Anda di halaman 1dari 8

Jurnal Kesehatan Kusuma Husada – Januari 2020

PERTOLONGAN PERTAMA DAN PENILAIAN KEPARAHAN


ENVENOMASI PADA PASIEN GIGITAN ULAR

Anissa Cindy Nurul Afni1, Fakhrudin Nasrul Sani2


1,2
Prodi D3 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
Email: anissacindy88@gmail.com

ABSTRAK
Distribusi keracunan dan kematian akibat gigitan ular di dunia bevariasi. Dalam
kasus berat, akan luka gigitan akan berkembang menjadi bula dan jaringan
nekrotik, serta muncul gejala sistemik berupa mual, muntah dan kelemahan otot atau
kejang. Tingginya angka kejadian snake bite di Indonesia belum diimbangi dengan
penanganan yang optimal di prehospital. Fenomena yang muncul, Masyarakat
cenderung melakukan pertolongan pertama menggunakan cara-cara tradisional,
sedangkan WHO sejak tahun 2016 tidak lagi merekomendasikan bentuk pertolongan
tersebut.Metode penelitian ini yaitu deskriptif kuantitatif. Penelitian ini
menggunakan teknik total sampling dengan jumlah 35 responden, waktu
pengambilan data Januari – September 2019 (9 bulan) dengan kriteria eksklusi:
Pasien dengan gigitan ular yang meninggal saat datang ke IGD RSUD Gemolong.
Teknik pengumpulan data dengan kuesioner meliputi pertolongan pertama
prehospital dan tanda dan gejala klinis yang muncul pada pasien saat tiba di rumah
sakit utnuk menentukan derajat keparahan envenomasi. Analisa data univariat
digunakan untuk menggambarkan deskriptif masing-masing variabel.Gambaran
Pertolongan pertama prehospital yang dilakukan yaitu: 40,3% mengikat luka gigitan
ular dengan tali, 31% responden menghisap ara luka, 14,3% responden merobek luka
dengan pisau, 8,5% responden mencuci luka dengan sabun, 2,9% responden
membakar luka dan memberikan jahe bakar pada area luka. Gambaran tingkat
keparahan envenomasi responden yaitu: 57,2% responden menglami envenomasi
derajat 2, sejumlah 22,8% responden mengalami envenomasi derajat 3, dan 20%
responden mengalami envenomasi derajat 1. Tidak ada responden yang mengalami
envenomasi derajat 4.Tindakan tradisional yang dilakukan dapat meningkatkan
keparahan luka dan juga mempercepat penyebaran bisa. Prinsipn utama yang
direkomendasikan untuk penanganan pertama gigitan ular adalah mecegah
kecemasan yang berlebihan, melakukan imobilisasi area dengan balut tekan
(pressure immobilitation tehnik) dan segera rujuk ke rumah sakit.
Kata Kunci: gigitan ular, pertolongan pertama, keparahan envenomasi

ABSTRACT
The distribution of poisoning and mortality caused by snake bites in the world is
increasing. In severe cases, the bite wound will develop into bullae and necrotic
tissue, as well as systemic symptoms such as nausea, vomiting and muscle weakness
or spasms. The high incidence of snake bite in Indonesia has not been matched by
optimal handling at prehospital. The phenomenon that arises, the community tends
to do first aid using traditional methods, WHO since 2016 no longer recommends
this form of help. Design of this study is quantitative descriptive with cross sectional
approach. This study used a total sampling technique with a total of 35 respondents,
data collection time was January - September 2019 (9 months) with exclusion
criteria: Patients with snake bites who died when they came to the Emergency Room.
Data collection techniques using questionnaires included prehospital first aid and
clinical signs and symptoms that appeared in patients when they arrived at the
hospital to determine the severity of envenomation. Univariate data analysis is used
to describe the descriptive of each variable. Result of this study showed the
Prehospital First Aid overview: 40.3% respondent used a tourniquet technique, 31%
of respondents sucking wound, 14.3% of respondents give an incission of the bite

91
Jurnal Kesehatan Kusuma Husada – Januari 2020

wound, 8.5% of respondents washed wounds with soap, 2.9% of respondents burn
wounds and give burnt ginger to the injured area. The description of the severity of
envenomation is: 57.2% of respondents in grade 2, 22.8% of respondents in grade 3,
and 20% of respondents in grade 1. No one respondents experienced grade 4
envenomation.The traditional actions taken by the lay persone can increase the
severity of the wound and also accelerate the spread of bacteria. The main
principles recommended for the first treatment of snake bites are preventing
excessive anxiety, immobilizing the area with pressure immobilization technique and
immediately referring to the hospital.
Keywords: snake bite, first aid, severity of envenomation

1. PENDAHULUAN adalah elapide contoh kobra dan bungarus


Data World Health Organization fasciatus yang ada di Sumatera, Jawa dan
(WHO), gigitan ular di dunia memakan Borneo di Indonesia. Dan jenis ular
korban hingga 4.5 juta orang setiap berikutnya adalah viperidae yang
tahunnya. Jumlah tersebut memilikigigi taring yang cukup tajam.
mengakibatkan luka serius pada 2.7 juta Jenis ular di Indonesia bagian Barat hanya
pria, wanita dan anak-anak serta 5% yang berbisa seperti kobra jawa, ular
menghilangkan nyawa sekitar 125 ribu. welang (bungarus), ular hijau.
Sementara itu banyak korban gigtan ular Sedangkan di Indonesia Timu seperti
yang selamat yang kemudian megalami Papua dan maluku 90% merupakan ular
kecacatan tubuh dan lumpuh. World berbisa yang menyerang sel saraf (WHO,
Health Organization (2018) juga 2016).
mencatat bahwa 4,5-5,4 juta kasus Pada kasus gigitan ular, 98% kasus
pertahun ini menjadi kasus tertinggi meimbulkan nyeri tekan pada area
kategori Neglected Tropical Desease gigitan, pembengkakan lokal menyebar,
(NTD). pembengkakan dan nyeri pada kelenjar
Distribusi keracunan dan kematian getah bening perdarahan lokal persisten,
akibat gigitan ular di dunia bevariasi, memar, infeksi (pembengkakan,
rendah pada dataran Eropa, Australia, kemerhan, peningkatan suhu). Dalam
Amerika bagian Utara. Dan anga kejadian kasus berat, akan luka gigitan akan
tinggi di Sub Afrika Sahara, Asia utara, berkembang menjadi bula dan jaringan
dan South-East Asia. Data yang nekrotik, serta muncul gejala sistemik
dikumpulkan, estimasi gigitan ular berupa mual, muntah dan kelemahan otot
135.000 kasus per tahun dan angka atau kejang. (WHO, 2016)
kematian sebesar 5-10 persen. Data yang Korban yang didgigit ular akan
terlapor dan ditangani di UGD ±15.000 menimbulkan gejala yang khas. Tingkat
kasus pertahun dan yang dikonsultasikan keparahan atau derajat keparahan
ke RECS Indonesia kurang lebih 750 envenomasi dibagi ke dalam empat
kasus pertahun. Sehingga angka ini sama kriteria yaitu derajat 1 (minor)=tidak ada
dengan angka HIV/AIDS 191.000 gejala, derajat 2 (moderate)=gejala lokal
pertahun dan kematian lebih tinggi dari (envenomasi ringan), derajat 3
wabah ebola (Luman dan Endang, 2018) (severe)=gejala berkembang ke daerah
Di Indonesia belum ada data yang pasti regional, derajat 4 (major)=gejala
mengenai kasus gigitan ular. Data dari sistemik. Banyak faktor yang
RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso mempengaruhi keparahan dan hasil akhir
Wonogiri diapatkan kasus gigitan ular envenomasi diantaranya: ukuran tubuh
sejak 2008-2013 adalah 63 kasus. Data korban, komorbiditas, lokasi gigitan,
yang didapatkan dari RSUD Pacitan latihan fisik, sensirtivitas individual,
selama kurun waktu 2009-2011 terdapat karakteristik gigitan, spesies ular, infeksi
88 kasus gigitan ular. sekunder, pengobatan (Ahmad et al,
Klasifikasi WHO mengenai ular 2008).
berbisa yang penting di Asia Tenggara

92
Jurnal Kesehatan Kusuma Husada – Januari 2020

Penanganan awal gigitan ular dan tingkat keparahan envenomasi pasien.


berdasarkan WHO (2016) adalah Hal ini yang menarik peneliti untuk
melakukan penilaian klinis, pemberian meneliti lebih lanjut mengenai
pertolongan pertama dan segera gambaran penanganan pertama dan
melakukan resusitasi, penilaian klinis derajat keparahan envenomasi pada
mendetail dan diagnosis, pemeriksaan pasien dengan gigitan ular di IGD RSUD
laboratorium, pengobatan antivenom, Gemolong.
pemantauan dan penanganan suportif dan
terakhir adalah penangana daerah gigitan. 2. METODE PENELITIAN
Untuk melakukan penanganan pertama Metode penelitian ini yaitu deskriptif
pada daerah gigitan ular, WHO telah kuantitatif yatu menggambarkan frekuensi
merekomendasikan untuk tidak dilakukan suatu variabel, sehingga dapat diketahui
terapi-terapi lama seperti menghisap luka, seberapa frekuensi variabel tersebut
memasang tourniquet, memberikan atau (Nursalam, 2011). Penelitian ini
mengolesi terapi herbal atau zat kimia, dilakukan dengan pendekatan cross
membakar dan juga tidak dipebolehkan scetional. Populasi dalam peneltian ini
melakukan robekan atau insisi pada luka adalah semua pasien yang datang ke
bekas gigitan. RSUD Gemolong dengan luka snake bite.
Fenomena yang muncul sejauh ini, Penelitian ini menggunakan teknik total
besarnya bahaya gigitan ular belum sampling dengan jumlah 35 responden,
diimbangi dengan penanganan yang tepat waktu pengambilan data Januari –
utamanya di prehospital. Penanganan September 2019 (9 bulan) dengan kriteria
pertama umumnya dilakukan oleh korban eksklusi: Pasien dengan gigitan ular yang
ataupun orang terdekat korban pada meninggal saat datang ke IGD RSUD
kejadian. Namun seringkali, pemberian Gemolong.
penanganan pertama justru memberikan Pemilihan tempat penelitian didasarkan
efek perburukan kondisi pada korban pada lokasi penelitian RSUD Gemolong
gigitan ular. Hal ini utamanya disebabkan merupakan area disekitar persawahan
oleh keterbatasan pengetahuan dari yang angka kunjungan pasien dengan
masyarakat. Masyarakat cenderung gigitan ular cukup tinggi, utamanya pada
melakukan pertolongan pertama musim panen dan musim tanam bagi
menggunakan cara-cara tradisional seperti petani.
menghisap luka, membakar luka, Teknik pengumpulan data dengan
memberi obat-obat tradisional, ataupun kuesioner meliputi penanganan pertama
membuat luka baru, mengikat luka gigitan prehospital dan tanda dan gejala klinis
ular dengan tali dengan kuat. Secara teori, yang muncul pada pasien saat tiba di
semua hal yang secara tradisional rumah sakit. Tingkat keparahan atau
dilakukan oleh masyarakat akan derajat keparahan envenomasi dibagi ke
memberikan dampak buruk pada kondisi dalam empat kriteria yaitu derajat 1
luka. (minor)=tidak ada gejala, derajat 2
Data hasil studi pendahuluan di RSUD (moderate)=gejala lokal (envenomasi
Gemolong kasus gigitan ular sejak bulan ringan), derajat 3 (severe)=gejala
November 2017-Maret 2018 didapatkan berkembang ke daerah regional, derajat
data 55 kasus gigitan ular, itu berarti 4 (major)=gejala sistemik.
setiap bulannya kurang lebih 11 kasus.
Masih dijumpainya perbedaan 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
penanganan pertama di masyarakat. Karakteristik responden dalam
Penelitian mengenai penanganan pertama penelitian ini mencakup jenis kelamin,
prehospital dan derajat keparahan di usia, jenis ular, kegiatan saat terkena
Indonesia menurut hasil penelusuran gigitan, waktu prehospital.
penulis belum banyak dilakukan
utamanya pada penanganan gigitan ular. Tabel 1. Distribusi frekuensi berdasarakan
Tujuan dari penelitian ini ingin karakteristik responden
mengetahui gambaran pertolongan pertam Karakteristik Frekuensi Presentase

93
Jurnal Kesehatan Kusuma Husada – Januari 2020

(n) (%) menyebabkan luka gigitan adalah 20%


Jenis Kelamin responden menyebutkan bahwa bentuk
Perempuan 4 11,4% kepala ular segitiga, sejumlah 14,3%
Laki-laki 31 88,6% menyebutkan bahwa ular sendok jawa,
Umur (Tahun) dan 14,3% sisanya tidak ingat dan ragu-
15-45 24 69% ragu dengan jenis ular yang telah
>45 11 31%
menggigit.
Jenis Ular
Tiga kategori ular berbisa yang
Bentuk kepala segitiga 7 20%
Ular hijau ekor merah 18 51,4% dijumpai di Asia Tenggara yaitu Elapidae,
(ular luwuk) Viperidae, dan Colubridae (Warrell,
Ular sendok jawa 5 14,3% 2010). Elapidae: memiliki gigi taring
Tidak diketahui 5 14,3% pendek di depan (proteroglyph). Famili
Tempat Pasien Terkena Gigitan ini meliputi kobra, raja kobra, kraits, ular
Sawah 20 57,2% koral, ular Australia dan ular laut.
Kebon/ladang 8 22,8% Beberapa spesies kobra dapat
Pekarangan rumah 5 14,3% meludahkan bisanya hingga 1 meter atau
Dalam rumah (dapur) 2 5,7% lebih terhadap mata korbannya. Viperidae:
Waktu prehospital memiliki gigi taring yang cukup
<2 jam 2 5,7% panjang (solenogyph) yang secara
2 jam – 6 jam 24 69%
normal terlipat rata terhadap rahang atas,
>6 jam 9 25,3%
tetapi saat menyerang akan menjadi
tegang. Colubridae: dua spesies penting
Berdasarkan tabel 1 diatas
pada regional Asia Tenggara adalah
menunjukkan bahwa paling banyak
Rhabdophis subminiatus berleher merah
terkena gigitan ular adalah laki-laki 88,6%
dan Rhabdophis triginus. Piton besar
(31 orang). Hal ini dikarenakan, laki-laki
(Boidae), merupakan Python reticularis di
lebih sering berada di luar rumah. Tugas
Indonesia, pernah dilaporkan menyerang
laki-laki sebagai pencari nafkah menuntut
dan menelan manusia, yang biasanya
mereka untuk melakukan apa saja agar
petani (WHO, 2016).
dapat menghidupi keluarganya.
Tidak jarang juga korban tidak
Sedangkan usia paling banyak terkena
mengetahui jenis ular atau tingkat bahaya
gigitan adalah 15-45 tahun dengan
dari ular yang menggigitnya. Tidak semua
prosentase 69%. Usia anak-anak dan
masyarakat juga memahami ciri-ciri ular
dewasa muda merupakan puncak usia
berbisa dan tidak. Ciri-ciri ular berbisa
yang sering terkena gigitan ular. kelompok
yaitu, bentuk kepala segitiga atu elips,
risiko tinggi terkena gigitan ular adalah:
terdapat dua gigi taring besar di rahang
Penduduk desa miskin, pekerja pertanian,
atas dan bekas gigitan terdiri dari dua
penggembala, nelayan, pemburu, anak-
titik. Sedangkan ciri-ciri ular tidak berbisa
anak yang bekerja (10-14 tahun), orang
adalah bentuk kepada segi empat atau
yang tinggal di perumahan yang buruk,
bulat, gigi taring kecil dan bekas gigitan
orang dengan akses kesehatan dan
lengkung seperti huruf “U” (Luman dan
pendidikan yang kurang. Morbiditas dan
Endang, 2016)
mortalitas paling banyak terjadi antara
Sejumlah 57,2% responden
usia 10-30 tahun, dimana usia tersebut
menyebutkan tempat mereka terkena
merupakan usia produktif. Sedangkan
gigitan adalah di sawah, sejumlah 22,8%
pada Anak-anak (usia dibawah 5 tahun)
di kebon/ladang, 14,3% di pekarangan
juga sering terkena gigitan dikarenakan
rumah, dan 5,7% di dalam rumah (dapur).
mereka belum dapat membedakan antara
Beberapa aktivitas yang mereka lakukan
hewan berbahaya atau bukan (WHO,
diantaranya sedang memanen padi,
2016).
berjalan di pematang sawah, tidur di
Jenis ular yang paling banyak
pinggiran sawah, mencuci kaki di perairan
disebutkan oleh responden adalah ular
sawah. Selain sawah, rumah dan
hijau ekor merah (ular luwak) yang sering
pekarangan rumah (kebun) juga menjadi
mereka temu di sawah dengan jumlah
tempat pasien terkena gigitan ular.
51,4%. Selain itu jenis ular lain yang

94
Jurnal Kesehatan Kusuma Husada – Januari 2020

Bebepara pasien menyebutkan bahwa 2,9% responden membakar luka dan


mereka sedang membersihkan rumah dan memberikan jahe bakar pada area luka.
pekarangan saat digigit ular. Pemberi pertolongan pertama
Beberapa pencegahan yang dapat umumnya adalah korban sendiri ataupun
dilakukan untuk menghindari terkena orang terdekat korban pada kejadian. Dan
gigitan ular, yaitu: jaga rumah dari tikus kebanyakan kasus, mereka sebagai bagian
yang merupakan mangsa ular, jangan dari masyarakat masih menggunakan
memelihara hewan ternak (ayam) di dalam cara-cara tradisional dalam pertolongan
rumah. Kita juga perlu menghindari pertama. Dan seringkali, pemberian
membangun rumah dengan kontruksi yang penanganan pertama justru memberikan
dapat menyembunyikan ular misal jerami efek perburukan kondisi pada korban
dengan atap terbuka, dinding celah yang gigitan ular.
besar, lantai tidak tertutup sempurna, Hal ini utamanya disebabkan oleh
ranting pohon menempel pada atap. keterbatasan pengetahuan dari masyarakat.
Hindari tidur di atas lantai, rajin Masyarakat cenderung melakukan
membersihkan tumpukan barang atau pertolongan pertama menggunakan cara-
sampah, pangkas pohon yang menjulur cara tradisional seperti menghisap luka,
menyentuh atap atau bagian rumah. membakar luka, memberi obat-obat
Pencegahan lain yang dapat dilakukan tradisional, ataupun membuat luka baru,
adalah tempatkan lumbung padi jauh dari mengikat luka gigitan ular dengan tali
rumah, gunakan alat pencahayaan, hindari dengan kuat. Secara teori, semua hal
mengumpulkan kayu bakar di malam hari, yang secara tradisional dilakukan oleh
gunakan sepatu boot saat pergi ke area masyarakat akan memberikan dampak
semak-semak (WHO, 2016). buruk pada kondisi luka (Avau, Borra,
Waktu prehospital yang dibutuhkan Vandekerckhove, dan De Buck; WHO,
responden hingga tiba di rumah sakit 2016; 2016).
paling banyak adalah 2-6 jam dengan Penelitian yang dilakukan oleh
prosentase 69%. Dan >6 jam dengan Suryati dkk (2018) dalam penelitianya
prosentase 25,3%. Hanya sejumlah 5,7% tentang hubungan antara pengetahuan
responden yang datang sebelum 2 jam dari masyarakat terhadap sikap dalam
kejadian. pertolongan pertama gigitan binatang
menyebutkan bahwa 33% respondennya
memiliki pengetahuan buruk dan 12%
dengan pengetahuan cukup baik dalam
Tabel 2. Pertolongan pertama prehospital penanganan awal gigitan ular.
Kegiatan Frekuensi Presentase Penelitian menunjukkan tindakan
(n) (%) mengikat luka pasca gigitan ular
Ikat dengan tali 14 40,3% (tourniquet) dapat meningkatkan insiden
Cuci dengan sabun 3 8,6% pembengkakan lokal yang signifikan pada
Di bakar 1 2,9% korban (Avau, Borra, Vandekerckhove,
Dihisap 11 31%
dan De Buck , 2016). Insisi yang diberikan
Diberi jahe bakar 1 2,9%
Di robek dengan 5 14,3% pada luka dapat meningkatkan nyeri dan
pisau tingkat pembengkakan pada luka gigitan
Total 35 100% ular. Insisi pada daerah luka dapat
merusak urat saraf dan pembuluh darah.
Berdasarkan tabel 2, dapat dilihat Insisi dapat meningkatkan paparan
bahwa responden masih menggunakan mikroorganisme luar pada area luka
cara-cara tradisional dalam penanganan (WHO, 2016).
pertama saat terkena gigitan ular. Beberapa hal yang dapat dilakukan
Sejumlah 40,3% mengikat luka gigitan sebagai pertolongan pertama pasca gigitan
ular dengan tali, 31% responden ular adalah menenangkan korban dan
menghisap ara luka, 14,3% responden mengurangi kecemasan. Guna mengontrol
merobek luka dengan pisau, 8,5% Heart rate dan mengurangi penyebaran
responden mencuci luka dengan sabun, racun. Pemberian pertolongan pertama

95
Jurnal Kesehatan Kusuma Husada – Januari 2020

pasca gigitan ular adalah memastikan (15 cm) di pasang di seluruh panjang
bahwa pasien tidak cemas. Kecemasan ektremitas yang tergigit dan distal ke
yang berlebihan dapat mengalami rasa proksimal. Tekanan perban yang
ekstremitas seperti tertusuk, kaku pada direkomendasikan: Ekstermitas atas: 40-
tangan dan kaki serta gangguan 70 mmHg, Ekstremitas bawah 55-70
keseimbangan (Medikanto, Silalahi, dan mmHg. Secara praktis, tekanan sudah
Suratni, 2017). Prinsip utama yang cukup jika perban cukup ketat dan
direkomendasikan untuk penanganan nyaman tetapi memungkinkan jari untuk
pertama gigitan ular adalah imobilisasi bergerak (Parker and Meggs, 2018).
area dengan balut tekan (pressure Dalam pertolongan pertama, tindakan
immobilitation) dan segera dirujuk ke tradisional pada bekas gigitan tidak
rumah sakit untuk mendapatkan perawatan direkomendasikan seperti menghisap,
lebih lanjut. Namun, penerapan insisi, mengikat, massage, pemberian
penanganan ini di masyarakat perlu herbal dan topikal. Insisi dapat
mendapatkan perhatian, karena tidak memperlambat penurunan pembengkakan
jarang orang awam salah mengartikan dan meningkatkan paparan
pemberian balutan tekan Prosedure mikroorganisme luar pada area luka
Bandage with Immobilization (PIB) Atau (WHO, 2016).
Pressure Immobilisation Technique (PIT) Tindakan lain yang harus dilakukana
dengan penambahan bidai dengan adalah Menyelamatkan hidup dan
penggunaan tali sebagai pengikat luka mencegah komplikasi. Memantau gejala
dengan tujuan agar bisa tidak menyebar awal. Mengatur transportasi pasien ke
(Avau, Borra, Vandekerckhove, and De penyedia kesehatan (WHO, 2016).
Buck, 2016). Perlakukan pada luka gigitan ular juga
Pemberian Imobiliasai sangat harus diperhatikan. Luka dibersihkan
direkomendasikan sebagai usaha untuk dengan normal saline baru setelah itu
memperlambat sistemik absorpsi bisa. dengan imobilisasi. Penggunaan
Prinsip utama dari pertolongan pertama tourniquet dapat mengganggu aliran darah,
pasca gigitan ular adalah usaha untuk dan pelepasan tourniquet dapat
memperlambat sistemik absorpsi bisa, menyebabkan gangguan sistemik yang
menyelamatkan hidup dan mencegah lebih besar (WHO, 2016).
komplikasi sebelum pasien mendapatkan
layanan kesehatan, memantau gejala awal Tabel 3. Tingak keparahan envenomasi
efek dari envenomasi yang Derajat Envenomasi Frekuensi Presentase
membahayakan, mengatur transport pasien (n) (%)
ke layanan kesehatan, dan yang paling Derajat 1 7 20%
penting adalah semua tindakan itu tidak Derajat 2 20 57,2%
membahayakan pasien atau menambah Derajat 3 8 22,8%
Derajat 4 0 0%
perburukan kondisi pasien (Luman dan
Total 35 100%
Endang, 2016).
Tujuan Pressure Immobilisation
Berdasarkan tabel 3 di atas, didapatkan
Technique (PIT) untuk memblok aliran
bahwa sejumlah 57,2% responden
limfatik tanpa mempengaruhi aliran darah
menglami envenomasi derajat 2, sejumlah
arteri atau vena sehingga dapat
22,8% responden mengalami envenomasi
mengurangi penyebaran dan absorbsi bisa
derajat 3, dan 20% responden mengalami
ular. Prinsipnya sama seperti membalut
envenomasi derajat 1. Tidak ada
lokasi pada pasien dengan angkle sprain.
responden yang mengalami envenomasi
Perban harus perban elastis (15 cm),
derajat 4. Tingkat keparahan atau derajat
bukan perban crepe. Perban diterapkan di
keparahan envenomasi dibagi ke dalam
atas lokasi gigitan dan kemudian distal ke
empat kriteria yaitu derajat 1
proksimal yang menutupi seluruh anggota
(minor)=tidak ada gejala. Pada kondisi ini,
badan (WHO, 2016).
biasanya luka gigitan tanpa disertai reaksi
Cara pemberian pressure
lokal atau sistemik, dengan adanya tanda
immobilization adalah Elastic bandage

96
Jurnal Kesehatan Kusuma Husada – Januari 2020

gigitan. Envenomasi derajat 2 gigitan ular bervariasi sesuai umur dan


(moderate)=gejala lokal (envenomasi ukuran tubuh, spesies ular, jumlah dan
ringan) akan menunjukkan adanya tanda lokasi gigitan, dan kuantitas dan
bekas gigitan, nyeri sedang, edema lokal toksisitas bisa. Morbiditas dan
minimal (0-15cm), adanya eritema, mortalitas bergantung pada umur dan
adanya ekimosis, tidak ada reaksi ukuran tubuh korban, disertai kondisi
sistemik. Enevnomasi derajat 3 komorbiditas (Ahmed et al. 2008).
(severe)=gejala berkembang ke daerah Komposisi bisa ular 90% terdiri dari
regional menunjukkan adanya tanda protein. Masing-masing bisa memiliki
gigitan, nyeri hebat, edema lokal sedang lebih dari ratusan protein berbeda:
(15-30 cm), adanya eritema dan ekimosis, enzim (meliputi 80-90% bisa viperidae
adanya kelemahan sistemik, berkeringat, dan 25-70% bisa elapidae), toksin
sinkop, nausea, muntah, anemia, atau polipeptida non-enzimatik, dan protein
trombositopenia. Sedangkan envenomasi non-toksik, seperti faktor pertumbuhan
derajat 4 (major)=gejala sistemik saraf. Enzim pada bisa ular meliputi
menunjukkan adanya tanda gigitan, nyeri hidrolase digestif, hialuronidase, dan
hebat, edema lokal berat (>30 cm), eritema aktivator atau inaktivator proses
dan ekimosis, hipotensi, parestesia, koma, fisiologis, seperti kininogenase. Sebagian
eema paru, gagal nafas. Banyak faktor besar bisa mengandung L-asam amino
yang mempengaruhi keparahan dan hasil oksidase, fosfomono- dan diesterase, 5`-
akhir envenomasi diantaranya: ukuran nukleotidase, DNAase, NAD-
tubuh korban, komorbiditas, lokasi nukleosidase, fosfolipase A2, dan
gigitan, latihan fisik, sensirtivitas peptidase (Warrell 2010).
individual, karakteristik gigitan, spesies Keracunan gigitan ular pada manusia
ular, infeksi sekunder, pengobatan memiliki banyak efek potensial, namun
(Ahmad et al, 2008). hanya beberapa kategori yang memiliki
Petunjuk adanya envenomisasi berat klinis mayor yang signifikan, yaitu: (1)
oleh gigitan ular harus dipertimbangkan flasid paralisis; (2) miolisis sistemik; (3)
bila dijumpai kondisi berikut: Ular koagulopati dan perdarahan; (4)
diidentifikasi sangat berbisa, kerusakan dan gangguan ginjal; (5)
pembengkakan lokal yang cepat pada kardiotoksisitas; (6) kerusakan jaringan
daerah gigitan, terjadi pembesaran lokal pada daerah gigitan (White 2005).
kelenjar getah bening lokal yang Pasien yang mengalami gigitan ular
menandakan penyebaran pada sistem dengan kasus yang parah, akan muncul
limfatik. Tanda lain yaitu adanya tanda syok sistemik, mengalami perdarahan
permasalahan sistemik awal, perdarahan aktif, neurotoksik manifes kelemahan otot
sistemik spontan awal (terutama atau memiliki pembengkakan sitotoksik.
perdarahan gusi), dan adanya urine Tingkat keparahan gigitan ular sangat
berwarna coklat-gelap (Luman dan bervariasi dan tergantung pada banyak
Endang, 2016). faktor. Ular akan memanfaatkan racun
Beberapa korban yang digigit oleh ular mereka secara berbeda tergantung pada
(atau dicurigai digigit) dapat mengalami situasinya, mengontrol volume yang
simptom dan gejala yang khas, bahkan disuntikkan dan waktu kontak taring
saat tidak ada bisa yang diinjeksi. Hal ini dengan mangsanya (Wood and Sartorius,
diakibatkan dari ketakutan yang tidak 2017).
dipahami dari konsekuensi gigitan ular Potensi racun bervariasi sesuai spesies
berbisa. Korban cemas dapat ular dan pada ular yang lebih besar
hiperventilasi sehingga mengalami volume racun yang dikeluarkan biasanya
sensasi kebas dan ditusuk-tusuk pada lebih tinggi. Dalam kasus gigitan
ekstremitas, spasme tangan dan kaki, dan sitotoksik, tingkat keparahan cedera
pusing. Korban lainnya dapat mengalami adalah sangat tergantung pada bagian
syok vasovagal setelah gigitan, dengan tubuh yang digigit dan kedalaman di
kolaps disertai penurunan denyut jantung mana bisa disuntikkan (Wood and
yang berat. Tampilan klinis korban Sartorius, 2017).

97
Jurnal Kesehatan Kusuma Husada – Januari 2020

Luman A., dan Endang. (2016). Gigitan


4. KESIMPULAN ular berbisa. Divisi Penyakit Tropik
a. Gambaran pertolongan pertama dan infeksi. Departemen Penyakit
prehospital yang dilakukan oleh Dalam Fakultas Kedokteran
responden yaitu: 40,3% mengikat Universitas Sumatera Utara.
luka gigitan ular dengan tali, 31%
Luman A dan Endang. (2018). Gigitan
responden menghisap ara luka, 14,3%
ular Berbisa. Divisi Penyakit Tropik
responden merobek luka dengan
dan infeksi. Departeman Ilmu
pisau, 8,5% responden mencuci luka
penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
dengan sabun, 2,9% responden
Universitas Sumatera Utara
membakar luka dan memberikan jahe
bakar pada area luka. Medikanto AR, Silalahi LM, dan Suratni
b. Gambaran tingkat keparahan S. (2017). Viperidae snake bite: kasus
envenomasi responden yaitu: 57,2% serial. Berkal lmiah Kedokteran Duta
responden menglami envenomasi Wacana. 2(2). Hal: 361-374.
derajat 2, sejumlah 22,8% responden Nursalam. (2011). Konsep dan
mengalami envenomasi derajat 3, dan Penerapan Metodologi Penelitian
20% responden mengalami Ilmu Keperawatan Edisi 2. Jakarta:
envenomasi derajat 1. Tidak ada Salemba.
responden yang mengalami
envenomasi derajat 4. Parker JC and Meggs WJ. (2018).
First aid and pre-hospital
5. SARAN management of venomous
Tenaga kesehatan dapat memberikan
snakebites. Tropical Medicine and
edukasi kepada masyarakat sekitar
Infection Desease. 3(45).
mengenai penanganan prehospital luka
gigitan ular, dikarenakan temuan pada Suryati I, Yuliano A, Bundo P. (2018).
penelitian perburukan kondisi luka pada Hubungan tingkat pengetahuan dan
pasien juga disebabkan oleh sikap masyarakat dengan penanganan
penanganan awal yang tidak tepat pada awal gigitan binatang. Prosiding
pre hospital oleh masyarakat sendiri. Seminar Kesehatan Perintis E-ISSN:
2622-2256. 1(1).
REFERENSI
American Heart Association. Part 15. Warrell DA. (2010). Guidelines for
First Aid. Web-Based Integrated the management of snake bites.
2010 & 2015 American Heart World Health Organization
Association and American Red Cross Regional Office for South-East
Guidelines for First Aid. Available Asia
online: Wood D and Sartorius B. (2017).
https://eccguidelines.heart.org/index. Classifying snakebite in South Africa:
php/circulation/aha-red-cross-first- Validating a scoring system. SAMJ.
aid-guidelines/part-15-first-aid/ 107(1).hal: 46-51.
(accessed on 20 Agustus 2018).
World Health Organization (WHO).
Ahmed SM, Ahmed M, Nadeem A, (2016). Guidlines for the
Mahajan J, Choudhary A & Pal J. Management of snakebites, 2nd
(2008) Emergency treatment of a edition. WHO Library Cataloguing-
snake bite: Pearls from literature. J in- Publication data
Emer Trauma Shock 1(2):97-105.
World Health Organization (WHO).
Avau B, Borra V, Vandekerckhove p, and (2018). Global snakebite burden.
De Buck E. (2016). The treatment of Report by the Director-General.
snake bites in a first aid setting: A Seventy-First World Health
systemaic review. PLOS Neglected Assembly.
Tropical Disease.
DOI:10.1371/journal.pntd.0005079.

98

Anda mungkin juga menyukai