Anda di halaman 1dari 6

Delapan tujuh

koma lima
Ini hujan penghabisan.Begitu tipis dan sejenak.Tapi aku tetap membawa payung ibu yang
panjang,berat dan anti lipat itu dengan langka-langkah manja.Jarang sekali langit yang saat itu
memuntahkan airnya begitu gelap di penghujung sore ini.

Sebuah kafe di pojokan jalan sepertinya mengundangku untuk berteduh.Mungkin secangkir teh
hangat yang pastinya berharga tak masuk akal bisa menghangatkan badanku,pikirku.Tapi
setelah menimbang-nimbang,dan kafe itu yang menang,aku putuskan untuk masuk ke sana dan
memesan secangkir teh yang sudah kubayangkan dari tadi.Aku pun menyeruputnya perlahan
sambil menikmati suasana kafe di tengah guyuran hujan sore itu.

Secangkir teh dan sepotong pie nangka di hadapanku pun ludes juga.Langit kembali terang
ketika sesaat kulangkahkan kaki keluar kafe.Aku sudah berjalan cukup jauh saat teringat
payungku tertinggal di sana.Aku panik.Aku berbalik dan berlari kencang menuju kafe.

"Itu dia payungku," pekikku.

Dari dinding kaca kafe terlihat pemandangan yang mengesankan.Pengunjung kafe tampak
berwarna-warni seperti ikan tropis dalam aquarium.Payungku masih berada di tempat
semula.Tapi mejaku sudah di tempati seorang lelaki yang kelihatannya cukup menarik.

Aku melangkah masuk dan mendekati mejaku.Lelaki itu sedang mencorat-coret sesuatu di atas
kertas sambil sesekali tangannya memencet kalkulator.Ransel besarnya tergeletak di dekat
kakiku.Pastilah ia mahasiswa,selidikku.

"Maaf,saya...," aku bersuara,Ia mengangkat wajahnya.oh,aku salah!Ternyata ia bukannya cukup


menarik,tapi sangat menarik.

"Tidak bisa!Duduk di tempat lain saja!" Sok galak.Tapi bahkan keketusannya tidak mampu
mengurangi daya tariknya.Delapan setengah.

Aku mencibir dan langsung ngeloyor pergi mengambil payungku begitu saja. Ia tidak terlihat
terkejut atau merasa bersalah.Kembali ia menunduk dan menghitung-hitung sesuatu pada
kertas.Aku mundur dan berlalu.Tapi entah mengapa,merasa kalah.

***

Aku sedang menulis inspirasi terbaruku saat sebuah bayangan besar menggelapi notesku.Aku
mengangkat wajah.Lelaki delapan setengah itu sedang berdiri di sisiku dengan pandangan
menuntut.Aku melihat sekeliling.Semua meja terisi.

"Tidak bisa.Hari ini meja ini milikku!"


Dengan demonstratif aku langsung menaikkan salah satu kakiku mengisi satu-satunya kursi
didepanku untuk mencegah pria itu mendapatkan kursinya.Putus asa,ia mendesah dan
pergi.Ha...ha...ha! Satu sama!

Esoknya ia lebih dulu menguasai meja di sudut kafe itu.Bahkan satu kakinya sudah di
tumpangkan di atas 'kursiku'.Dengan tenang kusandarkan payungku di dinding dan kuambil
ancang-ancang untuk tetap duduk.Untunglah dia segera menarik kakinya dari kursi sehingga
tidak perlu terjadi sesuatu yang memalukan.Aku berbisik lirih,

"Sudahlah...sudah impas,kok!" Dan dia mengerti.

Ia kembali pada kertas-kertasnya dan aku menuntaskan khayalan tentang seorang gadis
kesepian yang kini memiliki teman minum teh bersama.

***

Hari-hari berikutnya cukup menyenangkan.Tanpa bicara kami mengisi meja itu,mengisi cangkir-
cangkir dengan teh dan mengisi kertas-kertas dengan coretan.Sepertinya ia setuju berbagi meja
denganku.

Setiap pukul empat sore meja itu seperti di habiskan menjadi milik kami.Aku pernah datang
terlambat dan kulihat lelaki delapan setengah itu sudah meletakkan ranselnya di atas kursiku.Ia
menjaga kursiku untukku.Terima kasih.

Skenario terbaruku akan segera di filmkan.Aku pikir aku perlu berbagi kebahagiaan dengan
partner mejaku.

"Kali ini biar aku yang bayar!" Aku menyela hitungannya.

Ia meletakkan pensilnya dan mengangkat wajah,

"Baru menang undian?"

Aku menggeleng,"umm...bukan!Aku sedang senang karena skenarioku akan difilmkan."

Dia mengernyitkan kedua alis tebalnya yang langsung bertaut.Wah,delapan koma tujuh lima!

"Kamu penulis skenario?" Dari nada suaranya ia tidak percaya.

Aku mengangguk dan anggukanku langsung mengakhiri percakapan pertama kami setelah
berbulan-bulan berbagi meja.

***
Akhirnya kami sepakat untuk merayakannya dengan menonton pemutaran perdana filmku di
bioskop,beberapa bulankemudian.Ceritanya tentang sepasang kekasih yang jatuh cinta setelah
lama bersama tanpa kata-kata.Jujur saja,aku memang terinspirasi kisahku
sendiri.Bedanya,belum ada ending di kehidupan nyataku.

Tidak ada komentar sedikitpun darinya,baik pujian atau hinaan.Selama menonton ia


terdiam.Kami pun berpisah di pintu bioskop tanpa kata-kata.Aku jadi ingin bertanya
padanya,"Apakah ceritaku mengganggumu?"

Tapi kalimat itu berhenti di ujung lidah.

***

Di suatu sore yang cerah aku,payungku,dia dan ranselnya termenung.Aku kehilangan ide dan
sudah sepuluh menit pensilnya tidak bergerak.Mereka mengobrol dengan bahasa benda.Tiba-
tiba ia meletakkan pensilnya dan mengangkat wajahnya untukku,

"Aku seorang analis keuangan!" katanya dengan lantang.Dengan celana panjang berwarna
coklat,jaket kasual dan ranselnya? Aku tidak percaya! Tapi memilih untuk tidak bertanya. Kami
sama-sama terdiam dan pura-pura melanjutkan corat-coret kertas.Akhirnya ia bersuara lagi,

"Boleh aku mengantarmu pulang, ehm...penulis skenario?"

Aku tersenyum,"Namaku Hana."

Dan lelaki delapan koma tujuh limaku yang ternyata bernama Harist itu akhirnya mengantarku
pulang ke rumah dengan berjalan kaki.ia menggendong ranselnya dan aku mengayun-ayunkan
payungku.

***

Sekarang kami minum teh sambil mengobrol, satu hal yang setahun lalu tidak kami lakukan.
Ternyata sungguh menyenangkan.

"Mengapa begitu lama memutuskan untuk mengantarku pulang?" sesuatu yang terpikir di
benakku akhirnya keluar juga.Ia menatapku lurus-lurus.

"Aku perlu setahun untuk memastikan bahwa benar-benar tidak ada lelaki yang mengantarmu
pulang. Aku tidak mau mengambil resiko dihajar orang yang tidak kukenal tapi kamu...cintai."

Ah, mana bisa kusisipkan lelaki lain di hatiku. Sejak ia menduduki mejaku, saat itu juga ia
menguasai hatiku. Kuletakkan tanganku di atas tangannya yang kekar. Jari kami bersentuhan
dan dengan berani kugenggam tangannya,
"Hanya kamu yang boleh mengantarku pulang," aku berbisik.

Ia senyum dan berganti berbisik,

"Syukurlah, ini tidak sia-sia. Aku sudah menghabiskan begitu banyak uang untuk teh dan pie
setahun belakangan ini hanya untuk memandang tubuh mungil dan senyum manismu."

Kami tertawa dan menyadari kekonyolan kami setahun ini.

Jadi untuk membayar pemborosan itu, kami memutuskan untuk tidak hanya berkencan di sudut kafe
tapi juga di jalan-jalan kota yang hangat dan ramai. Ia,ranselnya, dan aku dengan payung kuningku yang
besar. Rupanya ada hal yang benar-benar menggelitik hatinya untuk bertanya.

"Mengapa selalu membawa payung? Bukankah sekarang sedang jarang turun hujan?"

Aku berhenti melangkah dan menatapnya,

"Mengapa selalu membawa ransel yang begitu besar padahal yang kamu perlukan hanya beberapa
lembar kertas dan sebuah kalkulator?"

Ia berpikir, dan sepasang alis tebalnya bertaut lagi,

"Jika aku berjanji untuk meninggalkan ranselku di rumah apakah kamu berjanji akan melakukan hal yang
sama dengan payungmu?" sepertinya ia yakin sekali bahwa aku pasti akan tertarik dengan idenya. Ia
tanpa ranselnya dan aku tanpapayungku.

Aku terdiam dan menggeleng perlahan,

"Aku tidak bisa."

"Mengapa?"

"Aku tidak tahan dengan sinar matahari...," suaraku terdengar sangat lirih bahkan di telingaku sendiri.
Kini matanya yang bertanya, dalam dan bingung.

"Aku tidak boleh...terpapar sinar matahari, aku harus minum obat empat kali sehari dan tidak boleh
terlalu lelah. Sudah dua tahun aku mengidap lupus dan sekarang penyakitku sudah cukup akut."

Tidak seperti yang kuperkirakan, ia tidak tampak tersentak tapi kini tatapan matanya seperti hampa.

Ia lalu mengantarku pulang tanpa bicara dan itu kali terakhir aku melihatnya.

***

Ini adalah sore pertama aku duduk hanya berdua di meja kafe. Aku dan secangkir tehku, bertiga dengan
payungku. Ia tidak pernah datang lagi bahkan untuk mencorat-coret kertasnya. Akupun belajar untuk
tidak menunggunya lagi dan memutuskan untuk segera melupakan meja di sudut kafe.
Tiba-tiba di luar turun hujan penghabisan. Begitu tipis dan sejenak. Aku keluar sambil mengembangkan
payung kuningku yang besar dan berjalan pulang. Aku menoleh ke sudut kafe kepada kenangan tentang
cangkir teh,pie, dan lelaki delapan koma tujuh limaku. Ia perlu setahun untuk memutuskan mencintaiku,
tapi ia hanya perlu sehari akan aku.

Anda mungkin juga menyukai