Anda di halaman 1dari 14

KORUPSI DALAM PANDANGAN ISLAM

DAN CARA PEMBERANTASANNYA DI INDONESIA

Mata Kuliah:

Pendidikan Agama Islam II

Disusun Oleh:

Lifta Nis Ma’sumah

Jurusan/Semester/Kelas : AKUNTANSI/II/A

Yogyakarta

2019/2020

KORUPSI DALAM PANDANGAN ISLAM DAN CARA PEMBERANTASANNYA DI


INDONESIA

Saat ini, korupsi di Indonesia bisa dikatakan sudah menjadi budaya dari mulai tingkat rendah sampai
tinggi. Bahkan, Indonesia sudah menjadi salah satu negara terkorup di dunia yang tentunya sangat
memilukan. Meskipun saat ini sudah didirikan lembaga anti korupsi yang baru yaitu Komisi
Pemberantasan Korupsi atau KPK yang secara gencar memberantas para koruptor, akan tetapi korupsi
yang sudah berubah menjadi budaya ini terasa sangat sulit untuk dihentikan dan diberantas.

A. PENGERTIAN KORUPSI DALAM ISLAM


Ajaran hukum Islam yang sangat menjunjung tinggi pemeliharaan akan kesucian baik lahir maupun
bathin, menghendaki agar manusia (umat islam) dalam melakukan sesuatu harus sesuai fitrahnya, yakni
apa yang telah dtentukan dalam al-Quran dan As Sunnah yang merupakan sumber hukum tertinggi.
Pemeliharaan akan kesucian begitu ditekankan dalam hukum Islam, agar manusia (umat Islam) tidak
terjerumus dalam perbuatan kehinaan atau kedhaliman baik terhadap dirinya maupun terhadap orang lain.
Pelanggaran sesuatu hal dalam hukum (pidana) Islam tidak terlepas dari tujuan pokok hukum Islam (al
maqashid asy-syari’ah alkhams) yang merupakan hal esensial bagi terwujudnya ketentraman hidup
manusia. Adapun tujuan pokok hukum Islam tersebut adalah memelihara keselamatan agama, jiwa, akal,
harta dan keturunan. Salah satu tujuan pokok hukum Islam ialah memelihara keselamatan (kesucian)
harta. Harta merupakan rezeki dalam arti material, karena dalam bahasa agama rezeki meliputi rezeki
material dan rezeki spiritual.

Islam adalah agama yang sangat menjujung tinggi akan arti kesucian, sehingga sangatlah rasional jika
memelihara keselamatan (kesucian) harta termasuk menjadi tujuan pokok hukum (pidana) Islam, karena
mengingat harta mempunyai dua dimensi, yakni dimensi halal dan dimensi haram. Perilaku korupsi
adalah harta berdimensi haram karena morupsi menghalalkan sesuatu yang diharamkan, dan korupsi
merupakan wujud manusia yang tidak memanfaatkan keluasan dalam memproleh rezeki Allah. Secara
teoritis kedudukan korupsi merupakan tindakan kriminal (jinayah atau jarimah) dimana bagi pelakunya
diancam dengan hukuman hudud (had) dan juga hukuman ta’zir.

Islam membagi Istilah Korupsi kedalam beberapa Dimensi. Yaitu risywah (suap), saraqah (pencurian) al
gasysy (penipuan) dan khianat (penghianatan).

1. Korupsi dalam dimensi suap (risywah) dalam pandangan hukum Islam merupakan perbuatan
yang tercela dan juga merupakan dosa besar serta Allah sangat melaknatnya. Firman Allah Swt,
“Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan membawa hadiah, dan
aku akan menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu. Maka tatkala utusan
itu sampai kepada Sulaiman, Sulaiman berkata: Apakah patut kamu menolong aku dengan harta?
maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu;
tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu.” (QS. an-Naml: 35-36). Risywah merupakan
sebuah pemberian (hadiah) kepada hakim atau orang tertentu yang bertujuan untuk
memenangkan perkara atau putusan dengan cara tidak dibenarkan.
Rasulullah SAW melaknat setiap orang yang terlibat penyuapan, sebagaimana sabdanya,
“Laknat Allah atas pemberi suap, penerima suap, dan perantaranya yakni orang yang
menghubungkan keduanya.” (HR. Ahmad). Sebab itu, penyuapan merupakan bagian dari
perilaku korupsi yang mewabah di negeri ini.
2. Korupsi dalam dimensi pencurian (saraqah). Saraqah (pencurian) menurut etimologinya berarti
melakukan sesuatu tindakan terhadap orang lain secara tersembunyi.Sedangkan menurut Abdul
Qadir ‘Awdah pencurian didefinisikan sebagai suatu indakan yang mengambil harta orang lain
dalam keadaan sembunyi-sembunyi, artinya mengambil tanpa sepengetahuan pemiliknya. Jadi
sariqah adalah mengambil barang milik orang lain dengan cara melawan hokum atau melawan
hak dan tanpa sepengetahuan pemiliknya. Seperti halnya korupsi yang mengambil harta dengan
cara melawan hak dan tanpa sepengetahuan pemiliknya (rakyat/masyarakat). Dalam syariah
ancaman terhadap pelaku sariqah (pencurian) ditentukan dengan jelas sebagaimana yang
disebutkan dalam surat Al Maidah: 38, Allah berfirman :
Artinya:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, maka potomglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”(QS. Al-Maidah:38).
3. Korupsi dalam dimensi penipuan (al gasysy). Secara tegas berdasarkan sabda Rosulullah saw,
Allah mengharamkan surga bagi orang-orang yang melakukan penipuan. Terlebih penipuan itu
dilakukan oleh seorang pemimpin yang mempecundangi rakyatnya. “Dari Abu Ya’la Ma’qal ibn
Yasar berkata: “ Aku mendengar Rosulullah saw. Bersabda :” seorang hamba yang dianugerahi
allah jabatan kepemimpinan, lalu dia menipu rakyatnya; maka Allah mengharamkannya masuk
surga.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
4. Korupsi dalam dimensi khianat (penghianatan). Bahasa Agama tentang korupsi yang sebenarnya
adalah khianat (penghianatan), khianat berkecenderungan mengabailak, menyalahgunakan, dan
penyelewengan terhadap tugas, wewenang dan kepercayaan yang amanahkan kepada dirinya.
Khianat adalah pengingkaran atas amanah yang dibebankan kepada dirnya atau mengirangi
kewajiban-kewajiban yang seharusnya dipenuhi. Perilaku khianat akan menyebabkan
permusuhan diantara sesame karena orang yang berkhianat selalu memutar-balikkan fakta, dan
juga berakibat terjadinya destruksi baik secara moral, social maupun secara politik-ekonomi.
Islam melarang keras bagi orang-orang yang beriman terhadap perbuatan khianat baik terhadapa
Allah, Rasul serta terhadap sesamanya. Dalam surat Al-Anfal: 27, Allah berfirman:
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan
(juga) janganlah kamu menghianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu
mengetahuinya”. (QS. Al-Anfal:27).
Dari apa yang telah dijelaskan diatas, bahwasanya korupsi (dengan berbagai nama) dalam Islam
digolongkan sebagai suatu perbuatan yang tercela dan pelakunya dikualifikasi sebagai orang-orang yang
munafik, dzalim, fasik dan kafir, serta merupakan dosa besar yang ancaman hukumanya (selain had dan
ta’zir) adalah neraka jahannam.

B. Korupsi Menurut Pandangan Islam

Dalam hukum Islam disyariatkan Allah SWT demi kemaslahatan manusia dan diantara
kemaslahatan yang ingin diwujudkan dalam syariat hukum tersebut adalah harta yang terpelihara dari
pemindahan hak milik yang tidak menurut dengan prosedur hukum dan juga dari pemanfaatannya yang
tidak sejalan dengan kehendak Allah SWT. Karena itulah, larangan merampas, mencuri, mencopet dan
lainnya menjadi pemeliharaan keamanan harta dari kepemilikan yang tidak sah. Larangan memakainya
sebagai taruhan judi dan juga memberikan pada orang lain yang diyakini akan dipakai untuk perbuatan
yang maksiat, sebab penggunaan yang tidak sesuai dengan jalan Allah SWT jadikan kemaslahatan yang
dituju menjadi tidak tercapai. Ulama fikih juga sepaham dan berkata jika perbuatan korupsi merupakan
haram dan juga terlarang sebab menjadi hal yang bertentangan dengan maqasid asy-syariah.

C. Model, Bentuk dan Jenis Korupsi


Tindak pidana korupsi dalam berbagai bentuk mencakup pemerasan, penyuapan dan gratifikasi
pada dasarnya telah terjadi sejak lama dengan pelaku mulai dari pejabat negara sampai pegawai
yang paling rendah. Korupsi pada hakekatnya berawal dari suatu kebiasaan (habit) yang tidak
disadari oleh setiap aparat, mulai dari kebiasaan menerima upeti, hadiah, suap, pemberian
fasilitas tertentu ataupun yang lain dan pada akhirnya kebiasaan tersebut lama-lama akan
menjadi bibit korupsi yang nyata dan dapat merugikan keuangan negara.

Beberapa bentuk korupsi diantaranya adalah sebagai berikut:

 Penyuapan (bribery) mencakup tindakan memberi dan menerima suap, baik berupa uang maupun
barang.
 Embezzlement, merupakan tindakan penipuan dan pencurian sumber daya yang dilakukan oleh
pihak-pihak tertentu yang mengelola sumber daya tersebut, baik berupa dana publik atau sumber
daya alam tertentu.
 Fraud, merupakan suatu tindakan kejahatan ekonomi yang melibatkan penipuan (trickery or
swindle). Termasuk didalamnya proses manipulasi atau mendistorsi informasi dan fakta dengan
tujuan mengambil keuntungan-keuntungan tertentu.
 Extortion, tindakan meminta uang atau sumber daya lainnya dengan cara paksa atau disertai
dengan intimidasi-intimidasi tertentu oleh pihak yang memiliki kekuasaan. Lazimnya dilakukan
oleh mafia-mafia lokal dan regional.
 Favouritism, adalah mekanisme penyalahgunaan kekuasaan yang berimplikasi pada tindakan
privatisasi sumber daya.
 Melanggar hukum yang berlaku dan merugikan negara.
 Serba kerahasiaan, meskipun dilakukan secara kolektif atau korupsi berjamaah.

Jenis korupsi yang lebih operasional juga diklasifikasikan oleh tokoh reformasi, M. Amien Rais yang
menyatakan sedikitnya ada empat jenis korupsi, yaitu (Anwar, 2006:18):

 Korupsi ekstortif, yakni berupa sogokan atau suap yang dilakukan pengusaha kepada penguasa.
 Korupsi manipulatif, seperti permintaan seseorang yang memiliki kepentingan ekonomi kepada
eksekutif atau legislatif untuk membuat peraturan atau UU yang menguntungkan bagi usaha
ekonominya.
 Korupsi nepotistik, yaitu terjadinya korupsi karena ada ikatan kekeluargaan, pertemanan, dan
sebagainya.
 Korupsi subversif, yakni mereka yang merampok kekayaan negara secara sewenang-wenang
untuk dialihkan ke pihak asing dengan sejumlah keuntungan pribadi.

Diantara model-model korupsi yang sering terjadi secara praktis adalah: pungutan liar, penyuapan,
pemerasan, penggelapan, penyelundupan, pemberian (hadiah atau hibah) yang berkaitan dengan jabatan
atau profesi seseorang.

Jeremy Pope (2007: xxvi) mengutip dari Gerald E. Caiden dalam Toward a General Theory of Official
Corruption menguraikan secara rinci bentuk-bentuk korupsi yang umum dikenal, yaitu:

 Berkhianat, subversif, transaksi luar negeri ilegal, penyelundupan.


 Penggelapan barang milik lembaga, swastanisasi anggaran pemerintah, menipu dan mencuri.
 Penggunaan uang yang tidak tepat, pemalsuan dokumen dan penggelapan uang, mengalirkan
uang lembaga ke rekening pribadi, menggelapkan pajak, menyalahgunakan dana.
 Penyalahgunaan wewenang, intimidasi, menyiksa, penganiayaan, memberi ampun dan grasi tidak
pada tempatnya.
 Menipu dan mengecoh, memberi kesan yang salah, mencurangi dan memperdaya, memeras.
 Mengabaikan keadilan, melanggar hukum, memberikan kesaksian palsu, menahan secara tidak
sah, menjebak.
 Tidak menjalankan tugas, desersi, hidup menempel pada orang lain seperti benalu.
 Penyuapan dan penyogokan, memeras, mengutip pungutan, meminta komisi.
 Menjegal pemilihan umum, memalsukan kartu suara, membagi-bagi wilayah pemilihan umum
agar bisa unggul.
 Menggunakan informasi internal dan informasi rahasia untuk kepentingan pribadi; membuat
laporan palsu.
 Menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang milik pemerintah, dan surat izin pemrintah.
 Manipulasi peraturan, pembelian barang persediaan, kontrak, dan pinjaman uang.
 Menghindari pajak, meraih laba berlebih-lebihan.
 Menjual pengaruh, menawarkan jasa perantara, konflik kepentingan.
 Menerima hadiah, uang jasa, uang pelicin dan hiburan, perjalanan yang tidak pada tempatnya.
 Berhubungan dengan organisasi kejahatan, operasi pasar gelap.
 Perkoncoan, menutupi kejahatan.
 Memata-matai secara tidak sah, menyalahgunakan telekomunikasi dan pos.
 Menyalahgunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan, dan hak istimewa jabatan.

D. Upaya-Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia


1. Pembentukan Peraturan dan Lembaga Pemberantas Korupsi
Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam lingkar sejarah telah tercatat bahwa pemerintah telah
memberlakukan beberapa Undang-Undang guna pemberantasan korupsi. Peraturan perundangan
yang mengatur tentang tindak pidana korupsi pada mulanya berdasarkan KUHP seperti pasal
209, 210, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 423, 425, dan 435. Penyalahgunaan jabatan dijelaskan di
dalam Bab XXVIII KUHP.
Kemudian keluar Kepres Nomor 228 Tahun 1967 tanggal 2 Desember 1967 Tentang
Pembentukan TPK (Tim Pemberantasan Korupsi).
Undang-Undang yang lebih jelas tentang tindak pidana korupsi adalah setelah keluarnya
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1971 berlaku sampai periode reformasi. Pada periode reformasi, pemerintah dan DPR
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi yang
menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dan sejak saat itu Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1971 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 penjelasan tentang korupsi dan sanksi
pidananya disebutkan mulai dari pasal 2 sampai pasal 20. kemudian pada Bab IV mulai pasal 25
sampai pasal 40 memuat tentang ketentuan formil bagaimana menjalankan ketentuan
meteriilnya. Pemerintah kemudian melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Untuk efektifnya pemberantasan tindak pidana korupsi pemerintah membentuk Komisi
Pemberantasan Korupsi dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terakhir pemerintah mengeluarkan Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sebetulnya suatu Badan yang bertugas untuk mengusut dan memberantas tindak pidana korupsi
telah ada sejak lama misalnya MPR dan DPR dalam ranah politiknya dan MA, Kejaksaan, dan
Kepolisian dalam ranah hukumnya, di samping itu masih ada lembaga-lembaga seperti BPK,
BPPN, dan BPKP, hanya saja lembaga-lembaga tersebut tidak secara khusus menangani korupsi.
Lembaga-lembaga tersebut juga menangani kasus-kasus lainnya sehingga kerja-kerja dan
pengawasan lembaga tersebut tidak bisa maksimal dan optimal untuk secara khusus menangani
dan memberantas korupsi. Di samping itu, peraturan perundangan tentang tindak pidana korupsi
juga belum dilaksanakan secara konsisten.
Lemahnya sistem penanganan dan pemberantasan korupsi menyebabkan para koruptor bebas
menjalankan aksinya tanpa merasa takut untuk ditangkap dan diadili. Apalagi sumber daya
manusia dan kekuatan iman dan moral di lingkungan instansi yang berkaitan dengan hukum juga
kredibilitasnya dipertanyakan. Banyak bukti bahwa para penegak hukumnya juga terlibat di
dalamnya baik sebagai bodyguard, backing, pemulus jalan, pem-back up hukumnya dan lain
sebagainya. Kalau tidak lolos di institusi yang satu bisa lolos di institusi lainnya, sehingga tidak
heran kalau orang mengatakan bahwa para koruptor di Indonesia kalau tidak dilepas oleh polisi,
pasti dilepas oleh jaksa, kalau ditangkap jaksa, pasti dilepas oleh hakim, kalau divonis oleh
hakim sampai di rumah tahanan nanti dilepas oleh petugas Lapas.
Mengingat lemahnya sistem dan institusi yang menangani dan memberantas korupsi maka sangat
penting dan mendesak dibentuk suatu badan atau komisi khusus yang menangani dan
memberantas korupsi. Untuk memaksimalkan dan menyempurnakan lembaga-lembaga yang
telah ada sebelumnya maka pemerintah membentuk yang disebut KPKPN (Komisi Pemeriksa
Kekayaan Penyelenggara Negara). Komisi ini bertugas untuk memeriksa atau mengaudit
kekayaan para penyelenggara negara kemudian menginformasikan kepada publik. Namun
demikian keberadaan lembaga ini sebenarnya kurang begitu strategis dalam upaya
pemberantasan korupsi di Indonesia karena kewenangan yang dimilikinya sangat terbatas yakni
hanya pada penyelidikan dan penyidikan.
Sebagai amanat dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, maka kemudian dibentuk suatu komisi khusus yang akan menangani dan
memberantas korupsi yaitu KPTPK (Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) yang
kemudian terakhir disebut KPK (Komisi Pemberantasa Korupsi). Komisi Pemberantasan
Korupsi merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang dalam melaksanakan tugas
dan kewenangannya bebas dari kekuasaan manapun.
Komisi ini memiliki kekuasaan yang super power, very-very high (meminjam istilah Abdullah
Hehamahua), karena tidak sekedar menyidik, menangkap tetapi juga supervisi lembaga
yudikatif. Dia melakukan supervisi kehakiman, kejaksaan dan kepolisian. Tidak ada lembaga di
dunia yang memiliki kewenangan supervise lembaga yudikatif seperti KPTPK ini.
2. Kesulitan-Kesulitan Pemberantas Korupsi
Korupsi di tengah kemiskinan yang makin meluas justru berkembang menjadi cara berpikir dan
cara hidup masyarakat untuk memperoleh kekayaan. Tidak salah kalau misalnya Hatta pernah
mengatakan bahwa korupsi telah menjadi budaya. Hal itu dikatakannya beberapa puluh tahun
yang lalu, apalagi sekarang. Korupsi tidak hanya terjadi di tingkat elit birokrasi pemerintah tetapi
juga merambah ke seluruh aspek kehidupan bangsa. Perkembangan tekhnologi yang canggih
malah menjadi sarana yang efektif untuk melakukan korupsi dan membuat korupsi jadi tambah
sulit untuk diditeksi dan diberantas. Pelaku korupsi sudah semakin pintar untuk tidak melakukan
transaksi “illegal” di atas kertas sehingga dengan mudah menjadi barang bukti, mereka cukup
melakukan transfer antar rekening bank.
Hal yang demikian diperparah lagi dengan kenyataan bahwa birokrasi dan pejabat-pejabat politik
masih banyak didominasi oleh orang-orang lama. Upaya-upaya untuk mengadili dan melakukan
pembersihan sangat sulit dan selalu gagal karena setiap ada upaya ke arah itu yang harus
dilakukan oleh aparat penegak hukum akan diblokade oleh birokrasi bahkan oleh aparat penegak
hukum sendiri.[19] Prinsip mereka adalah saling melindungi karena ketika ada salah satu dari
mereka “bernyanyi” maka yang lain akan kena. Jadi, meskipun ada pergantian rezim tetap saja
sistemnya tidak berubah. Istilah Aditjondro dari Oligarki kembali ke Oligarki. Kalau dahulu
yang menguasai perekonomian dan sumber daya alam Indonesia hanya 25 orang sekarang tidak
berubah hanya bertambah menjadi 30. Bahkan menurut hemat penulis, korupsi juga dilakukan
dengan tanpa rasa malu jadi kalau pada zaman Soeharto korupsi dilakukan di bawah meja atau
dengan sembunyi-sembunyi, pada zaman Habibie korupsi dilakukan di atas meja atau dengan tak
melihat ada siapa dan dengan siapa, dan di masa Megawati lebih parah lagi karena sekalian meja
dan kursinya jugapun dikorupsi.
Oleh sebab itu Mahfudz MD mengatakan bahwa ada dua pilihan yang bisa diambil, pertama
adalah amputasi, yaitu dengan melakukan pemberhentian terhadap pejabat-pejabat pemerintah
dalam level tertentu. Misalnya semua pejabat di birokrasi yang pada akhir Orde Baru telah
mencapai usia tertentu atau menduduki jabatan dalam level tertentu, harus diberhentikan tanpa
pandang bulu dengan sebuah produk hukum. Produk hukum yang dimaksud adalah UU
pemberhentian otomatis atau UU Lustrasi. Kedua, melakukan pengampunan nasional dengan
syarat tertentu terhadap semua pejabat masa lalu yang diduga melakukan korupsi.[20]
Kesulitan lainnya adalah sistem hukum nasional kita yang formal-prosedural. Dengan sistem
yang semacam ini sangat sulit untuk memberantas korupsi yang sudah mengakar kuat dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Oleh karena itu perlu dilakukan perubahan paradigma
yaitu dari sistem hukum yang formal-prosedural ke arah yang menitikberatkan pada penegakan
keadilan.[21]
Ini artinya, bisa jadi Negara ini akan berubah menggeser dari sistem Eropa Kontinental,[22] ke
arah sistem Anglo Saxon.[23] Sehingga diharapkan dalam kasus korupsi ini bisa diberlakukan
sistem “pembuktian terbalik”. Yang dimaksud pembuktian terbalik adalah kalau selama ini
dalam sistem kita apabila ada orang melaporkan suatu tindakan korupsi maka si pelapor harus
bisa membuktikan tuduhannya tersebut sementara si tertuduh duduk manis saja menunggu
bukti-bukti yang dikumpulkan oleh si pelapor dan kalau tidak bisa membuktikannya si
pelapor akan balik dituntut dengan alasan pencemaran nama baik. Dalam sistem pembuktian
terbalik tidak demikian halnya, malah sebaliknya yang dilaporkan atau pihak tertuduh-lah yang
harus membuktikan bahwa dirinya tidak korupsi. Tentunya hal ini tidak gampang karena harus
mempertimbangkan sekian aspek dan kondisi serta karakteristik bangsa ini. Namun sepahit
apapun kalau memang ini jalan pintas yang terbaik harus dicoba, kita tunggu saja keberanian
para “steak holder” bangsa ini untuk melakukan perubahan yang revolusioner. Kita tidak mesti
phobi dengan istilah revolusi karena revolusi dari kejelekan menuju kebaikan hukumnya wajib
dan berdosa apabila tidak dilakukan.

E. Pemberantasan Korupsi di Indonesia Dalam Perspektif Hukum Islam.


Salah satu kontribusi agama yang bisa digali adalah dengan cara menggali konsep korupsi dan
berikut sanksi-sanksinya dalam hukum Islam untuk kemudian dikontekstualisasikan dengan
kondisi Indonesia saat ini. Lalu bagaimana pandangan hukum Islam tentang korupsi di
Indonesia?
Korupsi dalam tindak pidana (jarimah) digolongkan ke dalam bentuk ta’zir karena jenis pidana
yang ada dalam korupsi tidak termasuk ke dalam bentuk-bentuk pidana yang ditentukan oleh
syari’ dalam hudud dan diyat-qisas. Dengan demikian, maka ta’zir bisa didefinisikan sebagai:
Hukuman yang diwajibkan karena adanya kesalahan, di mana pemberi syari’at tidak menentukan
hukumannya secara tertentu.
Maksud ta’zir adalah untuk memperbaiki pribadi orang yang bersalah. Ini dapat kita pahami
dari perkataan-perkataan para ahli fiqh, yaitu: at ta’ziru ta’dibun was tislahun wa zajrun-ta’zir
itu ialah mendidik, memperbaiki dan menghalangi orang yang berbuat jahat dari berbuat sesudah
dilakukannya. Di samping itu, ta’zir adalah suatu prosedur yang harus dilakukan untuk
menenangkan gelora keamarahan masyarakat dan menenangkan perasaan orang yang teraniaya.
Jenis hukuman ta’zir diserahkan kepada hakim, oleh karena itu Hakim memiliki kebebasan
dalam menetapkan ta’zir kepada pelaku tindak pidana atau pelanggaran yang ancaman
hukumannya tidak ditentukan oleh nash (Al-Qur’an atau hadits) termasuk di antaranya tindak
pidana korupsi. Karena itu, ta’zir dapat berubah sesuai dengan kepentingan dan kemaslahatan.
Pemberian hak penentuan ta’zir kepada penguasa (hakim) dimaksudkan supaya mereka dapat
mengatur kehidupan masyarakat secara tertib dan mampu mengantisipasi berbagai
kemungkinan yang terjadi secara tiba-tiba.

Selain itu, untuk memberantas praktik korupsi di Indonesia dari sudut pandang hukum Islam paling tidak
ada tiga usaha yang harus segera dilakukan, yaitu:

1. Memaksimalkan Hukuman
Hukum Islam mendasarkan rumusan hukuman dalam pelanggaran pidana pada dua aspek dasar,
yaitu ganti rugi/balasan (retribution) dan penjeraan (deterrence). Dalam hal retribusi sebagai
alasan rasional dibalik pemberian hukuman, dua hal secara inhern menjadi unsur yang harus ada
di dalamnya yaitu: (1). kekerasan suatu hukuman, dan (2) keharusan hukuman itu diberikan
kepada pelaku perbuatan kriminal. Sedangkan tujuan penjeraan yang pokok adalah mencegah
terulangnya perbuatan pidana tersebut di kemudian hari. Penjeraan memiliki dua efek, yaitu
internal dan jeneral. Internal supaya pelakunya kapok, tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Jeneral maksudnya penjeraan itu diproyesikan kepada masyarakat secara umum agar takut untuk
melakukan tindak kriminal.
Dalam hal pemberian hukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi karena termasuk jarimah
ta’zir maka hakim yang menentukan. Hakim bisa berijtihad dalam menentukan berat ringannya
hukuman. Meski demikian, dalam menentukan hukuman terhadap koruptor, seorang hakim harus
mengacu kepada tujuan syara’ dalam menetapkan hukuman, kemaslahatan masyarakat, situasi
dan kondisi lingkungan, dan situasi serta kondisi sang koruptor, sehingga sang koruptor akan jera
melakukan korupsi dan hukuman itu juga bisa sebagai tindakan preventif bagi orang lain.
2. Penegakan Supremasi hukum
Hukum dan keadilan memiliki hubungan yang erat karena salah satu falsafah diberlakukannya
hukum adalah untuk menegakkan keadilan. Di depan hukum semua orang sama sebagaimana
adagium hukum yang selalu dikutip para ahli hukum “Equality Before Law”. Untuk
menegakkan keadilan tersebut Allah SWT menegaskan dalam tiga ayat dalam Firmannya,
yakni pertama surat An-Nisa’ ayat (57) bahwa menegakkan hukum adalah kewajiban bagi
semua orang. Kedua surat Al-Maidah ayat (8) bahwa setiap orang apabila menjadi saksi
hendaknya berlaku jujur dan adil. Ketiga surat An-Nisa’ ayat (135) bahwa manusia dilarang
mengikuti hawa nafsu.
Untuk memberantas korupsi di Indonesia mau tidak mau hukum harus tegak, hukum harus jadi
panglima di negeri ini, lembaga peradilan harus amanah dan bebas dari segala intervensi
siapapun, sebagai benteng terakhir para pencari keadilan, lembaga peradilan harus
memberikan jaminan rasa adil bagi setiap warga tanpa pandang bulu. Jangan lagi ada
ungkapan bahwa hukum menampakkan ketegasannya hanya terhadap orang-orang kecil, lemah,
dan tidak punya akses, sementara jika berhadapan dengan orang-orang ‘kuat’, memiliki akses
kekuasaan, memiliki modal, hukum menjadi lunak dan bersahabat. Penegakan supremasi hukum
harus adil tanpa pandang bulu, baik orang lemah, orang kuat, orang miskin, orang kaya, anak
petani, anak pejabat. Kalau melakukan korupsi harus ditindak sesuai hukum yang berlaku.
Rasulullah telah memberi contoh bahwa beliau sendiri yang akan memotong tangan putri yang
paling dicintai, Fatimah, andaikan Fatimah mencuri. Pengadilan harus memiliki kewibawaan di
depan para pencari keadilan, sehingga siapapun tidak akan coba-coba untuk merongrong
kewibawaan lembaga peradilan.

3. Revolusi Kebudayaan (Mental)


Ketika korupsi sudah menjadi budaya, menurut Musa Asy’arie tidak ada jalan lain yang dapat
diharapkan untuk memberantas tindakan korupsi melainkan dengan melakukan revolusi
kebudayaan. Yang dimaksud revolusi kebudayaan adalah mengubah secara fundamental tata
pikir, tata kesadaran dan tata perilaku sebagai akar budaya politiknya. Jadi untuk memberantas
korupsi di Indonesia harus ada perubahan secara fundamental tata pikir, tata kesadaran dan tata
perilaku seluruh bangsa Indonesia mulai dari pejabat yang tertinggi sampai rakyat jelata.
Lebih lanjut Musa Asy’arie mencontohkan revolusi kebudayaan yang pernah terjadi dalam
sejarah perjalanan hidup Rasulullah SAW. Beliau telah mengubah akar budaya masyarakatnya,
melalui perombakan sistem ketuhanan, dari mempertuhankan berhala sebagai manifestasi
simbolik kekayaan dan kekuasaan yang disakralkan dan diciptakan manusia sendiri, kemudian
diubah hanya mempertuhankan Tuhan Yang Maha Tunggal dan yang menciptakan manusia.
Tuhan yang menciptakan, bukan yang diciptakan.

A. KESIMPULAN

 Tidak ada satu dalil pun yang membenarkan perilaku korupsi dalam Islam. Bahkan Islam
melarang dengan tegas terhadap tindakan korupsi karena di dalamnya mengandung unsur
pencurian, penggunaan hak orang lain tanpa izin / penyalahgunaan jabatan,
penyelewengan harta negara, suap / sogok, pengkhianatan, dan perampasan /
perampokan.
 Islam memandang korupsi sebagai perbuatan yang dapat merugikan masyarakat,
mengganggu kepentingan publik, dan menimbulkan teror terhadap kenyamanan dan
ketertiban masyarakat. Hukum Islam memberikan sanksi yang tegas terhadap perilaku
korupsi seperti hukuman terhadap jiwa, hukuman terhadap badan, hukuman terhadap
harta benda, dan hukuman terhadap kemerdekaan seseorang.
 Upaya pemerintah Indonesia terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan
dengan pembentukan peraturan perundang-undangan dan lembaga khusus dalam
pemberantasan korupsi. Dalam lintas sejarah, pembentukan peraturan dalam
pemberantasan korupsi yaitu KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), Undang-
Undang Nomor 14/PRP/1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak
Pidana Korupsi, Kepres Nomor 228 Tahun 1967 tanggal 2 Desember 1967 Tentang
Pembentukan TPK (Tim Pemberantasan Korupsi), kemudian Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971 Tentang Tindak Pidana Korupsi yang berlaku sampai periode reformasi,
kemudian pada periode reformasi, pemerintah dan DPR mengeluarkan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi. Pemerintah kemudian
melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dengan
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, dan kemudian membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi dengan
keluarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Terakhir pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
 Untuk memberantas korupsi yang sudah merajalela di Indonesia, dalam pandangan
hukum Islam, minimal ada tiga usaha yang harus dilakukan, yaitu: Pertama,
memaksimalkan hukuman. Hukuman-hukuman dalam bentuk fisik segera diterapkan
kalau perlu hukuman mati. Kedua, penegakan Supremasi Hukum. Dan ketiga, Revolusi
Kebudayaan (mental).

B. DAFTAR PUSTAKA

 Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi dan Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, (Citra Umbara, Bandung, 2003).
 Abdullah Hehamahua dalam “Membangun Sinergi Pendidikan dan Agama dalam Gerakan Anti
Korupsi”, dalam buku “Membangun Gerakan Antikorupsi Dalam Perspektif Pendidikan”, (LP3
UMY, Partnership: Governance Reform in Indonesia, Koalisi Antarumat Beragama untuk
Antikorupsi, Yogyakarta, 2004).
 Moh. Mahfud MD., Setahun Bersama Gus Dur Kenangan Menjadi Menteri di Saat Sulit,
(LP3ES, Jakarta, 2003).
 Muhammad Rawwas Qal’ahji, Ensiklopedi Fiqh Umar Bin Khatab, Edisi I, Cet-1 Penerj. Abdul
Mujieb AS (et al), (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999).
 T. M. Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pidana Mati Dalam Syari’at Islam, Cet-1, (PT.
Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1998).
 Musa Asy’arie, “Agama dan Kebudayaan Memberantas Korupsi Gagasan Menuju Revolusi
Kebudayaan” dalam buku “Membangun Gerakan Antikorupsi Dalam Perspektif Pendidikan,
(LP3 UMY, Partnership: Governance Reform in Indonesia, Koalisi Antarumat Beragama untuk
Antikorupsi, Yogyakarta, 2004).
 Anwar, Syamsul, 2006, Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah Majelis Tarjih dan
Tajdid PP Muhammadiyah, Jakarta: Pusat studi Agama dan Peradaban (PSAP).
 Pope, Jeremy, 2003, Strategi Memberantas Korupsi; Elemen Sistem Integritas Nasional, (terj.)
Masri Maris, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai