D
I
S
U
S
U
N
Oleh :
Nama : Yoko Sosilo
Sosilo
NPM : E1C011074
Kelas : B
JURUSAN PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga penyusunan
makalah petunjuk praktis manajemen umum pencegahan dan pengendalian penyakit Mastitis
atau radang ambing pada ternak sapi perah ini dapat diselesaikan pada waktunya.
Makalah ini mengurai secara praktis dan sederhana cara pencegahan dan
pengendalian penyakit Mastitis pada ternak sapi perah sehingga mudah dipahami para
pengguna dalam hal ini sarjana membangun desa dan kelompok petani ternak binaannya
maupun pegiat peternakan sapi perah lainnya. Diharapkan makalah ini dapat memperbaiki
produktivitas sapi perah di Indonesia
Dengan selesainya makalah ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada ibu
drh. Tatik suteky, M.Sc. selaku dosen pengasuh mata kuliah Kesehatan ternak di Jurusan
Peternakan Universitas Bengkulu. Tak lupa pula penulis menyampaikan terima kasih kepada
para rekan-rekan sahabat yang telah membangun kerja sama yang baik selama pembuatan
makalah ini.
Penulis menyadari masih banyak sekali kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan dalam menyusun makalah
yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, amin.
Yoko Sosilo
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
Mastitis adalah peradangan pada jaringan internal ambing atau kelenjar mammae oleh
mikroba, zat kimiawi dan luka akibat mekanis atau panas. Mastitis juga merupakan penyakit
yang umum terjadi pada peternakan sapi perah di seluruh dunia dan secara nyata menurunkan
produksi susu (BLOMQUIST, 2008; DUVAL, 1997; MCDONALD, 2009; RAZA, 2009).
Mastitis mikotik adalah penyakit mastitis yang disebabkan oleh infeksi cendawan patogenik
(kapang dan khamir) (JAVIE dan NIKKI, 2003; SPANAMBERG et al ., 2009; CHAHOTA et
al ., 2001). Kasus ini biasanya terjadi akibat pengobatan antibiotika yang tidak terkontrol dan
lingkungan perkandangan, serta manajemen yang kurang baik dan kotor. Meskipun mastitis
mikotik prevalensinya kecil namun diperkirakan dapat mencapai 2 – 3% dari keseluruhan
kasus mastitis. Kasus mastitik mikotik harus diwaspadai karena umumnya bersifat subkinis
dan kronis. Mastitis pada sapi perah mengakibatkan kerugian yang besar dalam produksi
susu, kualitas dan komposisi susu, sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang besar
nilainya (MCDONALD, 2009; STANOJEVIC dan KRANJAJIC, 2009; THOMPSON et al .,
1978; VESTWEBER dan LEIPOLD, 1995).
Cendawan patogen sebagai penyebab penyakit sering dilupakan bila terjadi kasus
mastitis. Umumnya pengobatan hanya diberikan antibiotika yang efektif untuk membunuh
bakteri penyebab radang ambing tersebut, sehingga pengobatan mastitis tidak tuntas bila
penyebab utamanya karena cendawan belum dimusnahkan. Meskipun kasus-kasus mastitis
mikotik banyak terdapat di berbagai belahan dunia seperti di Inggris yang merupakan
masalah no. 3 terbesar pada sapi perah yang cukup sulit pengendaliannya (AINSWORTH dan
AUSTWICK, 1959; UNIVERSITAS READING, 2009), namun di Indonesia sangat jarang
dipublikasikan (HASTIONO et al ., 1983; NATALIA dan HASTIONO, 1985;
SUDARWANTO, 1987). Hasil Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
404 penelitian HASTIONO et al . (1983), dari 25 ekor sapi perah dan yang 22 ekor bergejala
klinis, diperoleh 100 sampel air susu dengan 20 sampel positif mengandung cendawan.
Selanjutnya SUDARWANTO (1987) pada
peternakan rakyat menemukan kasus mastitis mikotik pada sapi perah di Bogor, Sukabumi
dan Cianjur. Dari 161 ekor sapi perah dengan 65% menunjukkan gejala klinis mastitis
diperoleh 344 sampel air susu dengan 33,7% positif ditemukan cendawan (kapang dan
khamir). Dua puluh tiga tahun kemudian AHMAD dan GHOLIB (2011) melaporkan dari 40
ekor sapi perah dengan 2 ekor yang bergejala klinis diperoleh 160 sampel air susu dengan 60
sampel mengandung cendawan. Cendawan patogen tersebut dari 3 hasil penelitian di atas
umumnya didominasi oleh khamir Candida sp. dan Saccharomyces sp. dengan prevalensi
kasus pada tahun 1983, 1987 dan 2010 secara berurutan: 20; 33,7 dan 37,5%.
Mengingat Indonesia negara tropis yang lembab dan hangat maka cendawan akan
mudah tumbuh. Cemaran cendawan patogenik dan toksigenik ditemukan pada bahan pakan,
pakan dan lingkungan (AHMAD, 2009). Hal ini memungkinkan dapat terjadinya cemaran di
mana-mana, termasuk di kandang sapi yang pada akhirnya dapat menginfeksi ambing sapi.
Kemungkinan pada tahun 2011 ini masih dapat ditemukan atau terus bertambah jumlahnya
karena umumnya kasus mastitis mikotik ini tergolong mastitis subklinis. Hanya saja mungkin
belum dilaporkan atau dipublikasikan kembali, kemungkinan lain mungkin tidak terdeteksi
atau diketahui oleh peternak. Di Bogor saja ditemukan kasus mastitis mikotik di Kebon Pedes
(AHMAD dan GHOLIB, 2011)
1.2 TUJUAN
Dari penulisan makalah ini untuk memaparkan tentang mastitis mikotik, serta
diharapkan dari makalah ini dapat menambah pengetahuan tentang Penyakit Mastitis dan
juga dapat mengetahui ciri-ciri ternak terserang mastitis, Gejalah ternak terserang Mastitis,
Penyebab Mastitis cara penanggulangan, dan pengendalian mastitis secara total sehingga
pada akhirnya kasus mastitis mikotik di Indonesia dapat ditanggulangi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PENGENALAN PENYAKIT MASTITIS
Mastitis adalah peradangan pada jaringan internal ambing atau kelenjar mammae oleh
mikroba, zat kimiawi dan luka akibat mekanis atau panas. Mastitis juga merupakan penyakit
yang umum terjadi pada peternakan sapi perah di seluruh dunia dan secara nyata menurunkan
produksi susu (BLOMQUIST, 2008; DUVAL, 1997; MCDONALD, 2009; RAZA, 2009).
Mastitis mikotik adalah penyakit mastitis yang disebabkan oleh infeksi cendawan patogenik
(kapang dan khamir) (JAVIE dan NIKKI, 2003; SPANAMBERG et al ., 2009; CHAHOTA et
al ., 2001). Kasus ini biasanya terjadi akibat pengobatan antibiotika yang tidak terkontrol dan
lingkungan perkandangan, serta manajemen yang kurang baik dan kotor. Meskipun mastitis
mikotik prevalensinya kecil namun diperkirakan dapat mencapai 2 – 3% dari keseluruhan
kasus mastitis. Kasus mastitik mikotik harus diwaspadai karena umumnya bersifat subkinis
dan kronis. Mastitis pada sapi perah mengakibatkan kerugian yang besar dalam produksi
susu, kualitas dan komposisi susu, sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang besar
nilainya (MCDONALD, 2009; STANOJEVIC dan KRANJAJIC, 2009; THOMPSON et al .,
1978; VESTWEBER dan LEIPOLD, 1995).
Mastitis atau radang ambing merupakan penyakit terpenting pada sapi perah, tidak
hanya di Indonesia namun juga di dunia. Mastitis merupakan peradangan kelenjar susu yang
disertai dengan perubahan fisik, kimiawi dan mikrobiologi. Secara fisis pada air susu sapi
penderita mastitis klinis terjadi perubahan warna, bau, rasa dan konsistensi. Mastitis
dipengaruhi oleh interaksi 3 faktor yaitu ternak itu sendiri, mikroorganisme penyebab mastitis
dan faktor lingkungan. Menurut para ahli penyebab utama mastitis adalah kuman
Streptococcus agalactiae, Streptococcus dysagalactae, Streptococcus uberis, Stafilokokus
aureus dan Koliform. Faktor lingkungan, terutama sanitasi dan higienis lingkungan kandang
tempat pemeliharaan, posisi dan keadaan lantai, sistem pembuangan kotoran, sistem
pemerahan, iklim, serta peternak itu sendiri dan alat yang ada. Gejala klinis mastitis nampak
adanya perubahan pada ambing maupun air susu. Misalnya bentuk yang asimetri, bengkak,
ada luka, rasa sakit apabila ambing dipegang, sampai nantinya mengeras tidak lagi
menghasilkan air susu jika sudah terjadi pembentukan jaringan ikat. Pada air susu sendiri
terjadi perubahan bentuk fisik maupun kimiawi (Anonim,2011)
2.2 PENYEBAB PENYAKIT MASTITIS
Mastitis disebabkan oleh bakteri spesies Staphylococcus aureus, Streptococcus
agalactiae, Streptococcus disgalactiae, Streptococcus uberis, bahkan terkadang sepsis oleh
infeksi Eschericia coli. Bakteri tersebut menginfeksi melalui pori-pori ambing yang tidak
bersih baik pra maupun pasca pemerahan. (Muhammad Tohawi Elzyat Purnama,2013)
Proses infeksi mastitis pada sapi oleh bakteri atau cendawan terjadinya tidak banyak
berbeda karena selalu dipengaruhi oleh faktor predisposisi seperti lingkungan, cemaran dan
jalan masuknya mikroba (Gambar 2). Umumnya infeksi khamir oleh Candida sp. dan
Cryptococcus sp. (STANOJEVIC and KRANJAJIC, 2009). Infeksi mastitis dapat terjadi
melalui beberapa tahapan, yaitu pertama melalui kontak dengan mikroorganisme kemudian
selanjutnya sejumlah mikroorganisme mengalami multiplikasi di sekitar lubang puting
(sphincter), setelah itu dilanjutkan dengan masuknya mikroorganisme ke dalam jaringan
akibat lubang puting yang terbuka ataupun karena adanya luka. Tahap selanjutnya terjadi
respon imun pada induk semang. Respon pertahanan pertama ditandai dengan berkumpulnya
lekosit-lekosit untuk mengeliminasi mikroorganisme yang telah menempel pada sel-sel
ambing. Apabila respon ini gagal, maka mikroorganisme akan mengalami multiplikasi dan
sapi dapat memperlihatkan respon yang lain, misalnya demam. Bila hewan lemah maka akan
terjadi mastitis, bila hewan sehat maka hewan akan meningkatkan imunitas sehingga
menimbulkan kekebalan dan pada akhirnya hewan akan tetap sehat (HURLEY dan MORIN,
2000; CHAMBERS, 2009). Candida sp. adalah khamir komensal yang berhabitat di daerah
mukokutaneus, umumnya ada pada saluran pencernaan dan genital. Cryptococcus sp.
ditemukan pada debu, kulit, dan saluran pencernaan hewan (STANOJEVIC dan
KRANJAJIC, 2009). Bila hewan dalam kondisi sehat maka infeksi Candida sp. tidak
berpengaruh dan hewan tidak akan terinfeksi. Namun bila hewan lemah maka hewan akan
terinfeksi. Infeksi lain yang merupakan faktor predisposisi dapat berasal dari kanula, jarum,
cemaran pada preparat antibiotika dan perlukaan.
Umumnya infeksi cendawan patogen terjadi setelah pengobatan oleh antibiotika yang
tidak tuntas, serta dapat juga terjadi dari cemaran lingkungan yang masuk ke ambing melalui
puting susu yang tercemar oleh lingkungan kotor.
Subronto (2003) menyatakan bahwa secara klinis radang ambing dapat berlangsung
secara akut, subakut dan kronik. Radang dikatakan bersifat subklinis apabila gejala-gejala
klinis radang tidak ditemukan saat pemeriksaan ambing. Pada proses radang yang bersifat
akut, tanda-tanda radang jelas ditemukan, seperti : kebengkakan ambing, panas saat diraba,
rasa sakit, warna kemerahan dan terganggunya fungsi. Air susu berubah sifat, seperti : pecah,
bercampur endapan atau jonjot fibrin, reruntuhan sel maupun gumpalan protein. Proses yang
berlangsung secara subakut ditandai dengan gejala sebagaimana di atas, namun derajatnya
lebih ringan, ternak masih mau makan dan suhu tubuh masih dalam batas normal. Proses
berlangsung kronis apabila infeksi dalam suatu ambing berlangsung lama, dari suatu periode
laktasi ke periode berikutnya. Proses kronis biasanya berakhir dengan atropi kelenjar
mammae.
Kasus mastitis subklinis merupakan mastitis yang paling umum terjadi, diperkirakan
15 – 40 kali lebih banyak dibandingkan dengan mastitis klinis (HURLEY dan MORIN, 2000;
HURLEY, 2009; MORIN, 2009). Gejala klinis ditandai dengan adanya kelenjar ambing
membengkak, udematus berisi cairan eksudat disertai tanda-tanda peradangan lainnya,
seperti: suhu meningkat, kemerahan, rasa sakit dan penurunan fungsi. Namun seringkali sulit
untuk mengetahui kapan terjadinya suatu peradangan, sehingga diagnosis terhadap mastitis
harus dilakukan melalui pengujian pada produksi susunya, misalnya dengan melakukan
penghitungan jumlah sel somatik (JSS) dalam susu (BRAMLEY, 1991). Terjadinya
peradangan ditandai oleh perbarahan, panas, kemerahan, rasa sakit pada ambing, menurunnya
produksi susu serta perubahan warna dan komposisi susu (MCDONALD, 2009; MORIN,
2009; HURLEY dan MORIN, 2000). Berdasarkan gejala yang nampak mastitis dapat
digolongkan menjadi klinis dan yang tidak nampak gejala klinis (subklinis). Mastitis
berdasarkan onset penyakit terbagi dalam mastitis perakut, akut, subakut dan kronis. Perakut
ditandai dengan onset yang tiba-tiba, terjadi peradangan yang parah pada ambing, air susu
berubah menjadi serous. Pada mastitis akut terjadi dengan tiba-tiba, peradangan pada ambing
derajatnya sedang sampai parah. Mastitis subakut mempunyai reaksi peradangan yang ringan,
tidak terlihat perubahan penampilan ambing, namun terjadi perubahan dari komposisi
penampilan air susu, juga akan terjadi pecahnya permukaan susu. Terkadang susu tidak
berwarna. Mastitis subklinis tidak jelas gejala klinisnya namun terkadang terjadi perubahan
komposisi air susu. Pada mastitis kronis gejalanya seperti mastitis subkinis namun
kejadiannya berlangsung lebih lama (MORIN, 2009). Menurut MACDONALD (2009)
mastitis subklinis sangat berbahaya, dari setiap 1 kasus mastitis klinis terdapat 20 sampai 40
kali kejadian mastitis subklinis. Jika tidak ditangani dengan baik maka kasus mastitis
subklinis pada akhirnya menjadi mastitis klinis dalam waktu yang cukup lama. Mastitis
mikotik umumnya tergolong kronis dan subklinis. Sehubungan dengan hal tersebut seringkali
terjadi kesalahan dalam mendiagnosis sehingga terlambat penanganannya.
Pengendalian melalui pencegahan akan lebih baik dari pada mengobati kasus mastitis.
Pencegahan lebih murah secara ekonomis, lebih praktis penerapannya dari pada mengobati.
Tidak ada efek resistensi ataupun sisa residu pada hewan. Pengetahuan tentang mastitis
mikotik dan penyebabnya harus terus dipelajari. Oleh karena itu dengan paparan ini
diharapkan pengendalian mastitis mikotik mudah diaplikasikan sehingga pada akhirnya kasus
mastitis mikotik akan berkurang dan musnah.
BAB III
KESIMPULAN
AHMAD, R.Z. dan D. GHOLIB 2011. Komunikasi Pribadi AHMAD, R.Z. 2009. Cemaran
kapang pada pakan dan pengendaliannya. J. Litbang Pertanian 28(1): 15 – 22.
Anonim, 2011. Penyakit yang sering terjadi pada Sapi.
http://karanhtengahraharjo.blogspot.com/2011/10/mastitis-pada-sapi-perah.html
AINSWORTH, G.C. and P.K.C. AUSTWICK. 1959. Chapter 13: Mycotic Mastitis (Yeasts,
moulds, actinomycetes, colourless algae). Commonwealth Mycological
Institute, Kew, Surrey, England. Fungal Diseases of Animals. Review Series. No: 6.
The Common Wealth Bureau of animal Health, F.L.S. Central Veterinary Laboratory,
Weybridge, Surrey, England. http:// www. Aspergillus
rg.uk/secure/veterinary/Fung disanim 13.htm. (di Unduh 10 Oktober 2013).
CHAMBERS, J.V. 2009. The infection process of mastitis: understanding and managing the
host-parasite relationship. http: //www.dfamilik. com/pathlab/pdfs/the infection-
process-of-mastitis pdf.: 1 – 10.
COSTA, E.O., C.R. GANDRA, M.F. PIRES, S.D. COUTINHO, W. CASTILHO and C.M.
TEIXEIRA. 1993. Survey of bovine mycotic mastitis in dairy herds in the State of
São Paulo, Brazil. Mycopathologia 124(1): 13 – 7.
DUVAL, J. 1997. Treating mastitis without antibiotics. Ecological Agriculture Projects.
http://www.eap.mcgill.ca/Publications/EAP69.htm. (di unduh tanggal 10 Oktober
2013).
FARNSWORTH, R.J. and D.K. SORENSEN. 1972 Prevalence and Species Distribution of
Yeast in Mammary Glands of Dairy Cows in Minnesota. Can. J. Comp. Med. 36
(October), 329 – 323
HASTIONO, S., D. GHOLIB, SUDARISMAN, P. ZAHARI dan L. NATALIA. 1983.
Mastitis mikotik pada sapi perah. Penelitian pendahuluan. Pros. pertemuan Ilmiah
Ruminansia Besar, Cisarua, 6 – 9 Desember 1982: 193 – 201.
HURLEY, W.L. and D.E. MORIN. 2000. Mastitis Lesson A. Lactation Biology. ANSCI 308.
http://classes aces.uiuc.edu/Ansci 308/. (di unduh tanggal 10 Oktober 2013).
JAVIE, K. and C. NIKKI. 2003. Miscellaneous pathogen Mastitis. New Bolton Center Filed
Service Departement. http://w.w.w. Miscellaneous pathogen./mastitis. Html. (di
unduh tanggal 10 Oktober 2013).
KRUKOWSKI, H. and L. SABA. 2003. Bovine Mycotic Mastitis (A Review) Folia
Veterinaria, 47(1): 3 – 7.
KRUKOWSKI, H., A. LISOWSKI, P. RÓZAŃSKI, A. KÓRKA 2006. Yeasts and algae
isolated from cows with mastitis in the south-eastern part of Poland. Pol. J. Vet.
Sci..9(3): 181 – 4.
MCDONALD. 2009. Mastitis in cow. Dairy Cattle Production 342 – 480. A McDonald
Campus of McGill University. Faculty of Agricultural & Environmental Sciences.
Departement of Animal Science 1 – 12.
MORIN, D. 2009. Mastitis Case Studies. Mastitis Clinical Syndromes. Mastitis Detective
Cases. University of Illinois. http;//www.Mastitis detective cases. Mastitis.resources
2017.htm (di unduh tanggal 10 Oktober 2013).
Muhammad Tohawi Elzyat purnama, 2013. Penanganan masitis pada sapi perah.
http://elziyad9tsn.wordpress.com/2013/02/15/penanganan-mastitis-pada-sapi-perah/
(di unduh tanggal 10 Oktober 2013)
NATALIA, L. dan S. HASTIONO. 1985. Candida albicans salah satu penyebab mastitis
mikotik berhasil diisolasi dari air susu. Penyakit Hewan XVII. 30: 71 – 74.
RAZA, S.H. 2009. Mastitis: A. Monster Treath to Dairy Industry. Pakistan. Com. http://
w.w.w. mastitis monster treath to dairy Industry 5 html. (di unduh tanggal 10 Oktober
2013).
SPANAMBERG, A., E.A. SANCHES, J.M. CAVALLINI, E. SANTURIO, L. FEREIRO.
2009. Mycotic mastitis in ruminants caused by yeasts. Cienc. Rural (online). 39(1):
282 – 290.
SPANAMBERG, A., E.A. WÜNDER, D.I.B. PEREIRA, J. ARGENTA, E.M.C. SANCHES,
P. VALENTE, L. FERREIRO. 2008. Mastitis in Southern Brazil Diversity of yeasts
from bovine. Rev. Iberoam Micol. 25: 154 – 156.
STANOJEVIC, S. and D. KRANJAJIC. 2009. YEAST MASTITIS IN COWS Internet J.
Food Safety V.1. 8 – 10 http://www.foodhaccp. com/internetjournal IJFSv1-3.pdf.
SUDARWANTO, M. 1987. Mastitis mikotik pada sapisapi perah di Kabupaten Bogor,
Sukabumi dan Cianjur JawaBarat. Penyakit Hewan XIX (34) II; 70 – 73.
TARFAROSH, M.A. and S.K. PUROHIT. 2008. Isolation of Candida spp. from Mastitic
cows and Milkers. Vet. Scan. (3): 28.
THOMPSON, K.G., M.E. DI MENNA, M.E. CARTER and M.G. CARMAN. 1978. Mycotic
Mastitis in two Cows. N.Z. Vet. J. 26: 176 – 177.
UNIVERSITY OF READING. 2009. Mastitis disease of cattle from the cattle site. The cattle
site.com. jttp://.w.w.w. mastitis. Univ. Reading. Html. (di unduh tanggal 10 Oktober
2013).
VEEN, V.H.S. and W.D. KREMER 1992. (Mycotic mastitis in cattle) Tijdschr Diergeneeskd.
15; 117(14): 414 – 6.