Dalam penjelasan pada bagian ini, ilmu yang dimaksud juga termasuk ilmu komunikasi.
Ilmu, menurut Tim Dosen Filsafat Ilmu, (2002:174), bukanlah merupakan pengetahuan yang
datang demikian saja sebagai barang yang sudah jadi dan datang dari dunia khayal. Akan tetapi,
ilmu merupakan suatu cara berpikir yang demikian rumit dan mendalam tentang sesuatu objek
yang khas dengan pendekatan yang khas pula sehingga menghasilkan suatu kesimpulan yang
berupa pengetahuan yang handal. Disebabkan oleh karena itu pula.ia terbuka untuk diuji
siapapun. Dalam sejarah kelahirannya, ilmu ditujukan untuk memudahkan manusia untuk
mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup. Jujun S. Suriasumantri (1999:229), menegaskan
kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu
dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa
dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah di samping penciptaan berbagai kemudahan dalam
bidang-bidang seperti kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan dan komunikasi.
Namun, perlu disadari bahwa ilmu bukanlah ciptaan manusia. Ilmu adalah suatu ciptaan
Tuhan, demikian Herman Soewardi (1999:237). Selanjutnya dia menjelaskan, orang tidak
menciptakan ilmu, melainkan mengungkapkan ilmu, atau mencari ilmu. Dalam mengungkapkan
ilmu manusia mengkajinya dari sudut ontologi, epistemology dan aksiologi. Jadi, disini yang
berperan mencari ilmu adalah manusia (knower). Secara analitik, Herman Soewardi (1999:246),
mengemukakan kemampuan manusia untuk mengetahui itu dapat diuraikan dari tiga hal, yaitu
kemampuan kognitif, kemampuan afektif dan kemampuan konatif. Mengenai kemampuan
manusia tersebut, Jujun S. Suriasumantri (1999:229), mempertanyakan: Apakah manusia
mempunyai penalaran tinggi, lalu makin berbudi? Sebab moral mereka dilandasi analisis yang
hakiki, ataukah malah sebaliknya: makin cerdas maka makin pandai pula kita berdusta? Dari tiga
kemampuan tersebut kemampuan afektif yang sangat berhubungan dengan moral sebagai kajian
etika. Kemampuan afektif (rasa) inilah membuat manusia menjadi manusiawi, atau bermoral
atau tidak bermoral dalam segala aktivitas manusia, termasuk kegiatan ke-ilmu-an. Untuk itu,
dalam pengembangan ilmu (ilmu komunikasi) harus sesuai dengan firman Tuhan. Jadi, dalam
penemuan, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan harus sesuai dengan kehendak
Allah. Dengan kata lain, takut akan Allah,menuruti perintah Allah, adalah awal dari
pengetahuan.Pengembangan
ilmu yang dipandu oleh firman Tuhan membuat ilmu pengetahuan pasti berguna bagi umat
manusia.
Pada bagian lain Jujun S. Suriasumantri (1999:231) meyakini bahwa dewasa ini ilmu
bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan
manusia itu sendiri. Jadi, ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan
kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri. Atau dengan perkataan lain, ilmu
bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga
menciptakan tujuan hidup itu sendiri. Kenyataan menunjukkan sebaliknya. Jujun S.
Suriasumantri (1999:234) menjelaskan, oleh karena mendapatkan otonomi yang bebas dari
segenap nilai yang bersifat dogmatik (ajaran agama bukan lagi sebagai ukuran kebenaran ilmiah)
maka dengan leluasa ilmu dapat mengembangkan dirinya. Pengembangan konsepsional yang
bersifat kontemplatif kemudian disusul dengan penerapan konsep-konsep ilmiah kepada
masalah-masalah praktis. Konsep ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk konkrit
yang berupa teknologi. Berbekal konsep mengenai kaitan antara hutan gundul dan bajir,
umpamanya, ilmu mengembangkan teknologi untuk mencegah banjir, Bertran Russell
menyembut perkembangan ini sebagai peralihan ilmu dari tahap"kontemplasi ke manipulasi".
Dalam tahap manipulasi inilah menurut Jujun S. Suriasumantri (1999:234) masalah moral
muncul kembali namun dalam kaitan dengan faktor lain. Kalau dalam tahap kontemplasi
masalah moral berkaitan dengan metafisika keilmuan maka dalam tahap manipulasi ini masalah
moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. Atau secara filsafat dapat
dikatakan, dalam tahap pengembangan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi
ontologi keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral ditinjau
dari segi aksiologi keilmuan.Ontologi diartikan sebagai pengkajian mengenai hakekat realitas
dari obyek yang ditelaah dalam membuahkan pengetahuan, aksiologi diartikan sebagai teori nilai
yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi akses ilmu dan teknologi yang
bersifat merusak ini, Jujun S. Suriasumantri (1999:235) mengelompokkan para ilmuan ke dalam
dua golongan pendapat. Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral
terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologi maupun aksiologi. Dalam hal ini tugas ilmuan adalah
menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya: apakah
pengetahuan itu dipergunakan untuk tujuan yang baik, ataukah dipergunakan untuk tujuan yang
buruk. Golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai
hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan
obyek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Tahap tertinggi
dalam kebudayaan moral manusia, ujar Chales Darwin seperti dikutip Jujun S. Suriasumantri
(1999:235), adalah ketika kita menyadari bahwa kita seyogianya mengontrol pikiran kita. Jujun
S. Suriasumantri, (999:235), menguraikan golongan pertama ingin melanjutkan tradisi kenetralan
ilmu secara total seperti pada waktu era Galileo sedangkan golongan kedua mencoba
menyesuaikan kenetralan ilmu secara pragmatis berdasarkan perkembangan ilmu dan
masyarakat. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal hal yakni: (1) ilmu
secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya
dua Perang Dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan; (2) ilmu telah
berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum ilmuan lebih mengetahui tentang
ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalagunaan; dan (3) ilmu telah berkembang
sedemikian rupa di mana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan
kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial
(social engineering). Berdasarkan ketiga hal ini maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu
secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau
mengubah hakikat kemanusiaan.
Penulis sependapat dengan golongan kedua sebagaimana dikemukakan oleh Jujun S.
Suriasumantri tersebut. Untuk mewujudkan hal tersebut, salah satu yang dilakukan oleh manusia
adalah adanya etika profesi.Tim Dosen Filsafat Ilmu, UGM (2002:176), berpendapat etika
profesi yang merupakan etika khusus dalam etika sosial mempunyai tugas dan tanggung jawab
kepada ilmu dan profesi yang disandangnya. Dalam hal ini, para ilmuwan harus berorientasi
pada rasa sadar akan tanggung jawab profesi dan tanggung jawab sebagai ilmuwan yang
melatarbelakangi corak pemikiran ilmiah dan sikap ilmiahnya. Norma moral yang secara khusus
muncul di antara mereka yang memiliki profesi khusus, Tim Dosen Filsafat Ilmu, UGM
(2002:179-180) menambahkan moral ini adalah moral keilmuan yang memiliki ruang lingkup
yang secara khusus namun tanggung jawab serta kewajiban moral itu berlaku juga baginya.Hal
ini diperlukan dalam rangka menghadapi masa depan yang semakin rumit dan sulit. Hal ini akan
menjadi suatu kesulitan yang lebih besar manakala para ilmuwan tidak memiliki cita-cita masa
depan tentang peran manusia dan kemanusiaannya. Sebaliknya jika mereka telah siap, maka ia
akan dapat menikmati hasil ilmu dan teknologi serta mampu menghindarkan diri dari dampak
negatif. Untuk mencapai cita-cita tersebut, kata Tim Dosen Filsafat llmu, UGM, (2002:180),
maka pentingnya memiliki moral dan akhlak bagi para ilmuwan. Ideologi negara sebagai moral
bangsa dan akhlaq sebagai moral agama perlu melekat bagi para pekerja ilmu itu. Para ilmuwan
sebagai orang yang professional dalam bidang keilmuan sudah barang tentu mereka juga perlu
memiliki visi moral yaitu khusus sebagai ilmuwan. Moral inilah di dalam filsafat ilmu disebut
juga sebagai sikap ilmiah. Mengenai moral ilmiah menurut Merton sebagaimana yang dikutip
oleh Depdikbud (Tim Dosen Filsafat Ilmu, UGM, 2002:180) dinyatakan bahwa ilmu mempunyai
sifat universialisme, komunialisme, disinterestedness, dan skeptisisme yang terorganisasi.
Menurut Tim Dosen Filsafat Ilmu, UGM, (2002:180-181) moral ilmiah atau sikap ilmiah
perlu dimiliki para ilmuan itu antara lain adalah pertama, tidak ada rasa pamrih
(disenterstedness), artinya suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang
objektif dengan menghilangkan pamrih atau kesenangan pribadi; kedua, bersikap selektif, yaitu
suatu sikap yang tujuannya agar para ilmuan mampu mengadakan pemilihan terhadap berbagai
hal yang dihadapi. Misalnya hipotetis yang beragam, metodologi yang masing-masing
menunjukkan kekuatannya masing-masing, atau cara penyimpulan yang satu cukup berbeda
walaupun masing-masing menunjukan akurasinya; ketiga, adanya rasa percaya yang layak baik
terhadap kenyataan maupun
terhadap alat-alat indera serta budi (mind); keempat, adanya sikap yang berdasar pada suatu
kepercayaan (believe) dan dengan merasa pasti (conviction) bahwa setiap pendapat atau teori
yang terdahulu telah mencapai kepastian; kelima, adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang
ilmuan harus selalu tidak puas terhadap penelitian yang telah dilakukan, sehingga selalu ada
dorongan untuk riset, dan akhirnya riset sebagi aktivitas yang menonjol dalam hidupnya; dan
akhirnya keenam, seorang ilmuan harus memiliki sikap etis (ahklak) yang selalu berkehendak
untuk mengembangkan ilmu untuk kemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan manusia, lebih khusus
untuk pembangunan bangsa dan negara.
Selain itu, mereka (2002:81) mengatakan norma-norma umum bagi etika keilmuan
sebagai mana yang dipaparkan secara normatif berlaku bagi semua ilmuan. Hal ini karena pada
dasarnya seorang ilmuan tidak boleh terpengaruh oleh sistem budaya, sistem politik, sistem
tradisi, atau apa saja yang hendak menyimpangkan tujuan ilmu.Tujuan ilmu yang dimaksud
adalah objektivitas yang berlaku secara universal dan komunal. Di samping etika keilmuan yang
berupa sikap ilmiah berlaku secara umum, juga Tim Dosen Filsafat Ilmu, UGM, (2002:81),
menambahkan pada kenyataannya masih ada etika keilmuan yang secara spesifik berlaku bagi
kelompok-kelompok ilmuan tertentu. Misalnya, etika kedokteran, etika rekayasa, etika bisnis,
etika politisi, serta etika-etika profesi lainnya yang secara normatif berlaku dan dipatuhi oleh
kelompoknya itu.Taat asas dan kepatuhan terhadap norma-norma etis yang berlaku bagi para
ilmuan diharapkan akan menghilangkan kegelisahaan serta ketakutan manusia terhadap
perkembangan ilmu dan teknologi. Bahkan diharapkan manusia akan semakin percaya pada ilmu
yang membawanya pada suatu keadaan yang membahagiakan dirinya sebagai manusia. Hal ini
sudah barang tentu jika pada diri para ilmuan tidak ada sikap lain kecuali pencapaian objektivitas
dan demi kemajuan ilmu untuk kemanusiaan.
Istilah etika mengacu pada pertanyaan tentang benar dan salah.Ketika peneliti berpikir tentang
etika, mereka harus bertanyadiri mereka sendiri jika "benar" untuk melakukan studi tertentuatau
menjalankan prosedur tertentu yaitu, apakah merekasedang melakukan penelitian etis. Apakah
ada bebeerapa macam studi yang tidak boleh dilakukan?.Dengan kata ain, penyelidikan yang
dilakukan oleh peneliti tidak boleh melibatkanbahaya fisik atau psikologis atau kerusakan pada
manusia atau alam atau sosiallingkungan tempat mereka menjadi bagian (Fraenkel, Wallen, dan
Hyun, 2012)
Pernyataan dari Prinsip- prinsip Etis
1. Dalam merencanakan suatu penelitian, peneliti memiliki tanggung jawab untuk
mengevaluasi dengan hati-hati setiap masalah.
2. Mempertimbangkan apakah peserta dalam suatu rencana belajar akan menjadi "subjek
berisiko" atau "subjek minimal risiko.
3. Peneliti selalu memegang tanggung jawab untuk memastikan bahwa studi dilakukan
secara etis.
4. Kecuali dalam penelitian berisiko minimal, peneliti menetapkan kesepakatan yang jelas
dan adil dengan peserta penelitian, sebelum mereka berpartisipasi, dan memperjelas
kewajiban dan tanggung jawab masing-masing.
6. Peneliti menghormati hak setiap individu untuk menolak ataupun berpartisipasi dalam
studi atau mundur dari berpartisipasi kapan saja.
7. Peneliti melindungi semua peserta dari ketidaknyamanan fisik dan mental, bahaya, dan
bahaya itu mungkin timbul dari berpartisipasi dalam sebuah penelitian.
8. Setelah data terkumpul, peneliti menyediakan semua peserta informasi tentang sifat dari
studi dan melakukan yang terbaik untuk menjernihkan kesalahpahaman yang mungkin
telah berkembang.
9. Ketika prosedur suatu studi menghasilkan konsekuensi yang tidak diinginkan untuk
setiap peserta, peneliti memiliki tanggung jawab untuk mendeteksi dan menghapus atau
memperbaikinya konsekuensi, termasuk efek jangka panjang.
10. Informasi yang diperoleh tentang peserta penelitian selama investigasi bersifat rahasia.
Studi etika dapat memberikan pedoman tidak hanya bagi kehidupan individu, tetapi juga dalam
mengembangkan wawasan dan kompetensi yang dibutuhkan masyarakat untuk menghadapi
tantangan masa kini dan masa depan. Tapi 'etika' digunakan dalam banyak pengertian. Bidang
etika penelitian lebih luas daripada masalah yang diangkat oleh integritas penelitian. Ada lebih
dari satu perbedaan yang relevan di sini, dan istilah yang berbeda digunakan. Salah satu
perbedaan tersebut, yang telah disebutkan dalam dokumen ALLEA sebelumnya [ALLEA,
Laporan Tahunan 2003], telah dinyatakan sebagai berikut: “Kategori masalah eksternal merujuk
pada pertanyaan-pertanyaan seperti:
1. Apa yang membenarkan pemilihan topik penelitian? Apakah perlu mengetahui apa yang
kita selidiki?
2. Apakah penelitian ilmiah benar-benar independen (terhadap klien, pihak yang
berkepentingan, sponsor)?
3. Sejauh mana tanggung jawab peneliti meluas sehubungan dengan apa yang dilakukan
dengan hasilnya?
4. Apakah ada kebutuhan untuk keputusan 'tidak boleh pergi' atau 'lambat' dalam kasus
tertentu atas dasar keberatan etis terhadap implikasi atau konsekuensi dari wawasan
yang dihasilkan oleh penelitian?
Masalah sosial/etika internal dalam sains semuanya mengacu pada perilaku yang tidak
diinginkan atau tidak dapat diterima oleh para ilmuwan. Berikut ini adalah contoh yang
relevan: perilaku lalai terkait subjek penelitian manusia atau hewan, komunikasi yang ceroboh
atau tidak akurat dengan masyarakat umum dan media, mengabaikan aturan praktik yang baik
saat menerbitkan, mengutip dan mengevaluasi penelitian, dan pelanggaran dari norma integritas
ilmiah. Perbedaan ini mengungkapkan dua jenis tanggung jawab dalam sains: tanggung jawab
atas kualitas moral pekerjaan kita (moralitas internal) dan tanggung jawab atas penggunaan atau
penyalahgunaannya oleh pihak eksternal (kebanyakan dalam politik, tetapi juga bisnis).
Pendidikan etika dalam sains harus mencakup kedua aspek tanggung jawab etis ilmuwan:
perilaku yang bertanggung jawab dalam penelitian itu sendiri; dan konteks penelitian sosio-etis,
dengan fokus pada isu-isu etika tentang hubungan antara sains dan masyarakat (ALLEA,
2013:4).
Mempertimbangkan kompleksitas dan kepekaan masalah etika dalam ilmu kehidupan (yang
akan menandai abad ini), masalah etika utama penelitian biomedis tentang manusia perlu
ditekankan, termasuk perlindungan martabat manusia, masalah persetujuan tanpa paksaan dan
informasi. dan keunggulan pribadi manusia versus kepentingan sains atau masyarakat.
Perjuangan untuk prinsip-prinsip ini belum dimenangkan. Tetapi penelitian dalam ilmu sosial
dan perilaku, juga, menimbulkan masalah etika yang menarik; ini juga berlaku untuk
humaniora.
Integritas penelitian berkaitan dengan masalah yang biasanya ditangani dalam pedoman
nasional atau internasional untuk perilaku yang bertanggung jawab dalam penelitian dan untuk
menangani dugaan kesalahan dalam proses penelitian dan dalam publikasi hasil penelitian,
termasuk penipuan penelitian, etika publikasi dan kesalahan terkait kegiatan lain seperti etika
penerapan dukungan keuangan dan etika evaluasi ilmiah ilmu pengetahuan (ALLEA, 2013:5).
Norma yang relevan didefinisikan dan ditetapkan melalui komunitas ilmiah itu sendiri dan cita-
cita integritas penelitian berakar pada otonomi ilmu pengetahuan. Di sini juga perlindungan
pelapor diperhitungkan - serta rekomendasi tentang cara melaporkan kasus dugaan pelanggaran.
Etika penelitian eksternal, sebaliknya, berurusan dengan jenis masalah etika lain dalam
penelitian, khususnya yang berkaitan dengan hubungan antara peneliti dan subjek penelitian
dan antara peneliti dan masyarakat (individu dan institusi) di luar komunitas penelitian.
Masalah tersebut mencakup, secara lebih spesifik, misalnya, risiko dan manfaat rancangan dan
penerapan uji klinis yang mencakup eksperimen yang melibatkan manusia, materi biologis
manusia atau eksperimen pada hewan, yang diatur agak berbeda di banyak negara. Ini
mencakup masalah-masalah seperti penerapan yang bertanggung jawab dan penggunaan hasil
penelitian, kemungkinan pembatasan penelitian atas dasar keberatan etis, termasuk
kemungkinan konsekuensi dari wawasan penelitian (penggunaan ganda penelitian). Etika
penelitian eksternal juga mencakup kerangka hukum yang menetapkan norma-norma bidang
tertentu, serta perlindungan hak dan nilai dasar seperti hak asasi manusia (ALLEA, 2013:6).
Pelanggaran aturan etika internal dan eksternal biasanya ditangani dengan cara yang berbeda.
Tetapi beberapa rekomendasi di bawah ini relevan untuk etika penelitian dalam kedua
pengertian ini. Fakta bahwa cara integritas penelitian dikelola atau salah kelola akan berdampak
pada kepercayaan dan keyakinan pada sains, dan karenanya memiliki efek eksternal, bukanlah
keberatan atas perbedaan ini. Demikian pula, konflik kepentingan dan kurangnya independensi
dapat muncul baik dalam etika penelitian internal maupun eksternal, tetapi sekali lagi hal itu
tidak bertentangan dengan pembedaan ini.
Pertukaran lintas batas - politik, ekonomi, sosial dan ilmiah - menimbulkan tantangan bagi
banyak norma dan nilai hukum dan etika. Dalam etika penelitian eksternal terdapat perbedaan
antar negara. Namun demikian, banyak juga kebijakan bersama yang berlaku di tingkat Eropa.
Hal ini tercermin dalam Piagam Hak-hak Fundamental warga Eropa dan dalam beberapa arahan
UE bahwa negara-negara anggota diwajibkan untuk diubah menjadi hukum nasional, termasuk
arahan perlindungan data, arahan uji klinis, arahan bioteknologi dan arahan sel dan jaringan.
Hasil penelitian ilmiah bisa menjadi sangat penting bagi pilihan masyarakat berskalabesar.
Beberapa dari pilihan ini diatur oleh hukum, yang lainnya tidak. Hubungan antara etika dan
hukum bersifat kompleks dan sulit untuk menarik garis tajam antara etika dan 'hukum lunak',
sebagaimana yang dikodifikasi dalam kode dan konvensi internasional dan yang berkaitan
dengan isu-isu dalam etika penelitian internal maupun eksternal. Tanggung jawab ilmuwan
mencakup kesadaran dan kemampuan untuk menangani masalah terkait integritas penelitian dan
etika penelitian dalam arti yang lebih luas. Pendidikan etika dalam sains berfokus pada
klarifikasi tanggung jawab ini dan pada mempromosikan pelaksanaan penelitian yang
bertanggung jawab. Tanggung jawab etis para ilmuwan harus diintegrasikan ke dalam
kurikulum pendidikan ilmiah dan dipelajari sebagai bagian dari penguasaan bidang khusus
penelitian itu sendiri (ALLEA, 2013:7).
Daftar Pustaka
Fraenkel, R.J, Wallen, E.N, Hyun, H.H. 2012. How To Design And Evaluate Research In
Education. New York: Mc Graw Hill Connect Learn Succed
Herman Soewardi, 1999. Roda Berputar Dunia Bergulir, Bakti Mandiri, Bandung.
Jujun S.Suriasumantri, 1999.Filsafat Sebuah Ilmu Pengantar Populer.Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2001. Filsafat Ilmu Sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta.
Pruzan, Peter. 2016. Research Methodology The Aims, Practices and Ethics of Science.
Switzerland : Springer International Publishing.
ALLEA. 2013. Statement by the ALLEA Permanent Working Group on Science and Ethics.