Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

POTENSI PENDIDIKAN MANUSIA DALAM PERSPEKTIF


HADIS TARBAWI
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Hadis Tarbawi
Dosen Pengampu: Dr. Mukh. Nursikin, M.S.I., M.Pd.

Disusun oleh:
Maulina Putri Yupitasari (23010180139)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2020
A. Pendahuluan
Hadis dalam ruang perkembangan ilmu-ilmu keislaman merupakan kajian
yang tidak pernah berhenti untuk dibicarakan. Hadis dianggap sebagai sumber
hukum dan ajaran Islam kedua setelah al Qur’an. M. Ajaj al-Khathibi (1978:
33), menyebut hadis sebagai fungsi bayan lil al-Qur’an. Hadis dalam
pandangan ulama didefinisikan sebagai sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad Saw baik ucapan, perbuatan dan taqrirnya.
Manusia telah memiliki potensi sejak dilahirkan ke dunia. Oleh karena itu,
manusia sering dikenal dengan educated people (manusia terdidik). Potensi
tersebut merupakan kekuatan yang akan membuat manusia itu tumbuh sebagai
manusia hebat dan berkembang menjadi sempurna. Kekuatan dan kemampuan
untuk mengadaptasi, mengabsorbsi, mengasimilasi dari apa saja yang ada di
sekitar mereka. Potensi ini harus diolah dan difahami oleh orang tua dan
pendidik untuk diberi treatmen atau bimbingan menuju perkembangan secara
menyeluruh, berbagai aspek perkembangan mulai dari fisik jasmani, emosi,
agama, kognitif intelektual, dan social harus diberi perhatian secara seimbang.
Masalah yang umum muncul anak dibiarkan, diterlantarkan, ditakuti dan
akhirnya kurang dapat bimbingan bagi perkembangan potensi yang dimilikinya.
Disini posisi orang tua sebagai pendidik utama menjadi penting perannannya
untuk mengawal tumbuh kembang anak agar berkembang sesuai harapan.
Cerdas, kuat, beriman dan berguna dalam kehidupannya kelak (Hasbiyallah dan
Sulhan, 2015: 1-2).
Manusia adalah makhluk yang perkembangannya dipengaruhi oleh
pembawaan dan lingkungan. Dalam teori pendidikan lama, yang dikembangkan
di dunia Barat, dikatakan bahwa perkembangan seseorang hanya dipengaruhi
oleh pembawaan (natifisme). Sebagai lawannya berkembang pula teori yang
mengajarkan bahwa perkembangan seseorang hanya ditentukan oleh
lingkungannya (empirisme). Sebagai sintesisnya dikembangkan teori ketiga
yang mengatakan bahwa perkembangan seseorang ditentukan oleh pembawaan
dan lingkungannya (konvergensi). Teori konvergensi inilah yang mendekati
kebenaran atau kesesuaian menurut Islam, walaupun dalam beberapa kajian
Islam ada perbedaan yakni persoalan bawaan untuk beriman kepada Allah
belum tercover dalam teori konvergensi (Katni, 2017: 3). Berikut akan
dipaparkan mengenai potensi pendidikan manusia dalam perspektif hadis
tarbawi.
B. Teks Hadis dan Terjemahannya
َّ ‫ي‬
ُ‫َّللا‬ َ ‫ض‬ ِ ‫الرحْ َم ِن َع ْن أَ ِبي ه َُر ْي َرة َ َر‬ َ ‫الز ْه ِري ِ َع ْن أ َ ِبي َسلَ َمةَ ب ِْن‬
َّ ‫ع ْب ِد‬ ُّ ‫ع ْن‬ َ ‫ب‬ ٍ ْ‫َحدَّثَنَا آدَ ُم َحدَّثَنَا ابْنُ أ َ ِبي ذِ ئ‬
‫َص َرا ِن ِه أ َ ْو‬
ِ ‫ِط َرةِ َفأ َبَ َواهُ يُ َه ِودَا ِن ِه أ َ ْو يُن‬ْ ‫ع َل ْي ِه َو َسلَّ َم ُكلُّ َم ْولُو ٍد يُو َلد ُ َع َلى ْالف‬ َّ ‫ص َّلى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ي‬ ُّ ‫ع ْنهُ َقا َل قَا َل ال َّن ِب‬
َ
)‫َارى‬ ْ
ِ ‫(ر َواهُ البُخ‬ َ ‫سانِ ِه ك ََمثَ ِل ْالبَ ِهي َم ِة تنت َ ُج ال َب ِهي َمة هَل ت ََرى فِي َها َجد َعا َء‬
ْ ْ َ ْ ْ ُ َ ‫ي َُم ِج‬
Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Ibnu
Abu Dza’bin dari Az Zuhriyyi dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman dari Abu
Hurairah radliallahu ‘anhu berkata; Nabi Shallallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kemudian kedua orang tuanyalah
yang akan menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi
sebagaimana binatang ternak yang melahirkan binatang ternak dengan
sempurna. Apakah kalian melihat ada cacat padanya?” (HR. Bukhari. No.1296)

2
C. Asbabul Wurud
Munculnya hadis tentang di atas dilatarbelakangi dari peristiwa dalam
suatu peperangan antara pasukan orang musyrik dan pasukan Islam yang
dipimpin langsung oleh Rasulullah. Pada perang tersebut karena saking
berkecamuknya peperangan sehingga pasukan orang Islam pun membunuh
anak-anak orang musyrik.
Kejadian ini di laporkan kepada Rasulullah SAW lalu Beliau bersabda:
“Keterlaluan, sampai hari ini mereka masih saling membunuh sehingga anak-
anak banyak yang terbunuh. Berkatalah seorang laki-laki, Ya Rasulullah,
mereka adalah anak-anak dari orang musyrik. Rasulullah SAW bersabda:
“Ketahuilah, sesungguhnya penopang kami adalah anak-anak orang musyrik
itu. Jangan membunuh keturunan.” Kemudian beliau bersabda: “Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka ia tetap dalam keadaan fitrahnya itu
sampai lidahnya berbicara. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya
sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi (Aisyah, 2019: 52).
Beliau pun melarang untuk membunuh anak-anak orang musyrik tersebut,
walaupun mereka dari keturunan orang musyrik, tetap saja dilarang untuk
dibunuh. Tapi ada sahabat yang protes yang menyangka bahwa anak-anak
orang musyrik itu pun boleh dibunuh karena memang mereka dari keturunan
orang musyrik. Tetapi Rasulullah tetap melarangnya, karena memang anak
dilahirkan dalam keadaan fitrah (potensi beragama tauhid yaitu Islam) bukan
jadi orang musyrik langsung. Ketika besar nanti atau setelah si anak sudah
baligh orangtuanyalah yang mempengaruhinya apakah menjadi Muslim atau
beragama lain (Firdaus, 2019: 51-52).
D. Maksud Hadis
Hadis tersebut menerangkan bahwa setiap anak telah memiliki fitrah atau
suatu potensi yang telah ada di dalam dirinya, orang tuanyalah yang memiliki
tanggung tawab untuk mengembangkan potensi tersebut. Potensi anak itu
sangat bersih bagaikan suatu kertas putih yang belum tercorat-coret oleh tinta.
Sebagaimana yang diibaratkan oleh Imam Ghazali dalam kitabnya Ihya
‘Ulumuddin, “sebagai permata indah (Jauhar) yang belum diukir, dibentuk
dalam suatu rupa apapun.” Permata itu merupakan amanat Allah yang
dititipkan kepada para orangtua. Karena itu, menurut Al-Ghazali, orangtua
harus memperhatikan fase-fase perkembangan anaknya dan memberikan
pendidikan yang memadai sesuai dengan fase yang ada, agar permata yang
diamanatkan kepadanya dapat dibentuk rupa yang indah (Hasbiyallah dan
Sulhan, 2015: 2).
Fitrah berasal dari kata ‫ فطر‬sepadan dengan kata ‫ خلق‬yang artinya
mencipta. Biasanya ketiga kata tersebut digunakan dalam Al-Qur’an untuk
menunjukan pengertian sesuatu yang sebelumnya belum ada dan masih
merupakan pola dasar yang perlu penyempurnaan (Rubini, 2015: 44). Hadis
tersebut menjelaskan tentang kodrat manusia yang dilahirkan dalam keadaan
fitrah. kata fitrah berasal dari bahasa arab fatara yang berarti sifat bawaan
setiap sesuatu dari awal penciptanya. Dalam dimensi pendidikan, fitrah menjadi
faktor determinan (Juwariyah, 2010: 2). Dengan demikian dapat dipahami
bahwa fitrah adalah suatu keadaan (yaitu agama Islam) dalam diri manusia

3
yang telah diciptakan oleh Allah sejak manusia itu dilahirkan. Esensi dari
agama Islam tersebut adalah tauhid (Rubini, 2015: 45).
Menurut Quraish Shihab (1996: 283), istilah fitrah diambil dari akar kata
al-fithr yang berarti belahan. Dari makna ini lahir makna-makna lain, antara
lain pencipta atau kejadian. Quraish Shihab (2002: 53) dalam tafsir al-Misbah,
fitrah merupakan “menciptakan sesuatu pertama kali/tanpa ada contoh
sebelumnya”. Dengan mengikut sertakan pandangan Quraish shihab tersebut
berarti fitrah sebagai unsur, sistem dan tata kerja yang diciptakan Allah pada
makhluknya sejak awal kejadian sehingga menjadi bawaannya. Inilah yang
disebut oleh beliau dengan arti asal kejadian atau bawaan sejak lahir
Abdurrahman Shaleh Abdullah (1991: 51) mengartikan kata fitrah sebagai
bentuk potensi yang diberikan Allah padanya disaat penciptaan manusia dialam
rahim. Potensi tersebut belum bersifat final, akan tetapi merupakan proses. Ia
juga mengatakan bahwa anak yang lahir belum tentu Muslim, meskipun ia
berasal dari keluarga muslim. Akan tetapi Allah SWT telah membekalinya
dengan potensi-potensi yang memungkinkannya menjadi seorang Muslim.
Potensi manusia yang dibawa sejak lahir terdiri dari:
1. Potensi agama.
2. Potensi akal yang mencakup spiritual.
3. Potensi fisik atau jasadiah.
4. Potensi rohaniah mencangkup hati nurani dan nafsu.
Semua potensi tersebut menunjukkan bahwa manusia tidak akan dapat
dipisahkan dengan pendidikan, dalam arti manusia dan pendidikan seperti dua
mata koin yang saling keterkaitan, tidak akan menjadi manusia seutuhnya tanpa
pendidikan, begitu juga pendidikan hanya dapat dilakukan kepada manusia.
Manusia-manusia yang tidak terdidik adalah manusia yang hanya rupa dan
bentuknya manusia, namun perilaku dan pikiran sangat jauh menunjukan
kemanusiaannya. Pendidikan dalam hal ini tidak hanya dalam lingkup
pendidikan formal namun juga pendidikan nonformal. Semakin tinggi tingkat
interaksi antara potensi agama dan potensi akal maka akan semakin tinggi
kualitas manusia (insan kamil). Akan tetapi sebaliknya, semakin rendah
interaksinya maka tidak akan mengalami keserasian, bahkan berbenturan antara
satu dengan yang lainnya, maka manusia akan semakin tergelincir dari
fitrahnya yang hanif (Nizar: 2001, 42-44).
Hadis di atas menjelaskan tentang status fitrah setiap anak, bahwa
statusnya bersih, suci dan Islam baik anak seorang Muslim ataupun anak orang
non-Muslim. Kemudian kedua orangtuanyalah yang memelihara dan
memperkuat keislamannya atau bahkan mengubah menjadi non-Muslim,
seperti Yahudi, Nasrani dan Majusi. Hadis ini memperkuat bahwa pengaruh
orang tua sangat dominan dalam membentuk kepribadian seorang dibandingkan
dengan faktor-faktor pengaruh pendidikan lain. Kedua orangtua mempunyai
tanggung jawab yang lebih besar dalam mendidik anaknya (Khon, 2012: 236).
Seluruh manusia memiliki fitrah yang sama, meskipun perilakunya
berbeda. Fitrah manusia yang paling esensial penerimaan terhadap amanah
untuk menjadi khalifah dan hamba Allah di muka bumi. Fitrah berarti ketetapan
atau takdir asal manusia mengenai kebahagiaan dan kesengsaraan hidup.

4
Manusia lahir dengan membawa ketetapan, apakah nantinya ia menjadi orang
yang bahagia atau celaka. Semua ketetapan itu menurut fitrah asalnya (Mujib
dan Mudzzakir, 2008: 83).
Maksud dari berdasarkan fitrah pada hadis di atas adalah bakat yang
terdapat dalam dirinya untuk menerima agama yang hak (Islam). Karena itu
hanya kedua orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai orang Yahudi,
Nasrani, atau Majusi. Perumpamaan ini sama dengan ternak dengan anaknya.
Terkait dengan pernyataan bahwa orang tuanyalah yang dapat menjadikan
anaknya menjadi Yahudi, Nasrani maupun Majusi, itu karena memang orang
tualah yang memiliki peranan yang sangat besar dalam proses perkembangan
anak. Sebab orang tua adalah lingkungan terdekat si anak itu sendiri (Bakar,
1993: 62).
Fitrah dalam hadis di atas, Islam mewajibkan kepada kedua orang tua
untuk mendidik anak-anak nya sejak dini dengan pendidikan dan pengajaran
Islam. Sesuai dengan fitrah setiap bayi, maka dalam Islam tidak dikenal adanya
dosa warisan. Setiap bayi, baik anak muslim atau bukan, berada dalam fitrah
yaitu kesucian sehingga bila meninggal dunia sebelum akil baligh dia tidak
akan disiksa di akhirat sekalipun kedua orang tuanya kafir. Berdasarkan hadis
itu juga menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan fitrah adalah potensi baik.
Sebab pengertian menjadikan Yahudi, Nasrani dan Majusi bermakna
menyesatkan. Artinya orangtuanya yang menjadikan perkembangannya
menyimpang dari sifat dasar yang suci dan sepatutnya berkembang ke arah
yang baik (Firdaus, 2019: 64).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwasanya antara
manusia, fitrah dan pendidikan memiliki hubungan yang sangat signifikan.
Sebab, manusia yang baru dilahirkan adalah dalam keadaan lemah, tidak
berdaya, tidak dapat mengurus dirinya sendiri tanpa ada bantuan dan bimbingan
orang lain yang kita kenal dengan istilah pendidikan.
E. Analisis Hadis
Rangkaian sanad dalam hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari No.
1296 diatas adalah bersambung atau muttasil, karena seluruh perawi dalam
setiap jenjang sanad bersambung satu sama lain tidak ada yang terputus
diantara mereka. Hal itu terlihat pada tabel berikut ini:
No. Nama Periwayat Urutan Periwayat Urutan Sanad
1. Abu Hurairah Periwayat I Sanad V
2. Abu Salamah bin Abdi al- Periwayat II Sanad IV
Rahman
3. Az- Zuhriyyi Periwayat III Sanad III
4. Ibnu Abi Dzi’bin Periwayat IV Sanad II
5. Adam bin Abi Isa Periwayat V Sanad I
6. Imam al- Bukhari Periwayat VI Mukharij al-Hadis
Hadis tersebut juga marfu’ karena sanadnya sampai kepada Rasulullah,
hadis marfu’ ialah sabda atau perbuatan, taqrir atau sifat yang disandarkan
kepada Rasulullah SAW. Dengan demikian hadis tersebut menurut penulis
adalah shahih dari segi sanad, karena seluruh perawi dalam setiap jenjang

5
sanadnya muttasil, marfu’ dan tsiqah. Hadis tentang fitrah tersebut dari segi
matan dapat dijadikan sebagai hujjah (pegangan) bagi ajaran Islam, karena
sanadnya bersambung (muttasil) dan matannya tidak mengandung unsur
janggal dan cacat (Firdaus, 2019: 52-55).
Orang tua menjadi pendidik pertama dan utama. Seperti yang ditunjuk
hadis di atas, bahwa Nabi menekankan kepada orang tua yang bertanggung
jawab dalam memelihara dan membimbing fitrah dengan ungkapan Beliau ُ‫َفاَبَ َواه‬
‫ يُ َه ِودَانِ ِه‬sedang faktor pendidik lain seperti guru dan lingkungan masyarakat
harus diciptakan oleh orang tua sebagai pendukung yang tidak boleh
kontradiktif, sebagai realisasi rasa tanggung jawab orang tua tersebut.
Ungkapan hadis di atas, menunjukkan adanya pengaruh pendidikan yang kuat
dari lingkungan anak sekitar, terutama orangtua (Muhaimin, 2002: 19).
Lanjut sabda Nabi SAW:
‫َص َرانِ ِه أ َ ْو يُ َم ِج َسانِ ِه‬
ِ ‫فَا َ َب َواهُ يُ َه ِو َدانِ ِه أ َ ْو يُن‬
Teks hadis ini, memperkuat makna fitrah Islam sebagai dasar awal, sedang
Yahudi, Nasrani dan Majusi adalah dampak pengaruh belakangan yang
ditimbulkan oleh orang tua atau lingkungan sekitarnya.
Kesempurnaan fitrah dalam hadis sudah jelas baik fisik maupun nonfisik.
Dari segi fisik sudah ada ketentuan ciptaan dari Allah SWT apakah dari segi
jenis kelamin, bentuk fisik, tinggi pendek dan warna kulit dan
dari segi nonfisik seperti agama Islam yang dibawanya sejak lahir.
Kesempurnaan fitrah itu digambarkan Rasul bagaikan seekor hewan yang lahir.
Beliau bersabda:
‫َك َمثَ ِل ْالبَ ِهي َم ِة ت ُ ْنتَ ُج ْالبَ ِهي َمةَ ه َْل ت ََرى فِي َها َج ْد َعا َء‬
Artinya: “Sebagaimana hewan ternak yang melahirkan hewan ternak dengan
sempurna. Apakah kalian melihat ada cacat padanya?”
Ungkapan ini memperkuat makna fitrah anak sejak lahir secara paripurna,
ibarat seekor anak hewan yang lahir secara utuh tidak ada kekurangan sedikit
pun. Hanya manusia yang tidak bersyukur kepada Allah yang kemudian
mengubahubah fitrah itu menjadi cacat dan berkurang. Anak yang lahir sudah
membawa fitrah islamiyah yang sempurna, orang tuanyalah yang berkewajiban
memelihara dan menyelamatkan fitrah tersebut. Jika fitrah ini berubah misalnya
menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi maka orang tuanyalah yang bertanggung
jawab (Khon, 2012: 243).
Petunjuk hadis di atas, jika dikaitkan dengan kajian keilmuan kontemporer,
misalnya ilmu psikologi, akan bertautan dan saling menguatkan. Misalnya,
menurut psikologi, anak pada dasarnya dipengaruhi oleh dua faktor yang
terintegrasi yaitu pembawaan dan lingkungan. Sementara menurut hadis di atas
ditegaskan bahwa anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarga terutama
pihak orang tuanya. Di sini faktor pembawaan atau watak anak yang diturunkan
oleh orang tuanya itu sebenarnya sudah tercakup. Namun demikian, dalam
kajian Islam bahwa faktor-faktor pembawaan maupun maupun faktor-faktor
dari luar kedua-duanya dapat berpengaruh pada anak yang sedang tumbuh dan
berkembang (Farida, 2016: 38).
Hadis di atas menunjukan bahwa fitrah adalah potensi baik. Sebab
pengertian menjadi yahudi bermakna menyesatkannya. Artinya orang tua yang

6
menjadikan perkembangannnya menyimpang dari sifat dasar yang membawa
fitrah ketauhidan dan sepatutnya berkembang ke arah yang baik. Hadis diatas
memberi kemungkinan kepada orang tua atau lingkungan mempengaruhi
perkembangannya. Salah satu bagian dari lingkungan adalah pendidikan.
Pendidikan sangat mempengaruhi perkembangan dari setiap manusia. Orang
tua mempunyai tanggung jawab kepada anaknya berkembang sesuai fitrahnya,
bertanggung jawab terhadap pendidikan anaknya (Rubini, 2015: 48).
F. Hubungan Hadis dengan Pendidikan
Manusia dilahirkan memiliki potensi, potensi ini perlu diolah, dibina dan
diberi perhatian agar dapat berkembang secara positif dan produktif. Potensi ini
merupakan fakultas pengetahuan (faculty of knowledge) yang akan sangat
dipengaruhi perkembangannya oleh lingkungan (guru, orang tua, kondisi
social) yang ada di sekelilingnya. Potensi manusia berupa hati, akal,
pendengaran, penglihatan akan menjadi bekal manusia dapat mengenal Allah,
lingkungan, dan ilmu agar manusia dapat bersyukur pada Rabbnya dan
melaksanakan tugas dan kewajiban kepada-Nya.
Fitrah manusia dimaknai dengan sejumlah potensi yang menyangkut
kekuatan-kekuatan manusia. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan hidup, upaya
mempertahankan dan melestarikan kehidupannya, kekuatan rasional (akal), dan
kekutan spiritual (agama). Ketiga kekuatan ini bersifat dinamis dan terkait
secara integral. Potensialitas manusia inilah yang kemudian dikembangkan,
diperkaya, dan diaktualisasikan secara nyata dalam perbuatan amaliah manusia
sehari-hari, baik secara vertikal maupun horizontal. Perpaduan ketiganya
merupakan kesatuan yang utuh. Karena itu, pendidikan sering dijadikan tolok
ukur kemajuan suatu negara atau bangsa. Baik pendidikan suatu negara, maka
akan baik pula kesejahteraan masyarakatnya.
Pendidikan Islam harus mampu mengintegrasikan seluruh potensi yang
dimiliki peserta didiknya pada pola pendidikan yang ditawarkan, baik potensi
yang ada pada aspek jasmani maupun rohani, intelektual, emosional, serta
moral etis religius dalam diri peserta didiknya. Dengan ini, pendidikan Islam
akan mampu membantu peserta didiknya untuk mewujudkan sosok insan
paripurna yang mampu melakukan dialektika aktif pada semua potensi yang
dimiliknya. Fitrah yang dimiliki oleh setiap manusia memiliki kebutuhan.
Menurut Zakiyah Darajat ada dua kebutuhan peserta didik yaitu, kebutuhan
psikis berupa kebutuhan akan kasih sayang, rasa aman, rasa harga diri, bebas,
mengenal, dan rasa sukses, dan kebutuhan fisik yaitu pemenuhan sandang,
pangan, papan, dan pangan (Hasbiyallah dan Sulhan, 2015: 6-7).
Hadis tersebut berbicara tentang fitrah manusia yang merupakan tanggung
jawab orang tua terhadap pengembangan fitrah anak yang dilahirkan agar anak
tidak terjerumus kepada ajaran-ajaran yang salah. Dalam hadis tersebut juga
terdapat nilai-nilai pendidikan, yaitu sebagai berikut:
1. Pendidikan akidah
Fitrah diartikan sebagai agama Islam, agama Islam lah agama yang
diridhoi oleh Allah SWT. Orang tua berkewajiban mendidik anaknya agar
tetap berada di dalam akidah yang benar. Sebagaimana diterangkan dalam
hadis tersebut yang berbunyi:

7
‫َص َرا ِن ِه أ َ ْو يُ َم ِج َسا ِن ِه‬ ْ ‫كُ ُّل َم ْولُو ٍد يُو َلد ُ َع َلى ْالف‬
ِ ‫ِط َر ِة َفأ َ َب َواهُ يُ َه ِو َدا ِن ِه أ َ ْو ُين‬
Anak dilahirkan dalam keadaan beragama Islam. Karena selain agama
Islam adalah agama yang salah seperti Yahudi, Nasrani dan Majusi, agama
yang sudah tidak asli lagi ajarannya. Orang tua bertanggung jawab
mengajarkan akidah yang benar kepada anaknya, jangan sampai anaknya
jatuh ke dalam akidah yang salah.
2. Pendidikan ibadah
Implikasi fitrah menyangkut tentang ibadah. Ibadah yang benar adalah
ibadah yang ada ketentuannya dari pembuat hukum yaitu Allah SWT. Maka,
di dalam hadis tersebut tersirat anjuran agar jangan mengikuti ibadah-ibadah
agama lain yang bertentangan dengan Islam. Orang tua diwajibkan
mengajarkan kepada anaknya bagaimana caranya beribadah yang benar
tidak melakukan amalan-amalan yang bid’ah dan salah.
3. Pendidikan akhlak
Fitrah berimplikasi terhadap akhlak. Akhlak yang baik dan akhlak
yang buruk sudah ada ketentuannya dalam Islam. Sebaliknya dalam agama
lain sebagaimana yg disebutkan dalam hadis ada akhlak-akhlak yang
ajarannya tidak sesuai dengan agama Islam. Orang tua perlu mendidik
anaknya agar tetap berperilaku baik dan mencegahnya dari perilaku buruk
yang menyalahi ajaran agama Islam.
4. Pendidikan sosial
Fitrah berhubungan erat dengan proses pergaulan manusia. Pendidikan
sosial dalam Islam sangat perlu diketahui oleh anak untuk membentuk
kepribadian anak dalam kehidupan sosial. Sehingga anak terbiasa
mengadakan pengawasan dan kritik sosial, membinanya dalam pergaulan
dan mengetahui perilaku yang menyimpang serta menghindarinya.
Jika anak sudah dibekali orangtua dengan pendidikan sosial yang
sesuai dengan ajaran Islam maka diharapkan dia menolak dan bisa mawas
diri terhadap prilaku-prilaku sosial yang tidak sesuai dengan ajaran agama
yang bisa mempengaruhi akidahnya, ibadahnya dan akhlaknya. Dalam
masyarakat yang majemuk yang beragam agama dan keyakinan, dalam
berhubungan sosial Islam mengajarkan untuk toleransi antar umat beragama
bukan toleransi beragama. Karena ada batas-batas yang harus diketahui oleh
umat Islam dalam toleransinya dengan agama lain (Firdaus, 2019: 118-122).
G. Penutup
Hadis tentang potensi atau fitrah manusia yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari merupakan hadis yang shahih. Karena telah memenuhi syarat-syarat
keshahihan suatu hadis yaitu, sanadnya bersambung, seluruh perawi dalam
sanad tersebut bersifat adil dan dhabith, dalam sanad tersebut terhindar dari
syudzudz (kejanggalan) dan ‘illat (cacat).
Fitrah adalah potensi-potensi untuk menjadi baik dan sekaligus menjadi
buruk, potensi untuk menjadi muslim dan untuk menjadi musyrik. Secara
sederhana, fitrah di sini diartikan dengan potensi untuk beragama, juga potensi
untuk tidak beragama. Disinilah peran orang tua sangat penting karena
bagaimanapun juga mereka adalah pendidik pertama dan utama. Pendidikan
merupakan media untuk mempertahankan fitrah khalqiyyah dan sarana untuk

8
mengasah dan menumbuhkembangkan fitrah munazzalah sehingga mampu
mengimplementasikan keberagaman dan moralitas yang baik.
Pendidikan Islam harus mampu mengintegrasikan seluruh potensi yang
dimiliki peserta didiknya pada pola pendidikan yang ditawarkan, baik potensi
yang ada pada aspek jasmani maupun rohani, intelektual, emosional, serta
moral etis religius dalam diri peserta didiknya. Dengan ini, pendidikan Islam
akan mampu membantu peserta didiknya untuk mewujudkan sosok insan
paripurna yang mampu melakukan dialektika aktif pada semua potensi yang
dimiliknya.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdurrahman Shaleh. 1991. Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-
Quran. Jakarta: Rineka Cipta.
Aisyah, Siti. 2019. “Pendidikan Fitrah dalam Perspektif Hadist”. Jurnal Ilmiah
Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah. 9(1): 52.
Al-Khathibi, M. Ajajj. 1978. Ushul Al-Hadits. Beirut: Dar Al Fikri.
Farida, Susan Noor. 2016. “Hadis-Hadis Tentang Pendidikan”. Jurnal Ilmu Hadis
1(1): 38.
Firdaus, Muhammad. 2019. “Nilai-Nilai Pendidikan yang Terdapat dalam Hadis
Al-Bukhari No. 1296”. Skripsi. FTIK, IAIN Padangsidimpuan.
Hasbiyallah dan Moh. Sulhan. 2015. Hadits Tarbawi. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Juwariyah. 2010. Hadis Tarbawi. Yogyakarta: Teras, 2010.
Katni, 2017. “Analisis Hadits Nabi Mengenai Fitrah Manusia untuk Menemukan
Tujuan Pendidikan Islam”. Jurnal Pendidikan dan Pemikian Keagamaan.
18(2): 3.
Khon, Abdul Majid. 2012. Hadis Tarbawi: Hadis-hadis Pendidikan. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Kitab Sembilan Imam, Sumber: Al-Bukhari, Kitab: Jenazah Bab: Pembicaraan
Tentang Keberadaan Mayit dari Anak-anak Kaum Musyrikin. No. Hadis:
1296.
Muhaimin, dkk. 2002. Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengektifkan
Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir. 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta:
Kencana.
Nashif, Syekh Manshur Ali. At-Taaju Al-Jami’ Lil’ushuli fi Ahaditsirrasul”.
diterjemahkan oleh: Bahrun Abu Bakar. 1993. Mahkota Pokok-pokok
Hadis Rasulullah SAW jilid 1. Bandung: CV. Sinar Baru.
Nizar, Samsul. 2001. Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam.
Gaya Media Pratama: Jakarta.
Rubini. 2015. “Hadits Tarbawi Tentang Potensi Anak (Fitrah)”. Jurnal
Komunikasi dan pendidikan Islam. 4(2): 44.
Shihab, M. Quraish. 1996. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-
Qur’an. Jakarta: lentera hati.

Anda mungkin juga menyukai