Anda di halaman 1dari 8

FILSAFAT SEBAGAI “IBU ILMU”

SUB POKOK BAHASAN :

Kedudukan Filsafat dalam Pengembangan Pikiran, Pengetahuan, dan Ilmu.

Standar Kompetensi :

Mahasiswa memahami hakikat filsafat sebagai ibu yang mengandung, melahirkan,


mengasuh, dan mendewasakan ilmu.

Kompetensi dasar:

Setelah mempelajari Pokok ini, Anda diharapkan dapat:

 menjelaskan arti filsafat sebagai "ibu ilmu”;


 menjelaskan prinsip-prinsip filosofis yang penting dipahami dalam mengerjakan
ilmu;
 menjelaskan makna mempelajari filsafat dalam sebuah tugas pemikiran dan
keilmuan;
 menunjukkan kedudukan filsafat dalam pengembangan pikiran, pengetahuan,
ilmu.

I. Filsafat Sebagai “ibu ilmu” (The Mother of Sciences).

Pemunculannya sejak abad ke-5 Sebelum Masehi, filsafat telah menunjukkan


supremasinya dalam pentas pemikiran dan keilmuan dunia sebagai “ibu ilmu” (the
mother of sciences). Sebagai ibu, filsafat telah menunjukkan diri sebagai kekuatan yang
mengandung benih-benih pemikiran keilmuan, melahir dan menyusui bayi ilmu, dan
terus membina perkembangan ilmu menjadi cabang dan ranting-ranting keilmuan, serta
mendewasakan ilmu sebagai ilmu yang otonom dan mandiri.

1. Filsafat sebagai ibu yang mengandung benih-benih pemikiran keilmuan,


mengandaikan bahwa filsafat sebagai ilmu berpikir selalu mengembangkan
gagasan-gagasannya, baik dalam alam kesadaran kritis (rasio) maupun dalam
pengalaman nyata untuk mencermati permasalahan lingkungan, baik yang
menyenangkan maupun yang mencemaskan. Pikiran-pikiran tersebut, tidak
dibiarkan berkelana tanpa arah, tetapi memelihara dan membinanya di dalam
kandungannya menjadi benih-benih pemikiran keilmuan. Filsafat terus membina
benih-benih pemikiran itu menjadi bayi keilmuan yang matang dan siap
diluncurkan (dilahirkan) dalam dunia keilmuan secara nyata.
 
2. Sebagai ibu yang melahirkan bayi–bayi ilmu, filsafat membidani sendiri proses
kelahiran bayi ilmu dari kandungannya, sehingga membentuk cabang-cabang dan
ranting keilmuan baru yang bersifat khusus. Filsafat, dalam hal ini, tidak ingin
mati dengan fosil-fosil pemikiran yang hanya bersifat hantu khayalan. Filsafat

1
berusaha membedah dan melahirkan atau meluncurkannya dalam kesegaran
pemikiran keilmuan yang mempengaruhi sejarah keilmuan dan menyumbang bagi
tugas kebudayaan. Filsafat memiliki hubungan bathiniah dengan ilmu sebagai
hubungan ibu kandung dan anak kandung yang sah dalam sebuah tanah air
manusia sebagai makhluk berpikir (Homo Sapiens).
3. Sebagai ibu kandung yang menyusui ilmu, filsafat memberikan gizi pemikiran
dalam berbagai proses diskursus dan ujian-ujian kritis, dengan cara melakukan
kritik, koreksi, dan penyempurnaan yang membangun dan menumbuhkan taraf
kamatangannya sebagai ilmu-ilmu atau cabang dan ranting keilmuan yang
mandiri. Filsafat, karena itu, tidak akan memperlakukan ilmu sebagai budak
penguasaan filsafat, tetapi mendorong proses pertumbuhan dan perkembangan
ilmu secara otonom. Filsafat berusaha membangun diskursus-diskursus keilmuan,
membuka dan membentangkan penemuan-penemuannya dalam bentuk ilmu baru
untuk diuji, baik dalam proses uji logis (pola penalaran), uji material (materi
pemikiran), serta uji metode, guna ferifikasi dan validasi keilmuan secara kritis
dan terbuka. Bahkan, filsafat berperan pula sebagai ibu menyusui, mengasuh, dan
mengasah pertumbuhan serta ketajaman ilmu dalam sebuah proses komunikasi
antar ilmu dan lintas ilmu. Melalui itu, ilmu atau kegiatan keilmuan dapat
bertumbuh dan berkembang secara sehat, sehingga terhindar dari bahaya sesat
pikir, keliru pikir, atau salah pikir.
4. Sebagai ibu yang mendewasakan ilmu, filsafat tidak akan pernah mengikat atau
membelenggu ilmu di dalam pagarnya. Filsafat terus mendorong kemandirian
ilmu-ilmu sehingga ilmu-ilmu mampu mengembangkan pemikiran serata metode-
metode yang khas dalam percaturan keilmuan secara global. Filsafat pula yang
terus berperan membidani kelahiran benih-benih pemikiran, pengetahuan, dan
keilmuan untuk kepentingan praktis, baik dalam bentuk teknologi, industri demi
pemenuhuan kebutuhan hidup manusia, maupun upaya klinis dalam
penanggulangan dampak negatif pembangunan.

2
Gtn5

Gambar Pohon Ilmu

II. Prinsip-Prinsip Filosofis dalam mengerjakan Ilmu (kegiatan keilmuan).

Jelas bahwa filsafat sebagai “ibu ilmu” atau induk ilmu bermaksud menunjukkan sebuah
hal mendasar dalam mencari pemikiran keilmuan dan mengerjakan ilmu (keilmuan).
Intinya, ilmu, termasuk ilmuwan dan lembaga keilmuan, segala prestasi kemajuannya
harus dilihat dalam kelebihan dan kekuarangan manusia sebagai Homo Sapiens. Bagi
filsafat, manusia itu selalu tahu diketidaktahuan-nya, Konsekuensinya, semakin banyak
yang makin diketahui, baik melalui kegiatan keilmuan maupun seni budaya, namun,

3
semakin banyak pula misteri ketidaktahuan yang seakan terus mendangkalkan
pengetahuan, kekaguman, dan terus menantang rasa “ingin tahu” manusia. Bahkan,
semakin banyak penemuan dalam rangka pemecahan masalah-masalah kehidupan,
namun makin banyak pula “kecemasan mekar” yang terus mengerogoti manusia. Dewasa
ini, fenomena “ketidaktahuan filosofis” ini, telah berkembang luas dan makin
mengancam eksistensi manusia secara utuh.

Sesungguhnya, akar semua persoalan di atas, terletak pada kecenderungan


pengembangan pikiran atau pengetahuan yang tidak utuh (tidak akumulatif). Pemikiran,
ilmuwan, dan profesional, telah memisahkan antara kebenaran-kebenaran logis dari
kebenaran-kebenaran etis (nilai) dan moral. Filsuf kritis menjelaskan bahwa banyak
pemikir, dengan dalih sebagai “majikan kebenaran”, berusaha membangun berbagai
bentuk “sesat pikir” untuk menciptakan kebingungan, pembodohan, kebodohan atau
ketidaktahuan, serta melalukan berbagai kepalsuan, kebohongan, pembusukan kebenaran,
dan penghancuran peradaban manusia.

Socrates, bapak filsuf itu, mengatakan di dalam sebuah nasihatnya bahwa; Kenali lah
dirimu sendiri (Gnoti Seauton). Menurut Socrates, hanya manusia yang mengenal dirinya
sendirilah yang kuat dan berguna, karena mereka akan mengenal kekuatan dan
kelemahannya sendiri, dan tidak akan membiarkan diri ditipu atau dikuasai oleh
kejahatan, baik akibat kebodohan atau karena “kepintaran” yang menyesatkan itu.
Socrates, karena itu, menegaskan bahwa: hanya manusia itu sendiri lah yang tahu bahwa
ia tidak tahu. Bagi Socrates, pikiran hendaknya makin membuat orang untuk mengenal
dirinya sendiri sehingga tahu menegur dan menasihati diri sendiri, bukan sebaliknya
membuat orang menjadi lupa diri. Konsekuensinya, semakin semakin tinggi dan luas
pikiran serta pengetahuan seorang manusia, semakin tinggi pula penguasaan diri dan
kesadaran diri “rendah hati” dalam ketekunan mengemban tugas kemanusiaannya sebagai
makluk beradab. Pikiran harus dikembalikan pada kesegaran eksistensi manusia.
Tegasnya, pikiran atau pengetahuan harus selalu ditempatkan dalam keutuhanya sebagai
salah satu fenomena manusia untuk memanusiakan manusia. Pikiran bukanlah ego
mandiri yang berada pada dirinya sendiri dan melayani kepentingan pikiran itu sendiri.
Pikiran tidak dapat berpikir dari dalam dirinya sendiri, tetapi manusialah yang berpikir
dengan pikirannya itu sendiri dalam keutuhan konteks kemanusiaannya.

Menurut Socrates, manusia, dengan pikiran atau pengetahuannya, seolah melangkah maju
dari upaya menyingkap misteri satu menuju misteri-misteri lain, yang kian mekar, di
dalam hidupnya. Manusia, dengan pikiran atau pengetahuannya, seola bergerak dari satu
ketidaktahuan menuju ketidaktahuan baru dalam hidupnya. Kenyataan itulah yang
membuat ilmu pengetahuan makin terus berkembang dalam tatanan filosofis, agar
mampu memburu dan membunuh naga-naga ketidaktahuan dan kejahatan baru (kejahatan
profesional) yang bertumbuh berbarengan dengan perkembangan pikiran, pengetahuan,
dan keilmuan manusia.

Gonti Seauton, dalam hal ini, menunjukkan sebuah kepentingan kemanusiaan yang
bersifat fundamental dalam hal memahami dan mengerjakan pikiran, yang merupakan
salah satu ciri keberadaan yang khas manusia itu. Intinya pada analisis diri dan

4
pemahaman diri untuk mencapai pengetahuan dan tingkah laku yang lebih baik. Manusia,
melalui pengetahuannya itu, memperoleh kekuatan, tanggungjawab, kesadaran bathin,
kematangan pemikiran atau intelektual, dan rasa percaya diri untuk membangun dirinya
sebagai mahkluk beradab yang makin matang (dewasa), tahu diri, dan berendah hati.

Manusia, di samping membutuhkan kerendahan hati, juga membutuhkan kesabaran,


ketekunan, kesabaran, dan keteguhan bathin untuk menegur dan mendidik diri. Ia butuh
kedisiplinan, tanggung jawab, dan optimisme hidup di dalam mengejar pengetahuan atau
kearifan dimaksud. Filsafat, karena itu, hendak menunjukkan bahwa manusia bukan
hanya bertugas mengisi “ingin tahu”-nya dengan pikiran dan ketrampilan-ketrampilan
teknologis (praktis operasional) yang sempit atau terbatas. Justru sebaliknya, filsafat
ingin melampauinya dan menempatkan perjuangan manusia yang berpengetahuan itu
pada inti pergumulan dan tugas memanusiakan manusia sebagai makhluk beradab dan
berbudaya di dalam keutuhan eksistensinya. Manusia, secara eksistensial bersifat “multi
dimensi”, dan karenanya, pengembangan pikiran dan pengetahaunnya pun, hendaknya
merupakan sebuah tugas eksistensial yang utuh dalam kepelbagaian dimensinya itu.

Justru itu, kategori kepintaran atau pengetahuan yang dipetaruhkan dalam perspektif
tugas kemanusiaan itu bukan lah sekedar kemampuan rasionalisasi (rekayasa) untuk
mencari “pembenaran-pembenaran” yang bersifat instrumental-teknomogis semata guna
mewujudkan kepentingan-kepentingan yang sempit dan sesaat. Alasanya, manusia
dengan pikiran dan pengetahuannya, membutuhkan kreatifitas budi dalam menyiasati
dinamika kepelbagainanya secara utuh. Baginya, kepentingan teknis di dalam
pengetahuan atau kepintaran manusia itu penting, misalnya kegiatan-kegiatan rekayasa
dan manipulatif (teckno engginering) untuk membangun kehidupan manusia secara
nyata. Meskipun demikian, kepintaran pengetahuan itu bila hanya diorientasikan untuk
sekedar mengejar keuntungan atau kenikmatan semata maka hal sebaliknya akan
menyeret manusia ke dalam kebodohan dan tindakan-tindakan tak beradab.

Kecenderungan demikian, justru, tidak akan memanusiakan manusia dengan pikiran atau
pengetahuan sehingga manusia akan semakin pintar berbuat baik dan benar, tetapi
sebaliknya, menyeret, membelenggui, dan menindas manusia di dalam arus kejahatan
yang pada dirinya menghancurkan tata nilai, cita rasa kemanusiaan, maupun citra
peradaban itu sendiri. Akibatnya, orang berilmu dan pintar sekalipun akan menjadi
semakin egois, angkuh. Bahkan mungkin, semakin pintar (profesional) dalam berbuat
kejahatan dan merasa serba-bisa di dalam perbudakan hawa nafsu. Konsekuensinya,
meskipun terjadi banyak peningkatan Sumber daya Manusia (SDM), sebagaimana yang
dilakukan di Indonesia, namun, semakin bertumbuh mekar kejahatan dan semakin tidak
teratasi masalah-masalah hidup yang dihadapi, baik di dalam konteks hidup bernegara
maupun bermasyarakat. Semuanya ini diakibatkan oleh adanya kecenderungan untuk
menghilangkan daya kritis dan sifat kontemplatif dari pikiran atau pengetahuan itu
sendiri, yang dianggap menghambat keinginan atau nafsu-nafsu kemanusiaan yang ingin
memperalat pikiran dan pengetahuan untuk hanya mengejar kenikmatan atau keuntungan
sesaat itu sendiri.

5
Filsafat ingin menunjukkan adanya dimensi kritis untuk semakin terbuka dan berendah
diri dalam menguji serta memurnihkan pikiran atau pengetahuan itu sendiri dari goan-
godaan kejahatan sehingga manusia akan semakin memiliki ketajaman bathin (berpikir
dengan hati) dalam hal mengembangkan pikiran atau pengetahuannya untuk membentuk
diri atau kepribadian secara utuh. Melalui itu, orang akan terbuka pada teguran nurani,
koreksi, kritikan, dan tuntutan-tuntutan perbaikan sehingga orang mampu membangun
ketegori pikiran dan pengetahuannya di dalam tatanan nilai yang menjadi inti pergumulan
kemanusiaan itu sendiri.

Intinya, filsafat hendak menunjukkan bahwa pikiran atau pengetahuan itu selalu punya
empat dimensi yang salig bertautan, yaitu: pertama, dimensi aktif untuk terus
mengembangkan pengetahuan dan keingintahuan manusia dalam sebuah konstelasi
peradaban yang luas dan luhur guna membangun kehidupan secara nyata; kedua; dimensi
kreatif, dengan tujuan untuk mengolah budi (kecerdasan), mampu melakukan imajinasi
teori, mengubah fakta menjadi permasalahan dan terobosan penyelesaiannya dalam
berbagai lakon aktual; ketiga, dimensi kritis, untuk membangun kesadaran diri, otonomi
diri, serta kemampuan nalar dalam menilai dan mempertanyakan berbagai kemungkinan
(klaim-klaim kebenaran bersifat keilmiahan, ideologis, yuridis, maupun religius) dalam
rangka pengembangan dan penegasan eksistensi (pilihan hidup); keempat, dimensi
kontemplatif untuk mengontrol dan mengendalikan pikiran atau pengetahuan itu sendiri
sehingga tidak terjebak dalam permainan arus keinginan dan kejahatan.

III. Makna Mempelajari Filsafat

Sesuai pembahasan di atas, disimpulkan bahwa tujuan mempelajari filsafat ilmu adalah:

1. membuat manusia akan lebih menjadi manusia. Maksudnya, dengan belajar


filsafat maka manusia akan makin setia mendidik dan membangun dirinya atas
dasar kesadaran maupun tanggung jawab kemanusiaannya untuk menemukan jati
dirinya yang khas. Manusia, melalui itu dituntun untuk mengatasi permasalahan-
permasalahan hidupnya dalam sebuah proses penemuan yang luas-mendalam,
tepat, arif, dan bijaksana. Tugas mengatasi permasalahan hidup manusia itu
adalah utuh, karena mencakup aspek-aspek jasmani dan rohani. Maksudnya, sifat
yang khusus bagi seorang filsuf ialah bahwa ia sadar akan apa saja yang termasuk
dalam kehidupan manusia, tetapi juga bagaimana mengatasi dunia itu sendiri.
Filsuf, dalam hal ini, harus sanggup melepaskan diri atau menjaukan diri sebentar
dari keramaian hidup serta kepentingan subyektif untuk menjadikan hidupnya
sendiri sebagai obyek penyelidikannya, termasuk kepentingan dan keinginan
subyektifnya. Melalui cara demikian, filsuf mencapai keobyektifan dan kebebasan
hati sehingga dimungkinkan penilaian yang obyektif dan benar tentang manusia
dan dunia dengan segala sifatnya itu. Bagi filsafat, sifat keobyektifan adalah ciri
seorang dewasa yang matang kerohaniannya. Konsekuensinya, seorang filsuf
akan semakin memiliki kebijaksanaan bila ia semakin mempunyai sikap obyektif
terhadap dunia ini.
2. melatih orang untuk memandang dengan luas. Jadi, dengan belajar filsafat maka
orang disembuhkan dari “kecenderungan kepicikan” yaitu dari “Akuisme” dan

6
“Akusentrisme” yang membelenggu sehingga orang tidak dapat berpikir sehat
luas, dan obyektif. “Akuisme” atau “Akusentrisme”, di samping merupakan
sebuah belenggu, juga merupakan sebuah musuh peradaban, karena hanya
menempatkan manusia sebatas obyek bagi dirinya sendiri. Filsafat, dalam hal ini,
mengajarkan orang, bukan untuk menghancurkan ke-aku-annya, tetapi
menumbuhkan dan mengembangkannya secara kritis dengan berbagai referensi
diri yang lain di luar dirinya sendiri.
3. membimbing orang untuk dapat berpikir sendiri sehingga orang akan memiliki
kemandirian dan kreativitas intelektual (pemikiran) di dalam menghadapi dan
menyiasati realitasnya. Orang dilatih dan dididik untuk harus berpikir secara
mandiri, terutama dalam lapangan kerohanian. Orang dibimbing untuk harus
mempunyai pendapat sendiri jika perlu dapat dipertahankannya untuk terus
menyempurnakan cara berpikirnya, sehingga makin mencapai kematangan dan
kedewasaan. Prinsip itu perlu terus dikembangkan hingga orang dapat bersikap
kritis dalam mencari kebenaran dalam apa yang dikatakan orang, baik dalam buku
– buku pengetahuan maupun dalam surat– surat kabar, majalah, pidato, dan
sebagainya.

IV. Filsafat dan Ilmu Lain

Pemahaman tentang arti dan hakikat filsafat itu sendiri akan menjadi lebih jelas bila
dilihat dalam posisi perbandingan dengan ilmu lain. Filsafat, dalam hal ini, lebih
merupakan sebuah pemikiran yang universal, menyeluruh, dan mendasar, sementara ilmu
lainnya lebih merupakan pemikiran yang lebih spesifik atau khusus, karena dibatasi pada
obyek dan sudut pandang pemikirannya yang khas. Obyek penelitian filsafat mencakup
segala sesuatu, sejauh bisa dijangkau oleh pikiran manusia. Filsafat berusaha menyimak
dan menyingkap seluruh kenyataan dan menyelidiki sebab-sebab dasariah dari segala
sesuatu. Filsafat, karenanya, ingin mengkritisi dan menembusi berbagai sekat pemikiran
ilmu-ilmu lainnya, serta berusaha mencapai sebab terahkir dan mutlak (absolut) dari
segala yang ada.
Titik berangkat filsafat yang pertama adalah kegiatan manusia, dalam hal ini, secara
khusus, kegiatan pengetahuan dan kehendak manusia yang merupakan kegiatan pertama
yang secara langsung dialami oleh manusia. Manusia, di dalam kegiatannya yang
pertama dimaksud, menjadi sadar akan eksistensinya sendiri dan eksistensi orang atau hal
lainnya. Filsafat, karena itu, berusaha mendalami, menyingkap, dan menjelaskan
kesadaran eksistensi diri manusia dan sesama yang lain, secara luas dan mendalam
sampai ke akar-akar realitasnya yang fundamental. Proses penelitian filsafat itu melai dari
bentuk-bentuk pengatahuan biasa yang dimiliki individu dalam kehidupan sehari-harinya,
warisan budaya masa lalu, dan juga hasil penelitian dan pemikiran ilmu-ilmu lainnya
yang bersifat khusus. Jenis-jenis pengatahuan khusus tersebut, sungguh membantu
filsafat, tetapi juga membatu bentuk-bentuk pengetahuan khusus dan ilmu lain tersebut
untuk makin memantapkan dan menyempurnakan prinsip-prinsip dasarnya.
Filsafat berusaha menerangi dunia dengan rasio manusia, dan karennya, filsafat lebih
merupakan “kebijaksanaan duniawi”, bukan “kebijaksanaan ilahi” yang sempurna dan
mutlak abadi. Filsafat, karena itu, berbeda dengan ilmu teologi. Teologi berusaha melihat
Allah dan kegiatannya di dalam dunia berdasarkan wahyu adikodrati.

7
Biarpun filsafat merupakan kegiatan dan produk rasio, ia tetap bukan ciptaan rasio
semata. Alasannya, karena rasio itu sendiri merupakan bagian integral dari keutuhan
eksistensi manusia yang terkait dengan aspek-aspek lainnya dari tatanan eksistensi
manusia itu sendiri yang bersifat “mono pluralis” (satu di dalam banyak dan banyak di
dalam satu). Filsafat tidak hanya berupaya memuaskan pencaharian manusia akan
kebenaran, melainkan ia juga berusaha menerangi dan menuntun arah atau orientasi
kehidupan manusia secara kritis dan jelas, bukan dengan spekulasi-spekulasi yang
absurd, hambar, dan penuh hayalan yang sia-sia.

Filsafat tidak pernah akan menerima secara buta berbagai pemikiran, keyakinan, egoisme
keilmuan, atau pandangan-pandangan kepribadian yang bersifat individual semata.
Justru, filsafat berusaha menguji, mengkritisi, dan berusaha mengajukan pertanyaan-
pertanyaan secara baru dan menjawabnya secara baru pula, berdasarkan aktualitas dan
tuntutan dinamika perkembangan yang dihadapi. Filsafat, karena itu, tidak akan pernah
menjadikan dirinya sebagai kebenaran ideologis yang serba-sempurna dan serba-oke,
yang membelenggui manusia. Justru, filsafat tetap adalah sebuah program pencerahan
dalam rangka otonomi, emansipasi, dan perkembangan manusia.

Dewasa ini, tanggungjawab filsafat semakin diakui, baik sebagai pangkalan


pengembangan keilmuan maupun sebagai titik pangkal pengintegrasian ilmu-ilmu dalam
sebuah pendekatan yang bersifat multi dan interdisipliner. Melalui itu, ilmu-ilmu dan
spesialisasi tidak tertutup dalam kapsul egoisme keilmuan atau spesialisasinya masing
masing, tetapi terbuka untuk saling menyapa dan membangun tugas bersama demi
manusia dan kemanusiaan yang menjadi sumber dan norma, serta causa ontologis
(penyebab ada) bagi ilmu-ilmu itu sendiri.

E. Sumber:

Suriasumantri, J.S., 1995, Ilmu dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Watloly, A. Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
---------------; Memandang Pikiran dan Ilmu serta Cara mengerjakannya (belum
diterbitkan).

Anda mungkin juga menyukai