekanan parsial
karbondioksida (PaCO2) darah (regulasi kimia). Dengan demikian, cedera
sekunder dapat terjadi dari hipotensi, hipoksia, hiperkapnia, dan hipokapnia
iatrogenik.6
Usaha untuk mempertahankan perfusi serebral dan aliran darah dengan
menurunkan peningkatan TIK, mempertahankan volume intravaskular
normal dan MAP, dan mengembalikan oksigenasi normal dan ventilasi.
Hematom dan lesi lain yang meningkatkan volume intrakranial harus
dievakuasi secepatnya. Mempertahankan tekanan perfusi serebral normal
dapat memperbaiki aliran darah serebral; bagaimanapun tekanan perfusi
serebral tidak sama dengan atau aliran darah serebral yang adekuat. Ketika
mekanisme kompensasi exhausted dan TIK meningkat secara eksponensial,
perfusi otak menurun.6
ADOA normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak per menit. Bila ADO
menurun sampai 2-25 ml/100 gr/menit maka aktivitas EEG akan
menghilang. Apabila ADO sebesar 5 ml/100 gr/ menit maka sel-sel otak
akan mengalami kematian dan kerusakan yang menetap.5

11
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Gambar 2.6 Kurva volume - tekanan

2.3. Cedera Kepala


2.3.1 Definisi
Cedera kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung
ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu
gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.9

2.3.2 Epidemiologi
Cedera kepala sangat sering dijumpai. Di Amerika setiap tahunnya kejadian
cedera kepala diperkirakan mencapai 500.000 kasus. 10 % dari penderita cedera
kepala meninggal sebelum datang ke Rumah sakit. Lebih dari 100.000 penderita
menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala. Data-data yang didapat
di USA dan mancanegara, dimana kecelakaan terjadi hampir 15 menit. Sekitar 60%
diantaranya bersifat fatal akibat adanya cedera kepala. Data menunjukkan cedera
kepala masih merupakan penyebab utama kesakitan dan kecacatan pada usia <35
tahun. Dari seluruh kasus cedera kepala, hanya 3-5% saja yang memerlukan
tindakan operasi.9
Data-data yang didapat di Indonesia terjadi 55.498 kecelakaan lalu lintas
dimana setiap harinya meninggal sebanyak 34 orang dan 80% penyebabnya adalah
cedera kepala. Data-data yang didapat dari RSCM, terjadi 96% trauma kapitis yang

12
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
disebabkan oleh kecelakaan lalu-lintas, dimana 76% dari padanya terjadi pada usia
muda ± 25 tahun. Dari seluruh kasus cedera kepala, sebanyak 84% hanya
memerlukan tindakan konservatif. Sekitar 28% saja penderita cedera kepala yang
menjalani pemeriksaan CT Scan.10
Kontribusi paling banyak terhadap cedera kepala serius adalah kecelakaan
sepeda motor, dan sebagian besar diantaranya tidak menggunakan helm atau
menggunakan helm yang tidak memadai (>85%). Dalam hal ini yang dimaksud
dengan tidak memadai adalah helm yang terlalu tipis dan penggunaan helm tanpa
ikatan yang memadai, sehingga saat penderita terjatuh, helm sudah terlepas sebelum
kepala membentur lantai.10,11

2.3.3 Etiologi
Sebagian besar pasien cedera kepala disebabkan oleh kecelakaan lalu-lintas,
berupa tabrakan sepeda motor, mobil, sepeda dan penyebrang jalan yang ditabrak.
Sisanya disebabkan oleh jatuh dari ketinggian, tertimpa benda (misalnya ranting
pohon, kayu), olahraga, korban kekerasan baik benda tumpul ataupun tajam,
kecelakaan kerja, kecelakaan rumah tangga, kecelakaan olahraga, trauma tembak,
dan lain sebagaiannya.11
Penyebab cedera kepala dibagi menjadi cedera primer yaitu cedera yang
terjadi akibat benturan langsung maupun tidak langsung dan cedera sekunder yaitu
cedera yang terjadi akibat cedera saraf melalui akson meluas, hipertensi
intrakranial, hipoksia, hiperkapnea/hipotensi sistemik. Cedera sekunder merupakan
cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap
lanjutan dari kerusakan otak primer yaitu perdarahan, edema otak, kerusakan
neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan
neurokimiawi.
Berdasarkan Advanced Trauma Life Support (ATLS) klasifikasi
berdasarkan mekanisme, cedera kepala dibagi menjadi12 :
ü Cedera kepala tumpul biasanya disebabkan oleh kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh atapun terkena pukulan benda tumpul.
ü Cedera kepala tembus biasanya disebabkan oleh luka tusukan, atau luka
tembak.

13
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Adapun mekanisme cedera kepala juga dapat dibagi menjadi :
1.Secara statis (Static Loading)
Beban statik timbul perlahan-lahan, dalam hal ini tenaga tekanan mengenai
kepala secara bertahap. Walaupun mekanisme ini tidak lazim, namun hal ini bisa
terjadi jika kepala mengalami gencatan atau efek tekanan yang lambat
berlangsung >20 milisekon. Jika kekuatan tenaga tersebut cukup besar dapat
mengakibatkan keretakan tulang (egg-shell fracture), fraktur multipel atau
komunutif dari tengkorak atau dasar tulang tengkorak. Biasanya gangguan
kesadaran atau defisit neurologis yang khas akibat mekanisme jenis ini masih tidak
ada, kecuali bila deformitas tengkorak demikian hebatnya ehingga menimbulkan
kompresi dan distorsi jaringan otak.13
2.Secara dinamik (Dynamic Loading)
Mekanisme cedera kepala yang lebih umum terjadi adalah akibat beban
dinamik, dimana peristiwa tersebut berlangsung dalam waktu yang lebih singkat
(<20 milisekon). Durasi pembebanan yang terjadi merupakan salah satu faktor
penting dalam menentukan jenis trauma kepala yang terjadi. Beban dinamik ini
dibagi menjadi 2 jenis yaitu beban guncangan (impulsive loading) dan beban
benturan (impact loading).13
ü Beban guncangan terjadi jika kepala mengalami kombinasi antara akselerasi-
deselerasi secara mendadak, kepala yang diam secara tiba- tiba digeakkan
secara mendadak atau sebaliknya, ika kepala yang sedang bergerak tiba-tiba
dihentikan tanpa mengalami suatu benturan.
ü Beban benturan merupakan jenis beban dinamik yang lebih sering terjadi dan
biasanya merupakan kombinasi kekuatan beban kontak dan kekuatan beban
lanjut. Respon kepala terhadap beban-beban ini tergantung dari objek yang
membentur kepala.13

2.3.4 Klasifikasi
Cedera kepala diklasifikasikan menjadi beberapa cara. Untuk kepentingan
klinis, severitas cedera dan morfologi biasanya digunakan sebagai klasifikasi.14
a. Berdasarkan Beratnya Cedera Kepala

14
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Skor Glasgow coma scale (GCS) digunakan sebagai patokan klinis yang objektif
dalam menilai severitas cedera otak. Skor GCS 8 atau kurang biasanya
didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat. Pasien cedera otak dengan
skor GCS 9 hingga 12 dikategorikan sebagai cedera sedang, dan individu dengan
skor GCS 13-15 dikatakan cedera otak ringan. Dalam menilai skor GCS, ketika
terdapat asimetri ekstremitas kanan/kiri bawah atau atas, pastikan respon motor
terbaik untuk menghitung skor, karena skor ini merupakan prediktor terbaik
dalam menilai outcome. Akan tetapi, respon kedua sisi tubuh, wajah, lengan, dan
kaki tetap harus dicatat.14
b.Berdasarkan Lokasi Lesi
1.Lesi Difus
Cedera kepala ini disebut dengan istilah difus karena secara makroskopik tidak
ditemukan adanya lesi yang dapat menimbulkan gangguan fungsi neurologic
mesikupun kenyataannya pasien mengalami amnesia atau penurunan kesadaran
bahkan sampai koma. Penurunan kesadaran dan/atau kelainan neurologic
tersebut bukan disebabkan karena penekanan ataupun distorsi batang otak oleh
massa yang mendesak, tetapi lebih banyak disebabkan oleh kerusakan langsung
pada batang otak atau jaringan serebrum. Pemeriksaan patologis telah
membuktikan adanya kerusakan pada sejumlah besar akson mulai dari derajat
yang ringan berupa regangan sampai derajat yang lebih berat berupa
disrupsi/putusnya akson. Manifestasi klinisnya umumnya bergantung pada
banyak sedikitnya akson yang mengalami kerusakan. Pada keadaan yang berat
proses akselerasi dan deselerasi juga menyebabkan kerusakan jaringan
pembuluh darah sehingga pada CT Scan sering tampak gambaran bercak-bercak
perdarahan di substansia alba mulai dari subkorteks, korpus kallosum sampai ke
batang otak, serta edema di daerah yang mengalami kerusakan. Jadi pada CT
Scan hanya terlihat kerusakan yang seringkali menyertai kerusakan difus pada
akson yang berupa bercak-bercak perdarahan yang lebih dikenal dengan istilah
tissuse tear hemorrages.15 Manifestasi klinis bergantung dari berat ringan cedera
otak difus, yaitu sebagai berikut :
- Cedera Akson Difus (Diffuse Axonal Injury = dai)

15
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Keadaan ini ditandai dengan adanya koma yang berlangsung lebih dari 6 jam.
Pemeriksaan radiologis tidak menunjukkan adanya lesi fokal baik berupa massa
maupun daerah yang iskemik. Gambaran klinis DAI ditandai dengan koma sejak
kejadian, suatu keadaan dimana pasien secara total tidak sadar terhadap dirinya
dan sekelilingnya, serta tidak mampu memberi reaksi yang berarti terhadap
rangsangan dari luar. Koma disini disebabkan oleh karena kerusakan langsung
dari akson sehingga dipakai istilah cedera akson difus. Untuk kepentingan klinis
dan penentuan prognosis DAI dibagi menjadi :
1. DAI Ringan. Koma berlangsung selama 6-24 jam. Bisa disertai defisit
neurologik dan kognitif yag berlangsung cukup lama sampai permanen. Jenis
ini relatif jarang ditemukan.
2. DAI Sedang. Koma berlangsung >24 jam tanpa disertai gangguan fungsi
batang otak. Jenis ini banyak ditemui, terdapat pada 45% dari smeua kasus
DAI. Dengan terapi agresif angka kematiannya adalah 20%.
3. DAI Berat. Koma berlangsung >24 jam dan disertai disfungsi batang otak
tanpa adanya proses desak ruang yang berarti. Angka kematiannya mencapai
57% dan menyebabkan cacat neurologis yang berat.16
- Cedera Vaskular Difus (Diffuse Vaskular Injury = DVI)
Ditandai dengan perdarahan kecil yang menyebar pada seluruh hemisfer,
khususnya substansia alba daerah lobus frontal, temporal, dan batang otak.
Biasanya pasien segera meninggal dalam beberapa menit.15
2. Lesi Fokal
- Epidural Hematoma atau hematoma ekstradural
Epidural hematom jarang terjadi, berkisar 0,5% pada pasien dengan cedera otak
dan 9% pada pasien dengan traumatic brain injury yang mengalami komatus.
Hematoma ini berbentuk tipikal bikonveks atau lentikuler karena pendorongan
dura dari tulang tengkorak. Hematom in biasanya terletak pada regio temporal
atau temporoparietal dan sering disebabkan robeknya arteri meningea media
karena fraktur. Gumpalan ini secara klasik berasal dari arteri, akan tetapi, dapat
juga terbentuk karena disrupsi sinus venosus mayor atau perdarahan fraktur
tengkorak. Presentasi klasik epidural hematom adalah adanya lucid interval
antara waktu terjadinya cedera dan defisit neurologis.10

16
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
- Subdural Hematom
Subdural hematom lebih sering terjadi dibanding epidural hematom, angka
kejadian mencapai 30% pada pasien dengan cedera otak berat. SDH berasal dari
shearing kecil pada permukaan atau pembuluh darah bridging korteks serebri.
Berlawanan dengan bentuk lentikuler epidural hematom pada CT scan, subdural
hematom sering tampak mengikuti kontur otak. Kerusakan akibat subdural
hematom akut biasanya jauh lebih berat daripada epidural hematom karena
adanya cedera parenkim konkomitan.14
-Hematoma subarachnoid
Paling sering ditemukan pada cedera kepala, umumnya menyertai lesi lain.
Perdarahan terletak diantara arachnoid dan piamater serta mengisi ruang
subarachnoid.13,15
-Hematoma intraserebral
Hematoma intraserebral merupakan hematoma yang terbentuk pada jaringan
otak (parenkim) akibat robekan pembuluh darah. Terutama melibatkan lobus
frontal dan temporal (80-90%), tetapi dapat juga melibatkan korpus kallosum,
batang otak dan ganglia basalis.13,15
-Hematoma intraserebellar
Hematoma intraserebellar merupakan perdarahan yang terjadi pada serebellum.
Lesi ini jarang terjadi pada trauma, umumnya merupakan perdarahan
spontan.13,15
c.Berdasarkan saat terjadinya
Lesi yang dapat timbul pada cedera kepala terdiri atas 2 jenis, yaitu lesi primer
dan lesi sekunder.
1.Lesi primer
Lesi primer timbul langsung pada saat terjadinya trauma, bisa bersifat lokal
maupun difus.
- Lesi lokal berupa robekan pada kulit kepala, otot-otot, dapat terjadi perdarahan
subgaleal maupun fraktur tulang tengkorak, serta kontusio jaringan otak.
- Lesi difus merupakan cedera aksonal difus dan kerusakan mikrovaskular
difus.+
2. Lesi sekunder

17
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Lesi sekunder timbul beberapa saat setelah terjadi trauma, menyusul kerusakan
primer. Umumnya disebabkan oleh keadaan iskemi-hipoksia, edema serebri,
vasodilatasi, perdarahan subdural, perdarahan epidural, perdarahan
subarachnoid, perdarahan intraserebral, dan infeksi.15
d. Berdasarkan Patologi
1.Komosio serebri/cedera kepala ringan
Cedera Kepala Ringan (CKR) adalah klasifikasi berdasarkan pemeriksaan klinis,
sedangkan komosio serebri adalah klasifikasi berdasarkan patologi. CKR
dianologikan sama dengan komosio serebri.klasifikasi CKR lebih umum dipakai
karena memiliki keuntungan yaitu :
ü GCS berguna untuk menilai berat-ringannya cedera dan dapat dipakai
sebagai monitoringkondisi pasien.
ü Menilai scanning otak sehingga akurasi adanya kerusakan otak
lebihtinggi.13,15
2.Kontusio serebri
Kontusio serebri merupakan kerusakan jaringan otak tanpa disertai robeknya
piamater. Kerusakan tersebut berupa gabungan antara daerah perdarahan,
nekrosis otak dan infark. Terutama melibatkan puncak-puncak gyrus karena
bagian ini akan bergesekan dengan penonjolan dan lekukan tulang saat terjadi
benturan. Terdapat perdarahan kecil disertai edema pada parenkim otak. Dapat
timbul perubhana patologi pada tempat cedera (coup) atau ditempat yang
berlawanan dari cedera (countre-coup).13,15
Lesi kontusio bersifat progresif oleh karena perdarahan yang terus berlangsung,
iskemik-nekrosis dan diikuti oleh edema vasogenik. Selanjutnya lesi akan
mengalami reabsorbsi terhadap eritrosit yang lisis (48 - 72) jam, disusul dengan
infiltrasi makrofag (24 jam sampai beberapa minggu) dan gliosis aktif yang terus
berlangsung secara progresif (mulai dari 48 jam). Secara makroskopik terlihat
sebagai lesi kistik kecokelatan.5,7 Gejala yang timbul bergantung pada ukuran
dan lokasi kontusio. Jika melibatkan lobus frontal dan temporal bilateral, disebut
cedera tetrapolar, memberikan gejala TTIK (Tekanan Tinggi Intra Kranial),
tanpa pergeseran garis tengaj (midline shift), dan disertai koma atau penuruna
kesadaran yang progresif. Gambaran CT Scan berupa daerah kecil hiperdens

18
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
yang dikelilingi oleh daerah hipodens karena edema dan jaringan otak yang
nekrosis.13,15
3.Laserasio serebri
Laserasio serebri merupakan kerusakan jaringan otak disertai dengan robeknya
piamater. Laserasi biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan subarachnoid
traumatika, subdural akut, dan intraserebral. Laserasio dapat dibedakan atas
laserasio langsung dan tidak langsung. Laserasio langsung disebabkan oleh luka
tembus kepala yang disebabkan oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur
terutama pada fraktur depressed terbuka, sedangkan laserasio tidak langsung
disebabkan oleh deformasi jaringan yang hebat akibat dari kekuatan
mekanis.13,15

2.3.5 Patogenesis-Patofisiologi

Gambar 2.7 Akselerasi-Deselerasi

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung
kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi deselerasi gerakan
kepala. Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan
contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang
tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan
dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi -

19
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar
saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan
otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari
muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari
benturan (contrecoup). Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat
berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak
primer yaitu berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan,
iskemia, peningkatan tekanan intracranial dan perubahan neurokimiawi.15
Trauma pada kepala dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan otak
langsung (primer) yang disebabkan oleh efek mekanik dari luar. Perluasan
kerusakan dari jaringan otak (sekunder) disebabkan oleh berbagai faktor seperti :
kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak, gangguan metabolisme
otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotransmitter, eritrosit,
opioid endogen, reaksi inflamasi dan radikal bebas. Kulit kepala dan tengkorak
merupakan unsur pelindung bagi jaringan otak terhadap benturan pada kepala. Bila
terjadi benturan, sebagian tenaga benturan akan diserap atau dikurangi oleh unsur
pelindung tersebut. Sebagian tenaga benturan dihantarkan ke tengkorak yang
relative memiliki elastisitas, yakni tengkorak mampu sedikit melekuk kea rah
dalam. Tekanan maksimal terjadi pada saat benturan dan beberapa milidetik
kemudian diikuti dengan getaran-getaram yang berangsur mengecil hingga reda.
Pukulan yang lebih kuat akan menyebabkan terjadinya deformitas tengkorak
dengan lekukan yang sesuai dengan arah datangnya benturan dimana besarnya
lekukan sesuai dengan sudut datangnya arah benturan. Bila lekukan melebihi batas
toleransi jaringan tengkorak, tengkorak akan mengalami fraktur. Fraktur tengkorak
dapat berbentuk sebagai garis lurus, impresi/depresi, diastase sutura atau fraktur
multiple disertai fraktur dasar tengkorak.16
Mekanisme utama pada cedera kepala ringan adalah shear strain. Kekuatan
rotasional dapat timbul sekalipun pada kecelakaan yang dianggap tidak berarti dan
tidak perlu adanya cedera coup dan contrecoup yang jelas. Hal ini menimbulkan
rengan pada akson-akson dengan akibat gangguan konduksi dan hilangnya fungsi.
Perubahan-perubahan tersebut diatas dikenal sebagai Diffuse Azonal Injury.17

20
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
2.3.6 Manifestasi Klinis
Menurut Reisner, gejala klinis cedera kepala yang dapat membantu
mendiagnosis adalah battle sign (warna biru atau ekimosis dibelakang telinga di
atas os mastod), hemotipanum (perdarahan di daerah membrane timpani telinga),
periorobital ekhimosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung), rhinorrhoe
(cairan serebrospinal keluar dari hidung), otorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari
telinga).18,19
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk cedera kepala ringan adalah pasien
tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh,
sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan, mual dana tau muntah, gangguan
tidur dan Nafsu makan yang menurun, perubahan kepribadian diri dan letargik.
Tanda- tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala berat adalah perubahan
ukuran pupil (anisokoria), trias Cushing (denyut jantung menurun, Hipertensi dan
depresi pernafasan) apabila meningkatnya tekanan intracranial, terdapat pergerakan
atau posisi abnormal ekstremitas.18,19
1. Hematoma ekstradural/epidural (EDH)

Sebagian besar kasus diakibatkan oleh robeknya arteri meningea media.


Perdarahan terletak di antara tulang tengkorak dan duramater. Gejala klinisnya
adalah adanya lucid interval yaitu selang waktu antara pasien masih sadar
setelah kejadian trauma kranioserebral dengan penurunan kesadaran yang
terjadi kemudian. Biasanya waktu perubahan kesadaran ini < 24 jam. Gejala
lain yaitu nyeri kepala, muntah proyektil, pupil anisokor dengan midriasis di
sisi lesi, hemiparesis dan reflex patologis Babinski positif kontralateral lesi
yang terjadi terlambat.18,19
2. Hematoma subdural (SDH)

Terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan, sinus venosus duramater atau


robeknya araknoidea. Perdarahan terletak diantara duramater dan araknoidea.
Gejala klinis berupa nyeri kepala yang semakin berat, muntah proyektil dan
terjadi penurunan kesadaran apabila SDH semakin besar yang menekan
jaringan otak sehingga mengganggu ARAS.18,19

21
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
3. Cedera otak difus

Terjadi keruskaan baik pada pembuluh darah maupun pada parenkim otak,
disertai edema. Keadaan pasien umumnya buruk.18,19
4. Hematoma subarachnoid (SAH)

Perdarahan subarachnoid traumatic terjadi lebih kurang 40% kasus cedera


kepalam sebagian besar terjadi di daerah permukaan oksipital dan parietal
sehingga sering tidak dijumpai tanda-tanda rangsang meningeal. Adanya darah
di dalam cairan otak akan mengakibatkan penguncupan arteri-arteri di dalam
rongga subarakhnoidea. Bila vasokonstriksi yang terjadi hebat disertai
vasospasme akan timbul gangguan aliran darah di dalam jaringan otak.
Keadaan ini tampak pada pasien yang tidak membaik setelah beberapa hari
perawatan. Konstriksi pembuluh darah mulai terjadi pada hari ke-3 dan dapat
berlangsung sampai 10 hari atau lebih. Gejala klinis yang didapatkan berupa
nyeri kepala hebat. Perdarahan pada SAH traumatik biasanya tidak terlalu
berat.18,19
5. Fraktur basis cranii

Biasanya merupakan hasil dari fraktur linear fosa di daerah basal tengkorak
bisa di anterior, medial atau posterior. Gejala klinis yaitu adanya cairan likour
yang keluar dari hidung (rinorea) atau telinga (otorea) disertai hematom di
sekitar mata (raccoon eye, brill hematoma, hematoma bilateral periorbital) atau
battle sign (hematoma retroaurikular), kadang disertai anosmia atau gangguan
nervus kranialis VII dan VIII.18,19

2.3.7 Diagnosis

1. Anamnesis
• Trauma kapitis dengan/tanpa gangguan kesadaran atau dengan
interval lucid
• Perdarahan/otorrhea/rhinorrhea
• Amnesia traumatika (retrograd/anterograd)
2. Hasil pemeriksaan fisik dan klinis neurologis
3. Penilaian kesadaran berdasarkan

22
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
4. GCS Penilaian fungsi vital
• Otorrhea/rhinorrhea
• Ekimosis periorbital bilateral/eyes/hematoma kaca mata
• Ekimosis mastoid bilateral/Battle‟s sign
• Gangguan fokal neurologik
• Fungsi motorik: lateralisasi, kekuatan otot
• Refleks tendon, refleks patologis
• Pemeriksaan fungsi batang otak
• Pemeriksaan pupil
• Refleks kornea
• Doll‟s eyephenomenone m.Monitor pola pernafasan
• Gangguan fungsi otonom
• Funduskopi.9

5. Hasil pemeriksaan penunjang


• Foto kepala polos, posisi AP, lateral, tangensial
• Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
• CT scan otak: untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi, untuk
menentukan luas dan letak lesi intrakranial (edema, kontusio,
hematoma)9
• Selain itu, tidak lupa pemeriksaan penunjang lain jika diperlukan
seperti pemeriksaan penunjang laboratorium:
o Gula darah sewaktu
o Pemeriksaan hematologis
o Ureum kreatinin
o Albumin serum
o Analisa gas darah
o Elektrolit darah dan elektrolit urin (bila perlu)
o Trombosit, PT, aPTT, fibrinogen (bila dicurigai ada
kelainan hematologis.20
Untuk pasien dengan cedera otak traumatis sedang atau berat, dokter harus
mendapatkan CT scan kepala sesegera mungkin setelah normalisasi hemodinamik.
Pemindaian CT juga harus diulang setiap kali ada perubahan dalam status klinis

23
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
pasien dan secara rutin dalam waktu 24 jam dari cedera untuk pasien dengan
kontusio intraparenchymal subfrontal / temporal, pasien yang menerima terapi
antikoagulasi, pasien yang berusia lebih dari 65 tahun, dan pasien yang memiliki
perdarahan intrakranial dengan volume> 10 mL9
Periksa CT scan pada semua pasien yang diduga cedera otak yang
memiliki tengkorak terbuka yang dicurigai secara klinis fraktur, tanda fraktur
tengkorak basilar, dan lebih dari dua episode muntah. Juga lakukan CT scan pada
pasien yang lebih tua dari 65 tahun. CT juga harus dipertimbangkan jika pasien
kehilangan kesadaran selama lebih dari 5 menit, retrogradeamnesia selama lebih
dari 30 menit, mekanisme cedera yang berbahaya, sakit kepala parah, kejang,
defisit memori jangka pendek, keracunan alkohol atau obat, koagulopati atau
defisit neurologis fokal yang disebabkan oleh otak. Ketika parameter ini
diterapkan pada pasien dengan skor GCS 13, sekitar 25% akan memiliki CT
temuan indikasi trauma, dan 1,3% akan memerlukan intervensi bedah saraf.10
Temuan CT yang signifikan termasuk pembengkakan kulit kepala dan
hematoma subgaleal di daerah yang terkena dampak. Fraktur tengkorak dapat
terlihat lebih baik dengan jendela tulang tetapi sering terlihat bahkan pada jendela
jaringan lunak. Temuan CT krusial adalah darah intrakranial, kontusio, pergeseran
struktur garis tengah (efek massa), dan pemusnahan tangki basal. Pergeseran 5 mm
atau lebih sering mengindikasikan perlunya operasi untuk mengevakuasi bekuan
darah atau kontusio yang menyebabkan pergeseran.10

Hematoma ekstradural/epidural (EDH)


Sebagian besar kasus diakibatkan oleh robeknya arteri meningea media.
Perdarahan terletak di antara tulang tengkorak dan duramater. Gejala klinisnya
adalah adanya lucid interval yaitu selang waktu antara pasien masih sadar setelah
kejadian trauma kranioserebral dengan penurunan kesadaran yang terjadi
kemudian. Biasanya waktu perubahan kesadaran ini < 24 jam. Gejala lain yaitu
nyeri kepala, muntah proyektil, pupil anisokor dengan midriasis di sisi lesi,
hemiparesis dan reflex patologis Babinski positif kontralateral lesi yang terjadi
terlambat.
Tanda diagnostik klinik:
- Lucid interval (+)

24
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
- Kesadaran makin menurun
- Late hemiparese kontralateral lesi
- Pupil anisokor
- Babinsky (+) kontralateral lesi
- Fraktur di daerah temporal.
- Hematoma Epidural di Fossa Posterior Gejala dan tanda klinis:
- Lucid interval tidak jelas
- Fraktur kranii oksipital
- Kehilangan kesadaran cepat
- Gangguan cerebellum, batang otak dan pernafasan
- Pupil Isokor

Penunjang diagnostik CT scan otak gambaran hiperdens (perdarahan) di


tulang tengkorak dan duramater, umumnya daerah temporal, dan tampak
bikonveks.

Gambar 2.8 CT Scan Hematom Epidural

Hematoma subdural (SDH)


Terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan, sinus venosus duramater atau
robeknya araknoidea. Perdarahan terletak diantara duramater dan araknoidea.
Gejala klinis berupa nyeri kepala yang semakin berat, muntah proyektil dan terjadi
penurunan kesadaran apabila SDH semakin besar yang menekan jaringan otak
sehingga mengganggu ARAS.21,22
Jenis :
- Akut : interval lucid 0-5 hari
- Subakut : interval ucid 5 hari - beberapa minggu
- Kronik : interval lucid >3 bulan9

25
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Gejala dan tanda klinis :
- Sakit kepala
- Kesadaran menurun
Penunjang diagnostik CT scan otak melihatkan gambaran hiperdens (perdarahan)
diantara duramater dan arakhnoid, umumnya karena robekan dari bridging vein, dan
tampak seperti bulan sabit

Gambar 2.9 CT Scan Hematom Subdural

Hematoma Subarachnoid
Perdarahan subarachnoid traumatic terjadi lebih kurang 40% kasus
cedera kepalam sebagian besar terjadi di daerah permukaan oksipital dan parietal
sehingga sering tidak dijumpai tanda-tanda rangsang meningeal. Adanya darah
di dalam cairan otak akan mengakibatkan penguncupan arteri-arteri di dalam
rongga subarakhnoidea. Bila vasokonstriksi yang terjadi hebat disertai
vasospasme akan timbul gangguan aliran darah di dalam jaringan otak. Keadaan
ini tampak pada pasien yang tidak membaik setelah beberapa hari perawatan.
Konstriksi pembuluh darah mulai terjadi pada hari ke- 3 dan dapat berlangsung
sampai 10 hari atau lebih. Gejala klinis yang didapatkan berupa nyeri kepala
hebat. Perdarahan pada SAH traumatik biasanya tidak terlalu berat.21,22
Gejala dan tanda klinis :
- Kaku kuduk
- Nyeri kepala
- Bisa didapati gangguan kesadaran

26
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Cedera otak difus
Terjadi keruskaan baik pada pembuluh darah maupun pada parenkim
otak, disertai edema. Keadaan pasien umumnya buruk.21,22

Fraktur Basis Cranii


Biasanya merupakan hasil dari fraktur linear fosa di daerah basal
tengkorak bisa di anterior, medial atau posterior. Gejala klinis yaitu adanya
cairan likour yang keluar dari hidung (rinorea) atau telinga (otorea) disertai
hematom di sekitar mata (raccoon eye, brill hematoma, hematoma bilateral
periorbital) atau battle sign (hematoma retroaurikular), kadang disertai anosmia
atau gangguan nervus kranialis VII dan VIII.
Anterior
Gejala dan tanda klinis :
- Keluarnya cairan likuor melalui hidung/rhinorea
- Perdarahan bilateral periorbital ecchymosis/raccoon eye
- Anosmia

Gambar 2.10 Bilateral Periorbital Ecchymosis/Raccoon Eye


Media
Gejala dan tanda klinis :
- Keluarnya cairan likuor melalui telinga/otorrhea 21
Posterior
Gejala dan tanda klinis :
- Bilateral mastoid ecchymosis/battle‟s sign 21

27
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Gambar 2.11 Bilateral Mastoid Ecchymosis/Battle’s Sign

Evaluasi :
Primary Survey secara simultan dan kontinyu, team work
- A = Airway and C-Spine protection (Jaga jalan nafas dengan perlindungan
terhadap servikal spine).

Langkah pertama pada ABC adalah Airway/saluran nafas (A) dan


membebaskan jalan nafas dari benda-benda obstruktif. Namun, jika
pernafasan tampak terancam, intubasi nasotrakeal atau endotrakeal dengan
leher pada posisi netral harus dilakukan dengan sangat hati-hati sesegera
mungkin. Kadang kala, trauma pada wajah mencegah pemasangan intubasi,
dan krikotiroidektomi atau trakeostomi dapat menjadi pilihan jika diperlukan.
- Breathing (pernafasan).
Setelah saluran nafas dibebaskan, langkah berikutnya adalah
Breathing/pernafasan (B). Rata-rata dan ritme pernafasan, juga suara nafas,
harus dievaluasi. Perubahan pola pernafasan dapat mencerminkan disfungsi
sistem saraf pusat pada level tertentu. Lesi hemisferik bilateral yang dalam dan
basal ganglia dapat menyebabkan respirasi Cheyne-Stokes (pernafasan
dengan periode hiperventilasi dan apnea yang silih berganti), dan
hiperventilasi neurogenik sentral dapat diakibatkan oleh lesi pada
mesensefalik atau pontine bagian atas. Pernafasan ataksik muncul pada fase
terminal, dimana hanya medullary yang masih dapat berfungsi. Analisa gas
darah harus diperiksa pada semua pasien dengan cedera kepala, karena
hipoksemia sering terjadi. Oksigen harus diberikan untuk menjaga kadar PaO2
dalam batas normal; hiperventilasi direkomendasikan untuk menjaga PaCO2

28
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
diantara 25 dan 30 mmHg, karena hipokarbia merupakan serebral
vasokontriktor yang kuat, mengurangai volume darah otak dan, oleh sebab itu,
tekanan intrakranial. Foto polos dada harus diperoleh untuk memastikan tidak
ada cedera pada rongga dada seperti pneumothorak, kontusi paru atau aspirasi.

- Circulation (nadi, tekanan darah, tanda-tanda syok dan kontrol perdarahan)


Kemudian perhatian diarahkan pada status Circulatory/sirkulasi (C) pasien,
yang dapat digambarkan oleh tekanan darah. Karena shok jarang terjadi akibat
cedera kepala murni, pemeriksaan dengan teliti harus dilakukan untuk
mencari penyebab lain (yaitu, ruptur lien atau fraktur tulang panjang). Kateter
vena sentral, pada subklavian atau vena jugular interna, seringkali memiliki
peran yang tak ternilai dalam mengevaluasi dan mengobati pasien-pasien
dengan cedera multipel. Bersamaan dengan nilai hematokrit, tekanan vena
sentral dapat membedakan shok hipovolemik dengan beberapa kasus shok
neurogenik yang disebabkan oleh cereda kord spinal.
- D = Disability (level kesadaran dan status neurologis lain
Pada primary survey ini dilakukan pemeriksaan status neurologis dasar yang
disebut AVPU (Alert, Verbal stimuli response, Painful stimuli response or
unresponsive). Evaluasi neurologis yang cepat dan berulang dilakukan setelah
selesai primary survey, meliputi derajat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil,
tanda- tanda lateralisasi dan gejala cedera spinal. GCS adalah metode yang
cepat untuk menentukan level kesadaran dan dapat memprediksi outcome
pasien.1
Keadaan postictal setelah kejang traumatis biasanya akan memperburuk respons
pasien selama beberapa menit atau jam. Pada pasien koma, respons motorik
dapat ditimbulkan dengan menjepit otot trapezius atau dengan bedeng kuku
atau tekanan tonjolan supraorbital. Ketika seorang pasien menunjukkan
respons variabel terhadap stimulasi, respons motorik terbaik yang timbul adalah
indikator prognostik yang lebih akurat daripada respons terburuk. Pengujian
untuk pergerakan mata boneka (okulocephalic), tes kalori dengan air es
(oculovestibular), dan pengujian respon kornea ditunda ke ahli bedah saraf.
Jangan pernah mencoba pengujian mata boneka sampai cedera tulang belakang
leher telah disingkirkan.1

29
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Penting untuk mendapatkan skor GCS dan melakukan pemeriksaan pupil
sebelum menenangkan atau melumpuhkan pasien, karena pengetahuan tentang
kondisi klinis pasien penting untuk menentukan perawatan selanjutnya. Jangan
gunakan agen paralitik dan sedasi jangka panjang selama survei primer. Hindari
sedasi kecuali jika keadaan gelisah pasien dapat menimbulkan risiko. Gunakan
agen kerja terpendek yang tersedia saat kelumpuhan farmakologis atau sedasi
singkat diperlukan untuk intubasi endotrakeal yang aman atau mendapatkan
studi diagnostik yang andal.1

- E = Exposure (Seluruh tubuh pasien diekspose untuk pemeriksaan dan


penanganan menyeluruh, dengan memperhatikan faktor suhu dan
lingkungan)
Secondary Survey
Lakukan pemeriksaan serial (perhatikan skor GCS, tanda lateralisasi, dan
reaksi pupil) untuk mendeteksi kerusakan neurologis sedini mungkin. Tanda
awal yang diketahui dari herniasi lobus temporal (uncal) adalah pelebaran pupil
dan hilangnya respons pupil terhadap cahaya. Trauma langsung pada mata juga
dapat menyebabkan respons pupil abnormal dan mungkin membuat evaluasi
pupil menjadi sulit. Namun, dalam penatalaksanaan trauma otak, cedera otak
harus dipertimbangkan terlebih dahulu. Pemeriksaan neurologis lengkap
dilakukan selama secondary survei.23
Catat mekanisme cedera dan berikan perhatian khusus pada hilangnya
kesadaran, termasuk lamanya waktu pasien tidak responsif, aktivitas kejang apa
pun, dan tingkat kewaspadaan selanjutnya. Tentukan durasi amnesia untuk
kejadian baik sebelum (retrograde) dan setelah (antegrade) insiden traumatis.
Pemeriksaan serial dan dokumentasi skor GCS penting pada semua pasien.9,23

30
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Gambar 2.12 Glasgow Coma Scale (GCS)

31
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Gambar 2.13 Gambaran Evaluasi Pasien Trauma Kepala

2.3.8 Tatalaksana
1... Penatalaksanaan umum
2... Cedera kepala ringan
3... Jika pasien asimptomatik, sepenuhnya terjaga dan waspada, dan tidak memiliki
kelainan neurologis, mereka dapat diamati selama beberapa jam, diperiksa ulang,
dan, jika masih normal, keluar dengan aman. Idealnya, pasien dipulangkan ke

32
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
perawatan dengan seorang pendamping yang dapat mengamati pasien secara terus
menerus selama 24 jam berikutnya. Jelaskan kepada pasien untuk kembali ke
UGD jika pasien mengalami :
- Pasien cenderung mengantuk
- Sakit kepala yang semakin berat
- Muntah proyektil

1. Penanganan cedera kepala ringan dengan fraktur linear terbuka di


layanan primer: 11
- Diagnosa : Bila ada luka terbuka, eksplorasi luka sampai kalvaria
sebelum luka dijahit.
- Penanganan : Debridement lokal, tidak perlu fiksasi tulang, jahit
luka primer.
- Pasien di rawat inap. Observasi : Level kesadaran (GCS), bila
GCS turun berarti ada lucid interval, kemungkinan ada
perdarahan Epidural, maka pasien dirujuk ke rumah sakit rujukan
dengan fasilitas bedah saraf.
- Pasien dipulangkan bila kesadaran baik setelah beberapa hari
rawatan dengan penjelasan peringatan untuk pasien cedera
kepala ringan yang dipulangkan.
2. Penanganan cedera kepala ringan dengan fraktur basis kranii di daerah
rural:
- Diagnosa :
o Rhinorhea, Brill hematoma, anosmia (Fraktur basis kranii
anterior).
o Otorhea, Battle sign (Retroaurikular hematoma), parese N
VII/VIII.
- Penanganan :
- Observasi :
o Tanda vital.
o GCS/pupil/motorik
o Rhinorhea/Otorhea
o Tanda-tanda infeksi
o Defisit neurologis.

33
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
- Rawat jalan, bila :
o Tanda vital stabil.
o GCS 15.
o Rhinorhea/Otorhea berhenti.
o Tanda-tanda infeksi (-)

Gambar 2.14 Gambaran klinis fraktur basis kranii

3. Penanganan cedera kepala ringan dengan fraktur depressed di daerah


rural :
- Dianosa : Fraktur tertutup Fraktur terbuka
- Penanganan :
Pada fraktur terbuka dilakukan debridement lokal, hentikan
perdarahan, bila perlu jahit luka situasional.
Rujuk ke Rumah Sakit dengan fasilitas pelayanan bedah saraf.

34
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Gambar. 2.15 Algoritma tatalaksana cedera kepala ringan

35
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Cedera Kepala Sedang

Gambar 2.16 Algoritma tatalaksana cedera kepala sedang

36
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Cedera Kepala Berat

Gambar 2.17 Algoritma tatalaksana cedera kepala


berat

Terapi Medikamentosa
Tujuan utama protokol perawatan intensif adalah mencegah
terjadinya kerusakan sekunder otak yang telah mengalami cedera.
Prinsip dasarnya adalah bila sel saraf diberikan suasana yang optimal
untuk pemulihan, maka diharapkan sel tersebut dapat pulih dan kembali
ke fungsi normal. Terapi medikamentosa antara lain cairan intravena,
hiperventilasi, manitol, furosemid, steroid, barbiturate dan antikejang.
1. Cairan Intravena
Cairan intravena harus diberikan sesuai kebutuhan untuk
resusitasi dan mempertahanakan normovolemia. Keadaan
hipovolemia pada pasien sangatlah berbahaya. Namun, perlu
juga diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebihan.
Jangan diberikan cairan hipotonik. Juga, penggunaan cairan
yang mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia
yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Karena itu, cairan
yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan Ringer Laktat
atau garam fisiologis. Kadar natrium serum perlu dimonitor

37
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
pada pasien dengan

cedera kepala. Keadaan hiponatremia sangat berkaitan dengan


edema otak sehingga harus dicegah.
2. Hiperventilasi
Hiperventilasi sebaiknya dilakukan secara selektif dan
hanya dalam batas waktu tertentu. Umumnya, PaCO2
dipertahankan pada 35 mmH. Hiperventilasi dalam waktu
singkat (PaCO2 antara 25-30 mm Hg) dapat dilakukan jika
diperlukan pada keadaan perburukan neurologis akut, sementara
pengobatan lainnya baru dimulai. Hiperventilasi akan
mengurangi tekanan intrakranial pada pasien dengan perburukan
neurologis akibat hematoma intrakranial yang membesar,
sampai operasi kraniotomi emergensi dapat dilakukan.
3. Antikonvulsan
Epilepsi pascatrauma terjadi pada 5% pasien yang
dirawat di RS dengan cedera kepala tertutup dan 15% pada
cedera kepala berat. Terdapat 3 faktor yang berkaitan dengan
insiden epilepsi: (1) Kejang awal yang terjadi dalam minggu
pertama, (2) Perdarahan Intrakranial, atau (3) Fraktur depresi.
Penelitian tersamar ganda / double blind menunjukkan bahwa
fenitoin sebagai profilaksis bermanfaat untuk menurunkan
angka insidensi kejang dalam minggu pertama cedera namun
tidak setelahnya. Fenitoin atau fosfenitoin adalah obat yang
biasa diberikan pada fase akut. Untuk dewasa dosis awalnya
adalah 1 g yang diberikan secara intravena dengan kecepatan
pemberian tidak lebih cepat dari 50 mg/menit. Dosis
pemeliharaan biasanya 100 mg/8 jam, dengan titrasi untuk
mencapai kadar terapetik serum. Pada pasien dengan kejang
berkepanjangan, diazepam atau lorazepam digunakan sebagai
tambahan selain fenitoin sampai kejang berhenti.
4. Manitol
Manitol digunakan untuk menurunkan tekanan

38
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
intrakranial (TIK) yang meningkat. Sediaan yang tersedia cairan
manitol dengan konsentrasi 20% (20 gram setiap 100 ml
larutan). Dosis yang diberikan 0.25 – 1 g/kg BB diberikan secara
bolus intravena. Manitol jangan diberikan pada pasien yang
hipotensi karena manitol tidak mengurangi tekanan intrakranial
pada

kondisi hipovolemik dan manitol merupakan diuretic osmotic


yang potensial. Adanya perburukan neurologis yang akut,
seperti terjadinya dilatasi pupil, hemiparesis maupun kehilangan
kesadaran saat pasien dalam observasi merupakan indikasi kuat
untuk diberikan manitol. Pada keadaan tersebut pemberian bolus
manitol (1 g/kgBB) harus diberikan secara cepat (dalam waktu
lebih dari 5 menit) dan pasien segera di bawa ke CT scan
ataupun langsung ke kamar operasi bila lesi penyebabnya sudah
diketahui.
5. Saline Hipertonik
Saline hipertonik juga digunakan untuk mengurangi
peningkatan tekanan intrakranial, dalam konsentrasi 3% hingga
23,4%; ini mungkin agen yang dipilih untuk pasien dengan
hipotensi, karena tidak bertindak sebagai diuretik. Namun, tidak
ada perbedaan antara manitol dan salin hipertonik dalam
menurunkan tekanan intrakranial, dan tidak ada yang cukup
menurunkan tekanan intrakranial pada pasien hipovolemik.
6. Barbiturat
Barbiturat efektif dalam mengurangi tekanan
intrakranial refrakter terhadap tindakan lain, meskipun mereka
tidak boleh digunakan di pada keadaan hipotensi atau
hipovolemia. Selanjutnya, barbiturat sering menyebabkan
hipotensi, sehingga mereka tidak diindikasikan pada fase
resusitasi akut. Waktu paruh panjang dari kebanyakan barbiturat
memperpanjang waktu untuk menentukan kematian otak, yang
merupakan pertimbangan pada pasien dengan cedera yang

39
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
menghancurkan dan kemungkinan tidak dapat disembuhkan.
Barbiturat tidak dianjurkan untuk menginduksi penekanan burst
yang diukur dengan EEG untuk mencegah perkembangan
hipertensi intrakranial.
7. Keseimbangan cairan dan elektrolit
Saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah
bertambahnya edema serebri dengan jumlah cairan 1500-2000
ml/hari parenteral, dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl
0,9% atau Ringer laktat, jangan diberikan cairan yang
mengandung glukosa. Keseimbangan cairan tercapai bila
tekanan darah stabil normal, takikardi kembali normal

dan volume urin ≥ 30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dimulai makanan


peroral melalui pipa nasogastrik. Bila terjadi gangguan
keseimbangan cairan elektrolit (pemberian diuretik, diabetes
insipidus, SIADH), pemasukan cairan harus disesuaikan. Pada
keadaan ini perlu dipantau kadar elektrolit, gula darah, ureum,
kreatinin, dan osmolalitas darah.23
8. Kebutuhan Nutrisi
Kebutuhan energi rata-rata pada CKB meningkat rata-
rata 40%, kebutuhan protein 1,5-2 g/kgBB/hari, lipid 10-40%
dari kebutuhan kalori/hari, dan zinc 12 mg/hari Selain infus,
nutrisi diberikan melalui pipa nasogastrik:
- Hari ke-1: berikan glukosa 10% sebanyak 100ml/2jam
- Hari ke-2: berikan susu dengan dosis seperti glukosa
- Hari ke-3 dan seterusnya: makanan cair 2000-3000 kalori
per hari disesuaikan dengan keseimbangan elektrolit.23
9. Neuroproteksi
Adanya tenggang waktu antara terjadinya trauma dan
timbulnya kerusakan jaringan saraf memberi waktu bagi kita
untuk memberikan neuroprotektor. Obat-obat tersebut antara
lain adalah Antagonis kalsium atau nimodipin (terutama
diberikan pada SAH), sitikolin, dan piracetam 12 gr/hari yang

40
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
diberikan selama 7 hari
Terapi Bedah
Manajemen bedah mungkin diperlukan untuk luka kulit kepala, fraktur
tengkorak yang tertekan, lesi massa intrakranial, dan penetrasi cedera otak.
1. Luka kulit kepala
Bersihkan dan periksa luka secara menyeluruh sebelum
menjahit. Penyebab paling umum dari luka kulit kepala yang terinfeksi
adalah pembersihan dan debridemen yang tidak memadai. Kehilangan
darah akibat luka kulit kepala mungkin luas, terutama pada anak-anak
dan orang dewasa yang lebih tua.

2. Depressed fracture
Untuk pasien dengan fraktur tengkorak yang tertekan, CT scan
bermanfaat dalam mengidentifikasi tingkat depresi dan, yang penting,
tidak termasuk adanya hematoma atau kontusio intrakranial. Secara
umum, fraktur tengkorak deppresed memerlukan operasi ketika
tingkat depresi lebih besar dari ketebalan tengkorak yang berdekatan,
atau ketika mereka terbuka dan sangat terkontaminasi. Fraktur depresi
yang tidak terlalu parah sering dapat dikelola dengan penutupan
laserasi kulit kepala di atasnya, jika ada.
3. Lesi massa intrakranial
Lesi massa intrakranial harus dikelola oleh ahli bedah saraf.
Dalam keadaan luar biasa, hematoma intrakranial yang berkembang
dengan cepat dapat segera mengancam jiwa dan mungkin tidak
memberikan waktu untuk transfer jika perawatan bedah saraf dengan
jarak yang cukup jauh, seperti di daerah yang sulit atau terpencil.
Keadaan darurat. Kraniotomi pada pasien yang memburuk dengan
cepat oleh non- neurosurgeon harus dipertimbangkan hanya dalam
keadaan ekstrem. Ahli bedah yang terlatih dengan baik dalam prosedur
harus melakukan operasi ini, tetapi hanya setelah mendiskusikan lesi
dengan dan mendapatkan saran dari ahli bedah saraf.
Ada beberapa indikasi untuk kraniotomi yang dilakukan oleh
ahli bedah saraf. Prosedur ini dibenarkan hanya ketika perawatan

41
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
bedah saraf definitif tidak tersedia. Komite Trauma sangat
merekomendasikan agar individu yang mengantisipasi perlunya
prosedur ini menerima pelatihan yang tepat dari ahli bedah saraf.
4. Penetrating Brain Injury
Antibiotik spektrum luas profilaksis sesuai untuk pasien dengan
cedera otak tembus, fraktur tengkorak terbuka, dan kebocoran CSF.
Sangat tepat untuk mengobati luka masuk peluru kecil ke kepala
dengan perawatan luka lokal dan penutupan pada pasien yang kulit
kepalanya tidak terevalisasi dan yang tidak memiliki patologi
intrakranial besar.
Objek yang menembus kompartemen intrakranial atau fossa
infratemporal dan tetap sebagian di eksterior (mis., Panah, pisau,
obeng) harus dibiarkan di tempat sampai kemungkinan cedera
pembuluh darah telah dievaluasi dan manajemen bedah saraf definitif
didirikan. Mengganggu atau membuang benda yang menembus
sebelum waktunya dapat menyebabkan cedera pembuluh darah yang
fatal atau perdarahan intrakranial.
Burr hole craniostomy/ craniotomy, yang melibatkan
penempatan lubang bor 10 sampai 15 mm di tengkorak, telah
dianjurkan sebagai metode mendiagnosis hematoma yang dapat
diakses pada pasien dengan pemburukan neurologis cepat yang
terletak di daerah yang sulit atau terpencil di mana ahli bedah saraf dan
pencitraan tidak tersedia. Sayangnya, bahkan di tangan yang sangat
berpengalaman. Pada pasien yang membutuhkan evakuasi, kraniotomi
flap tulang (versus Burr hole sederhana) adalah prosedur
penyelamatan definitif untuk mengekompresi otak. Anggota tim
Trauma harus melakukan segala upaya untuk membuat seorang
praktisi dilatih dan berpengalaman dalam melakukan prosedur
melakukannya tepat waktu.

Indikasi operasi penderita trauma kapitis


1. EDH (epidural hematoma):

42
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
o 40cc dengan midline shifting pada daerah temporal/frontal/parietal
dengan fungsi batang otak masih baik.
o >30cc pada daerah fossa posterior dengan tanda-tanda penekanan
batang otak atau hidrosefalus denagn fungsi batang otak atau
hidrosefalus dengan fungsi batang otak masih baik
2. EDH progresif
3. EDH tipis dengan penurunan kesadaran bukan indikasi operasi
4. SDH (subdural hematoma)
5. SDH luas (>40cc/>5mm)dengan GCS >6, fungsi batang otak masih baik
6. SDH tipis dengan penurunan kesadran bukan indikasi operasi.
7. SDH dengan edema serebri/kontusio serebri disertai midline shift
dengan fungsi batang otak masih baik
8. ICH (perdarahan intraserebral) pasca trauma Indikasi operasi ICH
pasca trauma :
o Penurunan kesadaran progresif. Hipertensi dan bradikardi dan tanda-
tanda gangguan nafas (cushing refleks)
o Perburukan defisit neurologi fokal
o Fraktur impresi melebihi 1 diploe
o Fraktur kranii dengan laserasi serebri
o Fraktur kranii terbuka (pencegahan infeksi intra-kranial)
9. Edema serebri berat yang disertai tanda peningkatan TIK,
dipertimbangkan operasi dekompensasi.2

43
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Gambar 2.18 Manajemen Overview Of Traumatic
Brain Injury

44
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Gambar 2.19 Goals of Treatment of Brain Injury

2.3.9 Komplikasi

Adapun komplikasi yang dapat terjadi adalah:


1. Kejang
Kejang yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut
early seizure, dan yang terjadi setelahnya disebut late seizure. Early
seizure terjadi pada kondisi risiko tinggi. Profilaksis dengan anti kejang
diberikan pada yang berisiko tinggi untuk terjadinya kejang pasca CKB,
yaitu :
- GCS <10, kontusio kortikasl, fraktur kompresi tulang
tengkorak, Hematom Subdural, Hematom Epidural

45
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
- Hematom Intracerebral, luka tembus dan kejang yang terjadi
dalam kurun waktu <24 jam pasca cedera
Pengobatan
Kejang pertama: saat kejang diberikan diazepam 10 mg i.v,
dilanjutkan dengan fenitoin 200mg peroral, dan seterusnya diberikan 3-4
x 100 mg/hari Profilaksis:
Diberikan fenitoin 3-4x 100mg/hari atau karbamazepin 3x200 mg/hari
selama 7-10 hari.
2. Infeksi
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi, seperti
pada fraktur tulang terbuka, luka luar, fraktur basis kranii. Pemberian
profilaksis antibiotik ini masih kontroversial. Bila ada kecurigaan
infeksi meningeal, diberikan antibiotik dengan dosis meningitis.
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi seperti
pada fraktur tulang terbuka, luka luar, dan fraktur basis kranii.
Antibiotik yang diberikan: ampisilin 3x1 gr/hari i.v selama 10 hari.
Bila ada kecurigaan infeksi pada meningen, diberikan antibiotika
dengan dosis meningitis, misalnya Ampisilin 4x3 gr/hari i.v dan
Kloramfenikol 4x 1,5-2gr i.v selama 10 hari. Untuk gram negatif
meningitis, terapi diberikan selama 21 hari atau 10 hari setelah kultur
cairan serebrospinal negatif.
3. Demam
Setiap kenaikan suhu harus dicari dan diatasi penyebabnya.
Dilakukan tindakan menurunkan suhu dengan kompres dingin di
kepala, ketiak, dan lipat paha, atau tanpa memakai baju dan perawatan
dilakukan dalam ruangan dengan pendingin. Boleh diberikan tambahan
antipiretik.
4. Gastrointestinal
Pada pasien cedera kranio-serebral terutama yang berat sering
ditemukan gastritis erosi dan lesi gastroduodenal lain, 10-14% di
antaranya akan berdarah.

Kelainan tukak stres ini merupakan kelainan mukosa akut saluran cerna

46
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
bagian atas karena berbagai kelainan patologik atau stresor yang dapat
disebabkan oleh cedera kranioserebal. Umumnya tukak stres terjadi
karena hiperasiditas. Keadaan ini dicegah dengan pemberian Antasida
3x1 tablet peroral atau H2 receptor blockers (Simetidin, Ranitidin, atau
Famotidin) dengan dosis 3x1 ampul IV selama 5 hari.
5. Gelisah
Kegelisahan dapat disebabkan oleh kandung kemih atau usus yang
penuh, patah tulang yang nyeri, atau tekanan intrakranial yang
meningkat. Bila ada retensi urin, dapat dipasang kateter untuk
pengosongan kandung kemih. Bila perlu, dapat diberikan penenang
dengan observasi kesadaran lebih ketat. Obat yang dipilih adalah obat
peroral yang tidak menimbulkan depresi pernapasan
6. Edema Pulmonum
Dapat terjadi pada gangguan fungsi hipotalamus yang
mengakibatkan penguncupan vena-vena paru. Dapat dilakukan
pemberian hiperosmotika dan pemberian diuretika serta oksigen.
7. Neurorehabilitas
Pasien dengan penurunan kesadaran, program neurorestorasi
/neurorehabilitasi dilakukan untuk mencegah ulkus dekubitus dengan
perubahan posisi berbaring tiap 8 jam, pneumonia ortostatik dengan
perubahan posisi berbaring tiap 8 jam, dan ekstermitas digerakkan
secara pasif.
Pasien sadar, dilakukan pemeriksaan neurologis ulang termasuk
pemeriksaan kortikal luhur, karena banyak gejala sisa berupa gangguan
kortikal luhur yang menurunkan kualitas hidup pasca cedera kranio
serebral.

2.3.10 Prognosis

Glasgow Outcome Scale sering digunakan untuk menilai hasil


terapi pada kasus cedera kepala berat. Kategori-kategeri hasil akhir
termasuk kematian, status vegetatif persistent, disabilitas berat
(memerlukan bantuan untuk menjalani aktifitas

47
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
hidup sehari-hari), disabilitas sedang (tidak memerlukan bantuan dalam
aktifitas hidup sehari-hari), dan sembuh (dapat menjalani pekerjaan
sebelumnya). Pada seri Becker, yang merepresentasikan operasi dan
terapi agresif, hasilnya adalah sebagai berikut: mortalitas, 32%;
disabilitas berat/status vegetatif, 11%; disabilitas sedang/sembuh, 57%.
Semua pasien pada seri ini berada dalam keadaan koma saat
penerimaan.
Sebagian besar pasien dengan cedera otak ringan mengalami
pemulihan yang baik. Sekitar 3% tidak terduga memburuk, berpotensi
mengakibatkan disfungsi neurologis yang parah kecuali penurunan
status mental terdeteksi dini.
Diffuse Injury CT appearance Mortality
Grade
I Normal CT Scan 9.6%
II Cisterns present. Midline shift 13,5%
<5 mm
III Cisterns compressed/ 34%
absent. Midline shift <5 mm
IV Midline shift >5 mm 56,2%

48
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
BAB 3
PENUTUP

Cedera kepala bisa menyebabkan kematian tetapi juga penderita bisa


mengalami penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada
lokasi dan beratnya kerusakan otak yang terjadi.Terjadinya cedera kepala,
kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu cedera primer yang merupakan akibat
yang langsung dari suatu ruda paksa dan cedera sekunder yang terjadi akibat
berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahapmlanjutan dari kerusakan otak
primer.
Aspek-aspek terjadinya cedera kepala dikelompokan menjadi beberapa
klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme cedera kepala, beratnya cedera kepala, dan
morfologinya. Kerusakan otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang
menetap, yang bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas
(terlokalisir) atau lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi yang terjadi juga
tergantung kepada bagian otak mana yang terkena.
Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan, sensasi,
berbicara, penglihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus bisa
mempengaruhi ingatan dan pola tidur penderita, dan bisa menyebabkan
kebingungan dan koma. Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area,
sehingga area yang tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area
lainnya yang mengalami kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita, maka
kemampuan otak untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya, semakin
berkurang.

49
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
DAFTAR PUSTAKA

1. National Institute for Health and Care Excellence. Head Injury: Assessment
and Early Management. 4th Ed. London: NICE; 2020
2. Dewan M.C, Rattani A, Gupta S, Baticulon R.E, Hung Y.C, Punchak M., et al.
Estimating the global incidence of traumatic brain injury. J Neurosurg.
2019;130:1080-1097.
3. Rawis M.L, Lalenoh D.C, Kumaat L.T. Profil pasien cedera kepala sedang dan
berat yang dirawat di ICU dan HCU. J eCL.
4. M.Z. Arifin et al. Head Injury Management. Departemen Bedah Saraf, Fakutas
Kedokteran Universitas Padjadjaran.
5. American College of Surgeons, 1997, Advance Trauma Life Suport. United
States of America: First Impression.
6. Tim Neurotroma. Pedoman Tatalaksana Cedera Otak. Edisi Kedua. Surabaya:
Surabaya Neuroscience Institute. 2014.
7. Japardi I. Cedera Kepala: Memahami Aspek-aspek Penting dalam Pengelolaan
Penderita Cedera Kepala. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer. 2004
8. Hafid A. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah: Edisi Kedua. Jong W.D. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
9. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Trauma Kapitis.
Inonsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. Jakarta:
PERDOSSI Bagian Neurologi FKUI/RSCM. 2006. p1-18.
10. Alfa AY. Penatalaksanaan Medis (Non-Bedah) Cedera Kepala. In: Basuki A,
Dian.Kegawatdaruratan Neurologi. 2nd Ed. Bandung: Departemen/UPF Ilmu
Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UNPAD. 2009. p61-74.
11. Japardi I. Cedera Kepala: Memahami Aspek-aspek Penting dalam Pengelolaan
Penderita Cedera Kepala. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer. 2004. p1-154.
12. Advanced Trauma Life Support (ATLS), Student Course Manual, American
College of Surgeons, Committee on Trauma, 2008
13. Satyanegara. 2020. Ilmu Bedah Saraf. Edisi IV. Jakarta : Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama.
14. Bernath David. 2009. Head Injury. www.e-medicine.com.

50
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
15. Japardi I. Cedera Kepala : Memahami Aspek-aspek Penting dalam Pengelolaan
Penderita Cedera Kepala. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer. 2004.
16. Hafid A, 2007, Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta:
Penerbit Buku kedokteran EGC
17. Iskandar. 2017. Diagnosis Dan Penanganan Cedera Kepala Di Daerah Rural.
Division Of Neurosurgery, Departement Of Surgery, Dr. Zainoel Abidin
General Hospital – Medical Faculty Of Syiah Kuala University, Banda Aceh,
Indonesia National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 94
Banda Aceh 16 – 17 September 2017.
18. Teasdale F, Jennett B. Management of head injuries. Davis Co.,
Philadelphia,1981.
19. Ling GSF, Grimes J. Pathophysiology and initital prehospital management.
AAN Hawaii, 2011.
20. Lombardo MC. Cedera Sistem Saraf Pusat. In: In: Price SA. Patofisiologi:
Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 6th Ed. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2006. p1067-1077.
21. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran. 2005. p627-629.
22. American College of Surgeons Committee on Trauma. Advanced Trauma Life
Support for Doctors (ATLS). Jakarta : Komisi Trauma IKABI (Ikatan Ahli
Bedah Indonesia). 2004.
23. Alfa AY. Penatalaksanaan Medis (Non-Bedah) Cedera Kepala. In: Basuki A,
Dian S.Kegawatdaruratan Neurologi. 2nd Ed. Bandung: Departemen/UPF Ilmu
Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UNPAD. 2009. p61-74.

51
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Anda mungkin juga menyukai