Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Pengaruh utama Gender merupakan strategi pembangunan pemberdayaan perempuan,
implementasinya melalui prinsip kesetaraan dan keadilan gender harus menjadi dasar dalam
setiap kebijakan dalam pembangunan.Pembangunan kualitas hidup manusia dilaksanakan secara
terus menerus oleh pemerintah dalam upaya mencapai kehidupan yang lebih baik. Upaya
pembangunan ini ditujukan untuk kepentingan seluruh masyarakat tanpa membedakan jenis
kelamin tertentu. Keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta
maupun masyarakat tergantung dari peran serta seluruh penduduk baik laki-laki maupun
perempuan sebagai pelaku, dan sekaligus sebagai penerima manfaat hasil pembangunan.
Berbagai metode telah banyak digunakan untuk mengukur pencapaian pembangunan. Indikator
pembangunan manusia (IPM) yang terkait dengan gender dapat diukur dengan Indeks
Pembangunan Gender (IPG). Selisih antara angka IPM dan angka IPG dapat dimaknai sebagai
bias gender dalam pembangunan. Apabila angka IPG lebih kecil dari angka IPM, maka terjadi
ketidaksetaraan gender. Selanjutnya untuk melihat sejauh mana tingkat pencapaian dalam
pemberdayaan gender dapat diukur dengan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG)

Profesi kebidanan bukan hanya sekedar profesi kesehatan tapi juga sebagai profesi
sosiologis karena wanita merupakan bagian yang tidak terlepas dari masyarakat. Masalah
kesehatan reproduksi wanita tidak hanya bisa diintervensi secara klinis karena banyak
permasalahan kesehatan reproduksi yang bermulai dari kemiskinan, geografis, dan pendidikan,
sehingga focus intervensi untuk mengatasi masalah kesehatan reproduksi tersebut adalah melalui
upaya promotif dan preventif.
Salah satu upaya promosi kesehatan adalah dengan melakukan pemberdayaan
masyarakat, khususnya wanita dengan melakukan pemeliharaan kesehatan sepanjang siklus
kehidupannya.Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah strategi, sekarang telah banyak
diterima telah berkembang. Namun, upaya mewujudkannya dalam praktek pembangunan
tidak selalu berjalan mulus.
Dalam paradigma Ilmu Sosiologi kita mengenal adanya konsep nurture yang menyatakan
bahwa adanya perbedaan laki-laki dan perempuan pada hakikatnya adalah hasil konstruksi sosial

1
dan budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Konstruksi sosial dan budaya
yang dilekatkan baik bagi laki-laki maupun perempuan ini kemudian lazim disebut dengan istilah
gender. Dalam proses perkembangannya di kehidupan masyarakat, konstruksi gender memicu
adanya dikotomi sifat yaitu maskulin bagi laki-laki (seperti perkasa, berani, rasional, dan tegar)
dan feminin bagi perempuan (seperti lemah, pemalu, penakut, emosional, rapuh, lembut dan
gemulai) sehingga di masyarakat kaum laki-laki dikonstruksikan sebagai pelindung bagi kaum
perempuan.
Konstruksi sosial budaya seperti inilah yang kemudian memunculkan sistem budaya
patriarki. Budaya dan ideologi patriarki ini menempatkan kedudukan dan posisi laki-laki lebih
superior dari perempuan dalam segala aspek kehidupan, baik itu sosial, politik, budaya maupun
ekonomi. Stereotip maskulin yang melekat pada laki-laki juga berpengaruh pada pola pembagian
tugas di kehidupan sehari-hari. Pada masyarakat dengan budaya patriarki laki-laki berperan luas
di sektor publik, sedangkan perempuan hanya berperan di sektor domestik (rumah tangga). Hal
inilah yang kemudian menyebabkan kaum perempuan sulit berkembang dan cenderung tertinggal
jika dibandingkan dengan kaum laki-laki.
Bagi masyarakat tradisional sendiri ideologi patriarki telah membudaya dan
diinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari. Budaya ini dibentuk dan disosialisasikan dari
generasi ke generasi secara turun temurun yang kemudian diwujudkan dalam pola perilaku dan
interaksi sosial antar anggota masyarakat. Budaya patriarki dalam bentuk hegemoni laki-laki
terhadap perempuan ini terlembagakan berkat adanya legitimasi dari nilai-nilai sosial, agama dan
hukum adat masyarakat 9 setempat. Terlembaganya budaya patriarki dalam masyarakat telah
membentuk pola hubungan yang bersifat asimetris antara laki-laki dan perempuan, dimana dalam
kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya perempuan diposisikan sebagai subordinasi dari
laki-laki. Dengan kondisi seperti ini, perempuan secara sadar ataupun tidak telah kehilangan
otonomi atas dirinya. Hal ini pada akhirnya berdampak pada semakin suburnya proses
marginalisasi terhadap perempuan yang ditandai dengan eskalasi kekerasan dan eksploitasi
terhadap perempuan baik di wilayah domestik maupun publik.
Upaya peminggiran (marginalisasi) dan pembatasan ruang gerak perempuan juga sering
terjadi di ranah politik dan organisasi. Perempuan seringkali tidak diizinkan oleh suaminya untuk
mengikuti organisasi sosial maupun terlibat aktif di dalam proses pembangunan dan perumusan
kebijakan di daerahnya karena dikhawatirkan akan meninggalkan tugas dan tanggung jawabnya

2
di rumah. Hal ini tentu saja sangat merugikan bagi kaum perempuan, karena berbagai aspirasi
yang mengakomodasi kebutuhan dan keinginan kaum perempuan dalam proses pembangunan
tidak dapat tersalurkan dengan baik sehingga produk kebijakan yang dihasilkan pun menjadi bias
gender. Akibatnya, banyak program pemberdayaan yang hanya difokuskan kepada laki-laki saja
dan sangat jarang sekali menyentuh pada kaum perempuan. Inilah yang kemudian menyebabkan
pembangunan bagi kaum perempuan jauh tertinggal dari kaum laki-laki.
Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu sendiri, dengan mendorong,
memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya
untuk mengembangkannya.
Dengan demikian, pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota
masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern seperti kerja
keras, hemat, keterbukaan, kebertanggungjawaban dan lain-lain yang merupakan bagian
pokok dari upaya pemberdayaan itu sendiri.
Berdasarkan data profil kesehatan, Indonesia masih memiliki banyak permasalahan
kesehatan terkait kebidanan di komunitas. Berdasarkan Survei Penduduk Antar Sensus(SUPAS)
2015, AKI masih menempati posisi 305 per 100.000 Kelahiran Hidup (KH) sekaligus menjadi
yang tertinggi ketiga di ASEAN. Selain itu, Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia sebesar
32 kematian /1000 KH dan angka tersebut masih jauh dari target MDGs yang memiliki target
sebesar 23 kematian /1000 KH. Pada tahun 2014 juga dilaporkan terdapat 84 kasus tetanus
neonatorum dengan jumlah meninggal sebanyak 54 kasus dan lebih dari setengahnya ditolong
oleh dukun. Beberapa permasalahan lainnya adalah meningkatnya kasus HIV/AIDS, tingginya
kasus gizi buruk termasuk stunting dan wasting yang 25% nya diindikasikan karena masalah gizi
saat kehamilan (Kemenkes, 20147).

Wilayah Sumatera Barat juga memiliki berbagai masalah kesehatan ibu dan anak di
komunitas yang tidak kalah besarnya. Masalah-masalah tersebut diantaranya adalah masih belum
tercapainya target MDGs dalam penurunan (AKB) (27/ 1000 KH), Angka Kematian Balita
(AKABA) (34/1000 KH) , rendahnya cakupan K4 (77, 79%), masih terdapat persalinan yang
ditolong oleh bukan tenaga kesehatan (21%) dan cakupan imunisasi yang masih belum
memenuhi target 100% WHO (Profi Kesehatan Sumatera Barat, 2013). Untuk wilayah Kota
Padang, ditemukan kematian bayi 0-12 bulan sebanyak 108 orang, kematian ibu berjumlah 16
orang, kasus DBD sebanyak 666 kasus, campak sebesar 14.948 kasus, serta 297 kasus BBLR.

3
Pada tahun 2014 juga ditemukan balita yang mengalami gizi buruk sebanyak 120 orang (Dinas
Kesehatan Kota Padang, 2014).

Oleh karena itu praktik komunitas pemberdayaan perempuan berbasis gender merupakan
salah satu upaya untuk memfasilitasi mahasiswa dalam mempelajari bagaimana upaya preventif
dan promotif dilakukan di masyarakat sebagai bentuk upaya peningkatan pemberdayaan
perempuan untuk meningkatkan status kesehatan mereka di masyarakat.
Program Studi D-III Kebidanan Bukittinggi merupakan salah satu institusi pendidikan
Kebidanan yang menghasilkan lulusan yang berperan dalam bidang pelayanan kebidanan.
Disamping itu lulusannya juga diharapkan mampu menghayati peranannya sebagai bidan
profesional serta mampu bekerja disemua area yang membutuhkannya.
Praktik pemberdayaan perempuan berbasis gender ini merupakan implementasi dari
penerapan mata kuliah yang ada di dalam kurikulim institusi Program Studi D-III Kebidanan
Bukittinggi yang dilaksanakan pada semester V (lima). Dengan adanya mata kuliah Praktik
Komunitas Pemberdayaan Perempuan Berbasis Gender ini harapannya adalah mahasiswa akan
dapat melihat keberadaan perempuan di masyarakat dan berperan serta dalam upaya peningkatan
peran serta perempuan dalam setiap aspek kehidupan melalui upaya pemberdayaan perempuan
berbasis gender.

4
1.2. TUJUAN
A. Tujuan Umum

Setelah selesai mengikuti pratik Pemberdayaan Perempuan Berbasis Gender di


lapangan mahasiswa mampu melaksanakan asuhan kebidanan komunitas yang bermutu
dan komprehensif kepada keluarga, kelompok dan masyarakat yang berfokus pada upaya
– upaya pemberdayaan perempuan, preventif dan promotif melalui pengorganisasian dan
pengembangan masyarakat serta upaya safe motherhood sesuai dengan budaya setempat.

B. Tujuan Khusus
1) Mengumpulkan data secara lengkap dan sesuai kebutuhan.
2) Melakukan tabulasi data dan memprioritaskan masalah.
3) Melaksanakan Musyawarah Masyaraka keluarga (MMK).
4) Menggerakkan upaya KIA di wilayah praktik.
5) Membangun jaringan pada pelayanan kebidanan komunitas.
6) Melaksanakan kunjungan rumah pada kasus kebidanan dan Neonatal.
7) Melaksanakan ANC di komunitas.
8) Melaksanakan asuhan kebidanan pada ibu nifas di komunitas.
9) Melaksanakan asuhan kebidanan pada Neonatus dan bayi di komunitas.
10) Melakukan penanganan kasus gawat darurat di masyarakat.
11) Melaksanakan upaya promotif dan preventif pada balita di komunitas.
12) Melaksanakan upaya promotif dan preventif pada wanita selama daur kehidupan
13) Melaksanakan asuhan pada keluarga yang bermasalah secara intensif
14) Membuat laporan akhir pratikum

5
1.3. MANFAAT

Kegiatan Praktik Komunitas Pemberdayaan Perempuan Berbasis Gender memberikan


manfaat nyata bagi semua bagian yang terlibat didalamnya, yaitu Mahasiswa, Institusi Program
Studi Kebidanan Bukittinggi Poltekkes Kemenkes Padang dan Institusi Tatanan Pelayanan
Kesehatan di Masyarakat.

A. Manfaat Bagi Mahasiswa


1. Terpapar dengan berbagai permasalahan nyata di masyarakat khususnya mengenai
masalah kesehatan reproduksi wanita yang berhubungan dengan pemberdayaan
perempuan.
2. Memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang lebih aplikatif dalam pelayanan
kesehatan ibu dan anak di masyarakat.
3. Mendapatkan pengalaman bekerja dalam tim di masyarakat untuk memecahkan
masalah.
4. Menggunakan metodologi yang relevan untuk menganalisis situasi, mengidentifikasi
masalah, menetapkan alternatif pemecahan masalah, merencanakan program
intervensi, menerapkan kegiatan intervensi, melakukan pemantauan kegiatan
intervensi dan menilai keberhasilan intervensi
B. Manfaat Bagi Institusi Program Studi Kebidanan Bukittinggi
1. Diperolehnya berbagai bentuk, cara aztau pola pendekatan pada masyarakat yang
diterapkan di lapangan sehingga dapat digunakan oleh institusi untuk menyusun
pengembangan kurikulum.
2. Meningkatkan kualitas dan kapasitas pendidikan dengan dilibatkannya tenaga
terampil di lapangan dalam kegiatan praktik komunitas pemberdayaan perempuan
berbasis gender
C. Manfaat Bagi Lahan Praktik/masyarakat
1. Memperoleh rangsangan, masukan, dan motivasi dalam meningkatkan kegiatan/
pelaksanaan program yang ada.
2. Bersama-sama dengan mahasiswa membantu kegiatan manajemen pelayanan
kesehatan reproduksi di masyarakat serta membuat rekomendasi terpilih yang
berhubungan dengan kebijakan kesehatan ibu dan anak di masyarakat

6
3. Bersama-sama dengan mahasiswa membantu kegiatan operasional khususnya
kesehatan ibu dan anak

Anda mungkin juga menyukai