Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN DERMATITIS KONTAK ALERGI

Disusun Oleh :

ALDRIYAN KAREL RAHANKLAN


NIM : 117361610

Preseptor Akademik Preseptor Lahan

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN


STIK FAMIKA MAKASAR
TAHUN 2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN
DERMATITIS KONTAK ALERGI

Definisi
Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang timbul
setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi (Siregar, 2004).

Etiologi dan Predisposisi


Etiologi
Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa bahan
kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan
kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi
alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit (Djuanda, 2005).
Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu dari tumbuh-tumbuhan.
Sembilan puluh persen dari populasi mengalami sensitisasi terhadap tanaman
dari genus Toxicodendron, misalnya poison ivy, poison oak dan poison sumac.
Toxicodendron mengandung urushiol yaitu suatu campuran dari highly antigenic
3- enta decyl cathecols. Bahan lainnya adalah nikel sulfat (bahan-bahan logam),
potassium dichromat (semen, pembersih alat -alat rumah tangga), formaldehid,
etilendiamin (cat rambut, obat-obatan), mercaptobenzotiazol (karet), tiuram
(fungisida) dan parafenilendiamin (cat rambut, bahan kimia fotografi)
(Trihapsoro, 2003).

Predisposisi
Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya dermatitis kontak alergi. Misalnya
antara lain:
a. Faktor eksternal (Djuanda, 2011):
1) Potesi sensitisasi allergen
2) Dosis per unit area
3) Luas daerah yang terkena
4) Lama pajanan
5) Oklusi
6) Suhu dan kelembaban lingkungan
7) Vehikulum
8) pH
b. Faktor Internal/ Faktor Individu (Djuanda, 2011):
1) Keadaan kulit pada lokasi kontak
Contohnya ialah ketebalan epidermis dan keadaan stratum korneum.
2) Status imunologik
Misal orang tersebut sedang menderita sakit, atau terpajan sinar matahari.
3) Genetik
Faktor predisposisi genetic berperan kecil, meskipun misalnya mutasi null
pada kompleks gen fillagrin lebih berperan karena alergi nickel (Thysen,
2009).
4) Status higinie dan gizi

Seluruh faktor – faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain yang
masing – masing dapat memperberat penyakit atau memperingan. Sebagai
contoh, saat keadaan imunologik seseorang rendah, namun apabila satus
higinienya baik dan didukung status gizi yang cukup, maka potensi sensitisasi
allergen akan tereduksi dari potensi yang seharusnya. Sehingga sistem
imunitas tubuh dapat dengan lebih cepat melakukan perbaikan bila
dibandingkan dengan keadaan status higinie dan gizi individu yang rendah.
Selain hal – hal diatas, faktor predisposisi lain yang menyebabkan kontak
alergik adalah setiap keadaan yang menyebabkan integritas kulit terganggu,
misalnya dermatitis statis (Baratawijaya, 2006).
Patofisiologi
Dermatitis kontak alergi atau DKA disebabkan oleh pajanan secara
berulang oleh suatu alergen tertentu secara berulang, seperti zat kimia yang
sangat reaktif dan seringkali mempunyai struktur kimia yang sangat sederhana.
Struktur kimia tersebut bila terkena kulit dapat menembus lapisan epidermis
yang lebih dalam menembus stratum corneum dan membentuk kompleks
sebagai hapten dengan protein kulit. Konjugat yang terbentuk diperkenalkan
oleh sel dendrit ke sel-sel kelenjar getah bening yang mengalir dan limfosit-
limfosit secara khusus dapat mengenali konjugat hapten dan terbentuk bagian
protein karier yang berdekatan. Kojugasi hapten-hapten diulang pada kontak
selanjutnya dan limfosit yang sudah disensitisasikan memberikan respons,
menyebabkan timbulnya sitotoksisitas langsung dan terjadinya radang yang
ditimbulkan oleh limfokin (Price, 2005).
Sebenarnya, DKA ini memiliki 2 fase yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi
yang akhirnya dapat menyebabkan DKA. Pada kedua fase ini akan melepaskan
mediator-mediator inflamasi seperti IL-2, TNFα, leukotrien, IFNγ, dan sebagainya,
sebagai respon terhadap pajanan yang mengenai kulit tersebut. Pelepasan
mediator-mediator tersebut akan menimbulkan manifestasi klinis khas khas yang
hampir sama seperti dermatitis lainnya. DKA ini akan terlihat jelas setelah
terpajan oleh alergen selama beberapa waktu yang lama sekitar berbulan- bulan
bahkan beberapa tahun (Price, 2005).
Secara khas, DKA bermanifestasi klinis sebagai pruritus, kemerahan dan
penebalan kulit yang seringkali memperlihatkan adanya vesikel-vesikel yang
relatif rapuh. Edema pada daerah yang terserang mula-mula tampak nyata dan
jika mengenai wajah, genitalia atau ekstrimitas distal dapat menyerupai eksema.
Edema memisahkan sel-sel lapisan epidermis yang lebih dalam (spongiosus) dan
dermis yang berdekatan. Lebih sering mengenai bagian kulit yang tidak memiliki
rambut terutama kelopak mata (Price, 2005).
Karakteristik dermatitis alergi adalah:
1. Sebelumnya terpapar oleh alergen
2. 48-96 jam antara kontak dan perubahan pada kulit.
3. Sebelumnya tubuh telah terkontak dengan alergen yang sama di
bagian tubuh yang lainnya.
4. Menetapnya alergen dalam tubuh selama bertahun-tahun.3
Ada dua proses utama yang terlibat dalam dermatitis kontak alergi
yaitu sensitisasi (induksi, atau ekstremitas aferen, sensitivitas) dan
elisitasi (atau ekstremitas eferen) dermatitis kontak. Empat jenis reaksi
hipersensitivitas tipe lambat untuk eksogen bahan kimia, di antaranya
dermatitis kontak alergi adalah bentuk, telah diusulkan :
 Th1-dimediasi-dengan melepaskan IFN-γ dan TNF-α, dan aktivasi
monosit dan makrofag pada dermatitis kontak alergi, eksantema
bulosa dan tes kulit tuberkulin
 Th2-dimediasi-dengan pelepasan IL-5, IL-4, IL-13 dan eotaxin,
sehingga eosinophilic infl ammation terlihat di makulopapular dan
eksantema bulosa
 Dimediasi oleh CD4 + sitotoksik dan sel T CD8 +, dengan pelepasan
perforin, granzim dan Fas-ligan, sehingga kontak alergi dermatitis,
makulopapular, pustular dan bulosa eksantema
 Pelepasan CXCL-8 dan GM-CSF oleh sel T, sehingga rekrutmen
neutrofil di eksantema pustular.4
 Fase Sensitisasi
Bahan kimia yang dapat bersifat sebagai alergen biasanya berat
molekulnya kecil (berat molekul <500 Da), larut dalam lemak dan ini
disebut sebagai hapten. Hapten yang masuk ke dalam epidermis
melewati stratum korneum akan difagosit oleh sel langerhans, dan
diproses secara kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol dan kemudian
berikatan dengan HLA-DR membentuk antigen lengkap. Pada awalnya sel
langerhans dalam keadaan istirahat, dan hanya berfungsi sebagai
makrofag dengan sedikit kemampuan menstimulasi sel T. Tetapi setelah
keratinosit terpajan oleh hapten yang juga mempunyai sifat iritan, akan
melepaskan sitokin (IL-1) yang akan mengaktifkan sel langerhans sehingga
mampu menstimulasi sel T. 5
Sensitisasi hanya bisa terjadi jika hubungan dengan limpha nodus baik.
Sel langerhans yang membawa alergen melalui limphatik afferent menuju
parakortikal pada daerah limpha nodus, dimana akan berhubungan
dengan limfosit T.5
Sensitisasi adalah mungkin jika sambungan ke regio nodus limfa utuh.
Selanjutnya sel Langerhans dirangsang untuk mengeluarkan IL-1
(interleukin-1) yang akan merangsang sel T untuk mengeluarkan IL-2.
Kemudian IL-2 akan mengakibatkan proliferasi sel T sehingga terbentuk
memory T cells, yang akan bersirkulasi ke seluruh tubuh meninggalkan
limfonodi dan akan memasuki fase elisitasi bila kontak berikut dengan
alergen yang sama. Proses ini pada manusia berlangsung selama 14-21
hari, dan belum terdapat ruam pada kulit. Pada saat ini individu tersebut
telah tersensitasi.5
 Fase Elisitasi
Fase elisitasi terjadi jika terdapat pajanan ulang dari antigen yang
sama dengan kosentrasi yang sama. Terjadi ± 24-48 jam, dimana terjadi
proses yang cepat. Antigen yan telah dikenal itu akan langsung
mempengaruhi sel limfosit T yang telah tersensitisasi yang kemudian akan
dilepaskan sebagai mediator yang akan menarik sel-sel radang. Hal inilah
yang selanjutnya menimbulkan gejala klinis dermatitis. Sel Langerhans
akan mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk mensekresi IL-2.
Selanjutnya IL-2 akan merangsang IFN (interferon) gamma. IL-1 dan IFN
gamma akan merangsang keratinosit memproduksi ICAM-1 (intercellular
adhesion molecule-1) yang langsung beraksi dengan limfosit T dan lekosit,
serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan sel mast dan
makrofag untuk melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi dan
permeabilitas yang meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam
kelainan kulit seperti eritema, edema dan vesikel yang akan tampak
sebagai dermatitis.

GEJALA KLINIK
Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada
keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang akut dimulai dengan
bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema,
papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan
erosi dan eksudasi (basah). Dermatitis kontak alergi akut ditempat tertentu,
misalnya kelopak mata, penis, skrotum, eritema dan edema. Pada yang
kronis terlihat kulit kering berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga
fisura, batasnya tidak jelas. Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis
kontak iritan kronis, mungkin penyebabnya juga campuran.6
Dermatitis kontak alergi dapat meluas ke tempat lain, misalnya dengan
cara autosensitisasi. Kulit kepala, telapak tangan dan kaki relatif resisten
terhadap dermatitis kontak alergi.6

Gambar 1 kulit tampak kemerahan dan bula. Dikutip dari kepustakaan 7


Penegakan Diagnosis
Anamnesa
Diagnosis DKA didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan
klinis yang teliti. Penderita umumnya mengeluh gatal (Sularsito, 2010).
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit
berukuran numular di sekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi,
dengan papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah penderita memakai
kancing celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data
yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal
yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui
menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, riwayat atopi, baik dari
yang bersangkutan maupun keluarganya (Sularsito, 2010). Penelusuran riwayat
pada DKA didasarkan pada beberapa data seperti yang tercantum dalam tabel
2.1 berikut.
Tabel 2.1 Penelusuran riwayat pada DKA (Sularsito,2010).
Demografi dan riwayat Umur, jenis kelamin, ras, suku, agama, status
pekerjaan pernikahan, pekerjaan, deskripsi dari pekerjaan,
paparan berulang dari alergen yang didapat saat
kerja, tempat bekerja, pekerjaan sebelumnya.
Riwayat penyakit dalam Faktor genetik, predisposisi
keluarga
Riwayat penyakit Alergi obat, penyakit yang sedang diderita, obat-
sebelumnya obat yang digunakan, tindakan bedah
Riwayat dermatitis yang Onset, lokasi, pengobatan
spesifik

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokasi dan pola kelainan
kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Berbagai lokasi
terjadinya DKA dapat dilihat pada tabel 2.2. Misalnya, di ketiak oleh deodoran; di
pergelangan tangan oleh jam tangan; di kedua kaki oleh sepatu/sandal.
Pemeriksaan hendaknya dilakukan di tempat yang cukup terang, pada seluruh
kulit untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-sebab endogen
(Sularsito, 2010).

Tabel 2.2 Berbagai Lokasi Terjadinya DKA (Sularsito,2010).


Lokasi Kemungkinan Penyebab
Tangan Pekerjaan yang basah (‘Wet Work’) misalnya
memasak makanan (getah sayuran, pestisida) dan
mencuci pakaian menggunakan deterjen.
Lengan Jam tangan (nikel), sarung tangan karet, debu semen,
dan tanaman.
Ketiak Deodoran, anti-perspiran, formaldehid yang ada di
pakaian.
Wajah Bahan kosmetik, spons (karet), obat topikal, alergen di
udara (aero-alergen), nikel (tangkai kacamata).
Bibir Lipstik, pasta gigi, getah buah-buahan.
Kelopak mata Maskara, eye shadow, obat tetes mata, salep mata.
Telinga Anting yang terbuat dari nikel, tangkai kacamata, obat
topikal, gagang telepon.
Leher Kalung dari nikel, parfum, alergen di udara, zat warna
pakaian.
Badan Tekstil, zat warna, kancing logam, karet (elastis, busa),
plastik, deterjen, bahan pelembut atau pewangi
pakaian.
Genitalia Antiseptik, obat topikal, nilon, kondom, pembalut
wanita, alergen yang berada di tangan, parfum,
kontrasepsi.
Paha dan tungkai bawah Tekstil, kaus kaki nilon, obat topikal, sepatu/sandal.
Pada pemeriksaan fisik dermatitis kontak alergi secara umum dapat diamati
beberapa ujud kelainan kulit antara lain edema, papulovesikel, vesikel atau bula.
Ujud kelainan kulit dapat dilihat pada beberapa gambar berikut :

a. Dermatitis kontak alergi pada di lengan tempat tali jam tangan


karena alergi terhadap nikel menyebabkan eritema. Lesi yang
timbul pada lokasi kontak langsung dengan nikel (lesi eksematosa
dan terkadang popular). Lesi eksematosa berupa papul-papul,
vesikel-vesikel yang dijumpai pada lokasi kontak langsung.

b. Dermatitis kontak alergi akut pada bibir yang terjadi karena lipstick.
Pasien hipersensitif terhadap eosin mengakibatkan eritema pada
bibir

c. Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab


dermatitis kontak pada telinga. Penyebab lain misalnya obat
topikal, tangkai kaca mata, cat rambut, alat bantu dengar, gagang
telepon. Alat bantu dengar dapat mengandung akrilak, bahan
plastik, serta bahan kimia lainnya. Anting-anting yang
menyebabkan dermatitis pada telinga umumnya yang terbuat dari
nikel dan jarang pada emas. Tindikan pada telinga mungkin
menjadi fase sensitisasi pada dermatitis karena nikel yang bisa
mengarah pada dermatitis kontak kronik. Dermatitis kontak alergi
subakut pada telinga dan sebagian leher. Akhirnya diketahui bahwa
pasien alergi terhadap bahan plastik

d. Badan. Dermatitis kontak di badan dapat disebabkanolehtekstil,


zatwarnakancinglogam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen,
bahanpelembutataupewangipakaian. Dermatitis
kontakpadaperutkarenapasienalergipadakaretdari celananya.
Terlihatadanyaeritema yang berbatastegassesuaidengandaerah
yang terkenaalergen.

e. Genitalia.Penyebabnya data antiseptik, obattopikal, nilon,


kondom, pembalut wanita alergen yang berada di tangan, parfum,
kontrasepsi, deterjen. Dermatitis kontak yang terjadi pada daerah
vulva karena alergi pada cream yang mengandung neomisin,
terlihat eritema

f. Paha dantungkaibawah. Dermatitis di tempat ini dapat


disebabkan oleh tekstil, dompet, kunci (nikel), kaos kaki nilon, obat
topikal, semen, sepatu/sandal. Pada gambar dermatitis
kontakalergi yang terjadi karena Quaternium-15,bahan pengawet
pada pelembab.Kaki mengalami skuama, krusta

Pemeriksaan penunjang tersebut dapat dilakukan secara in vivo ataupun in


vitro.8
1. Pemeriksaan In Vitro
a. Hitung eosinofil total
Pemeriksaan hitung eosinofil total perlu dilakukan untuk
menunjang diagnosis dan mengevaluasi pengobatan penyakit
alergi. Eosinofilia apabila dijumpai jumlah eosinofil darah lebih
dari 450 eosinofil/µL.1 Hitung eosinofil total dengan kamar hitung
lebih akurat dibandingkan persentase hitung jenis eosinofil
sediaan apus darah tepi dikalikan hitung leukosit total. Eosinofilia
sedang (15%-40%) didapatkan pada penyakit alergi, infeksi
parasit, pajanan obat, keganasan, dan defisiensi imun, sedangkan
eosinofilia yang berlebihan (50%-90%) ditemukan pada migrasi
larva Dibandingkan IgE, eosinofilia menunjukkan korelasi yang
lebih kuat dengan sinusitis berat maupun sinusitis kronis. Jumlah
eosinofil darah dapat berkurang akibat infeksi dan pemberian
kortikosteroid secara sistemik.8
b. Hitung eosinofil dalam secret
Peningkatan jumlah eosinofil dalam apusan sekret hidung
merupakan indikator yang lebih sensitif dibandingkan eosinofilia
darah tepi, dan dapat membedakan rinitis alergi dari rinitis akibat
penyebab lain. Meskipun demikian tidak dapat menentukan
alergen penyebab yang spesifik. Esinofilia nasal pada anak apabila
ditemukan eosinofil lebih dari 4% dalam apusan sekret hidung,
sedangkan pada remaja dan dewasa bila lebih dari 10%.
Eosinofilia sekret hidung juga dapat memperkirakan respons
terapi dengan kortikosteroid hidung topikal. Hitung eosinofil juga
dapat dilakukan pada sekret bronkus dan konjungtiva. 8
c. Kadar serum IgE total
Peningkatan kadar IgE serum sering didapatkan pada
penyakit alergi sehingga seringkali dilakukan untuk menunjang
diagnosis penyakit alergi. Pasien dengan dermatitis atopi memiliki
kadar IgE tertinggi dan pasien asma memiliki kadar IgE yang lebih
tinggi dibandingkan rinitis alergi.1 Meskipun rerata kadar IgE total
pasien alergi di populasi lebih tinggi dibandingkan pasien non-
alergi, namun adanya tumpang tindih kadar IgE pada populasi
alergi dan non-alergi menyebabkan nilai diagnostik IgE total
rendah.Kadar IgE total didapatkan normal pada 50% pasien alergi,
dan sebaliknya meningkat pada penyakit non-alergi (infeksi
virus/jamur, imunodefisiensi, keganasan). 8

d. Kadar IgE spesifik


Pemeriksaan kadar IgE spesifik untuk suatu alergen
tertentu dapat dilakukan secara in vivo dengan uji kulit atau
secara in vitro dengan metode RAST (Radio Allergosorbent Test),
ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent Assay), atau RAST enzim.
Kelebihan metode RAST dibanding uji kulit adalah keamanan dan
hasilnya tidak dipengaruhi oleh obat maupun kelainan kulit. Hasil
RAST berkorelasi cukup baik dengan uji kulit dan uji provokasi,
namun sensitivitas RAST lebih rendah.8
2. Pemeriksaan In Vivo
a. Uji kulit
Sel mast dengan IgE spesifik untuk alergen tertentu
berlekatan dengan reseptor yang berafinitas tinggi pada kulit
pasien dengan alergi. Kontak sejumlah kecil alergen pada kulit
pasien yang alergi dengan alergen akan menimbulkan hubungan
silang antara alergen dengan sel mast permukaan kulit, yang
akhirnya mencetuskan aktivasi sel mast dan melepaskan berbagai
preformed dan newly generated mediator. Histamin merupakan
mediator utama dalam timbulnya reaksi wheal, gatal, dan
kemerahan pada kulit (hasil uji kulit positif). Reaksi kemerahan
kulit ini terjadi segera, mencapai puncak dalam waktu 20 menit
dan mereda setelah 20-30 menit. Beberapa pasien menunjukkan
edema yang lebih lugas dengan batas yang tidak terlalu jelas dan
dasar kemerahan selama 6-12 jam dan berakhir setelah 24 jam
(fase lambat).8
Terdapat 3 cara untuk melakukan uji kulit, yaitu cara
intradermal, uji tusuk (skin prick test/SPT), dan uji gores (scratch
test). 8

Uji kulit intradermal: 0,01-0,02 ml ekstrak alergen


disuntikkan ke dalam lapisan dermis sehingga timbul gelembung
berdiameter 3 mm. Dimulai dengan konsentrasi terendah yang
menimbulkan reaksi, lalu ditingkatkan berangsur dengan
konsentrasi 10 kali lipat hingga berindurasi 5-15 mm. Teknik uji
kulit intradermal lebih sensitif dibanding skin prick test (SPT),
namun tidak direkomendasikan untuk alergen makanan karena
dapat mencetuskan reaksi anafilaksis.8
Uji gores (scratch test): sudah banyak ditinggalkan karena
kurang akurat. Uji tusuk (skin prick test/SPT): Uji tusuk dapat
dilakukan pada alergen hirup, alergen di tempat kerja, dan
alergen makanan. Lokasi terbaik adalah daerah volar lengan
bawah dengan jarak minimal 2 cm dari lipat siku dan pergelangan
tangan. Setetes ekstrak alergen dalam gliserin diletakkan pada
permukaan kulit. Lapisan superfisial kulit ditusuk dan dicungkit ke
atas dengan jarum khusus untuk uji tusuk. Hasil positif bila wheal
yang terbentuk >2 mm. Preparat antihistamin, efedrin/epinefrin,
kortikosteroid dan β-agonis dapat mengurangi reaktivitas kulit,
sehingga harus dihentikan sebelum uji kulit. Uji kulit paling baik
dilakukan setelah pasien berusia tiga tahun. Sensitivitas SPT
terhadap alergen makanan.8
lebih rendah dibanding alergen hirup. Dibanding uji
intradermal, SPT memiliki sensitivitas yang lebih rendah namun
spesifisitasnya lebih tinggi dan memiliki korelasi yang lebih baik
dengan gejala yang timbul.8
b. Uji Provokasi
Uji provokasi dilakukan untuk melihat hubungan antara
paparan alergen dengan gejala pada berbagai organ (kulit,
konjungtiva, saluran cerna, paru), maka dapat dilakukan uji
provokasi.8
 Uji provokasi bronkial, ekstrak alergen dengan
konsentrasi yang makin tinggi dihirup melalui nebulizer
untuk melihat obstruksi jalan napas. Atkins dalam
penelitian menunjukkan bahwa uji provokasi bronkial
berkorelasi baik dengan uji kulit maupun uji alergi in
vitro.8
 Uji provokasi makanan, dilakukan berdasarkan riwayat
makanan yang dicurigai serta hasil uji kulit ataupun
RAST terhadap makanan tersebut. Pelaksanaannya
dapat dilakukan secara terbuka, single-blind, double-
blind, atau double-blind placebo-controlled. Jika uji
kulit negatif dan riwayat reaksi terhadap makanan
meragukan maka uji provokasi makanan terbuka dapat
dilakukan setelah melakukan diet eliminasi selama tiga
minggu. Pada uji provokasi susu sapi dilakukan dengan
memberikan susu sapi mulai dari 1 tetes/15 menit
hingga 30 ml/15 menit, dan bila telah mencapai 200 ml
tidak terjadi reaksi alergi, maka pasien dapat
mengkonsumsi susu sapi.8
 Uji provokasi sekum (colonoscopic allergen
provocationlCOLAP), dilakukan melalui kolonoskopi
dengan menyuntikkan ekstrak alergen ke dalam
mukosa sekum. Hasil positif berupa pembentukan
wheal dan kemerahan pada mukosa. Derajat alergi
ditentukan secara semikuantitatif, yaitu 0=tidak ada
reaksi, 1=meragukan, 2=reaksi sedang (diameter <1
cm), 3=reaksi berat (1-2 cm), dan 4=reaksi maksimal
(>2 cm).10 Hasil COLAP sesuai dengan riwayat alergi,
namun tidak sesuai dengan hasil SPT dan RAST.
Kejadian kemungkinan karena IgE spesifik mukosa usus
tidak beredar secara sistemik, atau reaksi
hipersensitivitas pada usus bukan (bukan hanya)
merupakan mekanisme yang IgE-tergantung. 8
 Uji tempel (patch test), pada umumnya digunakan
pada kasus dermatitis kontak. Alergen yang dicurigai
diletakkan pada kulit dan hasil positif berupa reaksi
eksatema dalam 48-72 jam. Selain pada dermatitis
kontak, uji tempel juga dilakukan untuk mendiagnosis
alergi makanan pada anak dengan dermatitis atopi dan
esofagitis eosinofilik. Dijumpai 67% anak dengan uji
provokasi susu sapi yang positif menunjukkan hasil SPT
(reaksi alergi tipe cepat) yang positif, sedangkan uji
tempel menunjukkan hasil yang negatif. Sebaliknya, uji
tempel positif pada 89% anak dengan reaksi alergi tipe
lambat (25-44 jam). Dikatakan bahwa kombinasi uji
tusuk dan uji tempel memiliki nilai prediksi positif
tertinggi dan dapat menggantikan uji provokasi
makanan.8
 Immuno CAP Phadiatop Infant (PI), berguna untuk
mendeteksi IgE pada bayi hingga usia 2 tahun. Apabila
dibandingkan dengan skin prick test (SPT) dan RAST
pada bayi dengan hasil SPT dan RAST seluruhnya positif
atau negatif, maka PI memiliki sensitivitas 96%,
spesifisitas 98%, nilai prediktif positif 89%, dan nilai
prediktif negatif 99% namun pada bayi dengan hasil
SPT atau RAST positif, PI menunjukkan sensitivitas 82%,
spesifisitas 98%, nilai prediktif positif 94%, dan nilai
prediktif negatif 95%. Terdapat korelasi yang bermakna
secara statistik antara eksim dan hasil PI yang positif,
namun korelasi dengan gejala asma dan
rinokonjungtivitis tidak meyakinkan karena di atas usia
dua tahun telah terdapat peran infeksi virus. Dengan
demikian PI dapat digunakan sebagai pemeriksaan
alergi pada bayi karena dapat menggantikan SPT dan
tidak memerlukan seleksi antigen spesifik baik pada
SPT maupun RAST.8
 Microarrayed Allergen Molecules, dapat diketahui
molekul alergen penyebab sehingga dapat memberi
informasi tentang profit reaktivitas alergi dan dapat
mengidentifikasi dengan tepat molekul yang digunakan
dalam imunoterapi. Beberapa dekade yang lampau
terdapat berbagai metode pemeriksaan alergi yang
saat ini telah ditinggalkan karena tidak sesuai dengan
patofisiologi penyakit alergi, antara lain uji alergi
sitotoksik (cytotoxic allergy testing), uji provokasi, dan
netralisasi (provocative and neutralization testing)
secara subkutan ataupun sublingual, imunoterapi
dengan titrasi kulit (skin titration method of
inzinunotlwrapy), urine autoinjection (autogenous
urine immunization), dan pemeriksaan kadar IgG serum
terhadap makanan tertentu.8
Pemeriksaan Histopalogi
Pemeriksaan Histopalogi dilakukan dengan cara(Sularsito, 2010).:
1) Untuk pemeriksaan ini dibutuhkan potongan jaringan yang didapat dengan
cara biopsi dengan pisau atau plong/punch.
2) Penyertaan kulit normal pada tumor kulit, penyakit infeksi, kulit normal tidak
perlu diikutsertakan.
3) Sedapat-dapatnya diusahakan agar lesi yang akan dibiopsi adalah lesi primer
yang belum mengalami garukan atau infeksi sekunder.
4) Bila ada infeksi sekunder, sebaiknya diobati lebih dahulu.
5) Pada penyakit yang mempunyai lesi yg beraneka macam/ banyak, lebih baik
biopsi lebih dari satu.
6) Potongan jaringan sebisanya berbentuk elips + diikutsertakan jaringan
subkutis.
7) Jaringan yang telah dipotong dimasukan ke dalam larutan fiksasi, misanya
formalin 10% atau formalin buffer, supaya menjadi keras dan sel-selnya mati.
8) Lalu dikirim ke laboratorium
9) Pewarnaan rutin yang biasa digunakan dalah Hematoksilin-Eosin(HE). Ada
pula yang menggunakanperwarnaan oersein dan Giemsa.
10) Volume cairan fiksasi sebaiknya tidak kurang dari 20 X volume jaringan
11) Agar cairan fiksasi dapat dengan baik masuk ke jaringan hendaknya tebal
jaringan kira-kira 1/2 cm, kalau terlalu tebal dibelah dahulu sebelum
dimasukkan ke dalam cairan fiksasi

Pada dermatitis kontak, limfosit T yang telah tersensitisasi, menginvasi dermis


dan epidermis serta menyebabkan edema dermis atau spongiosis epidermis.
Perubahan-perubahan ini secara histologi tidak spesifik (Sularsito, 2010).
1) Epidermis (Sularsito, 2010):
a) Hiperkeratosis, serum sering terjebak dalam stratum korneum.
b) Hiperplastik, akantosis yang luas.
c) Spongiosis, yang kadang vesikuler. Manifestasi dini ditandai dengan
penonjol dari jembatan antar sel di lapisan spinosus.
d) Kemudian ada epidermotropism dari limfosit yang muncul normal.
2) Dermis (Sularsito, 2010):
a) Limfosit perivesikuler
b) Eosinofil: bervariasi, muncul awal dan karena sebab alergi
c) Edema

Histopatologik dermatitis kontak alergi


Terlihat hiperkeratosis, vesikel parakeratosis subkorneal, spongiosis sedang dan
elongasi akantosis dari pars papilare dermis yang dinyatakan lewat infiltrasi sel-
sel radang berupa limfosit dan beberapa eosinofil, serta elongasi dari papila
epidermis(Sularsito, 2010).
3. Gold Standard Diagnosis
Gold standard pada diagnosis dermatitis kontak alergika yaitu dilakukan uji
tempel. Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Untuk
melakukan uji tempel diperukan antigen standar buatan pabrik, misalnya Finn
Chamber System Kit dan T.R.U.E Test. Adakalanya tes dilakukan dengan antigen
bukan standar, dapat berupa bahan kimia murni, atau lebih sering bahan
campuran yang berasal dari rumah, lingkungan kerja atau tempat rekreasi.
Mungkin ada sebagian bahan ini yang bersifat sangat toksik terhadap kulit, atau
walaupun jarang dapat memberikan efek toksik secara sistemik. Oleh karena itu,
bila menggunakan bahan tidak standar, apalagi dengan bahan industri, harus
berhati-hati sekali. Jangan melakukan uji tempel dengan bahan yang tidak
diketahui (Sularsito, 2010).

PENTALAKSANAAN

1. Terapi Non Farmakologi


a. Membersihkan dengan cara mengompres kulit yang teriritasi dengan
air hangat.
b. Memberikan edukasi mengenai kegiatan yang beresiko untuk terkena
dermatitis kontak alergi
c. Menghindari substansi alergen
d. Mengganti semua pakaian yang terkean alergen
e. Mencuci bagian yang yang terapapar secepat mungkin dengan sabun,
jika tidak ada sabun bilas dengan air.
f. Menghindari air bekas cucian / bilasan kulit yang terpapar alergen
g. Bersihkan pakaian yang terkena alergen secara terpisah dengan
pakaian lain
h. Bersihkan hewan peliharaan yang diketahui terpapar alergen
i. Gunakan perlengkapan / pakaian pelindung saat melakukan aktivitas
yang beresiko terhadap paparan alergen.7
2. Terapi Farmakologi
Umum : Hindari faktor penyebab
Khusus :
a) Sistemik :
 Antihistamin
 Kortikosteroid : metilprednison, metilprednisolon, atau
triamsinolon.
b) Topikal
Jika lesi basah diberi kompres KMnO4 1/5000. Jika sudah
mengering diberi kortikosteroid topikal seperti hidrokortison
1-2%, triamsinolon 0,1%, fluosinolon 0,025%, desoksimetason
2-2,5 dan betametason-dipropionat 0,05%.9

DIAGNOSIS BANDING

Perbandingan Dermatitis Kontak Iritan dan Dermatitis Kontak Alergi.5

Gambaran klinis Dermatitis kontak iritan Dermatitis kontak alergi


Reaksi T cell–mediated
Patogenesis Efek sitotoksik langsung
immune
Setiap orang Golongan minoritas
Onset sedang (chemical
burns)
12–48 jam sebelum 12-48 jam sebelum
Onset
tersensitisasi. tersensitisasi
Setelah terpapar bahan
iritan lemah yang berulang
Ekzema subakut atau kronik
dengan deskuamasi dan Ekzema akut sampai
Tanda
fisura. subakut dengan vesikel

Gejala Nyeri dan sensasi terbakar Pruritus


Konsentrasi kontaktan Tinggi Rendah
Pemeriksaan Tidak ada Patch or prick tests

Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dapat
disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila bersamaan dengan
dermatitis yang disebabkan oleh faktor endogen(dermatitis atopik, dermatitis
numularisatau psoriasia) (Vorvick, 2011; Sularsito, 2007). Faktor lain yang
membuat prognosis kurang baik adalah pajanan alergen yang tidak mungkin
dihindari misalnya berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat
di lingkungan penderita(Djuanda, 2005).

Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi kulit sekunder oleh bakteri terutama
Staphylococcus aureus, jamur, atau oleh virus misalnya herpes simpleks. Rasa
gatal yang berkepanjangan serta perilaku menggaruk dapat dapat mendorong
kelembaban pada lesi kulit sehingga menciptakan lingkungan yang ramah bagi
bakteri atau jamur. Selain itu dapat pula menyebabkan eritema multiforme
(lecet) dan menyebabkan kulit berubah warna, tebal dan kasar atau disebut
neurodermatitis (lichen simplex chronicus) (Bourke, et al., 2009).

DAFTAR PUSTAKA

1. Anies. Penyakit Akibat Kerja. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.


2016.
2. Undang-undang Kesehatan (UU RI No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan).
Jakarta: Indonesian Legal Center Publishing.
3. Wahyudi N, Hutomo M. Penyakit Kulit Akibat Kerja. Berkala Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin; Vol.18, No.3. 2014.
4. Keputusan Presiden (UU No. 36 Tahun 2014 tentang penyakit yang timbul
karena hubungan kerja).
5. Imma Nur Cahyawati, Irwan Budiono. Faktor-faktor Yang Berhubungan
Dengan Kejadian Dermatitis Pada Nelayan. 2010.
6. Djuanda, S dan Sri Adi S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. 2007.
7. Australian Government. Occupational Contact Dermatitis in Australian.
Australian: Commenwealth of Australia;. p.1-12. 2011.
8. David, R, dkk. Lecture notes Kedokteran Klinis. Jakarta: Erlangga.
2007: 343.
9. Brown, Robin Graham & Tony Burns. Lecture Notes: Dermatologi. Jakarta:
Erlangga. 2016.
10. ILO. Data Kecelakaan Kerja. Diakses dari
http://www.academia.edu/10915871/Data_kecelakaan_kerja pada tanggal 3
Maret 2017.
11. Taylor, J.S. Sood. A. Amado, A. Occupational Skin Disease Due to Irritans and
Allergents, In Fitzpatricks Dermatology In General Medicine. Wolff, K. Goldsmith,
L.A. 2017.
12. Diepgen, TL and Coenraads PJ. The Epidemiology of Occupational Contact
Dermatitis. Jerman: Department of Social Medicine, Center of Occupational &
Environtmental Dermatology, University of Heidelberg.2016.
13. Safeguards. Contact Dermatitis. Government of South Australia, Departemenn
for Administratif and Information Services. 2016.
http://repository.unimus.ac.id

Anda mungkin juga menyukai