Anda di halaman 1dari 10

Aliran-Aliran yang Mempengaruhi Kurikulum

A. Pendahuluan

Kurikulum merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki pengaruh

terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum dalam

pendidikan dan kehidupan manusia, maka penyusunan kurikulum tidak dapat

dilakukan secara sembarangan. Dalam hal ini yang paling utama dalam

pengembangan kurikulum ini adalah aliran filosofis. Pendidikan pada hakekatnya

adalah sebuah upaya untuk meningkatkan kualitas manusia. Oleh karena itu, setiap

proses pendidikan akan berusaha mengembangkan seluas-luasnya potensi individu

sebagai sebuah elemen penting untuk mengembangkan dan mengubah masyarakat

(agent of change).

Dalam upaya itu, setiap proses pendidikan membutuhkan seperangkat sistem

yang mampu mentransformasi pengetahuan, pemahaman, dan perilaku peserta didik.

Dan salah satu komponen operasional pendidikan sebagai sistem adalah kurikulum,

dimana ketika kata itu dikatakan, maka akan mengandung pengertian bahwa materi

yang diajarkan atau dididikkan telah tersusun secara sistematik dengan tujuan yang

hendak dicapai.

Pengertian yang lebih luas kurikulum tidak terbatas pada sejumlah

matapelajaran, tapi semua pengalaman belajar yang dialami siswa untuk

mempengaruhi perkembanagan pribadinya.1 Kurikulum sebagai rancangan dari

pendidikan, mempunyai kedudukan yang cukup sentral dalam keseluruhan kegiatan

1
Asep Herry Hernawan, Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran, Universitas Terbuka:
Jakarta, Cetakan I hal. 1-3.

1
pendidikan karena kurikulum menentukan proses pelaksanaan dan hasil daripada

pendidikan. Mengingat begitu pentingnya peranan kurikulum dalam pendidikan dan

perkembangan kehidupan manusia, maka pengembangan kurikulum tidak dapat

dirancang sembarangan, sehingga dalam makalah ini dibahas aliraran-aliran

kurikulum, idealisme, pragmatisme, perenialisme, essensialisme, progressivisme,dan

rekonstruktivisme.

B. Aliran-Aliran yang Mempengaruhi Kurikulum

Filsafat memegang peranan penting dalam pengembangan kurikulum. Dalam

kajian tentang aliran filsafat, kita mengenal empat aliran filsafat, yaitu idealism,

realism, pragmatism, dan eksistensialism. Dalam konteks pendidikan, Ornstein dan

Hunkins menyebut ada empat filsafat pendidikan yang mempengaruhi

pengembangan kurikulum, yaitu perenialism, esensialism, progresivism, dan

rekonstruksionism.2 Setiap aliran filsafat pendidikan tersebut memiliki akar filsafat

tertentu, namun ada kalanya didukung oleh lebih dari satu akar filsafat.

Contoh, perenialism berakar pada filsafat realism, esensialism berakar pada

idealism dan realism, dan progresivism dan rekonstruksionism berakar pada

filsafat pragmatism.

Sama halnya seperti dalam Filsafat Pendidikan, kita kenalkan pada berbagai

aliran filsafat, yang dikembangkan Di bawah ini merupakan aliran-aliran filsafat

dalam kurikulum.

2
Ornstein C. Allan & Hunkins P. Francis. (2004). Curriculum: Foundations, principles,
and issues. Fourth edition. Boston: Allyn and Bacon.

2
1. Perenialism

Perenialisme merupakan aliran filsafat yang menganggap bahwa zaman

sekarang sebagai zaman yang kurang “sehat”, dan untuk mengembalikan kepada

keadan semula diperlukan “dokter” yang sudah terkenal. Aliran ini juga menganggap

bahwa kebudayaan dewasa ini mempunyai landasan-landasan yang kurang jelas

sehingga diperlukan usaha-usaha untuk kembali pada fundamen-fundamennya

dengan menunjuk kepada apa yang telah dihasilkan oleh zaman Yunani dan abad

pertengahan. Jelasnya, Perenialisme ini bercorak regresif, yaitu sikap yang

menghendaki kembali pada jiwa yang menguasai peradaban skolastik Yunani dan

abad pertengahan, karena ia merupakan jiwa yang menuntun manusia hingga dapat

dimengerti adanya tata kehidupan yang telah ditentukan secara rasional.

Perenialisme merupakan aliran filsafat pendidikan tertua dan paling

konservatif, memiliki akar filsafat realism. Pertanyaan yang diajukan dalam

konteks pengembangan kurikulum adalah "what is human nature?" Manusia

diyakini memiliki kemampuan memahami kebenaran universal. Oleh karena itu,

tujuan pendidikan adalah mengembangkan kemampuan pikir manusia dan

membuka tabir kebenaran universal melalui pelatihan intelektual.3

Dalam hal kurikulum, aliran ini menganggap hal yang terpenting dalam

kurikulum adalah isi (content) mata pelajaran-mata pelajaran yang tepat dan benar.

Oleh karena kondisi demikian, maka dalam pendidikan peran utama dipegang oleh

guru atau pendidik. Keaktifan dan kreatifitas subyek didik dikembangkan dengan

bersendikan atas pengetahuan dan keterampilan yang benar.

3
Anik Ghufran, Filsafat Pengembangan Kurikulum, Jurnal Fondasia Majalah Ilmiah
Fondasi Pendidikan, Vol. 1 No. 9/Th.VII, Maret 2008, hal. 9

3
Disamping itu, masih menurut aliran Perenialisme, pendidikan persekolahan

diusahakan sama bagi setiap orang, dimana peserta didik diajak untuk menemukan

kembali dan menginternalisasi kebenaran universal dan konstan dari masa lalu. Oleh

karena itu metode yang digunakan dalam kurikulum model aliran Perenialisme ini

adalah mengkaji terhadap buku-buku yang membahas peradaban Barat dan abad

pertengahan melalui membaca dan diskusi untuk menyerap dan menguasai fakta-

fakta dan informasi.

Materi kurikulum terorganisir sebagaimana suatu disiplin ilmu (body of

knowledge). Guru berperanan sebagai ahli bidang studi, yang menguasai

keilmuan sehingga mereka memiliki otorita di bidang ilmunya. Pola pembelajar

dilakukan dengan metode ceramah. Siswa lebih diposisikan sebagai pihak

penerima pengetahuan, sehingga ia lebih pasif dalam pembelajaran.

2. Essensialisme

Aliran Esensialisme ini hampir mirip dengan Perenialisme. Bedanya, kalau

Perenialisme bercorak regresif, Esensialisme lebih bercorak konservatif, yakni sikap

untuk mempertahankan nilai-nilai budaya manusia. Esensialisme ini menghendaki

pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang tinggi, yang hakiki kedudukannya

dalam kebudayaan, dan nilai-nilai inilah yang hendaknya sampai kepada manusia

melalui sivilisasi dan yang telah teruji oleh waktu.

Menurut teori Essentialist ini, tujuan pendidikan adalah sebagai perantara atau

pembawa nilai-nilai yang ada dalam “gudang” di luar ke dalam jiwa peserta didik,

sehingga ia perlu dilatih agar mempunyai kemampuan absorbsi (penyerapan) yang

tinggi. Disini peran guru atau pendidik memiliki peran yang sentral dalam

4
menyampaikan warisan budaya dan sejarah seputar inti pengetahuan yang

terakumulasi begitu lama dan bermanfaat untuk peserta didik.

Esensialisme memiliki akar filsafat idealism dan realism. Kurikulum

sekolah harus dikembangkan dengan mengacu pada hal-hal yang esensial,

misalnya membaca, menulis, dan berhitung. Penganut aliran filsafat esensialism

menekankan penguasaan ketrampilan, pengetahuan, dan konsep-konsep yang

esensial untuk penguasaan materi pembelajaran. Guru harus menguasai bidang

studinya, sehingga ia diharapkan memiliki otorita di bidang ilmunya.4

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kurikulum menurut aliran ini

bersifat subject centered, dimana guru sebagai pusat pembelajaran yang lebih

ditekankan pada keterampilan membaca, menulis dan menyerap ide-ide demi

mengembangkan mind peserta didik dan kesadaran akan dunia fisik sekitarnya.

3. Progresivisme

Aliran Progresivisme dapat dikatakan telah berbuat banyak dalam

mengadakan rekonstruksi di dalam pendidikan modern dalam abad XX.

Progresivisme banyak meletakkan tekanan dalam masalah kebebasan dan

kemerdekaan kepada peserta didik dan menentang keras pendidikan tradisional, yang

biasanya menentukan materi pembelajaran tanpa memperhatikan kebutuhan dan

minat peserta didik.

Menurut George R. Knight, pemikiran progresivisme banyak sekali

dipengaruhi oleh pragmatisme-nya John Dewey dan Psikoanalisis-nya Sigmund

Freud yang menganjurkan lebih banyak kebebasan untuk berekspresi bagi peserta

didik dan lingkungan yang lebih terbuka sehingga peserta didik dapat mengerahkan
4
Anik Ghufran, Filsafat Pengembangan Kurikulum..., hal. 9

5
energinya dengan cara yang efektif. Menurut aliran ini, peserta didik dianggap

sebagai makhluk yang dinamis, sehingga dia diberi kesempatan untuk menetukan

harapan dan tujuan mereka dan guru (pendidik) lebih berperan sebagai penasehat,

penunjuk jalan, dan rekan seperjalanan. Disini, guru bukanlah satu-satunya orang

yang paling tahu. Dengan demikian, pendidikan harus berpusat pada peserta didik

(child centered),tidak tergantung pada text book atau metode pengajaran tekstual.

Progresivisme merupakan aliran filsafat yang berseberangan dengan

aliran filsafat perenialism. Progresivism merupakan aliran filsafat yang

dikembangkan oleh sekelompok pemikir dan politisi yang berkembang di awal

abad 20, yang menghendaki adanya perubahan dalam cara-cara pernbelajaran

yang menekankan siswa aktif dalam belajar. Cara-cara pembelajaran yang

dikembangkan, antara lain; pemecahan masalah, penemuan, kooperatif. Kegiatan-

kegiatan belajar yang dilakukan dengan metode tersebut diharapkan siswa dapat

mengubah dunia ke tatanan kehidupan yang lebih baik.5

Penganut aliran filsafat ini, misalnya Dewey dan kawan-kawan

menekankan pada "how to think" dan bukan pada "what to think". Oleh karena

itu, mereka menghendaki pengembangan materi kurikulum yang bersifat

interdisipliner. Mata pelajaran lebih dipandang sebagar instrumen kegiatan

pembeljaran daripada sebagai sumber blajar. Peran gur sebagai fasilitator

daripada sebagai satu-satunya sumber belajar.

Pendidikan progresivisme juga tidak menggunakan hukuman fisik atau

menakut-nakuti sebagai pembentuk sikap disiplin. Menurut teori Progresive ini,

5
Anik Ghufran, Filsafat Pengembangan Kurikulum..., hal. 11

6
kurikulum dibangun dari pengalaman personal dan sosial peserta didik. Hal demikian

dilakukan agar peserta didik memiliki keterampilan, alat dan pengalaman sosial

dengan melakukan interaksi dengan lingkungan dan akhirnya memiliki kemampuan

problem solving, baik personal maupun sosial.

4. Rekonstruksionisme

Menurut penggagas teori rekonstruksionis, yaitu George S. Count, aliran ini

muncul sebagai akibat dari penerapan ide-ide demokrasi dan tata ekonomi

kapitalisme yang menjurus pada individualisme dan laises faire. Dan masyarakat

yang demikian perlu direkonstruksi kembali dengan penerapannya yang menjamin

adanya kesamaan.

Menurut teori Rekonstruksi, fungsi pendidikan adalah untuk mengembangkan

potensi peserta didik sehingga menjadi cakap dan kreatif sekaligus mampu

bertanggungjawab dalam berinteraksi, membangun serta mengembangkan

masyarakatnya. Lebih jauh lagi, agar pendidikan dapat menyadari antara keterikatan

perumbuhan dan perkembangan tehnologi dan industrialisasi dengan perubahan

masyarakat. Disini, pengetahuan atau kemampuan profesional, misalnya, hendaknya

bisa disumbangkan bagi terbentuknya masyarakat baru. Dan, peran sekolah adalah

dengan menjadi perantara utama bagi perubahan sosial, politik, dan ekonomi dalam

masyarakat dengan membuat peserta didik sadar akan persoalan-persoalan yang

dihadapi umat manusia, memiliki kesadaran untuk memecahkan problem tersebut

dan akhirnya membangun tatanan masyarakat yang baru.

Rekonstruksionisme didasarkan atas ide-ide kehidupan masyarakat abad

ke 19, yang berwawasan pada tata kehidupan lebih maju dan modern. Aliran

7
filsafat ini menghendaki isi kurikulum dikembangkan alas dasar isu isu sosial

kemasyarakatan yang memuat pluralisme budaya, kesamaan, dan berwawasan ke

depan. Siswa dipersiapkan untuk dapat hidup di era kehidupan yang penuh

keragaman (many nations). Peran guru dan siswa dalam pembelajaran bisa

berubah-ubah sesuai dengan fungsinya sesuai konteksnya.

C. Penutup

8
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa filsafat memegang

peranan penting dalam pengembangan kurikulum yang dikenalkan berbagai aliran

filsafat, setiap aliran diatas memiliki orientasi yang berbeda-beda sehingga dalam

pengembangan kurikulum senantiasa berpijak pada aliran – aliran filsafat tertentu,

Menurut aliran Idealisme bahwa hakekat pendidikan adalah semangat ingin kembali

kepada warisan budaya masa silam yang agung dan ideal, sehingga pendidikan

diartikan sebagai “cultural conservation”, Aliran Pragmatisme berpandangan bahwa

pendidikan adalah proses pembentukan impulse (perbuatan yang dilakukan atas

desakan hati), yang berorientasi pada futuralistic, yakni sebuah pendidikan yang

berwawasan pada masa depan. Adapun kurikulum Pragmatisme lebih mengutamakan

pengalaman yang didasarkan atas kebutuhan dan minat peserta didik, terutama aspek

pikir, perasaan, motorik, dan pengalaman sosial, aliran Idealisme dan Pragmatisme,

aliran lain seperti Perenialisme yang regresif, Esensialisme yang konservatif,

Progresivisme yang bercorak bebas dan modifikatif, serta Reconstructionism yang

mewujud dalam sikap radikal rekonstruktif.

Pada dasarnya semua pendapat aliran filsafat untuk kurikulum pendidikan

sama-sama berguna bagi tumbuh kembang peserta didik di dunia pendidikan. karena

semua pendapat bisa saja benar. Pada pokoknya, melalui pendidikan tersebut, “ibarat

benih, potensi diri yang sifatnya masih laten diharapkan dapat bermanifestasi

(manifestation) menjadi kompetensi aktual yang berfungsi guna.”6

Daftar Pustaka
6
Nyong Eka Teguh Iman Santosa, Filsafat Pendidikan Muhammadiyah Akhir Zaman,
Surabaya: Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, 2012, hal. 3

9
Asep Herry Hernawan, Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran, Universitas
Terbuka: Jakarta, Cetakan I.

Ornstein C. Allan & Hunkins P. Francis. (2004). Curriculum: Foundations,


principles, and issues. Fourth edition. Boston: Allyn and Bacon.

Anik Ghufran, Filsafat Pengembangan Kurikulum, Jurnal Fondasia Majalah Ilmiah


Fondasi Pendidikan, Vol. 1 No. 9/Th.VII, Maret 2008.

Nyong Eka Teguh Iman Santosa, Filsafat Pendidikan Muhammadiyah Akhir Zaman,
Surabaya: Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, 2012.

10

Anda mungkin juga menyukai