ika kita ingin menilai kualitas kehidupan seseorang, hal yang mungkin bisa
J
kita lakukan pertama kali adalah melihat seberapa besar pendapatan yang
dimiliki orang tersebut, karena apabila seseorang mempunyai pendapatan yang
tinggi, maka ia akan cenderung lebih leluasa bisa membeli dan menikmati
berbagai fasilitas hidup yang bisa meningkatkan kualitas kehidupannya dengan
lebih baik daripada orang yang hanya mempunyai pendapatan yang
sedang (Mankiw, 2006:4). Namun apakah semua orang bisa menikmati itu
semua? Dan bagaimana dengan orang yang kurang beruntung, yang tidak bisa mendapatkan itu
semua, ia hanya bisa mendapatkan kehidupan yang biasa-biasa saja dengan fasilitias kehidupan
yang sangat terbatas. Tentu hal ini juga perlu dipertimbangkan oleh pemerintah guna mencari
solusi dan pemecahannya? Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana peran pendapatan
nasional terhadap hal ini? Bagaimana upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah
ketimpangan ini, untuk mendistribusikan pendapatan nasional secara merata kepada masyarakat?
Sehingga tidak hanya sebagian orang saja yang menikmati hasil dari pendapatan nasional itu,
namun semua lapisan masyarakat bisa menikmati hasil dari pendapatan nasional itu dan bisa
meminimalisasi terjadinya kesenjangan sosial dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Masalah besar yang dihadapi negara sedang berkembang adalah disparitas (ketimpangan)
distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan. Tidak meratanya distribusi pendapatan memicu
terjadinya ketimpangan pendapatan yang merupakan awal dari munculnya masalah kemiskinan.
Membiarkan kedua masalah tersebut berlarut-larut akan semakin memperparah keadaan, dan
tidak jarang dapat menimbulkan konsekuensi negatif terhadap kondisi sosial dan politik. Masalah
kesenjangan pendapatan dan kemiskinan tidak hanya dihadapi oleh negara sedang berkembang,
namun negara maju sekalipun tidak terlepas dari permasalahan ini. Perbedaannya terletak pada
proporsi atau besar kecilnya tingkat kesenjangan dan angka kemiskinan yang terjadi, serta
tingkat kesulitan mengatasinya yang dipengaruhi oleh luas wilayah dan jumlah penduduk suatu
negara. Semakin besar angka kemiskinan, semakin tinggi pula tingkat kesulitan mengatasinya.
Negara maju menunjukkan tingkat kesenjangan pendapatan dan angka kemiskinan yang relative
kecil dibanding negara sedang berkembang, dan untuk mengatasinya tidak terlalu sulit
mengingat GDP dan GNP mereka relatif tinggi. Walaupun demikian, masalah ini bukan hanya
menjadi masalah internal suatu negara, namun telah menjadi permasalahan bagi dunia
internasional.
Berbagai upaya yang telah dan sedang dilakukan oleh dunia internasional, baik berupa
bantuan maupun pinjaman pada dasarnya (walaupun masih tanda tanya) merupakan upaya
sistematis untuk memperkecil kesenjangan pendapatan dan tingkat kemiskinan yang terjadi di
negara-negara miskin dan sedang berkembang. Beberapa lembaga internasional seperti IMF
dan Bank Dunia serta lembaga-lembaga keuangan internasional lainnya berperan dalam hal ini.
Kesalahan pengambilan kebijakan dalam pemanfaatan bantuan dan/atau pinjaman tersebut, justru
dapat berdampak buruk bagi struktur sosial dan perekonomian negara
bersangkutan (http://sofyan71sbw.files.wordpress.com/2010/05/distribusi-
pendapatan-dan-kemiskinan-di-indonesia.pdf)
Persoalan sebenarnya adalah bahwa kemakmuran masyarakat tidak semata-mata hanya
didasarkan pada tolak ukur pendapatan nasional dan pendapatan perkapita saja, namun juga
didasarkan pada bagaimana pendapatan nasional itu didistribusikan secara lebih merata ataukah
timpang. Ini adalah masalah keadilan dan tidak berarti kalau pendapatan nasional didistribusikan
secara merata sempurna dianggap adil. Pendapatan dianggap didistribusikan secara merata bila
setiap individu memperoleh bagian yang sama dari output perekonomian. Distribusi pendapatan
dianggap kurang adil bila jika sebagian besarn output nasional dikuasai oleh lebih sebagian kecil
penduduk. Tetapi distribusi pendapatan menjadi sangat tidak adil bila sangat besar bagian output
nasional yang dikuasai oleh segelintir kelompok masyarakat (Rahardja dan
Manurung,2008:245).
Para ekonom banyak menyoroti permasalahan ini, terutama terhadap kebijakan
pembangunan bidang ekonomi yang diambil pemerintah. Ada yang pro pun tidak sedikit yang
mengkritik. Sistem distribusi pendapatan nasional yang tidak pro poor menjadi isu bagi mereka
yang mengkritik kebijakan pemerintah dengan keyakinan bahwa sistem distribusi pendapatan
sangat menentukan bagaimana pendapatan nasional yang tinggi mampu menciptakan perubahan-
perubahan dan perbaikan-perbaikan dalam kehidupan bernegara, seperti mengurangi kemiskinan,
pengangguran dan kesulitan-kesulitan lain dalam masyarakat. Distribusi pendapatan nasional
yang tidak merata, tidak akan menciptakan kemakmuran bagi masyarakat secara umum. Sistem
distribusi yang tidak pro poor hanya akan menciptakan kemakmuran bagi golongan tertentu saja,
sehingga ini menjadi isu sangat penting dalam menyikapi tingginya angka kemiskinan hingga
saat ini.
Tingginya PDB (Produk Domestik Bruto) suatu negara belum tentu mencerminkan
meratanya terhadap distribusi pendapatan. Kenyataan menunjukkan bahwa pendapatan
masyarakat tidak selalu merata, bahkan kecendrungan yang terjadi justru sebaliknya. Distribusi
pendapatan yang tidak merata akan mengakibatkan terjadinya disparitas. Semakin besar
perbedaan pembagian “kue” pembangunan, semakin besar pula disparitas distribusi pendapatan
yang terjadi. Indonesia yang tergolong dalam negara yang sedang berkembang tidak terlepas dari
permasalahan ini.
Ada beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan
distribusi pendapatan secara sederhana, yaitu Kurva Lorenz, Keofisien Gini dan kreteria dari
Bank Dunia (Rahardja dan Manurung, 2008:249):
A. Kurva Lorenz
B. Koefisien Gini
C. Kreteria Bank Dunia
Secara umum yang menyebabkan ketidakmerataan distribusi pendapatan yang sedang
terjadi di negara-negara sedang berkembang di dunia antara
lain: (http://repository.binus.ac.id/content/J0052/J005259373.doc) :
Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan per
kapita.
Inflasi, dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional
dengan pertambahan produksi barang-barang.
Ketidakmerataan pembangunan antar daerah.
Investasi ditanamkam pada proyek-proyek yang padat modal, sehingga persentase
pendapatandari dari harta tambahan besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang
berasal darikerja, sehingga pengangguran bertambah.
Rendahnya mobilitas sosial.
Pelaksanaan kebijaksanaan industri subsitusi impor yang mengakibatkan kenaikan harga-
harga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis.
Memburuknya nilai tukar (terms of trade) bagi negara-negara sedang berkembang dalam
perdagangan dengan negara-negara maju, sebagai akibat ketidak elatisitasan permintaan negara-
negara maju terhadap barang-barang ekspor negara sedang berkembang.
Hancurnya industri-industri kerajinan rakyat seperti industri rumah tangga.
Di negara-negara kapitalis maju yang mempunyai tingkat ketimpangan distribusi pendapatan
yang relatif rendah, alternatif individu untuk menyimpan kekayaan sangat beragam. Mereka
dapat membeli saham, obligasi, menyimpan dalam bentuk deposito dan aset-aset finansial
lainnya. Mereka juga dapat membeli real estate. Tujuan pemupukan aset adalah peningkatan
pendapatan total di masa mendatang. Dengan makin besarnya aset, penghasilan non gaji juga
akan semakin besar. Jika mereka pensiun kelak, mereka tidak akan mengalami kekurangan
penghasilan total, walau gaji sudah jauh berkurang. Dengan kata lain, di negara maju orang
senantiasa membeli aset produktif. Karena itu pembahasan distribusi kekayaan atau pendapatan
sangat relevan untuk melihat perkembangan dengan menghitung kelompok-kelompok mana saja
yang paling menguasai jenis-jenis aset tertentu. Data Amerika serikat pada tahun 1989
(Case dan Fair, 1996) menunjukkan bahwa 44,6% saham, 67,7% aset bisnis dan 43% real estate
dikuasai oleh kelompok 1% teratas (Rahardja dan Manurung,2008:249).
A. Pendahuluan
B. Metode Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari
lembaga atau instansi yang terkait seperti laporan tahunan, Statistik Ekonomi dan Keuangan
Indonesia (SEKI), BPS (Badan Pusat Statistik) berbagai edisi. Data seluruh variabel yang akan
diteliti ini dimulai dari kuartal I tahun 2001 sampai dengan kuartal IV tahun 2010 dengan jumlah
data (n) adalah 40 periode.
1. Uji Stasioner
2. Uji Kointegrasi
3. Uji Kausalitas Granger
4. Uji Identifikasi
5. Reduce Form
C. Penutup
Konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, dan net ekspor secara bersama-sama
berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Sementara itu, secara
parsial konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, dan net ekspor berpengaruh signifikan dan
positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Artinya, apabila terjadi peningkatan
terhadap konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, dan net ekspor maka pertumbuhan juga
akan mengalami peningkatan. Sebaliknya jika terjadi penurunan terhadap
konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, dan net ekspor maka pertumbuhan ekonomi
di Indonesia juga akan mengalami penurunan.
Suku bunga, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan terhadap investasi
di Indonesia. Sementara itu, secara parsial suku bunga dan pertumbuhan ekonomi berpengaruh
signifikan terhadap investasi sedangkan inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap investasi.
Artinya apabila suku bunga dan inflasi mengalami penurunan maka investasi akan meningkat.
Sebaliknya jika suku bunga dan inflasi mengalami peningkatan maka investasi di Indonesia akan
turun. Sedangkan jika pertumbuhan ekonomi meningkat maka investasi di Indonesia juga akan
mengalami peningkatan. Sebaliknya jika pertumbuhan ekonomi di Indonesia mengalami
penurunan maka mengindikasikan investasi juga akan mengalami peningkatan.
Pendapatan disposibel, konsumsi sebelumnya, dan suku bunga secara bersamasama
berpengaruh signifikan terhadap konsumsi di Indonesia. Sementara itu, secara parsial pendapatan
disposibel, konsumsi sebelumnya, dan suku bunga berpengaruh signifikan terhadap konsumsi di
Indonesia. Artinya, apabila terjadi peningkatan terhadap pendapatan disposibel dan konsumsi
sebelumnya maka konsumsi di Indonesia juga akan mengalami peningkatan. Sebaliknya, apabila
terjadi penurunan terhadap pendapatan disposibel dan konsumsi sebelumnya maka akan
mengalami penurunan. Suku bunga berpengaruh signifikan terhadap konsumsi sebelumnya.
Artinya suku bunga jika mengalami penurunan maka konsumsi akan meningkat. Dan sebaliknya
jika suku bunga mengalami peningkatan maka konsumsi di Indonesia akan mengalami
penurunan.