Disusun Oleh :
Definisi
Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang timbul
setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi (Siregar, 2004).
Predisposisi
Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya dermatitis kontak alergi. Misalnya
antara lain:
a. Faktor eksternal (Djuanda, 2011):
1) Potesi sensitisasi allergen
2) Dosis per unit area
3) Luas daerah yang terkena
4) Lama pajanan
5) Oklusi
6) Suhu dan kelembaban lingkungan
7) Vehikulum
8) pH
b. Faktor Internal/ Faktor Individu (Djuanda, 2011):
1) Keadaan kulit pada lokasi kontak
Contohnya ialah ketebalan epidermis dan keadaan stratum korneum.
2) Status imunologik
Misal orang tersebut sedang menderita sakit, atau terpajan sinar matahari.
3) Genetik
Faktor predisposisi genetic berperan kecil, meskipun misalnya mutasi null
pada kompleks gen fillagrin lebih berperan karena alergi nickel (Thysen,
2009).
4) Status higinie dan gizi
Seluruh faktor – faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain yang
masing – masing dapat memperberat penyakit atau memperingan. Sebagai
contoh, saat keadaan imunologik seseorang rendah, namun apabila satus
higinienya baik dan didukung status gizi yang cukup, maka potensi sensitisasi
allergen akan tereduksi dari potensi yang seharusnya. Sehingga sistem
imunitas tubuh dapat dengan lebih cepat melakukan perbaikan bila
dibandingkan dengan keadaan status higinie dan gizi individu yang rendah.
Selain hal – hal diatas, faktor predisposisi lain yang menyebabkan kontak
alergik adalah setiap keadaan yang menyebabkan integritas kulit terganggu,
misalnya dermatitis statis (Baratawijaya, 2006).
Patofisiologi
Dermatitis kontak alergi atau DKA disebabkan oleh pajanan secara
berulang oleh suatu alergen tertentu secara berulang, seperti zat kimia yang
sangat reaktif dan seringkali mempunyai struktur kimia yang sangat sederhana.
Struktur kimia tersebut bila terkena kulit dapat menembus lapisan epidermis
yang lebih dalam menembus stratum corneum dan membentuk kompleks
sebagai hapten dengan protein kulit. Konjugat yang terbentuk diperkenalkan
oleh sel dendrit ke sel-sel kelenjar getah bening yang mengalir dan limfosit-
limfosit secara khusus dapat mengenali konjugat hapten dan terbentuk bagian
protein karier yang berdekatan. Kojugasi hapten-hapten diulang pada kontak
selanjutnya dan limfosit yang sudah disensitisasikan memberikan respons,
menyebabkan timbulnya sitotoksisitas langsung dan terjadinya radang yang
ditimbulkan oleh limfokin (Price, 2005).
Sebenarnya, DKA ini memiliki 2 fase yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi
yang akhirnya dapat menyebabkan DKA. Pada kedua fase ini akan melepaskan
mediator-mediator inflamasi seperti IL-2, TNFα, leukotrien, IFNγ, dan sebagainya,
sebagai respon terhadap pajanan yang mengenai kulit tersebut. Pelepasan
mediator-mediator tersebut akan menimbulkan manifestasi klinis khas khas yang
hampir sama seperti dermatitis lainnya. DKA ini akan terlihat jelas setelah
terpajan oleh alergen selama beberapa waktu yang lama sekitar berbulan- bulan
bahkan beberapa tahun (Price, 2005).
Secara khas, DKA bermanifestasi klinis sebagai pruritus, kemerahan dan
penebalan kulit yang seringkali memperlihatkan adanya vesikel-vesikel yang
relatif rapuh. Edema pada daerah yang terserang mula-mula tampak nyata dan
jika mengenai wajah, genitalia atau ekstrimitas distal dapat menyerupai eksema.
Edema memisahkan sel-sel lapisan epidermis yang lebih dalam (spongiosus) dan
dermis yang berdekatan. Lebih sering mengenai bagian kulit yang tidak memiliki
rambut terutama kelopak mata (Price, 2005).
Karakteristik dermatitis alergi adalah:
1. Sebelumnya terpapar oleh alergen
2. 48-96 jam antara kontak dan perubahan pada kulit.
3. Sebelumnya tubuh telah terkontak dengan alergen yang sama di
bagian tubuh yang lainnya.
4. Menetapnya alergen dalam tubuh selama bertahun-tahun.3
Ada dua proses utama yang terlibat dalam dermatitis kontak alergi
yaitu sensitisasi (induksi, atau ekstremitas aferen, sensitivitas) dan
elisitasi (atau ekstremitas eferen) dermatitis kontak. Empat jenis reaksi
hipersensitivitas tipe lambat untuk eksogen bahan kimia, di antaranya
dermatitis kontak alergi adalah bentuk, telah diusulkan :
Th1-dimediasi-dengan melepaskan IFN-γ dan TNF-α, dan aktivasi
monosit dan makrofag pada dermatitis kontak alergi, eksantema
bulosa dan tes kulit tuberkulin
Th2-dimediasi-dengan pelepasan IL-5, IL-4, IL-13 dan eotaxin,
sehingga eosinophilic infl ammation terlihat di makulopapular dan
eksantema bulosa
Dimediasi oleh CD4 + sitotoksik dan sel T CD8 +, dengan pelepasan
perforin, granzim dan Fas-ligan, sehingga kontak alergi dermatitis,
makulopapular, pustular dan bulosa eksantema
Pelepasan CXCL-8 dan GM-CSF oleh sel T, sehingga rekrutmen
neutrofil di eksantema pustular.4
Fase Sensitisasi
Bahan kimia yang dapat bersifat sebagai alergen biasanya berat
molekulnya kecil (berat molekul <500 Da), larut dalam lemak dan ini
disebut sebagai hapten. Hapten yang masuk ke dalam epidermis
melewati stratum korneum akan difagosit oleh sel langerhans, dan
diproses secara kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol dan kemudian
berikatan dengan HLA-DR membentuk antigen lengkap. Pada awalnya sel
langerhans dalam keadaan istirahat, dan hanya berfungsi sebagai
makrofag dengan sedikit kemampuan menstimulasi sel T. Tetapi setelah
keratinosit terpajan oleh hapten yang juga mempunyai sifat iritan, akan
melepaskan sitokin (IL-1) yang akan mengaktifkan sel langerhans sehingga
mampu menstimulasi sel T. 5
Sensitisasi hanya bisa terjadi jika hubungan dengan limpha nodus baik.
Sel langerhans yang membawa alergen melalui limphatik afferent menuju
parakortikal pada daerah limpha nodus, dimana akan berhubungan
dengan limfosit T.5
Sensitisasi adalah mungkin jika sambungan ke regio nodus limfa utuh.
Selanjutnya sel Langerhans dirangsang untuk mengeluarkan IL-1
(interleukin-1) yang akan merangsang sel T untuk mengeluarkan IL-2.
Kemudian IL-2 akan mengakibatkan proliferasi sel T sehingga terbentuk
memory T cells, yang akan bersirkulasi ke seluruh tubuh meninggalkan
limfonodi dan akan memasuki fase elisitasi bila kontak berikut dengan
alergen yang sama. Proses ini pada manusia berlangsung selama 14-21
hari, dan belum terdapat ruam pada kulit. Pada saat ini individu tersebut
telah tersensitasi.5
Fase Elisitasi
Fase elisitasi terjadi jika terdapat pajanan ulang dari antigen yang
sama dengan kosentrasi yang sama. Terjadi ± 24-48 jam, dimana terjadi
proses yang cepat. Antigen yan telah dikenal itu akan langsung
mempengaruhi sel limfosit T yang telah tersensitisasi yang kemudian akan
dilepaskan sebagai mediator yang akan menarik sel-sel radang. Hal inilah
yang selanjutnya menimbulkan gejala klinis dermatitis. Sel Langerhans
akan mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk mensekresi IL-2.
Selanjutnya IL-2 akan merangsang IFN (interferon) gamma. IL-1 dan IFN
gamma akan merangsang keratinosit memproduksi ICAM-1 (intercellular
adhesion molecule-1) yang langsung beraksi dengan limfosit T dan lekosit,
serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan sel mast dan
makrofag untuk melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi dan
permeabilitas yang meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam
kelainan kulit seperti eritema, edema dan vesikel yang akan tampak
sebagai dermatitis.
GEJALA KLINIK
Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada
keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang akut dimulai dengan
bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema,
papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan
erosi dan eksudasi (basah). Dermatitis kontak alergi akut ditempat tertentu,
misalnya kelopak mata, penis, skrotum, eritema dan edema. Pada yang
kronis terlihat kulit kering berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga
fisura, batasnya tidak jelas. Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis
kontak iritan kronis, mungkin penyebabnya juga campuran.6
Dermatitis kontak alergi dapat meluas ke tempat lain, misalnya dengan
cara autosensitisasi. Kulit kepala, telapak tangan dan kaki relatif resisten
terhadap dermatitis kontak alergi.6
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokasi dan pola kelainan
kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Berbagai lokasi
terjadinya DKA dapat dilihat pada tabel 2.2. Misalnya, di ketiak oleh deodoran; di
pergelangan tangan oleh jam tangan; di kedua kaki oleh sepatu/sandal.
Pemeriksaan hendaknya dilakukan di tempat yang cukup terang, pada seluruh
kulit untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-sebab endogen
(Sularsito, 2010).
b. Dermatitis kontak alergi akut pada bibir yang terjadi karena lipstick.
Pasien hipersensitif terhadap eosin mengakibatkan eritema pada
bibir
PENTALAKSANAAN
DIAGNOSIS BANDING
Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dapat
disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila bersamaan dengan
dermatitis yang disebabkan oleh faktor endogen(dermatitis atopik, dermatitis
numularisatau psoriasia) (Vorvick, 2011; Sularsito, 2007). Faktor lain yang
membuat prognosis kurang baik adalah pajanan alergen yang tidak mungkin
dihindari misalnya berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat
di lingkungan penderita(Djuanda, 2005).
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi kulit sekunder oleh bakteri terutama
Staphylococcus aureus, jamur, atau oleh virus misalnya herpes simpleks. Rasa
gatal yang berkepanjangan serta perilaku menggaruk dapat dapat mendorong
kelembaban pada lesi kulit sehingga menciptakan lingkungan yang ramah bagi
bakteri atau jamur. Selain itu dapat pula menyebabkan eritema multiforme
(lecet) dan menyebabkan kulit berubah warna, tebal dan kasar atau disebut
neurodermatitis (lichen simplex chronicus) (Bourke, et al., 2009).
DAFTAR PUSTAKA