Korupsi Dalam Pandangan Islam
Korupsi Dalam Pandangan Islam
Mata Kuliah:
Disusun Oleh:
Jurusan/Semester/Kelas : AKUNTANSI/II/A
Yogyakarta
2019/2020
Saat ini, korupsi di Indonesia bisa dikatakan sudah menjadi budaya dari mulai tingkat rendah sampai
tinggi. Bahkan, Indonesia sudah menjadi salah satu negara terkorup di dunia yang tentunya sangat
memilukan. Meskipun saat ini sudah didirikan lembaga anti korupsi yang baru yaitu Komisi
Pemberantasan Korupsi atau KPK yang secara gencar memberantas para koruptor, akan tetapi korupsi
yang sudah berubah menjadi budaya ini terasa sangat sulit untuk dihentikan dan diberantas.
Islam adalah agama yang sangat menjujung tinggi akan arti kesucian, sehingga sangatlah rasional jika
memelihara keselamatan (kesucian) harta termasuk menjadi tujuan pokok hukum (pidana) Islam, karena
mengingat harta mempunyai dua dimensi, yakni dimensi halal dan dimensi haram. Perilaku korupsi
adalah harta berdimensi haram karena morupsi menghalalkan sesuatu yang diharamkan, dan korupsi
merupakan wujud manusia yang tidak memanfaatkan keluasan dalam memproleh rezeki Allah. Secara
teoritis kedudukan korupsi merupakan tindakan kriminal (jinayah atau jarimah) dimana bagi pelakunya
diancam dengan hukuman hudud (had) dan juga hukuman ta’zir.
Islam membagi Istilah Korupsi kedalam beberapa Dimensi. Yaitu risywah (suap), saraqah (pencurian) al
gasysy (penipuan) dan khianat (penghianatan).
1. Korupsi dalam dimensi suap (risywah) dalam pandangan hukum Islam merupakan perbuatan
yang tercela dan juga merupakan dosa besar serta Allah sangat melaknatnya. Firman Allah Swt,
“Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan membawa hadiah, dan
aku akan menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu. Maka tatkala utusan
itu sampai kepada Sulaiman, Sulaiman berkata: Apakah patut kamu menolong aku dengan harta?
maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu;
tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu.” (QS. an-Naml: 35-36). Risywah merupakan
sebuah pemberian (hadiah) kepada hakim atau orang tertentu yang bertujuan untuk
memenangkan perkara atau putusan dengan cara tidak dibenarkan.
Rasulullah SAW melaknat setiap orang yang terlibat penyuapan, sebagaimana sabdanya,
“Laknat Allah atas pemberi suap, penerima suap, dan perantaranya yakni orang yang
menghubungkan keduanya.” (HR. Ahmad). Sebab itu, penyuapan merupakan bagian dari
perilaku korupsi yang mewabah di negeri ini.
2. Korupsi dalam dimensi pencurian (saraqah). Saraqah (pencurian) menurut etimologinya berarti
melakukan sesuatu tindakan terhadap orang lain secara tersembunyi.Sedangkan menurut Abdul
Qadir ‘Awdah pencurian didefinisikan sebagai suatu indakan yang mengambil harta orang lain
dalam keadaan sembunyi-sembunyi, artinya mengambil tanpa sepengetahuan pemiliknya. Jadi
sariqah adalah mengambil barang milik orang lain dengan cara melawan hokum atau melawan
hak dan tanpa sepengetahuan pemiliknya. Seperti halnya korupsi yang mengambil harta dengan
cara melawan hak dan tanpa sepengetahuan pemiliknya (rakyat/masyarakat). Dalam syariah
ancaman terhadap pelaku sariqah (pencurian) ditentukan dengan jelas sebagaimana yang
disebutkan dalam surat Al Maidah: 38, Allah berfirman :
Artinya:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, maka potomglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”(QS. Al-Maidah:38).
3. Korupsi dalam dimensi penipuan (al gasysy). Secara tegas berdasarkan sabda Rosulullah saw,
Allah mengharamkan surga bagi orang-orang yang melakukan penipuan. Terlebih penipuan itu
dilakukan oleh seorang pemimpin yang mempecundangi rakyatnya. “Dari Abu Ya’la Ma’qal ibn
Yasar berkata: “ Aku mendengar Rosulullah saw. Bersabda :” seorang hamba yang dianugerahi
allah jabatan kepemimpinan, lalu dia menipu rakyatnya; maka Allah mengharamkannya masuk
surga.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
4. Korupsi dalam dimensi khianat (penghianatan). Bahasa Agama tentang korupsi yang sebenarnya
adalah khianat (penghianatan), khianat berkecenderungan mengabailak, menyalahgunakan, dan
penyelewengan terhadap tugas, wewenang dan kepercayaan yang amanahkan kepada dirinya.
Khianat adalah pengingkaran atas amanah yang dibebankan kepada dirnya atau mengirangi
kewajiban-kewajiban yang seharusnya dipenuhi. Perilaku khianat akan menyebabkan
permusuhan diantara sesame karena orang yang berkhianat selalu memutar-balikkan fakta, dan
juga berakibat terjadinya destruksi baik secara moral, social maupun secara politik-ekonomi.
Islam melarang keras bagi orang-orang yang beriman terhadap perbuatan khianat baik terhadapa
Allah, Rasul serta terhadap sesamanya. Dalam surat Al-Anfal: 27, Allah berfirman:
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan
(juga) janganlah kamu menghianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu
mengetahuinya”. (QS. Al-Anfal:27).
Dari apa yang telah dijelaskan diatas, bahwasanya korupsi (dengan berbagai nama) dalam Islam
digolongkan sebagai suatu perbuatan yang tercela dan pelakunya dikualifikasi sebagai orang-orang yang
munafik, dzalim, fasik dan kafir, serta merupakan dosa besar yang ancaman hukumanya (selain had dan
ta’zir) adalah neraka jahannam.
Dalam hukum Islam disyariatkan Allah SWT demi kemaslahatan manusia dan diantara
kemaslahatan yang ingin diwujudkan dalam syariat hukum tersebut adalah harta yang terpelihara dari
pemindahan hak milik yang tidak menurut dengan prosedur hukum dan juga dari pemanfaatannya yang
tidak sejalan dengan kehendak Allah SWT. Karena itulah, larangan merampas, mencuri, mencopet dan
lainnya menjadi pemeliharaan keamanan harta dari kepemilikan yang tidak sah. Larangan memakainya
sebagai taruhan judi dan juga memberikan pada orang lain yang diyakini akan dipakai untuk perbuatan
yang maksiat, sebab penggunaan yang tidak sesuai dengan jalan Allah SWT jadikan kemaslahatan yang
dituju menjadi tidak tercapai. Ulama fikih juga sepaham dan berkata jika perbuatan korupsi merupakan
haram dan juga terlarang sebab menjadi hal yang bertentangan dengan maqasid asy-syariah.
Penyuapan (bribery) mencakup tindakan memberi dan menerima suap, baik berupa uang maupun
barang.
Embezzlement, merupakan tindakan penipuan dan pencurian sumber daya yang dilakukan oleh
pihak-pihak tertentu yang mengelola sumber daya tersebut, baik berupa dana publik atau sumber
daya alam tertentu.
Fraud, merupakan suatu tindakan kejahatan ekonomi yang melibatkan penipuan (trickery or
swindle). Termasuk didalamnya proses manipulasi atau mendistorsi informasi dan fakta dengan
tujuan mengambil keuntungan-keuntungan tertentu.
Extortion, tindakan meminta uang atau sumber daya lainnya dengan cara paksa atau disertai
dengan intimidasi-intimidasi tertentu oleh pihak yang memiliki kekuasaan. Lazimnya dilakukan
oleh mafia-mafia lokal dan regional.
Favouritism, adalah mekanisme penyalahgunaan kekuasaan yang berimplikasi pada tindakan
privatisasi sumber daya.
Melanggar hukum yang berlaku dan merugikan negara.
Serba kerahasiaan, meskipun dilakukan secara kolektif atau korupsi berjamaah.
Jenis korupsi yang lebih operasional juga diklasifikasikan oleh tokoh reformasi, M. Amien Rais yang
menyatakan sedikitnya ada empat jenis korupsi, yaitu (Anwar, 2006:18):
Korupsi ekstortif, yakni berupa sogokan atau suap yang dilakukan pengusaha kepada penguasa.
Korupsi manipulatif, seperti permintaan seseorang yang memiliki kepentingan ekonomi kepada
eksekutif atau legislatif untuk membuat peraturan atau UU yang menguntungkan bagi usaha
ekonominya.
Korupsi nepotistik, yaitu terjadinya korupsi karena ada ikatan kekeluargaan, pertemanan, dan
sebagainya.
Korupsi subversif, yakni mereka yang merampok kekayaan negara secara sewenang-wenang
untuk dialihkan ke pihak asing dengan sejumlah keuntungan pribadi.
Diantara model-model korupsi yang sering terjadi secara praktis adalah: pungutan liar, penyuapan,
pemerasan, penggelapan, penyelundupan, pemberian (hadiah atau hibah) yang berkaitan dengan jabatan
atau profesi seseorang.
Jeremy Pope (2007: xxvi) mengutip dari Gerald E. Caiden dalam Toward a General Theory of Official
Corruption menguraikan secara rinci bentuk-bentuk korupsi yang umum dikenal, yaitu:
Selain itu, untuk memberantas praktik korupsi di Indonesia dari sudut pandang hukum Islam paling tidak
ada tiga usaha yang harus segera dilakukan, yaitu:
1. Memaksimalkan Hukuman
Hukum Islam mendasarkan rumusan hukuman dalam pelanggaran pidana pada dua aspek dasar,
yaitu ganti rugi/balasan (retribution) dan penjeraan (deterrence). Dalam hal retribusi sebagai
alasan rasional dibalik pemberian hukuman, dua hal secara inhern menjadi unsur yang harus ada
di dalamnya yaitu: (1). kekerasan suatu hukuman, dan (2) keharusan hukuman itu diberikan
kepada pelaku perbuatan kriminal. Sedangkan tujuan penjeraan yang pokok adalah mencegah
terulangnya perbuatan pidana tersebut di kemudian hari. Penjeraan memiliki dua efek, yaitu
internal dan jeneral. Internal supaya pelakunya kapok, tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Jeneral maksudnya penjeraan itu diproyesikan kepada masyarakat secara umum agar takut untuk
melakukan tindak kriminal.
Dalam hal pemberian hukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi karena termasuk jarimah
ta’zir maka hakim yang menentukan. Hakim bisa berijtihad dalam menentukan berat ringannya
hukuman. Meski demikian, dalam menentukan hukuman terhadap koruptor, seorang hakim harus
mengacu kepada tujuan syara’ dalam menetapkan hukuman, kemaslahatan masyarakat, situasi
dan kondisi lingkungan, dan situasi serta kondisi sang koruptor, sehingga sang koruptor akan jera
melakukan korupsi dan hukuman itu juga bisa sebagai tindakan preventif bagi orang lain.
2. Penegakan Supremasi hukum
Hukum dan keadilan memiliki hubungan yang erat karena salah satu falsafah diberlakukannya
hukum adalah untuk menegakkan keadilan. Di depan hukum semua orang sama sebagaimana
adagium hukum yang selalu dikutip para ahli hukum “Equality Before Law”. Untuk
menegakkan keadilan tersebut Allah SWT menegaskan dalam tiga ayat dalam Firmannya,
yakni pertama surat An-Nisa’ ayat (57) bahwa menegakkan hukum adalah kewajiban bagi
semua orang. Kedua surat Al-Maidah ayat (8) bahwa setiap orang apabila menjadi saksi
hendaknya berlaku jujur dan adil. Ketiga surat An-Nisa’ ayat (135) bahwa manusia dilarang
mengikuti hawa nafsu.
Untuk memberantas korupsi di Indonesia mau tidak mau hukum harus tegak, hukum harus jadi
panglima di negeri ini, lembaga peradilan harus amanah dan bebas dari segala intervensi
siapapun, sebagai benteng terakhir para pencari keadilan, lembaga peradilan harus
memberikan jaminan rasa adil bagi setiap warga tanpa pandang bulu. Jangan lagi ada
ungkapan bahwa hukum menampakkan ketegasannya hanya terhadap orang-orang kecil, lemah,
dan tidak punya akses, sementara jika berhadapan dengan orang-orang ‘kuat’, memiliki akses
kekuasaan, memiliki modal, hukum menjadi lunak dan bersahabat. Penegakan supremasi hukum
harus adil tanpa pandang bulu, baik orang lemah, orang kuat, orang miskin, orang kaya, anak
petani, anak pejabat. Kalau melakukan korupsi harus ditindak sesuai hukum yang berlaku.
Rasulullah telah memberi contoh bahwa beliau sendiri yang akan memotong tangan putri yang
paling dicintai, Fatimah, andaikan Fatimah mencuri. Pengadilan harus memiliki kewibawaan di
depan para pencari keadilan, sehingga siapapun tidak akan coba-coba untuk merongrong
kewibawaan lembaga peradilan.
A. KESIMPULAN
Tidak ada satu dalil pun yang membenarkan perilaku korupsi dalam Islam. Bahkan Islam
melarang dengan tegas terhadap tindakan korupsi karena di dalamnya mengandung unsur
pencurian, penggunaan hak orang lain tanpa izin / penyalahgunaan jabatan,
penyelewengan harta negara, suap / sogok, pengkhianatan, dan perampasan /
perampokan.
Islam memandang korupsi sebagai perbuatan yang dapat merugikan masyarakat,
mengganggu kepentingan publik, dan menimbulkan teror terhadap kenyamanan dan
ketertiban masyarakat. Hukum Islam memberikan sanksi yang tegas terhadap perilaku
korupsi seperti hukuman terhadap jiwa, hukuman terhadap badan, hukuman terhadap
harta benda, dan hukuman terhadap kemerdekaan seseorang.
Upaya pemerintah Indonesia terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan
dengan pembentukan peraturan perundang-undangan dan lembaga khusus dalam
pemberantasan korupsi. Dalam lintas sejarah, pembentukan peraturan dalam
pemberantasan korupsi yaitu KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), Undang-
Undang Nomor 14/PRP/1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak
Pidana Korupsi, Kepres Nomor 228 Tahun 1967 tanggal 2 Desember 1967 Tentang
Pembentukan TPK (Tim Pemberantasan Korupsi), kemudian Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971 Tentang Tindak Pidana Korupsi yang berlaku sampai periode reformasi,
kemudian pada periode reformasi, pemerintah dan DPR mengeluarkan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi. Pemerintah kemudian
melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dengan
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, dan kemudian membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi dengan
keluarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Terakhir pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Untuk memberantas korupsi yang sudah merajalela di Indonesia, dalam pandangan
hukum Islam, minimal ada tiga usaha yang harus dilakukan, yaitu: Pertama,
memaksimalkan hukuman. Hukuman-hukuman dalam bentuk fisik segera diterapkan
kalau perlu hukuman mati. Kedua, penegakan Supremasi Hukum. Dan ketiga, Revolusi
Kebudayaan (mental).
B. DAFTAR PUSTAKA