Anda di halaman 1dari 2

Stereotip Suku di Indonesia

Pernahkah kalian mendengar celetukan seperti, “Eh, si X orang Batak ya? Pasti dia
galak,” atau “Ih cewek Manado biasanya boros tauuu ….” Yup, stereotip mengenai suku bangsa
memang bukanlah hal yang asing di Indonesia. Mau tidak mau, hal ini pun akhirnya membaur
menjadi pandangan yang terkadang bisa dianggap sebagai “tuduhan tak berdasar” oleh orang dari
suku tersebut yang tidak terima disebut galak, pelit, kasar, dan sebagainya.

Namun sebenarnya stereotip bukanlah hal yang muncul begitu saja. Salah satu contoh:
sebagaimana kita ketahui, orang Batak itu terkenal karena kemampuan verbalnya yang dapat
berbicara terus terang dan apa adanya—dan kebanyakan dari mereka bekerja sebagai pengacara.
Karena kebiasaan dan profesinya yang khas itulah, orang Batak seringkali dianggap galak.
Contoh lainnya, orang Padang yang sering pula dicap pelit. Saking parahnya, bahkan kata “pelit”
sering pula diganti dengan kata padang, sehingga berubah dari, “Woy, pelit banget sih lo!” jadi
“Woy, padang banget sih lo!” Next, orang Jawa. Orang Jawa dikenal lemah lembut, tidak tegas,
dan kadang suka bicara panjang lebar dan tidak to the point. Nah, hal ini karena menurut sejarah,
mayoritas orang Jawa adalah keturunan dari kerajaan lampau yang terdiri dari kaum bangsawan,
petinggi politik, atau yang sering disebut “berdarah biru”. Aspek tersebut memengaruhi
kebiasaan orang Jawa yang pada akhirnya terbiasa berlaku sopan dan halus. Ada juga orang
Tionghoa yang pekerjaannya selalu diasosiasikan dengan bidang keuangan, entah pengusaha
atau pedagang.

Masih banyak lagi stereotip dari suku-suku lain yang tak dapat dijelaskan satu persatu.
Indonesia sendiri memiliki suku yang sangat banyak. Bahkan dalam satu pulau, terdapat
beberapa suku yang berbeda bahasa dan adat istiadatnya. Menurut data dari Badan Pusat Statistik
(BPS) pada tahun 2010, Indonesia memiliki 1.340 suku bangsa. Meskipun terdapat berbagai
macam stereotip yang melekat pada suku-suku bangsa tersebut, jelas stereotip tersebut tidak
dapat ditelan mentah-mentah. Jika begitu, sama saja artinya dengan memercayai anekdot; bahwa
satu testimoni seseorang menjadi acuan kebenaran. Apakah semua orang Batak itu galak?
Apakah semua orang Padang pelit? Apa semua orang Jawa sopan? Apa tak ada orang Tionghoa
yang bekerja di bidang politik? Semua pertanyaan itu tidak dapat kita jawab begitu saja jika
mengacu pada testimoni seseorang—baik yang asalnya dari orang lain atau dari diri kita sendiri.
Jika mungkin kita menemukan satu orang yang sesuai dengan stereotip sukunya dan kita
langsung menganggap bahwa semua orang dari suku tersebut sama saja, berarti kita adalah
seorang anecdotal, sebab kita menilai berdasarkan pengalaman yang bukan kebenaran universal.

Kesimpulannya, stereotip ada di mana saja dan tidak dapat 100% dipercaya. Orang pelit,
orang sombong, orang galak, orang yang sopan santun juga ada di suku manapun. Ada baiknya
kita lebih bersyukur karena Indonesia adalah negara yang kaya akan suku bangsa yang memiliki
latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda-beda—sehingga kita harus saling memahami
dan menerima perbedaan satu sama lain. Hendaknya keunikan yang dimiliki tiap suku bangsa
menjadi suatu kebanggan bagi kita, bukan justru menjadi senjata yang memecah belah persatuan
masyarakat Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai